4. Kejujuran Raizel.
Egy dan Fani sudah selesai membersihkan kekacauan yang dibuat Ega, di saat itu juga, Egy menyadari bahwa Raizel tidak ada di ruangan bersama mereka.Egy yang menyadari itu, lantas Ia bertanya pada Ibunya. Bahwa Ibunya—Fani, melihat Raizel atau tidak? Tapi jusru Fani baru saja sadar jikalau Raizel tidak ada di sana bersama mereka.
Fani mengatakan pada Egy, Ia akan mencari Raizel, tapi Egy menjawab bahwa dirinya saja yang akan mencarinya sendiri.
"Jangan mah, biar Egy aja yang nyari" ucap Egy.
"Oh, ya udah. Kalo gitu, Mamah masuk kamar dulu ... masih jam dua malam, Mamah pengen lanjut tidur" pungkas Fani berlalu pergi Ke kamarnya.
Egy hanya diam menatap Ibunya, yang berjalan masuk ke dalam kamar.
"Kemana tuh anak? ngilang gitu aja" cibir Egy "coba gue cek ke halaman belakang, barangkali dia ada di sana."
Alasan Egy berinisiatif untuk mencari Raizel ke halaman belakang rumahnya, bukan karena Ia melihat Raizel ketika pergi secara diam-diam, meninggalkan ruangan saat dia dan Ibunya membereskan keributan Ega di ruang tamu.
Melainkan, karena Egy sudah curiga sejak lama, bahwa Raizel adalah seorang Indigo.Banyak alasan untuk Egy curiga, dari kebiasaan Raizel saat berkumpul bersama, yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Lalu, dari sikap anehnya yang tiba-tiba berubah layaknya sedang ketakutan.
Entah takut apa, Egy saja tidak paham.Setelah itu Egy berjalan santai menuju halaman belakang untuk mencari Raizel.
Saat Egy sudah sampai di ambang pintu, Egy melihat Raizel tengah diam berdiri melamun di bawah pohon bunga kertas.
"Tuh, 'kan bener. Dia di sini, Rai–]" seru Egy, yang tiba-tiba menjeda. "Eh tunggu. Ngapain dia disitu?" Lanjutnya lirih.
Karena Egy penasaran, Ia sengaja menunda niatnya untuk lansung memanggil atau menemui Raizel.
Egy memilih diam sembari melipatkan kedua tangan diatas perutnya, lalu bersandar di teras samping pintu memperhatikan Raizel dalam diam.
"Gue harus tahu kebenarannya tentang Ega, hal ini benar-benar ganjil ...," gumam Raizel,
"dan kenapa Ega dipukuli? Kenapa juga ada bekas luka putung rokok di pundaknya?" Lanjutnya.Karena Raizel tidak tahu, dirinya diperhatikan oleh Egy. Ia sengaja tidak mengecilkan intonasinya saat bergumam, yang menyebabkan semuanya didengar jelas oleh Egy.
Kata-kata Raizel sungguh membuat Egy benar-benar syok.
"Apa! ... Raizel bilang tentang Ega? Apa maksudnya dengan Ega dipukuli?"
Tangannya yang semula dilipat di atas perutnya, kini sudah tidak lagi.
"Siapa yang dipukuli? Ega? Dan Siapa juga yang kena putung rokok?" Kini giliran Egy yang bertanya- tanya.
Egy mengerutkan keningnya, mencoba lebih fokus untuk memperhatikan Raizel dengan jelas.
"Udah lah! Pikir nanti aja, gue harus masuk sebelum Egy nemuin gue di sini" kata Raizel.
Namun, Raizel tidak tahu bahwa Egy sudah memperhatikannya dari tadi, dan juga semua yang dikatakannya telah didengar oleh Egy.
Raizel membalik tubuhnya, berniat untuk masuk. Tetapi kala itu juga, Ia tercengang karena melihat sosok remaja.
Diam menyender pada pintu, yang ternyata itu adalah ... Egy.Mata dan mata saling bertemu.
Egy memandang Raizel dengan pandangan datar. Sedangkan Raizel memandang Egy dengan terkesiap."Eg-Egy ... lo ngapain di sini?" tanya Raizel cemas bahwa Egy akan tahu Rahasianya.
"Harusnya gue yang nanya .... Ngapain lo di sini?" balas Egy.
"Gu-gue di sini habis telfonan sama nyokap?" kilah Raizel, berbohong.
"Nyokap lo telfon?" tanya Egy dengan wajah datarnya, karena Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Raizel adalah kebohongan.
"Iy-yaa" jawab Raizel gugup.
Egy diam tidak bertanya lagi.
