~Ketika sahabat menangis ia sanggup menggandeng tangan sementara ketika kekasih menangis ia sanggup memeluk erat. Apa dia berpikir seperti itu?~
♤♤♤
Sepertiga malam. Ia berharap bisa menjadi makmumnya. Namun kini yang ia sanggup hanya bisa mendoakan. Di penjara ini, Imaz sangat merindukan Robet. Apakah dia juga merindukannya?
Khusus Robet, suamiku, lahul fatihah...
Hanya sekuntum alfatihah yang dapat ia berikan untuk mengobati rasa rindunya.
♧♧♧
Seperti yang pernah dikatakan Ning Fiyyah, Waliyyah Songo sanggup mencari semua bukti kebenaran kasus pembunuhan Romo Kiyai.
Pertama, Ning Fiyyah mendatangi keberadaan Irma. Santri yang pernah mengaku istri Robet.
"Masalahnya, kita cari dimana?" Seru Ning Shita. Mereka melakukan rapat khusus kawasan Waliyyah Songo di balkon.
"Iya. Sejak Robet mengetahui yang sebenarnya, Irma tak menunjukkan batang hidungnya." Sahut Ning Dija.
"Coba kita cari di hotel milik Robet. Mungkin mereka masih disana."
Mereka mengangguk bersamaan. Menyiapkan mobil milik suami Ning Dija, Gus Farhan. Kebetulan beliau sedang tidak ada tugas. Sementara para suami yang lainnya bertugas sesuai jadwal masing-masing.
Gus Farhan melajukan mobilnya. Sesungguhnya beliau merasa tidak nyaman membonceng sembilan wanita kecuali istrinya. Karena demi kebenaran, beliau mencoba menerima.
Tiba di hotel, mereka berjalan serempak menuju Resepsionis hotel.
"Maaf, apa ada yang bisa saya bantu?" Kata Resepsionis yang sopan dengan senyum santun.
"Apa benar ada yang pernah menginap hotel atas nama Irma dan Robet?" Ning Fiyyah menjawabnya.
"Sebentar saya cek dulu ya Mbak." Resepsionis mengambil catatan daftar nama penginapan hotel. Mencarinya dengan santai.
"Ya Mbak ada." Kata Resepsionis sesaat setelah bisa menemukan daftar namanya.
"Tapi cuma sehari Mbak." Lanjutnya.
"Kira-kira Mbak tahu mereka pergi kemana?"
"Wah kalau Robet saya tidak tahu. Karena dia pagi-pagi sekali pulangnya. Kalau tidak salah yang perempuan perginya ke arah kanan jalan dari hotel."
"Oh iya Mbak. Terima kasih atas informasinya."
Resepsionis mengangguk tersenyum.
Langkah kedua, mereka mencari keberadaan Irma dari arah kanan jalan. Sebagai pria yang paling tampan, Gus Farhan mengikuti mereka dari belakang seakan-akan bodyguard mereka. Para pasien yang sedang menunggu kontrol menatap terheran-heran. Terdengar sedikit dari telinganya mereka berkata, "istrinya banyak sekali. Apa nggak capek?"
"Ssttt....tidak boleh berkata seperti itu. Mungkin saja mereka anaknya atau muridnya." Kata wanita di sebelahnya.
"Curiga kalau mereka di hotel."
Gus Farhan hanya bisa menghembuskan napas.
Arah kanan dari hotel telah mereka lalui. Berupaya untuk bertanya-tanya kepada warga sekitar dengan menunjukkan foto Irma. Kebanyakan jawaban mereka tidak mengenal siapa yang ada di foto tersebut. Susah payah mereka mencari keberadaan Irma. Mereka berdiri mematung di pinggir jalan entah harus apa. Terik matahari membuat mereka mudah lelah.
"Daripada susah mencari, kenapa kita tidak cek alamat Irma di pendaftaran santri 10 tahun yang lalu?" Ide Ning Royya.
"Iya juga sih. Kita coba saja." Ning Fiyyah menyetujui. Mereka berjalan lagi menuju mobil. Gus Farhan hanya diam dan pasrah mengikuti para istri orang.
Mereka bekerja sama mencari berkas-berkas pendaftaran santriwati dari tahun 2011 sampai sekarang di kantor madrasah. Pada tahun 2011, terdaftar 150 santriwati. Tertulis nama Irmayanti kholisoh. Ning Fiyyah berteriak bahagia akhirnya petunjuk menemukan kebenaran akan segera tuntas.
