"Pokoknya lo harus tanggung jawab!" Misha berteriak dengan wajah merah padam, membendung rasa malu yang luar biasa, sembari memegang erat-erat ujung jaket yang dikenakan Nata untuk menutupi seragam sekolahnya.
Hari sudah menjelang malam. Oleh sebab itu, Nata sudah mempersiapkan diri agar terhindar dari udara dingin yang berhembus menusuk pori-pori pada permukaan kulit manusia yang sensitif. Dirinya termasuk cowok yang mempunyai alergi terhadap udara dingin bahkan debu sekali pun.
Makanya tak heran kalau kapan dan di mana pun Nata selalu membawa jaket tebal kesayangan supaya tidak sembarangan bersin-bersin di tempat umum hingga pangkal hidung merah dan bola mata bening itu berkaca-kaca.
"Tanggung jawab gimana maksud lo?" tanyanya menautkan kedua alis Nata yang tebal membuat Misha semakin gemas ingin menimpuk kepala cowok itu dengan sepatu kebesarannya. Enak saja pura-pura tidak tahu supaya bisa kabur meninggalkannya!
"Tanggung jawab jelasin semua yang lo tau sewaktu gue bermonolog apa lagi?" Misha menatap Nata dengan sorot mata yang tajam, sedangkan cowok bermata teduh itu nampak membuang wajah, menyiuk gusar.
"Lo nggak waras karena ngomong sendiri dan gue serius nggak dengar apa-apa!" Misha langsung berjinjit, berusaha menyamai tinggi yang tak normal untuk seorang manusia biasa, menarik kerah baju Nata, memberi gaya mengancam agar nyali lawan bicaranya menciut.
"Lo bohong, tau!" tukas Misha sangsi membuat Nata memutar kedua bola mata malas seolah tidak terpengaruh pada aura-aura mengintimidasi yang diberikannya. Bagaimana bisa Misha menilainya berbohong atau jujur?
"Oh? Hah, ternyata image elo nggak sebagus sifat yang lo tunjukkan ke teman-teman." Nata tertawa remeh, Misha mendelik, merasa tidak senang mendengar orang yang merupakan saksi atas kecerobohannya beberapa waktu lalu. Memang cewek itu sadar betul bahwa dirinya berubah seratus delapan puluh derajat dari centil ke cewek bar-bar di depan Nata, tetapi ini, kan, demi keselamatan nyawa cupid-cupid di seluruh dunia.
"Nggak usah mengganti topik, Nata! Gue yakin banget kalo lo dengar apa yang dari tadi gue omongin!" serunya lantang. Nata menghela napas berat, menepuk-nepuk bahu Misha agar cewek manis itu tenang.
"Itu elo tau, terus kenapa nanya gitu?" Bukannya kembali tenang, justru dirinya langsung meradang akibat ulah Nata yang menjawab santai tanpa berdosa. Astaga, mengapa cowok itu hobi sekali mempermainkannya? Tidak Dewa Asmara, tidak Nata, mereka berdua sama-sama berniat menghilangkan akal sehat Misha!
"Gue mohon sama lo buat rahasiain yang lo dengar dan lihat sekarang, ya! Titik nggak pake koma!" Nata menarik napas panjang, jengah akan kelakuan absurd yang cewek manis itu sedang pamerkan padanya—eh, manis? Apa yang batinnya baru saja katakan?
"Gue nggak tau lo orangnya menjaga rahasia atau bermulut ember, gue tetep mohon buat lo tutup mulut!" Misha memberi sugesti pada dirinya sendiri, berharap pengorbanan yang dilakukan membuahkan upah besar dari Dewa Asmara yang entah akan mengabulkan atau tidak.
"Kalo gue nggak mau gimana?"
***
"Kenapa lo kelihatan lemas, sih, Mis?" Shilla menyeka peluh banyak yang mengaliri kening mulus milik Misha yang bobok di ranjang UKS saat jam mapel kimia setengah berlangsung, beruntungnya hanya ada dirinya dan hari ini Shilla yang berjaga-jaga kalau ada pasien yang datang kemari.