Bola mata Egy terus saja meninjau mata Raizel, Raizel sangat berharap saat itu Egy tidak tahu apapun,
termasuk tidak mendengar apapun yang dikatakannya tadi.Akan tetapi, harapan Raizel sia-sia. Karena Egy sudah mengetahuinya tepat sebelum dia membalikan tubuhnya.
Egy terperangah pada baju Raizel yang kotor, tepat di bagian dada. Hal itu membuat penasarannya terus bertambah.
Lalu Egy bertanya lagi.
"Terus, itu baju lo kenapa kotor?"
"Hah? ... oh, ini?" Raizel mencubit bagian bajunya yang kotor.
"Tadi ... tadi kena tanah." LanjutnyaRaizel benar-benar tidak menyadari kalau baju warna hitam yang dipakainya ternyata kotor, dan Ia tahu pasti penyebab kotornya, adalah telapak tangan Ega.
Jantungnya berdegup kencang, Raizel sungguh tidak menyangka. Egy, temannya sejak kecil yang sifatnya selalu lucu, konyol, selalu mencairkan suasana menjadi tawa.
Ternyata memiliki sifat datar dan tegas.Kini Egy yang ada dihadapannya, tidaklah sama dengan Egy yang dikenal Raizel sebelumnya.
"Huuuuuffhh ...," Egy menghela panjang nafasnya.
"Ayo masuk Rai ... udah malem, ikut gue ke kamar." Sambungnya."O-ok ...," balas Raizel tegang.
Tidak jauh dari mereka, tepatnya Di atas atap rumah Egy.
Sosok menyeramkan seorang anak perempuan, dengan rambut yang potongan acak, baju putih kusut dan kumal, kulit pucat, kantung mata yang hitam dan tubuh penuh luka itu adalah Ega.
Tengah menyaksikan Egy dan Raizel sedari awal hingga Mereka memasuki Rumah, Ega masih tetap Diam mengamati kedua Remaja itu.
Mereka kembali berjalan menyusuri tangga menuju kamar, tapi saat itu Egy sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
Padahal, biasanya Egy selalu berisik, meskipun dalam kondisi berjalan pun Ia akan tetap mengeluarkan suara, seperti menyanyi kecil atau bercerita tentang hal yang baru saja dialaminya.
Raizel memandangi pungung Egy, dirinya yang mamang, hanya menebak-nebak apakah Egy tahu atau tidak rahasia yang dijaganya dari dulu.
Sesampainya di depan pintu, Egy membuka pintu kamarnya,
Lalu ia menyuruh Raizel untuk duduk dikasurnya."Rai ... sini lo duduk."
Raizel pun duduk menuruti Egy.
"Bantu gue pasangin plester."
Egy berjalan meraih kotak P3K yang disimpan di atas lemari bajunya.Di dalam kotak itu, sudah jelas ada perlengkapan kesehatan pribadinya.
Namun Ia hanya mengambil beberapa plester untuk menutupi lukanya."Ayo bantuin pasang." Pintanya pada Raizel sembari memberikan plester yang baru saja dia ambil.
Pecahan kaca dan vas yang dibersihkannya tadi, membuat banyak sekali goresan luka di tangan Egy.
"Banyak banget goresan luka di tangan lo, Gy" tanya Raizel, sedikit linu melihatnya.
"Iya makanya bantu pasangin plesternya, cepet!" timpal Egy.
Lantas Raizel pun membantu memasangkan plester untuk menutupi luka Egy.
Egy masih berusaha menahan diri untuk tidak bertanya, tentang perkataan Raizel yang Ia dengar Di halaman belakang rumah barusan.
Tetapi, Egy yang sudah tidak tahan lagi membendung rasa keingintahuan, memutuskan tetap bertanya pada Raizel.
"Rai ...?" Panggil Egy, sembari menatap wajah Raizel.
"Hemm ...." Raizel menjawab dengan berdeham tanpa melihat pada Egy, dirinya sedang fokus menutupi luka pada tangan Egy.
"Ngomong-ngomong nyokap lo barusan telfon nanyain apa?"
Egy sengaja memancing Raizel, Ia ingin tahu bagaimana Raizel akan menjawab semua pertanyaan yang sudah dirancangnya.Dengan tangannya yang masih memasang plester di jari Egy, Raizel menjawab.
"Nanyain kenapa nggak pulang?" Dalih Raizel.Egy benar-benar gemas kepada Raizel, sungguh Egy mengakui bahwa Raizel tidak pandai berbohong.