"Di jalan Melati nomor 24." Kata Ning Fiyyah selanjutnya membaca biografi Irma.
Mereka kembali ke mobil lagi.
"Mas, yang sabar ya?" Kata Ning Dija kepada Gus Farhan, suaminya. Beliau hanya bisa menghela napas. Para istri orang tertawa terkikih melihatnya. Beliau melajukan mobilnya. Berhadapan dengan jalan raya yang padat kendaraan.
Rumah Irma ternyata sederhana. Layaknya rumah kontrakan yang lumayan bagus. Dijaga oleh gerbang membuat mereka tidak sembarangan diperkenankan masuk.
Gus Farhan sebagai lelaki satu-satunya dalam penyelidikan mengucap salam dengan keras. Pintu perlahan terbuka. Langkah kaki lembut membuktikan bahwa Irma sungguh berada di rumah. Ning Fiyyah mengucap syukur alhamdulillah dalam hati. Mengharap penyelidikan kasus ini bisa berjalan dengan lancar.
Irma melangkahkan kaki membuka gerbang. Ia menatap nanar sekejap. Lantas mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah. Artinya, ia bisa mengerti maksud kedatangan mereka. Ia meminta izin membuatkan secangkir teh. Namun, Ning Fiyyah tak mau berbasa-basi dan langsung mengajukan beberapa pertanyaan terkait kasus pembunuhan Romo Kiyai. Irma mengiyakan lantas duduk di depan mereka.
"Langsung saja ya." Kata Ning Fiyyah, "apa benar kau memiliki hubungan dengan Arman?"
"Iya." Jawab Irma tanpa ragu.
"Sejauh apa hubungan kalian?"
"Kami pacaran sejak aku pertama kali masuk ke pesantren."
"Wow. Lama juga ya." Gumam Ning Shita duduk di sebelah Ning Fiyyah.
"Sudah ada rencana untuk menikah?"
"Sudah."
"Apa orang tua kalian sama-sama merestui?"
Irma menatap licik pada mereka. Kemudian tersenyum mendengus.
"Maaf, ada apa ya? Kenapa kalian kepo banget tentang hubunganku dengan Arman?"
"Irma, kamu sayangkan sama Ayahku?"
"Sepertinya pekerjaanku lebih penting daripada menjawab pertanyaan gak guna seperti ini." Kata Irma mengalihkan pembicaraan.
"Tapi Irma..." Ning Fiyyah belum sempat berkata sudah dipotong Irma dengan suara lantangnya.
"Maaf ya. Kalau mau tau tentang urusanku, tanya pada Arman. Jangan padaku. Aku rasa waktunya sudah habis. Dan aku mohon kalian keluar." Irma berdiri dengan kalimat angkuhnya.
"Tapi..."
"Keluar !!!" Irma berteriak.
Gus Farhan tidak tahan dengan sikap arrogannya, beliau berdiri dan mulai bertindak membela mereka.
"Maaf Mbak. Kami disini sebagai tamu. Tolong hargai itu. Terima kasih." Beliau kembali duduk. Tatapan mereka berubah menjadi parau.
"Baiklah. Terima kasih kembali. Aku kasih waktu kalian lima menit dimulai dari sekarang."
Irma mengambil ponsel dari sakunya. Memutar waktu lima menit perjalanan Ning Fiyyah meluncurkan beberapa pertanyaan. Ia meletakkan ponselnya di atas meja.
"Baik." Ning Fiyyah melanjutkan, "selama kau di pesantren, Imaz pernah memergoki kalian berduaan jam 12 malam di Taman Santri. Apa betul itu?"
"Iya."
"Untuk apa?"
"Kau mau tau untuk apa? Tapi kau juga punya perasaan."
"Maksudmu?"
"Aku cinta sama Arman. Tapi kenyataannya?" Mata Irma mendadak berkaca-kaca.
"Apa kenyataannya?"
"Dia mencintaimu. Tapi kau mencintai Gus Robet. Iya kan?" Nada Irma mulai menunjukkan emosinya.
"Arman mencintaiku? Sejak kapan?"
Irma melihat ponselnya waktu sudah berjalan selama tiga menit.
"Sejak pertama kali dia datang ke pesantren. Kau tahu kenapa dia menyuruhku bersandiwara menjadi istri pilihan Romo Kiyai untuk Gus Robet?"
Ning Fiyyah diam terpekur. Tak sanggup menerima kenyataan pria yang selama ini menyakiti sahabatnya harus mencintai dirinya. Ia tak sanggup.