"Gue capek habis negoisasi, La." Shilla nampak terheran-heran tatkala Misha berkata seperti itu. Sebenarnya cewek itu melakukan apa sampai kelelahan dan berkeringat dingin?
Kronologisnya berawal dari Misha yang tiba-tiba diantarkan oleh salah satu teman sekelas yang bilang bahwa cewek itu merasa kurang fit beberapa menit berselang. Shilla belum tahu penyebab Misha terlihat lesu begini.
"Sori kalo gue jadi ngerepotin lo yang harusnya fokus ngurusin pasien yang lebih membutuhkan lo." Shilla sontak menggeleng, tak membenarkan kata-kata Misha yang kini tersenyum tipis—benar-benar lemah sampai dirinya harus memperhatikan wajah itu.
"Bilang sama gue, siapa atau apa yang bikin elo uring-uringan?" Misha tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia mengedarkan pandangan ke arah lain dan kembali membisu, bibirnya kelu.
Ini yang kesekian kali, Misha terus-menerus membujuk Nata agar mau menuruti kesepakatan yang dia buat, tetapi tidak pernah disetujui cowok itu sampai sekarang. Mestinya Misha sudah merasa aman, padahal dirinya sudah mempertahankan sesuatu yang memang perlu disembunyikan hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.
Rasa optimis yang ditanamkan Marsha dan Reynand sejak kecil sudah tidak mempan lagi ketika Misha berhadapan dengan Nata, semuanya luntur tersapu badai ketakutan yang menguasai hati.
Baru kali ini, Misha ingin menyerah.
Warga cupid bergantung pada Misha dan cewek itu tentu tak mau melepas semua kepercayaan yang dia terima. Tak ada setitik pun niat untuk berani mengecewakan mereka semua. Misha juga tak ingin kehilangan senyuman yang biasanya terlihat ketika sedang berkunjung ke Kerajaan Awan yang letaknya tergulung oleh mega berarak secara bergilir kadang-kadang.
Nata Alfathan sungguh keterlaluan mengerjai cewek seperti Misha yang notabenenya makhluk lemah yang tengah terkurung dalam satu situasi menyemakkan. Apa sulitnya untuk bermurah hati mengasihi dirinya yang gelarnya hampir dicabut dan ditendang oleh Dewa Asmara?
"Shill, gue harus gimana?" Misha yang membenamkan wajah ke bantal kini bertanya dengan suara parau, khas seseorang yang tengah berputus asa.
Shilla yang ditanyai bingung ingin membalas bagaimana, takutnya jika Misha bisa saja menggila dibanding saat ini. Selama beberapa minggu mengenal sekaligus memantau perkembangan berbagai karakternya, Shilla mengetahui sedikit tentang cara mengatasi tingkah ajaib dari Misha, cewek manis yang menjelma sebagai sahabat terdekatnya karena kecocokan antara satu dengan yang lain.
"Kayaknya lo butuh rileks. Gue buatin lo teh hangat supaya kerja otak nggak makin panas, oke?" Misha mau tidak mau hanya menganggukkan jemala. Dia amat butuh berpikir jernih, sebab cewek itu mesti berusaha lebih keras meluluhkan Nata yang kepala batu.
"Oke, deh, Mis. Tungguin bentar, ya," pamit Shilla sebelum akhirnya segera melangkah keluar, mencari bahan utama yakni teh celup, gelas plastik kosong, gula, dan dispenser berisikan air dengan temperatur rendah atau tinggi, demi menghangatkan teh yang akan dibuat sebentar lagi.
Karena sepertinya akan memakan waktu yang cukup lama, Misha yang bosan memilih duduk seraya menatap langit-langit kamar UKS warna putih polos yang ditempatinya kini. Pikiran cewek itu berkelana entah ke mana.
"Nih, teh hangatnya buat elo." Misha menerima gelas berisi teh tanpa ada niatan untuk menengok pada siapa yang memberikan itu padanya. Kok, rasanya aneh Shilla membuat segelas teh hangat hanya dalam lima menit?