Karena, bisa-bisanya Raizel mengatakan bertelpon dengan Ibunya, sedangkan ponselnya saja, terpampang jelas di atas meja samping kasur Egy sedari tadi.
"Terus ... kenapa baju lo kotor?" Egy sengaja menanyakan hal yang sama seperti sebelumnya.
"Gue, 'kan udah bilang ini kena tanah." Namun, jawaban Raizel juga tetap sama.
"Kenapa bisa kena tanah"? Egy terus saja memberikan pertanyaan, sampai Raizel kebingungan untuk menjelaskannya lagi.
"Tadi karena gue gabut pas telfonan, gue mainan tanah yang ada di pot gantung bunga anggrek nyokap lo" jawab Raizel searangnya.
Ketika Raizel selesai membantu Egy memasang plester. Ketika itu juga kesabaran Egy sudah habis, dia tidak bisa lagi, untuk menunda-nunda pertanyaan yang memang ingin dia tanyakan pada Raizel.
"Rai ... lo bohong kan?" tanya Egy memulai pertanyaan serius.
Kini Raizel benar-benar terperanjat oleh pertanyaan Egy yang perlahan membuktikan bahwa temannya itu tahu dirinya berbohong .
Mata Raizel, memandang nanar wajah Egy.
"Maksud lo?" Raizel berbalik mengetes pertanyaan Egy, harapnya Egy salah bertanya.
"Iya ... semua yang lo omongin ke gue semuanya bohong, 'kan?"
"Gue nggak bohong apa-apa Gy," jawab Raizel ragu.
"Rai ... gue tau lo bohong." Mantap Egy.
Membuat Raizel semakin resah, bingung bagaimana Iagi harus menjawab.
"Jawab Rai!" Tegas Egy.
"Enggak Gy ... Gue ngg- ]"
Belum selesai Raizel menjawab, dengan cepat Egy memotongnya.
"Udah gue bilang! Gue tau lo bohong Rai!! ....
Lo ke halaman belakang rumah Gue ...," Egy tidak meneruskan kata-katanya sejenak."Bukan untuk telfonan sama nyokap lo kan?" Lanjutnya."Gue beneran telfonan sam–"
"BOHONG!!" Bantah Egy dengan keras.
"Lo masih mau bilang kalo lo telfonan? Telfonan sama apa Rai? Hp siapa? Sedangkan Hp lo jelas-jelas ada di meja kamar gue! Dari tadi!" seru Egy menekan kata 'Dari Tadi'.
Sambil menunjuk ke arah meja, yang di mana, di atas meja tersebut, memang benar adanya, ponsel Raizel tergeletak di sana.
Mata Raizel terarah kepada telunjuk Egy yang menunjuk satu handphone di atas meja samping kasur, dan Benar itu memang Handphone miliknya.
'Sial' batin Raizel."Rai ... Gue udah tau, lo bohong. sebelum lo pingsan di jalan juga, gue sering liat lo bertingkah aneh seakan lo nglihat sesuatu, tapi gue nggak ada alesan kuat buat nanya ke lo kaya gini" kata Egy.
Raizel terdiam tak berkutik, hatinya sungguh bingung dan resah.
Rahasia bahwa dirinya seorang Indigo.Rahasia yang sejak lama ia tutup rapat, sudah mulai diketahui temannya."Dan ... yang ngedorong gue tadi di sini sebelumnya ... itu sebenernya bukan lo juga, 'kan?" tanya Egy semakin menyudutkan.
"Gy ... dengerin gue dulu." Sela Raizel.
"Lo yang harusnya ngedengerin gue ngomong Rai!" Tekan Egy.
Raizel terdiam, mengalah.
"Rai ... gue tanya sama lo, dan gue minta lo jujur!" Desak Egy.
"Lo ....
Indigo, 'kan?" tanya Egy dengan serius.Deg!
Benar saja, rahasianya diketahui Egy.
"Eeumb ... gue ...," jawab Raizel bingung.
"Jawab jujur Rai! ... gue pengen Lo jujur!" Egy memaksa.
"Gy ... gue nggak ma-""Nggak mau, gue ngejauhin lo?
Lo nggak mau, bikin gue takut? Lo nggak mau, gue, dan yang lain ngejauhin lo?Karena lo berbeda!?Iya ...?" Tebak Egy, dan yang semuanya memang benar.Mata Raizel sama sekali tidak bisa teralihkan oleh Egy, telinganya bersiap untuk mendengarkan kata-kata berikutnya dari mulut Egy.
"Nggak akan Rai!!" lajut Egy mantap.
"Gue dan yang lain nggak akan pernah ngajuhin lo, kita temen, dari kecil, hal kaya gini nggak akan bisa mutusin pertemanan kita" Jelas Egy meyakinkan Raizel.
