Pukul sembilan malam. Ternyata usaha tadi tidak kunjung membuat pikiranku tenang. Membolak balikkan badan ke kiri dan ke kanan. Berakhir tengkurap. Karena sudah tak tahan lagi, akhirnya aku beranjak juga. Membuka pintu dengan hati-hati, melirik kamar sebelah Kamar Niswah tertutup rapat. Sepertinya dia sudah tidur.
"Aish! Sudahlah!" Kuusir pikiran buruk. Mengambil gaun tadi dan memoles wajah. Lalu setelah itu segera membuka pintu. Melangkah pelan menuruni tangga. Mengunci pintu dari luar, dan bergegas ke parkiran. Menyalakan mobil dan meninggalkan rumah.
Club malam di kawasan luar kota. Itu tujuanku sekarang. Tempat dimana dulu Riri pernah bekerja. Setengah jam perjalanan, sampai juga di lokasi. Remang-remang cahaya dari bangunan itu. Wanita berpakaian terbuka nampak mojok menggoda pria yang datang. Dari dalam mobil, aku mengawasi bangunan tersebut. Menelan saliva kasar. Haruskah aku lanjut saja penyelidikan ini, atau kembali? Tapi bayangan mas Angga yang me
Pria itu justru terkekeh."Wah, mantan? Atau dia bermain jal*ng saat masih bersamamu?""Dia penghianat," desahku kasar. Lagi-lagi pria itu terkekeh. Dia pikir ini lucu?"Kamu terlalu polos. Pria, tidak akan pernah cukup dengan satu wanita. Apalagi jika kesempatan itu datang. Karena itu lah, kamu lihat sendiri kan? Duniaku adalah wanita. Haha."Dia sedikit mabuk, mungkin. Lalu sejenak kemudian dia menatapku dengan pandangan datar."Dan kamu, kalau saja pria itu tidak mengawasimu, mungkin saja malam ini kita sudah menghabiskan malam bersama, cantik."Pria? Sontak aku menoleh. Tapi yang kudapati hanyalah bartender yang kini sibuk dengan pelanggan barunya."Dia siapamu? Atau.. Itu selingkuhanmu?" aku mendecak. Tapi untuk menolak, rasanya terlalu berbahaya. Setidaknya biarlah begitu yang diketahui oleh pria ini."Dia pacarku sekarang. Kalau begitu, terimakasih atas informasinya."Ku angkat bobot tubuhku dari tempat duduk. Tersenyum tipis, lalu kembali menghampiri bartender tadi."Bagaimana
Sampai di rumah, Haidar tidak langsung pergi, justru ikut masuk ke rumah. Meski sedari tadi dia terus-menerus membuang pandangan."Niswah sudah tidur," tukasku karena dia ikut masuk."Ganti bajumu. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu," tugasnya dengan pandangan mengarah ke luar. Aku mengangguk. Segera ke atas untuk berganti pakaian. Meski selama ini aku belum berhijab, tapi tak pernah sekalipun aku memakai pakaian terbuka. Itu tadi adalah pakaian yang aku pesan online dadakan, karena timbulnya ide itu juga dadakan. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan rencana. Dan sekarang aku sesali, kenekatan tadi tak seharusnya ku turuti.Ku hampiri dia yang duduk di ruang tamu. Kali ini aku sudah memakai pakaian yang tertutup, kaos panjang dan rok panjang. Kuserahkan jaket padanya."Terimakasih," ucapku. Dia hanya melirik jaketnya. "Baru tadi sore aku mengantarnya, bisa-bisanya sudah ada disana. Siapa yang menyuruhmu, hmm?""A-aku? Tidak ada." ucapku gugup. Dia tampak tak suka
"Em, pantas saja mbak masak. Hehe, ternyata ada mas Haidar toh."Aku melotot. Niswah masih saja membahasnya."Memang biasanya gak masak?" suara Haidar lembut menanyai Niswah. Dan jangan lupakan senyum manisnya itu. Eh? Aku menggigit bibirku, ayolah Nis... Jangan buka aib."Enggak. Kita biasanya sarapan di kantor. Lagian kata mbak Dinda, percuma kalau masak gak ada yang ma---""A... Ayamnya masih Nis. Nih, makan aja.""Makasih, mbak. Niswah udah kenyang padahal. Tapi, gak papa. Biar mas Haidar aja yang ngabisin. Nih."Aku melotot, bisa-bisanya ayamnya beralih tempat."Kan kalau begini, mbak Dinda jadi ayem. Makanannya ada yang ngabisin. Hehe."Aku meringis pelan, menekan sendok dengan gigiku. Astaga... Niswah."Harusnya kamu yang makan. Biar gak kerempeng kayak tengkorak.""Eitss, jangan salah. Mbak Dinda ini spesial masak karena ada mas Haidar lo. Jadi hargai dong."Runtuh sudah harga diriku. Rasanya seperti tak ada muka. Apalagi saat selintas pandang, Haidar menatapku. Ya Tuhan, rasa
