~Di balik kesalahan orang lain, ada rahasia terindah yang Allah persiapkan untuk umat-Nya berupa ikhlas~
♤♤♤
Dedaunan berguguran menunjukkan pergantian musim. Dua pria berkuda poni melintasinya ketika ia tersesat di hutan. Terlelap di bawah pohon rindang. Dengan lembut senyum menyapa, dua pria tersebut membelai hijab yang dikenakannya. Mencium hangat dahinya. Menggenggam erat tangannya. Suara lirih berhembus dalam telinganya."Nak, bangunlah. Aku menyayangimu." Suara itu terlintas mengingatkannya pada Bapak.
"Nak, bangunlah. Aku merindukanmu." Suara itu juga terlintas mengingatkannya pada Romo Kiyai.
Perlahan ia membukakan matanya. Senyum merekah ia suguhkan padanya. Dua pria tersebut merupakan sosok yang sangat berharga di matanya. Yang sama-sama mendidik. Satunya mendidik dari kecil. Satunya lagi mendidik sewaktu berada di pesantren. Siapa lagi kalau bukan Pak Mamad dan Romo Kiyai. Air mata Imaz meleleh. Mereka dengan seksama menghapusnya.
"Jangan menangis. Bapak sekarang ada disini." Kata Bapak menenangkan.
"Selama mimpimu bersajak, kami datang membawa motivasi untukmu Nak." Sambung Romo Kiyai.
"Pak, Romo, aku bukan pembunuh kan? Katakan padaku, siapa yang telah membunuh Romo?"
"Siapapun pelakunya, Allah pasti mengadili hukumannya. Jika tidak berada di dunia, mungkin di akhirat nanti." Nasihat Romo Kiyai.
"Tapi kenapa harus aku yang dituduh Romo?"
"Nak, Allah itu sayang sama orang yang sabar. Jadi, bersabarlah Allah memiliki rencana indah yang tak pernah kau bayangkan selama ini."
"Baiklah. Tapi katakan siapa yang telah membunuh Romo?" Imaz masih kekeh meminta jawaban siapa pelaku yang sebenarnya.
"Dia yang selama ini mengasihanimu dan tanpa tahu berkorban demi kamu."
"Gus Robet?" Imaz langsung bisa menebak. Namun, jawabannya tetap salah. Romo Kiyai segera menggelengkan kepalanya.
"Lalu, siapa?"
"Sampai kapanpun kau tetap tidak bisa menemukannya. Dia telah dihukum langsung oleh Allah."
"Gus Robetkan Romo. Katakan yang sebenarnya."
Mendadak mereka berdiri. Mengembangkan senyumannya kemudian melambaikan tangannya.
"Nak, kau nikmati saja apa yang Allah berikan padamu." Pesan terakhir dari Bapak.
"Yakinlah. Cobaan besar yang Allah berikan pada umat-Nya, semata-mata karena memiliki rasa cinta yang besar." Dilanjut pesan terakhir dari Romo Kiyai. Mereka saling membalikkan badan. Sinar cahaya datang menyambut kepergian mereka. Membawanya meninggalkan kenangan yang dalam baginya. Mereka hilang begitu saja. Imaz sontak menangis histeris. Dada rasanya sesak harus menerima semua orang menganggapnya seorang Narapidana.
Keringat menderas di wajah Imaz. Berteriak memanggil Bapak dan Romo Kiyai berkali-kali. Hingga sampai di ujung, Imaz terkesiap bangun. Itu semua hanyalah mimpi. Mimpi yang seakan-akan kenyataan. Mendengar teriakan darinya, pihak kepolisian membawakan air putih untuknya. Imaz langsung menenggaknya habis.
"Apa keluhanmu saudari Imaz?" Pihak kepolisian bertanya siap melayani para tahanan dengan baik.
"Saya bermimpi bertemu Bapak dan Romo. Mereka mengatakan pelaku pembunuhan Romo sudah dihukum. Apa Pak polisi tahu, siapa?"
"Sudahlah saudari Imaz. Jangan panik sampai terbawa mimpi. Berdoa saja semoga persidangan besok berjalan dengan lancar."
Pak polisi itu kembali ke ruang pribadinya. Imaz melirik jam dinding yang melekat di sel tahanan menunjukkan pukul tiga malam. Sepertiga malam menyambut kedatangannya. Mungkin benar apa yang dikatakan pak polisi itu. Mimpinya hanya sebuah ilusi karena memiliki rasa kecemasan yang hebat. Dan memberi petunjuk dengan membangunkannya agar ia segera melaksanakan salat tahajud. Maka, ia menuruti perintahnya. Segera berwudhu dan melampirkan sajadah menghadap kiblat.
Sedikit ia tersenyum saat mengingat pertama kali bertemu dengan Robet. Tanpa sengaja menjadi makmum sepertiga malamnya. Kemudian Allah mengesahkan cinta mereka menjadi pasangan hidupnya. Ketauhidan Romo memang mendalam. Setiap kejadian beliau tidak melihat dari sudut pandang siapa yang melakukannya tetapi apa tujuan sang pencipta menciptakan kejadian tersebut.
Usai empat rakaat dijalankan, Imaz menengadahkan kedua tangannya. Berdoa dalam hati untuk tetap tegar menghadapi semua masalah. Jika apa yang dikatakan mereka benar, tiada salahnya menerima kenyataan ini. Jika salah, bermurah hati ia bersyukur dengan keadaan ini.
"Imaz, aku yakin kau tidak bersalah." Sahut Tuan Darwin yang sedari tadi melihatnya salat tahajud. Dengan masih memakai mukenah, ia menghampirinya.