Raizel tercengang mendengar perkataan Egy, hatinya yang panik. Kini sedikit tenang.
"Lo yakin?" tanya Raizel, berharap apa yang dikatakan Egy nyata.
"Gue yakin! Dan sangat yakin! yang lain juga nggak akan pernah ngejauhin lo karena hal kaya gini" ucap Egy mempertegas.
"Rai ... sampe kapanpun kita adalah teman, bahkan gue udah nganggep lo dan Vano sodara gue." aku Egy.
Raizel tersenyum mendengar semua kata-kata Egy, Ia sungguh bersyukur memiliki teman seperti Egy.
"Makasih Gy, gue sebenernya nggak mau bohongin lo dan yang lain, gue cuma nggak mau lo semua ngejauhin gue karena hal ini" ungkap Raizel.
"Bro ... lo berfikir terlalu jauh, kita nggak mungkin ngelakuin hal yang konyol kaya gitu."
Suasana yang mulanya menegangkan bagi Raizel, kini semua berakhir seperti biasa, layaknya tidak ada berdebatan sebelumnya.
Karena kejujuran itu lebih baik daripada harus terus berbohong.
Egy merasa tenang, karena dugaannya tentang Raizel yang seorang Indigo memang benar adanya, dan sebaliknya.
Raizel merasa lega, seakan beban dalam hidupnya menghilang sebagian, karena kejujuran dan respon Egy sama sekali tidak seperti yang dipikirkannya sejak dulu.
Tetapi, di dalam momen itu juga. Egy merasa harus tetap bertanya pada Raizel soal Ega.
"Rai ... gue boleh nanya satu hal lagi nggak? kalo boleh, gue pengen lo jujur lagi."
"Hemb ...." Raizel menjawab dengan berdeham, yang memberi arti iya kepada Egy.
"Apa yang lo lihat di rumah ini?" tanya Egy serius.
"Hemb ... kalo gue jujur, takut lo nggak percaya."
"Gue percaya!!" jawab Egy dengan yakin, "boleh gue nebak?"
"Hem" Lagi-lagi Raizel menjawab dengan berdeham.
"Apa ... lo ... ngelihat ... Ega?"
Raizel mengernyitkan keningnya,
Ia hanya heran kenapa tebakan Egy benar, apa Egy memang tahu tentang Ega yang sebenarnya?"Kenapa lo tau?" ungkap Raizel, yang secara langsung membenarkan tebakan Egy.
"Jadi! ... bener elo ngelihat Ega?" seru Egy.
"Iy-iyaa" jwab Raizel.
"Seriuuss!? ... Rai ...?"
Mendengar Raizel menjawab Iya, Egy yang mulanya duduk, sontak lansung berdiri. Harapan Egy untuk tahu penyebab adiknya meninggal, kini sedikit demi sedikit akan terkuak, dengan bantuan Raizel.
"Rai!" Egy mencengkram kedua lengan Raizel.
"Gy ... kenapa?" tanya Raizel heran menahan sakitnya cengkraman Egy.
"Tolong ... bantu gue, buat nyari tau kenapa Ega bisa meninggal!!" seru Egy penuh ambisi.
"Apa?! Lo bilang apa barusan?"
Kini justru permintaan Egy, tidak bisa langsung dicerna oleh otak Raizel.Soal kenangan Ega yang buruk.
Permintaan Egy untuk mencari tahu penyebab Ega meninggal.Apa maksudnya ini semua?