"Shilla, nggak kayak bi—lho, Nata?" Misha hampir terjengkang dari kasur tatkala melihat kehadiran Nata yang melempar tatapan datar, tanpa ada ekspresi sebagai respon atas tanda tanya besar di benaknya.
"Ngapain lo mendadak ke sini?" Nata terdiam sejenak, sebelum mengucap sesuatu yang mengundang rasa ingin tahu lebih banyak Misha, tetapi kalau melirik sekilas gelagatnya sepertinya cewek itu sudah tahu duluan. Kena juga kau!
Ketika Misha hendak menyeruput teh yang masih mengepulkan asap samar, Nata malah menyambar gelas balik membuatnya mencebik dongkol. Jangankan minum, menyentuh bibir gelas saja belum sempat. "Gue setuju buat rahasiain yang lo bilang saat itu!"
Misha membelalakkan mata skeptis. Apakah Nata berubah pikiran dan mau menjalin kesepakatan dengan dirinya? Sebuah kemajuan yang sangat bagus, rupanya usahanya selama itu tidak menjadi percuma.
"Gue senang kalo lo setuju, tapi bisa nggak lo biarin orang yang sakit buat minum teh hangat?" Nata meringis saat menyadari gelas yang dia pegang. Misha merasa tertekan karena belum dapat meminum setetes dari gelas teh yang diberikan cowok itu.
"Gue setuju dengan syarat, mumpung lo satu-satunya cupid yang gue temui, lo harus bantuin gue biar bisa berjodoh sama Karin Theona. Lo tau dia, kan?" Misha yang belum kelar menenggak teh spontan menyembur ke arah Nata, alhasil seluruh pakaian milik cowok bermata teduh itu jadi basah kuyup.
Entahlah, Misha harus senang atau sedih pada permintaan pertama Nata.
"Lo nggak lagi bercanda, kan, Nata?" Misha reflek bertanya memastikan. Yang benar saja, Nata menjadikannya sebagai jembatan cinta antara cowok itu dengan Karin. Menurutnya kurang pantas bila dirinya ikut diminta turun tangan demi memudahkan hubungan sepasang insan yang dimabuk cinta tanpa adanya perintah Dewa Asmara."Emang muka gue sekarang kelihatan bercanda ya?" Nata menunjuk dirinya sendiri membuatnya senewen bukan kepalang. Andai saja cewek itu tidak pernah ceroboh dalam hal bertindak, mungkin Misha tak akan berurusan maupun terlibat masuk ke kehidupan cowok bermata teduh, tetapi minim akhlak tersebut."Ya nggak, sih, tapi kenapa harus gue dan bukan cupid lain?" Nata menarik napas berulang kali. Ternyata butuh ekstra kesabaran untuk memahami jalan pikiran Misha yang merupakan satu-satunya cahaya harapan supaya dirinya bisa lebih dekat dengan Karin."Karena cuman ada lo yang gue tau, Dodol! Kalo gue ketemu sama cupid lain yang lebih w
"Wah, emang namanya siapa?""Ehm, Karin ... Karin Theona."Jantung Misha seakan mencelos. Duh, sejak awal dirinya punya firasat yang tidak mengenakkan mengenai nama yang disebutkan Dewa Asmara. Rupa-rupanya tebakannya tidaklah salah."Lo nggak salah baca informasi atau dengar, Dew?" Dewa Asmara menatap Misha dengan tatapan yang sulit buat diartikan. Cowok itu beranjak, lantas mengambil salah satu buku yang ada di rak-rak besarnya yang dikhususkan di dalam ruang kerjanya."Ini adalah isi terjemahan dari wahyu Dewa Semesta kalo lo masih rada nggak percaya," sahut Dewa Asmara tenang seraya menyerahkan buku yang tebal kertasnya mencapai dua jengkal jari Misha. Cewek itu menipiskan bibir tak menyangka, tak mungkin dirinya menghabiskan waktu membaca buku yang kurang tebal apabila dibandingkan dengan ocehan Marsha saat Misha kecil dulu."Ugh, iya-iya, Dew. Gue percaya, tapi ...." Misha tidak melanjutkan ucapannya, cewek manis itu termangu sejenak. K