"Tuan, aku minta maaf selama ini selalu menganggap Tuan selalu jahat." Ucap Imaz terbata-bata hendak meraih tangannya. Tuan Darwin melihat semuanya. Berbesar hati, ia menerima genggaman tangannya dengan hangat.
"Itu sudah menjadi hukumanku yang selama ini selalu menjahatimu."
"Tapi Tuan, bukan berarti aku menerima kau sebagai Ayahku. Aku tetap tidak bisa."
"Iya aku tahu kau memang sangat menyayangi Ayahmu. Sampai kapanpun kau tidak bisa menggantikan Ayahmu."
Mereka saling tersenyum. Meskipun satu pihak belum menerima cintanya. Tapi ia tetap bangga pada akhirnya Tuah Darwin sanggup menjadi orang yang lebih baik setelah lama melakukan dosa dengan memiliki perusahaan ilegalnya.
***
Hari sudah tiba. Persidangan akan dimulai tinggal beberapa menit lagi. Imaz datang dengan dikawal dua pihak kepolisian melintasi para undangan yang duduk di kursi yang telah disediakan. Sementara Imaz duduk tepat di depan ketua hakim. Sisi kanan disediakan tempat duduk untuk saksi terdakwa. Sisi kirinya untuk pembela yang tak lain tak bukan mereka adalah kesembilan putri Romo Kiyai. Dan tempat duduk disampingnya dikhususkan untuk pendakwa. Siapa lagi, dia adalah Robet. Entah ia datang atau tidak.Ningrum dan Yati yang duduk di kursi undangan berkali-kali menyebut asma Allah demi kelancaran persidangan ini.
"Dari pembela, apakah saksi terdakwa sanggup datang ke persidangan?" Ketua hakim bertanya.
"Sanggup, Pak." Ning Fiyyah menjawab dengan yakin.
"Kalau sampai saksi terdakwa tidak datang, kami pihak pengadilan tidak bisa melanjutkan persidangan tanpa keterangan saksi terdakwa."
"Baik, Pak."
Ning Fiyyah jadi ikut cemas. Ia mencoba beberapa kali menghubungi nomor saksi terdakwa namun tak kunjung dibalas dan tak kunjung diangkat. Ia selalu berpikir positif kalau mereka sekarang sedang dalam perjalanan menuju persidangan.
Di kursi tamu, Ningrum dan Yati menghebatkan doa dalam hatinya.
Berpikir positifnya Ning Fiyyah membuahkan hasil. Mereka datang. Arman, Irma, Tuan Darwin, Wafi, Rasya dan Saga sebagai saksi terdakwa. Mereka mengucapkan maaf atas keterlambatannya. Pihak pengadilan menerima maafnya dan mempersilahkan mereka duduk di kursi saksi terdakwa karena minimnya waktu.
"Baik, siapa lagi yang belum datang?"
Imaz menatap kursi pendakwa lalu menatap Ning Fiyyah. Ia mengerti arti tatapan itu. Dengan berat hati, Ning Fiyyah menggelengkan kepala. Mata Imaz berkaca-kaca. Tak sanggup melihat ketidakpedulian Robet. Dalam situasi ini, mengingatkannya pada empat bulan yang lalu, di hari pernikahan, ia menghilang tak bisa bersanding di pelaminan. Dan sekarang di hari persidangan, di masa-masa sulitnya, ia juga menghilang bukan tak bisa tetapi tak mau.
"Dari pihak pembela, apakah si pendakwa sanggup datang ke persidangan?"
Ning Fiyyah dengan mantap menggelengkan kepalanya. Apa pedulinya Robet jika dihubungi, nomor sudah tidak aktif. Rumah dikunjungi ternyata sudah disewa. Sebegitu bencinya kah kau terhadap istrimu? Padahal dia adalah istri pilihan Romo Kiyai.
"Baiklah. Kita mulai persidangan hari ini." Ketua hakim mengetuk palu sebagai tanda persidangan dimulai. Para undangan memasang wajah serius.
"Dari hasil laporan saudara Robet, dia menemukan bukti kertas bertuliskan Imaz di lokasi kejadian. Apa betul itu saksi terdakwa?"
Irma berdiri angkat bicara. Namun, sebelum dimintai keterangan, ia wajib bersumpah di bawah Alquran bahwa apa yang dikatakannya itu adalah benar. Irma pun mengatakannya dan pihak kepolisian menurunkan Alqurannya.
"Baiklah. Saya tidak tahu pasti kejadiannya seperti apa. Yang saya tahu Robet menemukan bukti itu. Karena pada saat itu, saya tidak berada di lokasi kejadian."
"Dimana Anda pada saat itu?"
"Saya berada di kamar."
"Bagaimana dengan saudara Arman?"
Seperti yang dilakukan Irma, Arman mengucapkan sumpah di bawah Alquran lantas bisa memberinya keterangan.
"Baiklah. Pada saat kejadian pembunuhan, saya sama sekali tidak berada di lokasi kejadian. Justru pada saat itu, saya menculik Imaz agar saya bisa mencuri harta waris Romo Kiyai. Tapi kenyataannya, dia melarikan diri bersama pelayan saya."
"Lalu, apa yang kau lakukan setelah itu?"
"Saya terus mencari keberadaannya."
"Dalam hasil laporan, saudara Robet juga menuliskan kalau Anda juga pernah menyerang terdakwa pukul 12 malam di Taman Santri. Apa betul itu?"
"Iya Pak."
"Apa tujuan Anda menyerang terdakwa?"
"Karena dia ikut campur urusan saya dengan Irma."
"Coba ceritakan kronologis kejadian penyerangan terhadap terdakwa pukul 12 malam di Taman Santri."