Memang Raizel juga menginginkan kebenaran tentang Ega, tapi Ia tidak menyangka bahwa Egy yang berperan sebagai kakak kandung Ega, tidak mengetahui dengan pasti kenapa adiknya bisa meninggal.Semua ini, benar-benar menjadi susunan puzzle bagi Raizel.5. IKUT"Gue bilang ... bantu gue nyari tau penyebab Ega meninggal!" jelas Egy."Iya! tapi ... lepasin tangan lo, gue bukan cewek!Terus, ini lengan gue sakit!" protes Raizel.Egy yang menyadari, dirinya sudah bersikap tidak wajar pada temannya, langsung melepaskan cengkramannya dari lengan Raizel saat itu juga."Oh, sorry ... maaf, gue kelepasan.""Kenapa lo minta bantuan gue buat nyari tahu penyebab Ega meninggal? Bukannya lo udah tau dari dulu?" tanya Raizel penasaran akan jawaban Egy.Egy menjelaskan pada Raizel, bahwa dirinya sama sekali tidak tahu soal penyebab adiknya meninggal yang diingat Egy adalah, saat itu ayahnya dan Ega sedang berlibur ke rumah Kakek dan Neneknya di luar kota, tepatnya di pedesaan.Lalu setelah mereka berlibur empat hari di sana, Ayahnya memberi tahu Egy dan Ibunya bahwa, Ega sakit secara tiba-tiba, tapi satu minggu kemudian ayah Egy mengabarkan Ega telah mening
Raizel hanya diam melamun, menjadi sedikit tidak fokus setelah mendengar semua jawaban temannya. Dia mengira, semua temannya akan pergi menjauh setelah tahu fakta diri Raizel yang seorang Indigo. Hingga sampai, Egy memecah lamunannya."Tapi ... perjalanan kita akan jauh, dan tempatnya di pedesaan, apa kalian yakin tetep mau ikut?" tanya Egy. Mengingat, temanya yang terbiasa hidup di kota, Egy hanya takut, mereka tidak akan betah saat tinggal di desa nanti. "Nggak masalah kalo gue, gue juga udah sering mudik ke desa, ke tempat sodara gue di kampung dan ya, gue yakin. Desa tempat Bokap lo suasana, juga keadaannya nggak akan beda jauh, dari kampung sodara gue" tutur Cindy. "Gue juga nggak masalah, gue tetep mau ikut. Mana bisa gue ngebiarin Raizel pergi jauh dan berusaha sendiri" ungkap Diva. Egy, Vano, Caca dan Cindy tercengang mendengar pernyataan Diva.Mereka dengan kompak menoleh kearah Diva, termasuk
Sosok wanita berdaster. Yang membawa kain berlumuran darah itu terus saja mendekat, Egy dan Vano tentu melangkah mundur, masih mencoba untuk menjauh darinya.Tetesan darah nampak berjatuhan seperti pakaian cuci yang belum diperas, menetes membuat jejak titik di atas jalanan aspal di setiap langkahnya.Lalu ....'Turuti permintaannya, maka aku akan melepaskanmu.'Bisikan serak dan samar, muncul begitu saja masuk ke dalam telinga Raizel.Dan sepertinya yang membisikannya itu adalah, Genderuwo yang ada di balik tubuhnya.'Jadi ... Dia minta gue menuruti keinginan, si Hantu wanita ini?' batin Raizel."Gy ... Vano ... menyingkir!" seru Raizel.Memerintahkan Egy, dan Vano untuk menghindar dari sosok wanita yang masih saja terus menghampiri.Egy dan Vano mendengarkan perkataan Raizel, mereka yang awalnya terus berjalan mundur di hadapan Raizel, kini memilih menepi ke sisi jalan.Dan. Sosok wanita itu tent
"Kakek? Kakek siapa?" tanya Raizel.Namun yang ditanya tidak menjawab, dia justru balik bertanya."Cu ... Kenapa kamu menangis?""Nggak kenapa-napa, Kek.""Kakek tau jelas, kalau kamu menangis, kenapa?""Nggak kenapa-napa, Kek. Saya hanya merasa menderita," jawab Raizel memalingkan matanya ke samping, menyembunyikan manik matanya yang menahan tangis.Lalu, kakek itu berkata."Cu ... kelebihanmu memang langka, dan kamu ditakdirkan untuk memilikinya.Jangan sesekali kamu merasa takut, karena sampai kapanpun selama kamu masih hidup. Kamu akan tetap melihat mereka."Setelah Raizel mendengarnya, matanya membulat, menatap orang tua itu tanpa kedip, pikirnya kenapa Kakek ini bisa tahu apa yang sedang dialaminya?"Kakek tau apa yang saya alami? Dan, Kakek tau dari mana?" tanya Raizel penasaran."Kakek tahu. Jadi, mulai sekarang ....Lawan rasa takutmu, biasakan dirimu untuk tidak taku
Ac yang sejuk, dan hanya mendengar suara mesin bus melaju.Raizel melirik semua temannya yang telah tidur, termasuk Vano, ia memutuskan untuk ikut terlelap juga.Nyaman, dia tertidur sangat lama.Mungkin ada beberapa jam, hingga sampai kondektur bus'pun membangunkan Egy.Tanpa disengaja, suara kondektur bus itu juga membuat Raizel terbangun."Mas ... Mas ... udah sampe" ucapnya."Udah ya, Pak?" Egy terbangun dengan lesu."Iya Mas, udah sampe" jawabnya mengulangi kata.Mereka bergegas turun dari bus, setelah berada di luar, Egy bertanya kepada kondektur tersebut."Pak, kalo mau ke alamat desa 'Bagaharuni' ini, naik bus apa lagi ya?"Ternyata desa tempat ayah Egy tinggal adalah desa Bagaharuni."Oh, kalian mau kesana?" jawab kondektur bus dengan ramah."Nanti kalian naik bus Efensi, yang warnanya kuning tapi ini baru jam 1 siang, bus itu ada sekitar jam empat sore?