FYI, kehebatan seorang cupid lainnya terletak pada bagian kemampuannya yang dalam satu waktu dapat secara penuh mengendalikan hati berserta pikiran manusia di saat keadaan yang membutuhkan hal-hal lebih dari sebuah kontak fisik, yaitu memegang kontrol inti alat yang akan menjadi batu pijakan alias manipulatif. Misha sebelumnya belum pernah memakai kekuatan yang dikaruniai oleh Dewa Asmara karena misi-misinya selama ini selalu berjalan lancar."Gimana kerjaan elo hari ini, Babe?" Misha menatap Dewa Asmara dengan raut wajah yang kentara sekali sedang tidak baik-baik saja sekarang. Jarang sih, cowok yang demen dengan jenis-jenis jamu pahit itu menanyakan bagaimana kabar tugas mengerikan yang selalu diberikan batas waktu, padahal biasanya tidak mencoba untuk peduli."Gue rasa bakal gagal sih, Dew," ketus Misha singkat membikin reaksi Dewa Asmara seketika terlonjak kaget dari singgasana yang dimodifikasi agar mirip seperti kursi putar sembari membenahi kacamata yan
Mengapa semuanya pada lari? Misha bertanya-tanya dalam batin saat ikut memutuskan berlari bersama yang lain menyamakan langkah manusia-manusia macam orang kesurupan saja. "Grace, sebenarnya ada apa?""Gue nggak tau juga. Jangan tanyain ke gue!" Grace balas berteriak seraya membelah kerumunan orang-orang dengan menarik tangan Misha yang sepertinya kelelahan karena terus-menerus berlari tanpa henti. Cewek manis itu menengok ke arah belakang yang rupanya menampakkan sebilah pisau yang siap memotong lehernya menjadi dua bagian. Astaga, harusnya Dewa Kematian tetap di zona nyaman yaitu kuburan atau pemakaman!"G-gue kenal orang ini! Lepasin elah!" Cewek yang berdandan seperti tante-tante girang itu melotot seolah tidak percaya ketika Misha menepis tangan yang saling bertautan dari tadi. Huft, beruntung dirinya bisa segera lepas.Misha mengalihkan atensi yang kini sepenuhnya menatap Dewa Kematian yang tengah menyeringai kepadanya. Kenapa, sih, dewa yang satu ini hobi
"Papa, Mama. Acha udah dapet kabar burung dari mantan teman sekolah lamaku, kalo 'dia' udah kembali. Apa ini adalah kabar bagus?" tanyanya. Marsha dan Rey tersentak, mematung kaget saat mendengarnya membuat kepala Misha dipenuhi tanda tanya besar. Sebenarnya siapa 'dia' yang sang kakak maksud?"Kamu serius? Dari kapan?" Mengapa Marsha menunjukkan air muka yang penuh kelegaan seperti itu? Argh, lagi-lagi ada saja yang membuat cewek itu merasa penasaran, tetapi karena ini sepertinya pembicaraan sensitif jadi dirinya akan berusaha bungkam."Berdasarkan informasi temenku, dia sedang tinggal di daerah ibu kota. Dan memilih mengontrak di sebuah kost-kostan murah sejak tiga tahun lalu." Misha semakin tidak mengerti pada alur pembahasan yang entah akan dibawa ke arah mana, intinya yang pasti sekarang dirinya merasa lapar. Tangannya sudah gatal mengambil beberapa kudapan yang terletak di atas meja, semua itu terlihat amat menggugah selera."Kenapa baru tau sekarang?" Ach
"Shilla, kok, punya teman cakep kayak gini? Kenapa nggak bilang?" Sorotan mata sejuta makna itu menjurus tepat membuat tubuh Misha dilanda syok berkesinambungan.Sekarang apa yang harus dilakukan? Mata Misha berpendar gelisah, binar yang semula muncul ketika bercakap dengan Shilla seketika meredup. Dia menatap gadis itu dengan senyuman ramah, tetapi semua tindakannya itu adalah sesuatu yang semu. Bukankah sudah waktunya kabur?Namun, kedua kaki Misha seolah-olah membeku—tak bisa digerakkan sama sekali. Pikiran pun seketika menjadi kosong. Dirinya tak tahu bagaimana cara menjaga ekspresi terkejut sebab melupa sejenak, teralihkan dengan kehadiran Karin yang berkeliaran di sekitar Misha dan Shilla kini."Iya, gue belum sempat ngenalin dia sama lo karena akhir-akhir ini jadwal lo pasti padat banget." Shilla berucap sambil menggaruk pipi dengan bibir mengeluarkan kekehan pelan. Karin manggut-manggut dengan mata yang tak lepas menatap wajah Misha yang sudah para