"Sudahlah Irma. Jangan bersandiwara lagi. Ini cuma akal-akalanmu saja kan agar kami tidak bisa menemukan Arman?" Ketus Ning Shita tak tahan dengan tuduhannya.
"Kalau kau tidak percaya, kau masih ingat kenapa dia menculik Imaz?"
"Iya. Imaz sudah menceritakannya." Ning Fiyyah menatapnya sendu.
"Supaya dia menemukanmu. Tapi alhasil, Imazmu sudah bisa melarikan diri. Karena dia tau Imaz segalanya bagimu."
"Aku rasa ini tidak masuk akal. Kalau memang Arman mencintai Fiyyah, terus kenapa dia punya rencana mengambil harta Ayahku?" Ning Royya bersuara.
"Tanyakan itu pada Arman. Karena sudah lama ia tidak kontak lagi denganku."
Irma melihat waktu yang tersisa kurang 10 detik.
"Waktu kurang 10 detik. Aku beritau tempat yang Arman sering kunjungi. Nanti kau bisa tanyakan langsung padanya."
"Baiklah." Ning Fiyyah bersemangat.
Ning Dija merekam perkataannya.
"Di rumahnya jalan Merpati Putih nomor 57, kafe Republik, studio band starplus, kontrakannya di jalan Dukuh jati nomor 11."
Ponsel berbunyi artinya waktu interogasi telah habis.
"Silahkan keluar." Pinta Irma tanpa basa-basi. Mereka mengangguk acuh karena tak dilayani santun seperti tamu. Lepas itu, Irma langsung menutup pintu tanpa memberi sapaan.
"Dasar ga ada akhlak !" Geram Ning Shita.
"Sudah...sudah...kita lanjutkan penyelidikannya." Ning Fiyyah mencairkan suasana.
Kembali ke mobil, Gus Farhan melajukannya menuju rumah Arman. Ning Fiyyah masih tanda tanya perihal pernyataan Irma tadi. Selama ini Arman mencintai dirinya tanpa sepengetahuannya. Bahkan bertatap muka saja mereka tidak pernah. Apa ini hanya sandiwara mereka?
Jalan Merpati Putih memang tak jauh dari rumah Irma. Rumah itu tampak sudah tua dan tak pernah dihuni. Gus Farhan mengetuk pintu. Tak ada jawaban setelah menunggu beberapa menit. Diketuk lagi, belum juga ada jawaban begitu seterusnya sampai ketiga kalinya. Salah satu tetangga sekitar mendengar ketukan mereka, ia memutuskan menghampiri mereka.
"Ada apa ya pak, buk?"
"Apa benar ini rumah Arman?" Ning Fiyyah bertanya.
"Iya, bu. Sudah lama Den Arman pindah dari sini."
"Oh begitu ya bu, kira-kira ia pindah dimana bu?"
"Wah, saya tidak tahu bu."
"Terima kasih bu atas informasinya."
"Sama-sama bu."
Ibu tetangga itu kembali ke rumahnya. Tak habis pikir, disaat seperti ini, pasangan Arman dan Irma memisah tanpa saling memberi jejak. Apa ini juga bagian dari sandiwara mereka? Entahlah, yang pasti mereka tetap tak putus asa untuk mengumpulkan semua bukti kebenarannya.
Langkah selanjutnya, mereka pergi ke Cafe Republik. Cafe yang memiliki fitur hotel bintang lima. Dengan barista yang memakai seragam lengkap. Pelanggan yang santai menikmati pemandangan alam pegunungan dari jendela kafe di lantai atas. Tempat manapun mereka tak peduli. Tujuan utama yang mereka butuhkan. Ning Fiyyah mendatangi barista di garda terdepan.
"Selamat siang, bu. Ada yang bisa saya bantu?" Barista tersebut menyapanya dengan santun.
"Siang bu. Kedatangan kami disini mau menanyakan soal data pengunjung kafe."
"Kalau boleh tau, tahun berapa, atas nama siapa?"
"Kalau masalah tahun saya tidak tahu. Kalau nama, atas nama Arman."
"Sebentar. Saya cek ya bu."
Barista tersebut mencari data secara keseluruhan. Alhasil, barista tersebut menemukan datanya. Ning Fiyyah mengucap syukur alhamdulillah kedua kalinya.
"Saudara Arman terakhir datang kesini, sebulan yang lalu bu."
"Berapa tanggalnya?"