"Saat itu,"
Arman menceritakan kronologisnya. Memang setiap pukul 12 malam, Arman sering mengunjungi Irma karena mereka memiliki hubungan sebagai pacar. Cinta mereka sama-sama tidak direstui orang tua masing-masing. Mereka membulatkan tekad untuk kawin lari dengan cara membawa Irma pergi dari pesantren. Irma kekeh ingin segera kabur tapi Arman mencoba untuk bersabar. Sebelum melarikan diri, ia mempunyai rencana membawa pergi harta waris Romo Kiyai sebagai modal pernikahan mereka dengan cara Irma mengaku istrinya Robet. Setelah itu, Imaz datang membela Romo Kiyai dan akhirnya Arman menyerangnya.
"Jadi, pada saat itu saya di luar kendali."
"Lalu, setelah itu, Anda membawanya kabur?"
"Tidak. Saya langsung lari keluar dari belakang Taman Santri. Setelah itu, saya tidak tahu bagaimana kejadian selanjutnya."
"Bagaimana dengan saudara Rasya sebagai sahabat karib saudara Robet?"
"Baiklah. Apa yang dikatakan Arman benar. Dia melarikan diri tidak membawa kabur Imaz. Tapi, saya, Saga dan Wafi yang membawa kabur setelah Imaz diperiksa di rumah sakit pesantren."
"Untuk apa Anda membawa kabur Imaz?"
"Untuk mengambil mesin suara yang terdapat di dalam otaknya."
Ketua hakim mengambil bukti mesin suara yang disimpan di laci meja hakimnya. Dia menunjukkan pada seisi ruangan.
"Apa betul ini mesinnya?" Lanjutnya berkata.
"Benar Pak."
"Pada hasil laporan, mesin ini dibuat oleh penjahat kriminal yang bernama Darwin Van Houten. Apa betul itu saudara Darwin?" Ketua hakim melempar pertanyaan pada Tuan Darwin. Ia berdiri dan langsung menganggukkan kepala.
"Apa tujuan Anda membuat mesin berbahaya seperti ini?"
"Saya memang memiliki perusahaan ilegal yang mengubah wanita menjadi lelaki atau patung museum. Saya hampir menjadikan Imaz seperti itu hingga saya membisukannya. Saya urung melakukan tindakan itu karena keponakan saya mencintainya. Akhirnya saya membuat mesin itu untuk membuat Imaz bisa bicara dan kesempatan saya untuk memberinya misi meruntuhkan serta membunuh Romo Kiyai."
"Itu semua karena dendam saya pada Romo Kiyai, kakak tiri saya sendiri. Dia yang selalu dibangga-banggakan Ibu selama ini. Kakak saya yang pintar, punya pekerjaan tetap apalagi memiliki pesantren sendiri. Daripada saya yang pengangguran tak bisa apa-apa."
Mendengar pernyataan Anaknya, Yati menitikkan air mata. Rasanya sesak membiarkan anak yang tak berdosa menjadi penjahat. Anak bukanlah korban hancurnya rumah tangga. Justru anak harus tetap mendapatkan peran seorang Ibu. Yati baru menyadari itu.
"Apakah Anda tahu saat kejadian pembunuhan itu?"
"Saya tidak tahu. Bahkan, setelah mesin itu berhasil diambil, saya tidak bisa menjalankan kinerja mesinnya."
"Dari jawaban para saksi terdakwa, yang mendekati pelaku adalah Arman. Saya curiga. Apa tujuan Anda menculik Imaz?"
Ning Fiyyah menatapnya licik. Dari awal, ia memang mencurigai Arman.
"Bukankah suatu kebetulan, pada saat pembunuhan terjadi, saat itu juga terdakwa tidak di lokasi kejadian." Ketua hakim menegaskan, "Anda malah menculik terdakwa. Kenapa? Apa karena terdakwa yang selama ini dekat dengan korban?"
"Memang pada saat itu saya tidak berada di lokasi kejadian. Kalau Anda tidak percaya, langsung tanyakan pada Irma. Karena saat pembunuhan terjadi, Irma malah menelpon saya."
"Apa benar yang dikatakan saudara Arman?" Ketua hakim meyakinkan Irma.
"Benar pak. Awalnya saya memang mencurigai Arman. Tapi dia malah sibuk mengurusi Imaz."
"Kalau benar Anda tidak berada di lokasi kejadian, Anda belum menjawab apa tujuan Anda menculik terdakwa?"
"Tujuan saya karena saya mencintai Ning Fiyyah."
Ning Fiyyah serta seisi ruangan dibuat terkejut. Ia langsung berdiri untuk membela.
"Tidak masuk akal Pak. Waktu saya interogasi di kafe, dia bilang bukan itu alasannya."
"Cinta tidak butuh alasan, Ning. Kau bertanya soal alasan bukan perasaan."
Ning Fiyyah membuang muka tak percaya.
"Apa aku akan percaya padamu?"
"Bukankah kau pernah mencintai?"
"Siapa? Kamu?"
"Bukan. Tapi Robet."
Imaz tersentak. Hatinya perih mendengar itu semua. Sahabat yang selama ini berkorban demi cinta mereka karena memiliki alasan cinta. Siapa yang akan dipertaruhkan, sahabat atau cinta?
"Tidak Imaz. Aku tidak cinta sama Robet. Percayalah." Ning Fiyyah langsung bisa menebak ekspresi Imaz.
"Cukup...!!" Ketua Hakim mengetuk palu menenangkan. Seisi ruangan lantas diam.
"Dalam persidangan memilki peraturan. Tolong dibaca sebelum masuk pintu. Tidak diperkenankan mengemukakan pendapat sebelum Hakim yang memerintah. Dari sini paham?"
"Paham..." jawab serentak.