"Hah?"Sialan. Mengapa Dewa Asmara tidak langsung bergerak cepat? Misha menghela napas panjang, mengumpul sisa-sisa kesabaran yang lesap ditelan oleh inti bumi."Lo nggak apa-apa, Sha?" Karin yang merasa khawatir mengguncang tubuh Misha berulang kali membuat cewek itu terkesiap, lamunannya membuyar."Oh, iya-iya." Misha asal mengangguk-anggukkan kepala demi tak menatap mata Karin yang mengerling cemas melihat kondisi teman barunya. Akh, andai cewek itu langsung enyah dari pandangan ketiganya pasti langsung menggemparkan satu sekolah.Ctak.Suara jentikan jari yang paling Misha sesali karena setelah itu, gadis itu tiba-tiba terlempar, menghantam lantai yang dingin. Seharusnya Dewa Asmara kalau menggunakan kekuatan sihirnya kira-kira, dong, tempatnya!
Misha balik mengerjap, masih agak ragu.Namun jauh dari lubuk hati, Misha sudah tidak sabar untuk melempar wajah sok Dewa Asmara memakai bubuk berisi Kapulaga yang sudah dihaluskan, namanya ajang balas dendam sampai mata cowok burik tersebut perih dan memerah! Baru Misha sedikit puas. Ya, baru sedikit saja, hahaha!"Thank you,La. Lo yang terbaik deh, hehe." Misha cengengesan membuat Shilla mengembuskan napas sekilas. Baguslah, cewek berwajah tegas itu berhasil mengembalikan senyum di iras ayunya."Sha, lo pasti udah tau kapan harus berhenti, 'kan?" Sepertinya ada satu hal yang aneh? Kenapa Shilla berkata dengan nada yang menyimpan makna tersirat seakan tahu sesuatu? Ataukah ini hanya perasaan Misha saja?"Maksud lo apa,
Tibalah dirinya di kamar menghadap cermin dengan bantuan sihir Dewa Asmara sembari merapikan rambut yang cukup berantakan akibat tiupan angin."Nah, udah. Lanjutkan bualan lo yang barusan."Misha cekikikan saat Dewa Asmara mengembuskan napas kasar seakan menahan gemas.Yeah,siapa suruh membuat cewek itubad moodparah?"Nggak mau tau, lo harus menyamar biar nggak ketahuan sama dia! Ikutin Nata yang bakal ngedate sama Karin, oke?"Misha langsung mendengkus, menguatkan diri agar tidak bunuh diri karena telanjur depresot. Lagian kan, yang harusnya mati adalah Dewa Asmara, bukan dirinya!"Nyamar gimana, hah? Masa sih, gue harus nutupin kecantikan gue yang udah ada sejak lahir?!"Tanpa sadar Dewa Asmara melengo
Misha balik mengerjap, masih agak ragu.Namun jauh dari lubuk hati, Misha sudah tidak sabar untuk melempar wajah sok Dewa Asmara memakai bubuk berisi Kapulaga yang sudah dihaluskan, namanya ajang balas dendam sampai mata cowok burik tersebut perih dan memerah! Baru Misha sedikit puas. Ya, baru sedikit saja, hahaha!"Thank you,La. Lo yang terbaik deh, hehe." Misha cengengesan membuat Shilla mengembuskan napas sekilas. Baguslah, cewek berwajah tegas itu berhasil mengembalikan senyum di iras ayunya."Sha, lo pasti udah tau kapan harus berhenti, 'kan?" Sepertinya ada satu hal yang aneh? Kenapa Shilla berkata dengan nada yang menyimpan makna tersirat seakan tahu sesuatu? Ataukah ini hanya perasaan Misha saja?"Maksud lo apa,
"Hah?"Sialan. Mengapa Dewa Asmara tidak langsung bergerak cepat? Misha menghela napas panjang, mengumpul sisa-sisa kesabaran yang lesap ditelan oleh inti bumi."Lo nggak apa-apa, Sha?" Karin yang merasa khawatir mengguncang tubuh Misha berulang kali membuat cewek itu terkesiap, lamunannya membuyar."Oh, iya-iya." Misha asal mengangguk-anggukkan kepala demi tak menatap mata Karin yang mengerling cemas melihat kondisi teman barunya. Akh, andai cewek itu langsung enyah dari pandangan ketiganya pasti langsung menggemparkan satu sekolah.Ctak.Suara jentikan jari yang paling Misha sesali karena setelah itu, gadis itu tiba-tiba terlempar, menghantam lantai yang dingin. Seharusnya Dewa Asmara kalau menggunakan kekuatan sihirnya kira-kira, dong, tempatnya!