"13 juli bu."
"Ada nomor ponselnya?"
"Ada bu."
Informasi keberadaan Arman mendapatkan jalan. Barista cantik tersebut menyebutkan nomor ponselnya. Ning Fiyyah segera mengetiknya.
"Terima kasih bu."
Barista tersebut menjawab ucapannya. Mereka kembali naik mobil. Ning Fiyyah segera menelponnya. Awalnya bisa terhubung tapi belum juga diangkat. Saudara-saudaranya mendukung untuk menelponnya lagi sampai ia menerima teleponnya.
"Dengan siapa?"
"Aku Fiyyah. Apa benar ini Arman?"
"Iya aku sendiri. Ada apa ya?"
"Bisa kita ketemu di kafe republik sekarang?"
"Ada apa ya?"
"Kalau mau tau, segera datang kesini."
Sudah dirasa cukup, Ning Fiyyah langsung menutup teleponnya tanpa mendengar jawabannya. Sekitar setengah jam, mereka menunggu sambil memesan secangkir kopi. Menikmati alur rasa yang terkandung dalam kehangatannya.
Akhirnya, Arman datang. Mereka mempersilahkan duduk. Menebar senyum meski menimbun benci karena dialah Imaz yang tersakiti.
"Ada apa ya?" Raut muka Arman terlihat heran tetapi ekspresi palsunya tak memungkiri dugaannya. Tetap teguh dalam kepercayaannya.
"Langsung saja." Ning Fiyyah menjawab, "kau pasti masih ingat kejadian pukul 12 malam di Taman Santri kau menyerang santri kami. Dia adalah Imaz. Apa betul itu?"
"Iya."
"Kau bersandiwara juga dengan santri kami dengan berpura-pura menjadi istri pilihan Ayahku. Apa betul itu?"
"Iya."
"Apa tujuannya untuk mengambil harta waris Ayahku?"
"Iya."
"Bukan karena kau mencintaiku?"
Seketika itu, Arman langsung tertawa lepas mendengar pernyataannnya.
"Kok ketawa?"
"Hey, kata siapa aku mencintaimu? Kau mau menyelidiki kasus pembunuhan apa perasaan?"
"Gak lucu ya!" Candaan Arman justru memantik emosi mereka.
"Baik, baik, aku akan menjelaskannya."
"Silahkan. Jangan buang-buang waktu."
"Jadi..."
Arman menjelaskan kronologi yang sebenarnya. Ia mengaku memang pernah menculik Imaz dengan tujuan mengambil harta waris Romo Kiyai. Karena dia sudah mengetahui tentang perjodohan Imaz dari mulut Irma, ia punya rencana membiarkan Irma berperan sebagai Imaz. Namun nyatanya, rencana diluar dugaannya. Ia melarikan diri bersama Eko. Bahkan sampai saat ini, ia belum tahu dimana harta warisan Romo Kiyai.
"Sudah." Kata Arman dengan santainya.
"Apa benar kau dalang dibalik kasus pembunuhan Ayahku?"
"Aku tekankan, disaat pembunuhan Romo Kiyai, aku sama sekali tidak di lokasi. Jadi, aku tidak ada hubungannya dengan kasus itu."
"Jadi, apa tujuanmu menculik Imaz?"
"Aku sudah bilang untuk mengambil harta waris Ayahmu."
"Apa benar kau bekerja sama dengan Pak Eko?"
"Iya. Tapi dia menghianatiku."
"Baiklah, boleh mintak nomor ponsel Pak Eko?"
Arman mengeluarkan ponsel dari sakunya. Mengirim kontaknya lewat w******p. Nomor sudah terkirim. Arman hendak meminta izin pamit untuk pulang. Mereka hanya menganggukkan kepala. Kali ini, Ning Fiyyah menghubungi Pak Eko yang pernah menyelamatkan keberadaan Imaz. Namun, untuk pertama kalinya, ia gagal menghubungi Pak Eko. Nomor tidak dapat dihubungi karena di
luar servis area."Bagaimana?" Ning Dija ikut tegang. Ning Fiyyah hanya menggelengkan kepalanya.
"Coba lagi."
Sampai ke seratus kalinya pun, nomor Pak Eko susah dihubungi.
"Coba lihat terakhir kapan dia pakai w******p."
Ning Fiyyah mengecek w******p Pak Eko, ternyata diprivasi. Jadinya susah untuk dihubungi.
"Apa Robet juga masih susah dihubungi?"