"Saya lanjutkan. Jika saudara Arman menjawab seperti itu, tolong hargai untuk mendengarkan keterangannya. Disini diwajibkan menghargai pendapat orang lain."
Seisi ruangan terkesiap diam.
"Lanjutkan, saudara Arman."
"Baiklah. Itulah tujuan saya menculik Imaz. Karena saya tau Imaz adalah sosok yang berharga di mata Ning Fiyyah. Maka dari itu, saya menjadikan Imaz alibi saya agar Ning Fiyyah mau mendatangi saya. Alhasil, Imaz berhasil melarikan diri bersama Eko."
"Eko? Siapa dia?"
"Dia pelayan saya agar Imaz tetap diberi makan meski saya telah menculiknya."
"Apa saudara Eko hadir hari ini?"
"Tidak. Karena saya dan Eko sudah tidak terikat kontrak."
"Kontrak apa?"
"Kontrak sebagai pelayan korban saya."
"Baiklah, dari semua keterangan, mereka sudah menjelaskan kronologisnya. Kesimpulannya, mereka memang terkait pembunuhan tetapi tidak sampai membunuh. Ada alasan lain yang kebetulan disaat kejadian pembunuhan."
"Bagaimana terdakwa tentang pengakuan mereka?" Giliran Imaz yang dimintai keterangan, tangannya gemetar. Yati menggenggam erat tangan Ningrum menguatkan.
"Sekali lagi saya bilang bukan saya pelakunya. Saya ini korban pak. Korban Tuan Darwin, korban Arman, juga korban tuduhan pelaku pembunuh Romo Kiyai."
"Dari hasil laporan, saudara Robet menyelidiki dengan cara melakukan sidik jari berupa gelas yang pernah kau minum, itu hasilnya sama dengan si pelaku."
Imaz terpekur. Mengingatkannya pada saat Robet mengajaknya ke balkon. Merayakan ulang tahunnya. Itu semua ternyata sandiwara demi mendapatkan sidik jari. Bukti kepercayaan apalagi agar bisa membuatnya percaya?
"Apa betul Anda yang telah membunuh korban?"
"Bukan saya pak pelakunya. Saya tidak tahu apa-apa. Arman sudah menjelaskan kan, kalau dia yang menculik saya. Bagaimana saya bisa membunuh korban?"
"Ada bukti lagi yang membuat Anda supaya mengaku."
Imaz menekuk alis penasaran.
"Putar videonya." Perintah ketua hakim kepada asistennya. Vidio terputar. Menayangkan secara detail bagaimana si pelaku membunuh korban. Saat penusukan, hoodienya terbuka.
"Zoom saat penusukan."
Asisten Hakim menzoom saat penusukan. Hoodie terbuka. Semua telah jelas. Wajah itu milik Imaz. Seisi ruangan terkejut bukan kepalang. Hingga Ningrum tak sadarkan diri.
"Bu, bangun bu..." teriak para undangan panik. Pihak kepolisian segera melakukan tindakan. Salah satu dari pihak kepolisian menelpon ambulans. Dalam beberapa menit, ambulan cepat datang. Membawanya ke rumah sakit.
Imaz menangis histeris melihat situasi keruh seperti ini."Semua harap tenang. Kami pihak polisi segera memberinya tindakan." Ketua Hakim menenangkan.
"Selamatkan ibu pak." Imaz memohon.
"Iya, dia pasti baik-baik saja."
Imaz mencoba menatap Ning Fiyyah. Ia juga menatapnya. Air matanya berkaca-kaca. Imaz menggeleng-gelengkan kepalanya untuk tidak mempercayai vidio itu. Namun, Ning Fiyyah diam membeku.
"Tenang saudari Imaz. Masih banyak pertanyaan terkait pembunuhan ini sesuai dengan laporan."
Imaz menghembuskan napas. Mengusap air mataya.
"Sudah tenang?"
Imaz hanya mengangguk.
"Dari vidio tersebut, saat penusukan, wajah yang terlihat adalah wajahmu. Jika memang bukan Anda pelakunya, Anda dimana saat kejadian pembunuhan?"
"Saya diculik Arman pak. Arman tadi sudah menjelaskannya."
"Benar itu Arman?" Pertanyaan dilemparkan pada Arman.
"Memang benar Imaz saya culik. Tapi, sebelum kejadian pembunuhan saya tidak mengawasimu. Apa kau masih disana Imaz?"
"Aku masih disana."
"Dengan Eko?"
"Iya."
"Lalu, saat kau kabur, kemana selama ini?"
"Di panti asuhan."
"Coba jelaskan kronologis kejadiannya saat aku menculikmu sampai kau bisa kabur."
"Saat itu..."
Imaz menceritakan kejadiannya. Setelah Arman berhasil menculiknya, ia memang tetap memberi pelayanan baik kepadanya. Memberinya makan tiga kali sehari dengan menyewa Eko sebagai pelayannya. Eko bercerita padanya bahwa ia terpaksa bekerja sama dengan Arman karena krisis ekonomi. Imaz memberinya nasihat agar tidak terjun dalam pekerjaan haram itu. Ia bahkan memohon pada Eko agar bisa keluar dari sini. Eko tidak menyetujui. Ia memilih tetap meneruskan pekerjaannya.
Hingga pada suatu malam, mendadak kepala Imaz pusing. Ia terbayang-bayang wajah Romo yang berlumuran darah. Penusukan yang menyakitkan. Ia lelap begitu saja.
Keesokan harinya, ia terkejut tangan dan kakinya masih dirantai di kursi. Padahal kemarin ia masih sanggup berjalan meski akhirnya pingsan. Pagi-pagi, ia sudah diberi sarapan Eko. Dan tiba-tiba ia mengatakan menyetujui melarikan diri dari sini. Bahkan, ia sudah memiliki rencana dan langsung membisikkannya padanya.