"Shilla, kok, punya teman cakep kayak gini? Kenapa nggak bilang?" Sorotan mata sejuta makna itu menjurus tepat membuat tubuh Misha dilanda syok berkesinambungan.Sekarang apa yang harus dilakukan? Mata Misha berpendar gelisah, binar yang semula muncul ketika bercakap dengan Shilla seketika meredup. Dia menatap gadis itu dengan senyuman ramah, tetapi semua tindakannya itu adalah sesuatu yang semu. Bukankah sudah waktunya kabur?Namun, kedua kaki Misha seolah-olah membeku—tak bisa digerakkan sama sekali. Pikiran pun seketika menjadi kosong. Dirinya tak tahu bagaimana cara menjaga ekspresi terkejut sebab melupa sejenak, teralihkan dengan kehadiran Karin yang berkeliaran di sekitar Misha dan Shilla kini."Iya, gue belum sempat ngenalin dia sama lo karena akhir-akhir ini jadwal lo pasti padat banget." Shilla berucap sambil menggaruk pipi dengan bibir mengeluarkan kekehan pelan. Karin manggut-manggut dengan mata yang tak lepas menatap wajah Misha yang sudah para
"Papa, Mama. Acha udah dapet kabar burung dari mantan teman sekolah lamaku, kalo 'dia' udah kembali. Apa ini adalah kabar bagus?" tanyanya. Marsha dan Rey tersentak, mematung kaget saat mendengarnya membuat kepala Misha dipenuhi tanda tanya besar. Sebenarnya siapa 'dia' yang sang kakak maksud?"Kamu serius? Dari kapan?" Mengapa Marsha menunjukkan air muka yang penuh kelegaan seperti itu? Argh, lagi-lagi ada saja yang membuat cewek itu merasa penasaran, tetapi karena ini sepertinya pembicaraan sensitif jadi dirinya akan berusaha bungkam."Berdasarkan informasi temenku, dia sedang tinggal di daerah ibu kota. Dan memilih mengontrak di sebuah kost-kostan murah sejak tiga tahun lalu." Misha semakin tidak mengerti pada alur pembahasan yang entah akan dibawa ke arah mana, intinya yang pasti sekarang dirinya merasa lapar. Tangannya sudah gatal mengambil beberapa kudapan yang terletak di atas meja, semua itu terlihat amat menggugah selera."Kenapa baru tau sekarang?" Ach
Mengapa semuanya pada lari? Misha bertanya-tanya dalam batin saat ikut memutuskan berlari bersama yang lain menyamakan langkah manusia-manusia macam orang kesurupan saja. "Grace, sebenarnya ada apa?""Gue nggak tau juga. Jangan tanyain ke gue!" Grace balas berteriak seraya membelah kerumunan orang-orang dengan menarik tangan Misha yang sepertinya kelelahan karena terus-menerus berlari tanpa henti. Cewek manis itu menengok ke arah belakang yang rupanya menampakkan sebilah pisau yang siap memotong lehernya menjadi dua bagian. Astaga, harusnya Dewa Kematian tetap di zona nyaman yaitu kuburan atau pemakaman!"G-gue kenal orang ini! Lepasin elah!" Cewek yang berdandan seperti tante-tante girang itu melotot seolah tidak percaya ketika Misha menepis tangan yang saling bertautan dari tadi. Huft, beruntung dirinya bisa segera lepas.Misha mengalihkan atensi yang kini sepenuhnya menatap Dewa Kematian yang tengah menyeringai kepadanya. Kenapa, sih, dewa yang satu ini hobi