Ning Fiyyah hanya mengangguk.
"Ya sudahlah Fiyyah. Seadanya saja. Berdoa saja semoga kasus ini lekas terbukti." Ning Royya mencoba menghibur adiknya.
Usai beberapa saat berkeliling mencari bukti, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Ning Fiyyah masih dirundung kecemasan dalam perjalanan. Tinggal dua orang sebagai bukti penguat susah dihubungi. Ia sampai terlupa untuk memberi pesan kepada Arman dan Irma. Ia mengirim pesan agar besok datang ke persidangan Imaz pukul delapan pagi. Pesan terkirim. Tetapi belum terbaca.
Di balik jendela mobil, ada hati menerawang menelisik kehangatan antara persahabatan mereka. Ia berkali-kali mengucap doa agar besok di persidangan diberi kemudahan. Karena kepercayaan kuat merupakan bukti ketulusan yang sesungguhnya bukan kebenaran yang ada didepan mata. Semua itu belaka.
***
~Di balik kesalahan orang lain, ada rahasia terindah yang Allah persiapkan untuk umat-Nya berupa ikhlas~ ♤♤♤Dedaunan berguguran menunjukkan pergantian musim. Dua pria berkuda poni melintasinya ketika ia tersesat di hutan. Terlelap di bawah pohon rindang. Dengan lembut senyum menyapa, dua pria tersebut membelai hijab yang dikenakannya. Mencium hangat dahinya. Menggenggam erat tangannya. Suara lirih berhembus dalam telinganya. "Nak, bangunlah. Aku menyayangimu." Suara itu terlintas mengingatkannya pada Bapak. "Nak, bangunlah. Aku merindukanmu." Suara itu juga terlintas mengingatkannya pada Romo Kiyai. Perlahan ia membukakan matanya. Senyum merekah ia suguhkan padanya. Dua pria tersebut merupakan sosok yang sangat berharga di matanya. Yang sama-sama mendidik. Satunya mendidik dari kecil. Satunya lagi mendidik sewaktu berada di p
~Dijalani sebelum diresapi. Disyukuri sebelum dijatuhi. Dinikmati sebelum diperdayai. Itulah upaya untuk menerima kenyataan ini~ ♤♤♤ Terlanjur tumbang melihat orang yang disayangi jatuh dalam lembah fitnah. Terlanjur anggun jejak kebenaran merayap pada orang yang salah. Ungkapan perasaan Ningrum setelah beberapa saat tak menikmati dunia. Seorang Ibu mana yang sanggup melihat anak semata wayangnya menjalani hari-harinya di penjara tanpa keadilan. Hari-hari ia selalu memikirkan keadaan Imaz. Apa yang dia makan? Apa dia nyaman? Bagaimana teman-temannya? Ia terpuruk dalam tangisannya. "Bu, ayo makan. Biar ibu cepat sembuh." Bujuk Ning Fiyyah mengunjungi Ningrum pagi-pagi sekali bersama kakak-kakaknya. Tak lupa juga membawa Gus Farhan sebagai pawang mereka. Ia berusaha menyuapi Ningrum. Jawabannya hanya menangis sambil berkali-kali memanggil nama I
~Menata hati dalam mencari jati diri. Menyusun mimpi menuju pencapaian sejati~ ♤♤♤Pagi itu para sel tahanan rebutan mengambil sarapan. Saling berteriak meminta makanan. Mendorong sana-sini karena ambisinya mendapat makanan. Suasana seperti ini mengingatkannya saat di pesantren. Semuanya serba antri. Kebersamaannyalah yang membuat ia dirundung rasa rindu. Giliran Imaz bergerak maju, salah satu dari mereka mendorong Imaz sampai jatuh. Jesselyn yang santai tidak terburu-buru mengambil makanan, bergerak membelanya. "Apa begini cara kalian mengantri makanan?" Ketus Jesselyn. Ia memang sangat pemberani. Jesselyn membantu membangunkan Imaz. Mereka mundur memberi ruang untuk mengeluarkan Imaz dari kerumunan. "Eh, Jes. Untuk apa kau membela wanita itu, tidak ada gunanya." Jawabnya meledek. Sebut saja namanya Poppy. Ia ketua gen