Rencana berjalan dengan lancar. Menghipnotis para Bodyguard jika ada penyusup yang hendak mengambil Imaz. Dengan berpura-pura pelipis berdarah, mereka langsung percaya. Mereka langsung mengabarkan ini pada Arman.
Rencana kedua mereka berhasil melarikan diri dengan cara nekad. Ya. Eko menyerang mereka secara tiba-tiba. Membawa kabur Imaz saat Arman serius menelpon Irma yang mengabarkan kejadian pembunuhan Romo Kiyai.
Saat-saat itulah Imaz tinggal sementara di panti asuhan dekat hotel milik Robet. Membimbing anak panti. Menyamar menjadi wanita bercadar.
"Lalu, kenapa Anda bisa bersama saudara Robet ?"
"Dia yang mengajak saya ke pesantren untuk merayakan hari ulang tahun saya. Tapi ternyata dia hanya bersandiwara untuk membuktikan siapa pelaku yang sebenarnya."
"Mohon maaf saudari Imaz. Bukti sudah terkumpul dan menguatkan semuanya. Kami pihak pengadilan hanya bisa menerima laporan serta bukti dari pendakwa."
"Maka, dengan ini...terdakwa I'timadus salik dinyatakan sebagai pelaku pembunuhan Romo Kiyai dengan hukuman empat tahun penjara."
Ketua hakim mengetuk palu tiga kali menandakan Imaz resmi sebagai narapidana. Para pengadilan meninggalkan kursi kehormatan mereka. Imaz hanya bisa menangis menerima keputusan hakim. Apa ini yang dikatakan Bapak dan Romo Kiyai lewat mimpi tadi malam? Ia harus ikhlas menerima keputusannya. Yang menjadi tanda tanya, siapa pelaku yang sebenarnya?
Ning Fiyyah turun dari podium pembela terdakwa. Menghampiri Imaz yang tak henti-hentinya menangis.
"Imaz, vidio tadi bukan kamu kan?" Ning Fiyyah meyakinkan sebab ia masih tak percaya dengan vidio tersebut.
"Bukan aku pembunuhnya Ning. Aku tidak pernah melakukan itu."
"Tapi kenapa vidio itu wajahmu Imaz?"
"Aku tidak tahu Ning. Kau percaya sama aku kan Ning?" Imaz meraih tangan Ning Fiyyah memohon.
"Aku selalu percaya. Karena Ayah begitu menyayangimu. Aku janji," tangan Ning Fiyyah menggenggam erat tangan Imaz. Menguatkan hatinya.
"Akan menemukan bukti lagi." Lanjutnya mengembangkan senyumannya sebagai simbol kepercayaan dan kepeduliannya selama ini.
"Bukti apa lagi?" Ning Shita heran.
"Tentang keberadaan Pak Eko. Kalian merasa janggal tidak, kenapa mendadak Pak Eko menyetujui Imaz melarikan diri setelah kejadian pembunuhan Ayah."
"Aku juga merasa seperti itu."
"Iya juga sih." Ning Shita baru sadar.
Imaz tak habis pikir di masa sulitnya, kesembilan putri Romo Kiyai bersedia membelanya di hadapan Hakim. Maka, dengan penghormatan, Imaz bertekuk lutut di hadapan mereka. Mereka tertegun melihatnya.
"Terima kasih kalian sudah berusaha mencari bukti. Maaf jika selama ini aku selalu merepotkan kalian. Maka, sebagai rasa bersalahku, kalian berhenti saja membelaku. Aku mohon..." sambil menundukkan kepala.
Ning Fiyyah membangunkannya. Tak menerima sahabatnya sendiri memohon sampai bertekuk lutut seperti ini.
"Kau tidak merepotkan kami. Justru, itu kewajiban kami karena kau sudah kami anggap keluarga sendiri."
"Apa kau mau menuruti permintaanku?"
"Apapun itu."
"Tolong jaga ibu sama Gus Robet." Imaz menangis terisak-isak. Ning Fiyyah mengangguk dan langsung memeluk hangat Imaz.
Hati Imaz memang tak bisa membohongi bahwa ia masih mencintai Robet. Ketidakpeduliannya menunjukkan kalau Robet memberi ruang untuk berjuang. Bukan berjuang mengakhiri hubungan mereka melainkan titik awal misi Imaz menemukan cintanya. Dimanapun dan kapanpun, Imaz selalu mendoakan agar setelah empat tahun kemudian ia kembali membawa misi cinta.
Gus, aku merindu. Aku mencintaimu.