FYI, kehebatan seorang cupid lainnya terletak pada bagian kemampuannya yang dalam satu waktu dapat secara penuh mengendalikan hati berserta pikiran manusia di saat keadaan yang membutuhkan hal-hal lebih dari sebuah kontak fisik, yaitu memegang kontrol inti alat yang akan menjadi batu pijakan alias manipulatif. Misha sebelumnya belum pernah memakai kekuatan yang dikaruniai oleh Dewa Asmara karena misi-misinya selama ini selalu berjalan lancar."Gimana kerjaan elo hari ini, Babe?" Misha menatap Dewa Asmara dengan raut wajah yang kentara sekali sedang tidak baik-baik saja sekarang. Jarang sih, cowok yang demen dengan jenis-jenis jamu pahit itu menanyakan bagaimana kabar tugas mengerikan yang selalu diberikan batas waktu, padahal biasanya tidak mencoba untuk peduli."Gue rasa bakal gagal sih, Dew," ketus Misha singkat membikin reaksi Dewa Asmara seketika terlonjak kaget dari singgasana yang dimodifikasi agar mirip seperti kursi putar sembari membenahi kacamata yan
"Wah, emang namanya siapa?""Ehm, Karin ... Karin Theona."Jantung Misha seakan mencelos. Duh, sejak awal dirinya punya firasat yang tidak mengenakkan mengenai nama yang disebutkan Dewa Asmara. Rupa-rupanya tebakannya tidaklah salah."Lo nggak salah baca informasi atau dengar, Dew?" Dewa Asmara menatap Misha dengan tatapan yang sulit buat diartikan. Cowok itu beranjak, lantas mengambil salah satu buku yang ada di rak-rak besarnya yang dikhususkan di dalam ruang kerjanya."Ini adalah isi terjemahan dari wahyu Dewa Semesta kalo lo masih rada nggak percaya," sahut Dewa Asmara tenang seraya menyerahkan buku yang tebal kertasnya mencapai dua jengkal jari Misha. Cewek itu menipiskan bibir tak menyangka, tak mungkin dirinya menghabiskan waktu membaca buku yang kurang tebal apabila dibandingkan dengan ocehan Marsha saat Misha kecil dulu."Ugh, iya-iya, Dew. Gue percaya, tapi ...." Misha tidak melanjutkan ucapannya, cewek manis itu termangu sejenak. K
"Lo nggak lagi bercanda, kan, Nata?" Misha reflek bertanya memastikan. Yang benar saja, Nata menjadikannya sebagai jembatan cinta antara cowok itu dengan Karin. Menurutnya kurang pantas bila dirinya ikut diminta turun tangan demi memudahkan hubungan sepasang insan yang dimabuk cinta tanpa adanya perintah Dewa Asmara."Emang muka gue sekarang kelihatan bercanda ya?" Nata menunjuk dirinya sendiri membuatnya senewen bukan kepalang. Andai saja cewek itu tidak pernah ceroboh dalam hal bertindak, mungkin Misha tak akan berurusan maupun terlibat masuk ke kehidupan cowok bermata teduh, tetapi minim akhlak tersebut."Ya nggak, sih, tapi kenapa harus gue dan bukan cupid lain?" Nata menarik napas berulang kali. Ternyata butuh ekstra kesabaran untuk memahami jalan pikiran Misha yang merupakan satu-satunya cahaya harapan supaya dirinya bisa lebih dekat dengan Karin."Karena cuman ada lo yang gue tau, Dodol! Kalo gue ketemu sama cupid lain yang lebih w