~Bertambahnya kawan menghapus lawan. Bertambahnya doa menyimpan pahala. Bagaimana dengan kehilangan cinta menyambut benci?~ ***Empat tahun sudah ia lalui tanpa merasa beban. Sebagai terdakwa kasus pembunuhan Romo Kiyai tak memungkiri ia tetap ziarah ke makam beliau. Bersama dengan Jesselyn, Imaz sengaja mengajak ke pesantren untuk memberikannya tempat tinggal. Tampilan Jesselyn lebih tertutup dibanding saat di penjara. Itu semua berkat Imaz yang membimbingnya pelan-pelan ke jalan yang lebih terang. Dibilang susah, iya. Karena Jesselyn belum terbiasa memakai hijab dengan dress panjang. Saat bebas dari penjara kurang dua tahun lagi, Imaz berkali-kali meminta Ningrum berkunjung untuk membawakan semua pakaiannya yang masih ada di pesantren. Tapi yang dibawa bukan hanya pakaian Imaz bahkan kesembilan putri Romo Kiyai menyisihkan pa
~Telah lama rindu itu merajalela. Namun Allah memberikannya tanpa ia pinta. Inikah pertemuan terbaik yang tak pernah ia bayangkan selama ini~ ♤♤♤Selamat sampai tujuan, Ibu Lily tersadar anaknya tidak ada semalaman. Ia panik. Mencoba menanyakan keberadaan Lily pada seisi penumpang jawabannya nihil. Ayahnya menenangkan kepanikannya. "Tenang Ma. Pasti Lily bisa ditemukan." Kata Ayah membelai punggungnya berusaha menenangkan. "Padahal kemarin aku sangat senang bisa ngobrol sama Lily. Berharap ia tidak diam saja dan mau bercanda." Nenek yang pernah mengajak Lily mengobrol ikut sedih dan menyesal tidak bisa menjaganya. "Nenek tidak tahu, apa yang terjadi dengan Lily." "Memangnya kenapa?" Nenek penasaran. "Dia bisu Nek. Percuma saja Nenek mengajaknya mengobrol." Nenek itu kaget. Pantas saja dia banyak diam ke
~Sudah lama doaku sematkan. Tanpa berharap lebih Allah mempertemukan kita melintasi jalan yang tak terduga~ ♤♤♤ R sangat menyayangi Lily seperti anaknya sendiri. Sampai-sampai ia belanja untuk sarapan hari ini. Permasalahannya, ia belum lihai memasak. Demi kesembuhan Lily, ia melihat tutorial memasak di Youtube. Ia berupaya memasak makanan yang paling enak. Dengan menenteng belanjaan, R masuk rumah. Mengucapkan salam tak ada jawaban. Ia berniat melihat keadaan Lily, rupanya masih tertidur. Ini menjadi kesempatan R memasak dengan sepenuh hati. Berlandaskan kepercayaan diri. Terbentuklah keberhasilan yang hakiki. R pun menyiapkan penggorengan di atas kompor. Menuangkan minyak. Menu yang ia racik pagi ini adalah Sup Kimlo Bakso. Ada yang tahu? Sup Kimlo Bakso adalah makanan khas Tiong Hoa China. Jadi, R tidak sembarangan memasak. Ia berharap makan
~ Ku pikir kau akan sadar harapan yang selalu ku langitkan agar kita bisa bertemu. Namun, apalah daya kau terlanjur membenciku~ ♤♤♤Rasa yang telah lama terpendam, terkubur dalam doa setiap sepertiga malamnya, dibangkitkan atas pertemuan mereka kembali yang tak terduga seperti ini. Kenikmatan mana yang engkau dustakan?Imaz mendekat. Menatap lekat wajah yang ia rindukan."Gus, kau?""Aku datang kesini bukan ingin bertemu denganmu. Tapi, Lily yang ingin bertemu denganmu." Ketus Robet. Imaz menoleh pada Lily yang berdiri di belakangnya. Lily memberikannya bakpao."Selama ini, Gus Robet yang merawatmu Lily. Iya?"Lily mengangguk. Imaz menitikkan air mata sembari menerima bakpaonya. Berbeda halnya dengan Ning Fiyyah, Ningrum, dan Yati. Mereka menatap Robet penuh kebencian."Hanya itu?" Celetuk Ning Fiyyah membalas perka
~Awal perpisahan adalah pertemuan. Awal pertemuan adalah perpisahan. Mereka sama-sama menjatuhkan air mata~ ♤♤♤"Ibu Imaz, kunjungan telah selesai. Dimohon segera masuk ke sel tahanan lagi." Seru petugas penjaga sel tahanan menginformasikan. Sekitar sepuluh menit, Imaz sudah bangga mereka merayakan ulang tahunnya dan membuat kue sebegitu enaknya. Sebelum mereka pergi, Imaz memberikan perpisahan berupa pelukan.Imaz terpaksa melepaskan pelukannya saat Petugas polisi mendesaknya segera masuk ke sel tahanan. Mengiringi kepergiannya sambil membawa sisa kue ulang tahun, mereka menatap punggung Imaz sedih sekaligus bahagia karena sebentar lagi, Imaz akan dibebaskan dari penjara.Masuk sel tahanan, para sel melihat Imaz nanar membawa kue ulang tahun. Jesselyn langsung mendekatinya."Wah, kau ulang tahun Maz?"Imaz mengan