***
~Dijalani sebelum diresapi. Disyukuri sebelum dijatuhi. Dinikmati sebelum diperdayai. Itulah upaya untuk menerima kenyataan ini~ ♤♤♤ Terlanjur tumbang melihat orang yang disayangi jatuh dalam lembah fitnah. Terlanjur anggun jejak kebenaran merayap pada orang yang salah. Ungkapan perasaan Ningrum setelah beberapa saat tak menikmati dunia. Seorang Ibu mana yang sanggup melihat anak semata wayangnya menjalani hari-harinya di penjara tanpa keadilan. Hari-hari ia selalu memikirkan keadaan Imaz. Apa yang dia makan? Apa dia nyaman? Bagaimana teman-temannya? Ia terpuruk dalam tangisannya. "Bu, ayo makan. Biar ibu cepat sembuh." Bujuk Ning Fiyyah mengunjungi Ningrum pagi-pagi sekali bersama kakak-kakaknya. Tak lupa juga membawa Gus Farhan sebagai pawang mereka. Ia berusaha menyuapi Ningrum. Jawabannya hanya menangis sambil berkali-kali memanggil nama I
~Menata hati dalam mencari jati diri. Menyusun mimpi menuju pencapaian sejati~ ♤♤♤Pagi itu para sel tahanan rebutan mengambil sarapan. Saling berteriak meminta makanan. Mendorong sana-sini karena ambisinya mendapat makanan. Suasana seperti ini mengingatkannya saat di pesantren. Semuanya serba antri. Kebersamaannyalah yang membuat ia dirundung rasa rindu. Giliran Imaz bergerak maju, salah satu dari mereka mendorong Imaz sampai jatuh. Jesselyn yang santai tidak terburu-buru mengambil makanan, bergerak membelanya. "Apa begini cara kalian mengantri makanan?" Ketus Jesselyn. Ia memang sangat pemberani. Jesselyn membantu membangunkan Imaz. Mereka mundur memberi ruang untuk mengeluarkan Imaz dari kerumunan. "Eh, Jes. Untuk apa kau membela wanita itu, tidak ada gunanya." Jawabnya meledek. Sebut saja namanya Poppy. Ia ketua gen
~Bertambahnya kawan menghapus lawan. Bertambahnya doa menyimpan pahala. Bagaimana dengan kehilangan cinta menyambut benci?~ ***Empat tahun sudah ia lalui tanpa merasa beban. Sebagai terdakwa kasus pembunuhan Romo Kiyai tak memungkiri ia tetap ziarah ke makam beliau. Bersama dengan Jesselyn, Imaz sengaja mengajak ke pesantren untuk memberikannya tempat tinggal. Tampilan Jesselyn lebih tertutup dibanding saat di penjara. Itu semua berkat Imaz yang membimbingnya pelan-pelan ke jalan yang lebih terang. Dibilang susah, iya. Karena Jesselyn belum terbiasa memakai hijab dengan dress panjang. Saat bebas dari penjara kurang dua tahun lagi, Imaz berkali-kali meminta Ningrum berkunjung untuk membawakan semua pakaiannya yang masih ada di pesantren. Tapi yang dibawa bukan hanya pakaian Imaz bahkan kesembilan putri Romo Kiyai menyisihkan pa
~Telah lama rindu itu merajalela. Namun Allah memberikannya tanpa ia pinta. Inikah pertemuan terbaik yang tak pernah ia bayangkan selama ini~ ♤♤♤Selamat sampai tujuan, Ibu Lily tersadar anaknya tidak ada semalaman. Ia panik. Mencoba menanyakan keberadaan Lily pada seisi penumpang jawabannya nihil. Ayahnya menenangkan kepanikannya. "Tenang Ma. Pasti Lily bisa ditemukan." Kata Ayah membelai punggungnya berusaha menenangkan. "Padahal kemarin aku sangat senang bisa ngobrol sama Lily. Berharap ia tidak diam saja dan mau bercanda." Nenek yang pernah mengajak Lily mengobrol ikut sedih dan menyesal tidak bisa menjaganya. "Nenek tidak tahu, apa yang terjadi dengan Lily." "Memangnya kenapa?" Nenek penasaran. "Dia bisu Nek. Percuma saja Nenek mengajaknya mengobrol." Nenek itu kaget. Pantas saja dia banyak diam ke
~Sudah lama doaku sematkan. Tanpa berharap lebih Allah mempertemukan kita melintasi jalan yang tak terduga~ ♤♤♤ R sangat menyayangi Lily seperti anaknya sendiri. Sampai-sampai ia belanja untuk sarapan hari ini. Permasalahannya, ia belum lihai memasak. Demi kesembuhan Lily, ia melihat tutorial memasak di Youtube. Ia berupaya memasak makanan yang paling enak. Dengan menenteng belanjaan, R masuk rumah. Mengucapkan salam tak ada jawaban. Ia berniat melihat keadaan Lily, rupanya masih tertidur. Ini menjadi kesempatan R memasak dengan sepenuh hati. Berlandaskan kepercayaan diri. Terbentuklah keberhasilan yang hakiki. R pun menyiapkan penggorengan di atas kompor. Menuangkan minyak. Menu yang ia racik pagi ini adalah Sup Kimlo Bakso. Ada yang tahu? Sup Kimlo Bakso adalah makanan khas Tiong Hoa China. Jadi, R tidak sembarangan memasak. Ia berharap makan
~ Ku pikir kau akan sadar harapan yang selalu ku langitkan agar kita bisa bertemu. Namun, apalah daya kau terlanjur membenciku~ ♤♤♤Rasa yang telah lama terpendam, terkubur dalam doa setiap sepertiga malamnya, dibangkitkan atas pertemuan mereka kembali yang tak terduga seperti ini. Kenikmatan mana yang engkau dustakan?Imaz mendekat. Menatap lekat wajah yang ia rindukan."Gus, kau?""Aku datang kesini bukan ingin bertemu denganmu. Tapi, Lily yang ingin bertemu denganmu." Ketus Robet. Imaz menoleh pada Lily yang berdiri di belakangnya. Lily memberikannya bakpao."Selama ini, Gus Robet yang merawatmu Lily. Iya?"Lily mengangguk. Imaz menitikkan air mata sembari menerima bakpaonya. Berbeda halnya dengan Ning Fiyyah, Ningrum, dan Yati. Mereka menatap Robet penuh kebencian."Hanya itu?" Celetuk Ning Fiyyah membalas perka