Caca melirik jam pada handphonenya. Jam menunjukan pukul 15.02Tidak terasa ternyata waktu membagikan es dawet sudah memakan waktu cukup lama."Pak, ini udah jam tiga Pak, ayo kita siap- siap" ajak Caca.Sontak Raizel, Egy dan yang lainpun melirik jam yang ada di handphone mereka, ada juga yang melirik pada jam tangan. Dan memang benar sudah jam tiga lebih beberapa menit.Saleh langsung berjalan agak cepat, karena wadah dawet dan yang lainnya sudah habis, paling hanya tersisa gula dan es batu. Itu pun tinggal sedikit lagi, membuatnya lebih ringan. Memudahkan Saleh memikul wadah jualannya, sehingga Saleh bisa berjalan lebih cepat dari sebelumnya.Ternyata memang benar, kosan Saleh memang dekat dengan Masjid. Mungkin hanya butuh waktu tiga manit berjalan dari Masjid.Kosan Saleh begitu kecil, itu karena memang Saleh tinggal sendirian.Karena itu, mereka memutuskan untuk menunggu Saleh bersiap di luar ko
Raizel menatap jam yang tertera di atas wallpeper ponselnya, jamnya menunjukan pukul 19.16.Ya. Belum terlalu malam, dan harusnya jalanan masih ramai kendaraan, tapi saat ia mengintip keluar kaca. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat.Untuk memastikan dugaanya, Raizel mencoba bertanya pada Vano."Van ... ngomong-ngomong ini busnya kok kotor dan hancur banget ya?" bisiknya.Raizel sengaja mengatakan itu, ia benar-benar ingin mengetes jawaban Vano, sependapat atau tidak dengannya.Namun, jawaban Vano begitu mengejutkan Raizel."Huus! Jangan ngomong gitu Rai .... Nggak sopan, orang bus rapih kaya gini dibilang hancur" balas Vano berbisik."Apa lo bilang?" ujar Raizel tidak percaya akan apa yang didengarnya."Gue bilang, lo jangan ngomong kaya gitu. Nggak sopan, bus rapih kaya gini dibilang kotor dan hancur ... gimana sih Rai, hadeuuh?" balas Vano memperjelas.Raizel benar-benar tercengang me
Di gelapnya malam yang gulita. Raizel dan teman-temannya berjalan keluar dari rerumputan untuk menuju jalanan aspal. Saat mereka sudah sampai. Angin menyapu helaian rambut, mengusap sejuk leher dan kening mereka yang gerah, membuat panas di dalam tubuh menjadi normal kembali. Ternyata, mereka sudah sampai pada Desa Bagaharuni. Yang di mana itu adalah desa tujuan mereka sebenarnya. "Pak, ini kita masih jauh nggak?" tanya Egy sembari mengusap-ngusap celana levisnya karena kotor. "Enggak , Den. Beruntungnya kita udah sampe ... itu lihat." Saleh menujuk ke arah warung dekat lapangan. Lumayan jauh dari jarak mereka berdiri, namun karena mereka yang ada di posisi gelap, menjadi cukup jelas untuk melihat ke arah yang terang.Di sana, nampak sekali banyak pemuda-pemuda dan anak-anak tengah bermain bola di lapangan depan warung tersebut. Tidak kurang juga, ada banyak orang-orang dewasa yang nongkrong di situ untuk
2 jam lagi, acara pernikahan gue sama Cindy dimulai. Gue cuma berharap, semoga acara dan segala urusan hari ini berjalan lancar. Gue emang udah niat lama, pengen cepet-cepet nikah sama Cindy. Karena, gue nggak mau sampai harus jauh dari dia. Awal mula gue suka dia, karena dia minta ditemenin beli baju.Waktu itu, gue belum punya perasaan apa-apa sama dia.Alias masih biasa aja, dan masih nganggep Cindy itu cuma sebatas sahabat nggak lebih. Saat perjalanan pulang, gue mau anterin dia pulang. Karena udah terlalu sore, dan masa iya gue ngebiarin sahabat cewek gue pulang sendiri. Jadi, gue nawarin diri buat anter dia pulang. Namun, malah dia nggak mau gue anter. Alasannya, katanya itu nggak adil. "Gue nggak mau lo anter pulang.Itu nggak adil, masa iya gue pulang bareng elo ....Dan habis itu, lo pulang sendiri ....Mending kita pulang sendiri-sendiri aja." Dia ngomong kaya gitu, gu