~Kau pernah menjadi raja di hatiku, ketika rindu itu menggebu. Namun, justru Allah menjadikan aku permaisurimu ketika cinta itu bertemu~ ***Pesawat jatuh terseret arus banjir di kawasan Var. Tim sar segera mengerahkan tenaganya untuk mengevakuasi korban penumpang yang ada di pesawat. Terdapat 12 yang tewas. Mereka membawa 12 mayat ke rumah sakit untuk dimandikan. Sementara yang lain denyut nadinya masih berdetak.Berita bencana badai besar di perancis sudah disiarkan diberbagai media. Berita itu terdengar juga di telinga keluarga Hilda, Robet dan Ning Fiyyah. "Ya Allah, bagaimana keadaan Hilda?" Kiyai Usman sungguh cemas. Abah Hilda sudah makin keriput. Hanya bisa duduk di kursi roda. Ditemani istrinya yang juga sudah beruban. "Semoga Hilda bisa diselamatkan yah," Umik menenangkan. Sampai di rumah sakit, 12 yang tewas dibawa ke kamar mayat. Petugas polisi menyelidik atas nama siapa
~Jika aku bukan jalanmu. Ku berhenti mengharapkanmu. Jika aku memang tercipta untukmu. Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu~ ***Demi menyenangkan istri tercinta, akhirnya Robet mengajaknya bulan madu di luar negeri. Tepatnya di perancis. Sebelum berangkat, Hilda menyerahkan beberapa wisata yang ingin ia kunjungi, diantaranya; menara eiffel, sungai seine, jembatan gembok cinta atau pont des arts, dinding cinta atau Le Mur des Je T’aime, mobil 2cv, musium louvre, dan Jardin du Luxemburg atau taman bunga. "Ngidamnya banyak amat," goda Robet sambil mengendarai mobil menuju bandara. Sebelumnya mereka sudah berpamitan pada orang tua. Mereka mendoakan semoga Robet dan Hilda berhasil beribadah dengan penuh cinta di malam jum'at. Mereka saling tersipu. Jantung berdetak sudah tak menentu membayangkan akan beribadah penuh cinta di malam hari. "Memang itu yang aku idamkan, sayang," kata Hilda sambil
~Kecupan punggung tanganmu. Kecupan bibirku di dahimu. Belaian tanganmu mencuci kakiku. Tatapan matamu menyibak arti kecantikanmu. Dengan besanding bersamamu di pelaminan, inilah tahap awal belajar untuk mencintaimu~ ***Selesai prosesi pernikahan, para tamu dipersilakan makan hidangan yang tersedia di kursi tamu undangan. Para tamu undangan memakannya dengan lahap. Tambah nikmat dengan diiringi sholawat banjari. Sementara mempelai putra dan putri duduk saling diam di pelaminan. "Aku memang seperti ini orangnya," kata Robet memulai perbincangan pada Hilda karena sedari tadi saling diam membisu. "Iya Gus. Aku tahu mungkin kau butuh waktu menerima pernikahan ini." Hilda memaklumi. Usai mereka menikmati hidangan makanannya, para tamu undangan dipersilakan sesi foto. Foto bersama teman-teman, kerabat dan yang paling utama adalah kedua keluarga mempelai. Selesai sesi foto, kedua m
~بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ"Barakallahu laka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair""Semoga Allah memberi barakah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dlm kebaikan." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)~***Robet merasa ada yang mereka sembunyikan. "Bu, ayah kemana? Kok aku sama sekali tidak mendengar suaranya?" Ningsih bingung harus menjawab apa. Ia pun terpaksa menjawab seadanya. "Ayah sedang mencari makanan." "Oh, begitu." Ningsih menahan air matanya. Sultan dan pihak kepolisian membawa satpam ke kantor untuk dimintai keterangan. Saat Sultan bertemu langsung dengan geng mafia. Dengan emosi, dia menampar mereka satu persatu. "Sebenarnya, siapa kalian sampai berusaha membunuh Robet?" Pihak polisi berusaha menenangkan Sultan dengan menyuruhnya duduk. Ray sebagai ketua geng tersenyum licik. "Kau mau tau siapa kita?" Ra