~Awal perpisahan adalah pertemuan. Awal pertemuan adalah perpisahan. Mereka sama-sama menjatuhkan air mata~ ♤♤♤"Ibu Imaz, kunjungan telah selesai. Dimohon segera masuk ke sel tahanan lagi." Seru petugas penjaga sel tahanan menginformasikan. Sekitar sepuluh menit, Imaz sudah bangga mereka merayakan ulang tahunnya dan membuat kue sebegitu enaknya. Sebelum mereka pergi, Imaz memberikan perpisahan berupa pelukan.Imaz terpaksa melepaskan pelukannya saat Petugas polisi mendesaknya segera masuk ke sel tahanan. Mengiringi kepergiannya sambil membawa sisa kue ulang tahun, mereka menatap punggung Imaz sedih sekaligus bahagia karena sebentar lagi, Imaz akan dibebaskan dari penjara.Masuk sel tahanan, para sel melihat Imaz nanar membawa kue ulang tahun. Jesselyn langsung mendekatinya."Wah, kau ulang tahun Maz?"Imaz mengan
~Bukan Ya masalah bagaimana cara menyesalaikannya, tetapi Ya Allah bagaimana cara menyelesaikan masalah. Setiap masalah yang dialami pasti akan indah pada waktunya~ ♤♤♤Fajar telah merona di pelukan langit. Ning Fiyyah, Ningrum, dan Yati mengawali sarapannya. Mereka buru-buru ke kantor polisi untuk menghadiri persidangan Imaz. Ning Dija yang baru menanak nasi, segera memberitahu jika persidangan dibatalkan dikarenakan tersangka kabur dari rumah. Mereka mengucap syukur dalam hati akhirnya tanpa ribet, Imaz dibebaskan dari penjara. "Jadi begitu," kata Ning Dija. "Ya sudah. Kita langsung saja jemput Imaz," seru Ningrum tidak sabaran. "Kalian sarapan terlebih dahulu." "Kau saja yang makan. Kita makan di jalan saja sama Imaz." "Ya sudah. Kalian
~Kau pernah menjadi raja di hatiku, ketika rindu itu menggebu. Namun, justru Allah menjadikan aku permaisurimu ketika cinta itu bertemu~ ***Pesawat jatuh terseret arus banjir di kawasan Var. Tim sar segera mengerahkan tenaganya untuk mengevakuasi korban penumpang yang ada di pesawat. Terdapat 12 yang tewas. Mereka membawa 12 mayat ke rumah sakit untuk dimandikan. Sementara yang lain denyut nadinya masih berdetak.Berita bencana badai besar di perancis sudah disiarkan diberbagai media. Berita itu terdengar juga di telinga keluarga Hilda, Robet dan Ning Fiyyah. "Ya Allah, bagaimana keadaan Hilda?" Kiyai Usman sungguh cemas. Abah Hilda sudah makin keriput. Hanya bisa duduk di kursi roda. Ditemani istrinya yang juga sudah beruban. "Semoga Hilda bisa diselamatkan yah," Umik menenangkan. Sampai di rumah sakit, 12 yang tewas dibawa ke kamar mayat. Petugas polisi menyelidik atas nama siapa
~Jika aku bukan jalanmu. Ku berhenti mengharapkanmu. Jika aku memang tercipta untukmu. Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu~ ***Demi menyenangkan istri tercinta, akhirnya Robet mengajaknya bulan madu di luar negeri. Tepatnya di perancis. Sebelum berangkat, Hilda menyerahkan beberapa wisata yang ingin ia kunjungi, diantaranya; menara eiffel, sungai seine, jembatan gembok cinta atau pont des arts, dinding cinta atau Le Mur des Je T’aime, mobil 2cv, musium louvre, dan Jardin du Luxemburg atau taman bunga. "Ngidamnya banyak amat," goda Robet sambil mengendarai mobil menuju bandara. Sebelumnya mereka sudah berpamitan pada orang tua. Mereka mendoakan semoga Robet dan Hilda berhasil beribadah dengan penuh cinta di malam jum'at. Mereka saling tersipu. Jantung berdetak sudah tak menentu membayangkan akan beribadah penuh cinta di malam hari. "Memang itu yang aku idamkan, sayang," kata Hilda sambil
~Kecupan punggung tanganmu. Kecupan bibirku di dahimu. Belaian tanganmu mencuci kakiku. Tatapan matamu menyibak arti kecantikanmu. Dengan besanding bersamamu di pelaminan, inilah tahap awal belajar untuk mencintaimu~ ***Selesai prosesi pernikahan, para tamu dipersilakan makan hidangan yang tersedia di kursi tamu undangan. Para tamu undangan memakannya dengan lahap. Tambah nikmat dengan diiringi sholawat banjari. Sementara mempelai putra dan putri duduk saling diam di pelaminan. "Aku memang seperti ini orangnya," kata Robet memulai perbincangan pada Hilda karena sedari tadi saling diam membisu. "Iya Gus. Aku tahu mungkin kau butuh waktu menerima pernikahan ini." Hilda memaklumi. Usai mereka menikmati hidangan makanannya, para tamu undangan dipersilakan sesi foto. Foto bersama teman-teman, kerabat dan yang paling utama adalah kedua keluarga mempelai. Selesai sesi foto, kedua m
~بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ"Barakallahu laka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair""Semoga Allah memberi barakah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dlm kebaikan." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)~***Robet merasa ada yang mereka sembunyikan. "Bu, ayah kemana? Kok aku sama sekali tidak mendengar suaranya?" Ningsih bingung harus menjawab apa. Ia pun terpaksa menjawab seadanya. "Ayah sedang mencari makanan." "Oh, begitu." Ningsih menahan air matanya. Sultan dan pihak kepolisian membawa satpam ke kantor untuk dimintai keterangan. Saat Sultan bertemu langsung dengan geng mafia. Dengan emosi, dia menampar mereka satu persatu. "Sebenarnya, siapa kalian sampai berusaha membunuh Robet?" Pihak polisi berusaha menenangkan Sultan dengan menyuruhnya duduk. Ray sebagai ketua geng tersenyum licik. "Kau mau tau siapa kita?" Ra
~Kebahagianku adalah melihat Robet bahagia. Kesedihanku adalah melihat Robet sedih. Karena harta yang paling berharga adalah memiliki anak seperti Robet~ ---NINGSIH---- ***Hilda mencoba menelponnya, namun tak dapat dihubungi. Jadi benar ia telah memblokir nomornya. Apa dia merasa sakit hati? Air mata Hilda meleleh. Ia kemudian terisak. Kenangan bersamanya sungguhlah banyak. Ketika saat pertama kali bertemu dengan dia. Di sebuah jembatan ampera, ia tak sengaja menabraknya. Itu semua karena kecerobohannya. Bangun kesiangan. Tidak sempat sarapan. "Kau baik-baik saja?" Saga justru menanyakan keadaannya. "Iya, aku baik-baik saja. Maaf ya, aku buru-buru." Hilda meraih tasnya yang tergeletak di sampingnya. Lalu, berlari masuk ke kelasnya. Pertemuan itu ketika Saga skripsi jurusan bahasa inggris. Ia tetap lanjut kuliahnya di jurusan
~Ketika kedua kali aku mengucapkan Qobiltu, aku akan belajar untuk mencintaimu. Walau terkadang melawan hati sulit bagiku. Karena adanya keyakinan, aku percaya Allah yang memberi restu~ -----SAGA------ ***Hal yang paling dinantikan Robet adalah bisa melihat. Ketika sudah lama ia menunggu antrian, akhirnya Dokter Thomas memanggilnya juga. Ningsih dan Sultan senang melihatnya. Mereka menunggunya di depan ruang operasi sambil berdoa. Kapten Richard masih memberi pertanyaan pada geng mafia itu. Ia belum puas jika tidak ada bukti. Maka, kalau sampai hari ini ia tak menjawab jujur lagi, ia akan mencari bukti bersama anggota-anggotanya. Petugas polisi membawa Ray lagi. Ia menatapnya dengan memutar bola matanya malas. Lalu, duduk. "Ray, jangan bosan-bosan mendengar pertanyaanku jika kau tidak mau jujur," kata Kapten Richard."Apalagi yang
~Janji kita berdua yang dulu pernah kita ikrarkan untuk bersatu dalam ikatan cinta harus terpisah dalam alam berbeda. Akankah janji kedua bisa satu untuk selamanya?~ ***Sultan sudah meminta taarufan mereka selesai. Tak mau nanti kesiangan dan terlalu menunggu lama di bandara, Sultan menuntun Robet. Hilda menatapnya sangsi. Kiyai Usman juga merasa tak enak jika mengganggu keberangkatan mereka. Maka, beliau meminta maaf dan pamit langsung pulang ke rumah. Sultan menyalakan mesin mobilnya. Mobil siap melaju ke bandara. Robet siap untuk dioperasi. Mata siap untuk melihat luasnya dunia. Selama tiga bulan ini, mereka akan menetap di Singapura. Menanti keberhasilan penglihatan Robet. Masalah pekerjaan, Sultan sudah meminta Daniel menghandle-nya. Masalah jadwal pengajian, Robet sudah mencari penggantinya dari kang-kang lain yang siap mengajar. Masalah pernikahan, mereka serahkan semuanya pada Allah ta'ala. Mu
~Mencoba mengobati dengan pengganti baru. Mencoba melupakan karena dia bukan untukku. Dan mencoba mengikhlaskan walau kadang hati sering berdusta. Cinta tak salah. Tapi aku yang salah~ ***Senja membutakan segalanya dengan segala keindahannya. Ning Fiyyah dengan gesit melukisnya. Ibu Robet memotretnya. Keluarga Hilda merekam saat senja datang hingga menghilang. Mereka mengabadikan momen dengan cara masing-masing. Ketika senja menghilang, Ning Fiyyah mengucapkan terima kasih telah mengizinkan melukisnya. Robet mengucapkan terima kasih telah hadir walau dia tak bisa melihat kehadirannya. Hilda mengucapkan terima kasih sudah hadir walau sebentar. Tapi, ia yakin dia akan datang dengan segala keindahannya. Senja yang datang untuk mengindahkan, rela menghilang demi langit yang menggelapkan. Langit sudah menunjukkan kegelapannya. Keluarga Hilda memulai makan malamnya. "Hilda, besok pagi k
~ jika kau cinta, siapkan hatimu. Jika kau kecewa, siapkan akalmu. Jika sudah terlanjur sakit dan kecewa, siapkan relasi antara hati dan akalmu. Kadang punya hati tapi tak dapat memahami. Kadang punya akal tapi tak dapat berpikir~ ***Melihat kabar kematian Imaz, Irma ingin berkunjung ke makamnya. Tetapi, bagaimana bisa sedang dia di penjara. Penjaga polisi tadi langsung menarik tangan Irma. Mengisyaratkannya untuk kembali ke sel tahanan. Ia melintasi sel tahanan. Tepat di depan sel tahanan Arman, ia menghentikan langkahnya. Arman yang sedang duduk termenung di pojokan segera mendekat. Irma menatapnya nanar. "Man, apa kau sudah tau kabar tentang Imaz?" Tanya Irma menyeka air matanya. "Dia sudah ketemu?" "Iya.""Alhamdulillah.""Dan dia sudah bahagia disana." "Mereka menikah?""Imaz sudah bahagia di alam sana."Arman terperangah. Jantungnya berdetak