Pada saat itu, gue dan Raizel, juga Vano baru aja masuk SMA.Kita masih umur 16 tahun.Kita membuat geng yang cuma 6 orang, gue, Raizel, Vano, Cindy, Caca dan Diva.Awalnya kita ngebuat geng atau persahabatan ini, karena kita sudah merasa cocok aja.Cocok dalam berbagai hal.Hingga sampai gue punya perasaan ke salah satu sahabat gue sendiri, gue bisa suka dia.Karena ... dia itu ....Susah juga gue jelasinnya.Intinya gue suka aja.Gue beraniin diri buat nembak dia jadi pacar gue, dan akhirnya gue diterima. Jadilah persahabatan kita, menjadi sebuah ikatan pacar.Tetapi meskipun begitu, kebersamaan kita masih tetap terjaga. Karena bagi kita semua, pacar bukan alasan buat ninggalin tali persahabatan, dan kenyamanan pertemanan.Banyak masalah, pengalaman dan hal yang udah gue alami selama ini. Sampe, gue harus mati-matian. Nyari tau penyebab, kenapa Ega bisa meninggal.Ega, A
Pov. Reza. Setelah acara 7 hari Ega dan Kak Ajeng. Aku masih tidak tau, siapa yang sudah membunuh Kakakku. Meskipun nanti aku tau, aku cuma ingin menanyakan alasan apa, sampai dia membunuh Kakakku?Hanya ingin bertanya saja. Jikapun dia menjawab, dan menjelaskan apa alasannya.In Sya Allah, aku bisa memaafkannya. Juga, aku baru tau. Ternyata, Kak Ajeng, dan Kak Haikal saling mencintai dulunya. Aku sudah menerima kenyataan, bahwa Kakakku pergi. Aku sudah ikhlas, karena mungkin ini takdir. Meskipun aku sangat menyayangi Kakakku. Tapi jika Allah, saja sudah merindukan dia. Aku bisa apa?selain ikhlas dan menerima. Dia adalah perempuan yang selalu menyayangiku setelah ibu meninggal. Dia adalah Kakakku yang selalu memanjakanku, menghiburku kala aku merindukan Ibu. Dan sekarang, dia juga pergi menyusul Ibu. Awalnya, aku pikir. Aku tidak akan bisa menerima kenyataan pahit ini. Tidak bi
"Uuh ... nyamannya, nggak kerasa gue udah pergi 3 minggu dari rumah ....Padahal cuma 3 minggu, tapi rasanya kaya 3 tahun.Soalnya , banyak banget pengalaman yang udah gue lalui di sana," gumam Raizel, sambil terlentang.Tiba-tiba ....Tok! Tok! Tok!Suara pintu diketuk, tentu Raizel bangun untuk membukanya,"Den ...." Ternyata itu adalah Isum.Ia berdiri dihadapan Raizel dengan keadaan yang sudah berlinangan air mata.Raizel yang melihat Isum berdiri di depan pintu kamarnya seperti itu pun tersenyum, Raizel senang bisa melihat Isum lagi."Bi?"Mareka melepas rindu, Raizel memeluk Isum dan Isum terisak di pelukan Raizel. Isum bahagia, karena Raizel sudah kembali."Den, Bibi ... kangen."****Setelah Isum pergi, ia berjalan ke arah cermin. Raizel memandangi pantulan wajahnya.Kemudian menghembuskan nafas panjang."Huuufh ... sungguh keajaiban gue bisa hidup lagi, kalo gue nggak bisa
Haikal menatap Raizel, yang berbicara tanpa menoleh kepadanya. Ia terkejut, setelah Raizel mengatakan bahwa ia tahu semua alasan mengapa ia melakukan itu."Maksud kamu?" tanya Haikal, tidak sabar mendengar jawaban dari Raizel."Iya ... harusnya, kalo lo beneran cinta sama dia ... lo ngelindungi dia, bukan malah ...." Raizel menggantungkan kata-katanya, membuat Haikal tidak tenang."Bukan malah lo nurutin keinginan Ayah sama Paman elo, yang sebenernya lo tau itu salah," lanjut Raizel masih fokus ke depan, tidak melihat ke arah Haikal yang sedari tadi. Memantapkan padangan padanya.Deg!Jantung Haikal sejenak berhenti berdetak, ternyata tebakannya benar. Raizel sudah tahu, jika dia yang telah membunuh pacarnya sendiri. Haikal menunduk, ia malu, sedih, dan menyesal.Melihat Haikal tertunduk, Raizel melirik dan kemudian menoleh padanya."Ini buat pengalaman, suatu saat nanti ... kalo lo punya seseorang di hati