"Perempuan itu melahirkan prematur. Itu yang dia katakan pada suamimu. Tapi, yang sebenarnya, informasi yang aku dapat dari dokter itu, dia sudah genap usia sembilan bulan lebih beberapa hari. Jadi, kemungkinan saat menikah dengan suamimu, dia sudah hamil dua bulan. Dan, yah beruntungnya dia melahirkan tepat di sembilan bulan. Coba saja dia lahir prematur. Apa gak kacau, baru lima bulan sudah lahiran?"Haidar sudah kembali dan bergabung dengan kami. Tapi dia diam saja dengan penjelasan sahabatnya itu. Berbeda denganku yang masih syok. Bagaimana bisa itu Mr Arav? Pria itu terlihat baik. Dan juga, waktu itu kita pernah tak sengaja bertemu di mall, saat bersama ibu mertua melabrakku. Dan Mr Arav wajahnya biasa saja. Padahal dia kan kenal Riri."Apa ibu tahu?""Ibu mertuamu tidak tahu. Mungkin dia akan syok kalau tahu ternyata itu bukan cucu kandungnya. Double kill kan? Setelah putranya lebih memilih orang lain, ternyata yang dipilih bukan cucu kandungnya." Santai sekali dia menikmati ma
Lamunanku buyar. Netraku teralih dari kertas yang baru datang itu. Surat panggilan dari pengadilan untuk sidang perceraian itu telah tiba setelah dua bulan berlalu.Senyum samar nan masam tersungging di bibirku."Tidak. Hanya saja, rasanya lucu," tugasku, melipat kembali kertas itu.Tangan kekar itu mengusap lembut suraiku. Membawanya bersandar di pundak."Abang tahu. Pernikahanmu juga tidak sebentar. Lima tahun. Tapi, kalau memang tidak bisa dipertahankan lagi, mau bagaimana?""Iya, Bang. Akan berbeda kalau mas Angga masih membelaku. Aku mungkin akan mencoba bertahan. Seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, sepertinya dia pun lelah," helaku pelan."Kalau sekiranya, Angga nanti mengetahui semuanya, terus dia mengajakmu kembali bersama, bagaimana?"Aku terdiam. Menatap langit bertabur bintang di atas sana. Memejamkan mata sejenak untuk menikmati hembusan dinginnya."Memang bang Aldi setuju?" tolehku pada pria yang menjadi cinta kedua setelah p
"Haa.... Aa, maksud gue, hamil. Eh, apa sih!"Orang aneh. Jujur saja jantungku berdetak kencang. Entah kenapa perkataannya terakhir membuat pikiranku berkelana. "Aunty!"Perhatianku tertoleh. Jansen yang berlari ke arahku sambil tertawa, bersembunyi di balik punggungku. Niswah tertawa lebar, mencoba menangkap bocah itu."Eitss... Jansen kena. Haha."Keduanya tergelak bersama. Kulihat senyum terbit di bibir Zul, dengan netranya yang tertuju pada gadis itu. Ah, maafkan aku Della. Sebaiknya urungkan saja usahamu.Ku senggol bahu pemuda itu. Melirik dengan senyum tertahan."Ngapain Lo? Suka sama Niswah?" ledekku. Zul langsung mingkem. "Apaan sih. Ngawur."Aku tergelak. Sayangnya wajahmu memerah. Ternyata pria kalau tersipu lucu juga.Tak lama bang Aldi memberi kode untuk segera menghampirinya. Kami lapar. Dan restoran seafood adalah tujuan setelahnya.Zul, pria aneh yang kutemui di bar itu ikut bersama kami. Dia datang sendirian, d
Pagi sekali, aku sudah bangun. Tapi bukan untuk gegas bersiap. Melainkan tidurku saja yang tak nyenyak. Rasanya seperti tidak nyaman. Seolah akan ada sesuatu yang terjadi. Meraup wajah dan mengela napas pelan. Barulah aku ke kamar mandi. Lalu melanjutkan rutinitas pagi.Pukul delapan, kami sudah bersiap. Bang Aldi, mbak Dina, juga si kecil Jansen. Zul akan menyusul nanti ke kantor pengadilan langsung. Sedangkan Niswah, dia tidak ikut karena hari ini berbarengan dengan jadwal kampus hari pertama. Haidar, dia juga akan mengantar Niswah nanti. "Tenangkan pikiranmu, Din. Yakinlah berjalan lancar." Kuanggukkan kepala. Bang Aldi sepertinya menangkap sirat khawatir dari wajahku. Sedangkan mbak Dina mengusap pundakku, menenangkan. Kami gegas menaiki mobil. Bang Aldi dan mbak Dina di depan, sedangkan aku dan Jansen di bagian tengah. Aku tersenyum membaca pesan dari Della. Ya, begitu banyak orang yang mendukungku, tak seharusnya aku sekhawatir ini. Obrolan ringan dan juga c
Kulihat keterkejutan di wajah Haidar. Namun aku mengabaikannya. Dan menghampiri dokter itu."A... Anda istrinya?""Benar. Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" "Suami ibu mengalami luka yang cukup parah. Bentaran di kepalanya mengakibatkan efek yang hebat. Kemungkinan, dia akan mengalami amnesia.""A-amnesia?" ulangku. Menelan saliva kasar. Apa itu artinya...."Benar. Dan di tambah dia sepertinya sehabis mengonsumsi alkohol yang berlebih. Sementara saat ini pasien belum sadar. Tapi sudah bisa dikunjungi secara bergantian. Dua orang yang masuk perkunjungan."Aku meremat jemariku. Kemungkinan kemungkinan terbayang dalam otakku. "Saya permisi dulu."Dokter berlalu. Zul bergegas menghampiriku. Sedangkan Haidar dia diam saja tanpa komentar."Kamu serius? Mengakui sebagai istrinya? Wah... Apa itu berarti perceraian gagal?"Aku memejamkan mata sejenak."Bahkan, tanpa mengakui sebagai istrinya pun, sidang tidak mungkin dilanjut. Dia amnesia. Yang
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z