🌸🌸Pov. Raizel.Ketika tubuh ini merasa lelah ...Ketika gue akan ikhlas untuk pergi, meninggalkan semuanya ....Di saat itu ....Gue pikir itu yang terbaik ....Tetapi, ternyata gue salah.Hati gue ternyata belum siap.Meninggalkan semua orang yang gue sayangi.Meninggalkan seseorang yang gue cintai.Gue bersyukur.Karena Tuhan ngasih gue satu kesempatan lagi.Ketika mata gue bisa lihat dunia lagi.Perasaan bahagia, nggak bisa gue pungkiri.Terimakasih Tuhan ....Terima kasih ....Pov selesai🌸🌸🌸🌸Mata yang terpejam.Kini kembali perlahan mengerjap lagi.Perlahan, Raizel kembali membuka matanya.Raizel terbaring, di atas rumput hijau.Beberapa tetes air mata, menetes jatuh tepat di atas pipinya.Itu adalah air mata Diva.Ia tersenyum, karena Tuhan telah memberikan satu kesempatan lagi.Saat mata Raizel
Pagi yang sejuk, mentari masih belum juga menunjukan cahayanya yang sempurna.Hanya sedikit cahaya pagi yang membuat dunia tidak terlalu gelap saat ini.Musuh telah kalah.Tujuan telah tercapai.Misi hampir selesai.Diva, Caca, Cindy, Hasna, Winda, Egy, Vano, Haikal, Andri, dan Reza juga Gunawan.Masih setia menunggu sang 'Indigo' membuka matanya.Gunawan berjalan pelan, ke arah Raizel yang masih terbaring.Mata Gunawan menatap fokus, pada tubuh remaja yang masih memakai baju pengantinGunawan sudah tau semua yang telah terjadi, termasuk tentang Raizel yang dipaksa menikah.Setelah ia sudah berdiri tepat di samping Raizel, Gunawan berlutut. Mengusap lembut pipi Raizel lalu memeluknya.Memejamkan mata, Gunawan membelai sayang kepala Raizeldan berkata."Terimakasih Raizel, udah cukup kamu tidurnya ....Ayo bangun, kita semua khawatir khawatir sama kamu."Semua pasang mata di
Tap ... Tap ... Tap ...Suara derap langkah kaki, mendekati tubuh Raizel dan Diva yang sudah tak sadarkan diri.Laki- laki itu menyeringai puas, melihat momen yang menurutnya sangat enak untuk ditonton."Hahahaha ...!" Daweh berkacak pinggang dan tertawa puas.Padahal sebentar lagi, gudang akan runtuh karena api sudah kembali membesar dan merambat ke atas atap.Tapi dia seolah tidak memerdulikannya."Ini karena kamu sudah menghancurkan segalanya ....Lebih baik, kalian mati bersama."Daweh mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya, yang memegang benda pusaka sebuah keris berwarna hitam, ukurannya juga lebih besar dari keris perak yang dipegang Raizel sebelumnya.Siap untuk menghunuskan ujung keris yang lancip pada Raizel dan Diva. Namun, saat Daweh meluncurkan ujung keris itu.Tiba-tiba saja, kilatan putih langsung menyambar tubuhnya.Braaakk!!Tubuh Daweh terpent
Di sebuah tempat, tapi tidak jauh dari lokasi rumah Daweh.Tampak dua orang sudah menyusun segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keperluan mereka.Telah disiapkan beberapa lilin siap untuk dinyalakan, yang berjejer membentuk sebuah bintang, juga ada bunga 7 rupa, kelapa muda yang sudah dibuka, jangan lupakan 2 buah foto seseorang, ditangan Hendrik."Kang ... semuanya sudah siap," kata Hendrik, selesai menyusun semuanya."Iya ... tapi anehnya, kenapa batu mawar kencana ini belum nyala juga, ya? Harusnya, 4 orang tumbal udah cukup buat batu ini menyala" 4 tumbal yang dimaksud adalah, Haikal, Hasna, Raizel dan Diva.Daweh memandangi batu akik kecil, berwarna merah mengkilat.Di dalam batu itu, terukir sebuah bentuk bunga yang persis seperti bunga mawar."Kita harusnya tinggal, menambahkan sisanya, kan? Kang? 3 orang lagi untuk menutup mantranya?" tanya Hendrik, melihat kearah Daweh yang masih menunggu batu merah