~Kebahagianku adalah melihat Robet bahagia. Kesedihanku adalah melihat Robet sedih. Karena harta yang paling berharga adalah memiliki anak seperti Robet~ ---NINGSIH---- ***Hilda mencoba menelponnya, namun tak dapat dihubungi. Jadi benar ia telah memblokir nomornya. Apa dia merasa sakit hati? Air mata Hilda meleleh. Ia kemudian terisak. Kenangan bersamanya sungguhlah banyak. Ketika saat pertama kali bertemu dengan dia. Di sebuah jembatan ampera, ia tak sengaja menabraknya. Itu semua karena kecerobohannya. Bangun kesiangan. Tidak sempat sarapan. "Kau baik-baik saja?" Saga justru menanyakan keadaannya. "Iya, aku baik-baik saja. Maaf ya, aku buru-buru." Hilda meraih tasnya yang tergeletak di sampingnya. Lalu, berlari masuk ke kelasnya. Pertemuan itu ketika Saga skripsi jurusan bahasa inggris. Ia tetap lanjut kuliahnya di jurusan
~Ketika kedua kali aku mengucapkan Qobiltu, aku akan belajar untuk mencintaimu. Walau terkadang melawan hati sulit bagiku. Karena adanya keyakinan, aku percaya Allah yang memberi restu~ -----SAGA------ ***Hal yang paling dinantikan Robet adalah bisa melihat. Ketika sudah lama ia menunggu antrian, akhirnya Dokter Thomas memanggilnya juga. Ningsih dan Sultan senang melihatnya. Mereka menunggunya di depan ruang operasi sambil berdoa. Kapten Richard masih memberi pertanyaan pada geng mafia itu. Ia belum puas jika tidak ada bukti. Maka, kalau sampai hari ini ia tak menjawab jujur lagi, ia akan mencari bukti bersama anggota-anggotanya. Petugas polisi membawa Ray lagi. Ia menatapnya dengan memutar bola matanya malas. Lalu, duduk. "Ray, jangan bosan-bosan mendengar pertanyaanku jika kau tidak mau jujur," kata Kapten Richard."Apalagi yang
~Janji kita berdua yang dulu pernah kita ikrarkan untuk bersatu dalam ikatan cinta harus terpisah dalam alam berbeda. Akankah janji kedua bisa satu untuk selamanya?~ ***Sultan sudah meminta taarufan mereka selesai. Tak mau nanti kesiangan dan terlalu menunggu lama di bandara, Sultan menuntun Robet. Hilda menatapnya sangsi. Kiyai Usman juga merasa tak enak jika mengganggu keberangkatan mereka. Maka, beliau meminta maaf dan pamit langsung pulang ke rumah. Sultan menyalakan mesin mobilnya. Mobil siap melaju ke bandara. Robet siap untuk dioperasi. Mata siap untuk melihat luasnya dunia. Selama tiga bulan ini, mereka akan menetap di Singapura. Menanti keberhasilan penglihatan Robet. Masalah pekerjaan, Sultan sudah meminta Daniel menghandle-nya. Masalah jadwal pengajian, Robet sudah mencari penggantinya dari kang-kang lain yang siap mengajar. Masalah pernikahan, mereka serahkan semuanya pada Allah ta'ala. Mu
~Mencoba mengobati dengan pengganti baru. Mencoba melupakan karena dia bukan untukku. Dan mencoba mengikhlaskan walau kadang hati sering berdusta. Cinta tak salah. Tapi aku yang salah~ ***Senja membutakan segalanya dengan segala keindahannya. Ning Fiyyah dengan gesit melukisnya. Ibu Robet memotretnya. Keluarga Hilda merekam saat senja datang hingga menghilang. Mereka mengabadikan momen dengan cara masing-masing. Ketika senja menghilang, Ning Fiyyah mengucapkan terima kasih telah mengizinkan melukisnya. Robet mengucapkan terima kasih telah hadir walau dia tak bisa melihat kehadirannya. Hilda mengucapkan terima kasih sudah hadir walau sebentar. Tapi, ia yakin dia akan datang dengan segala keindahannya. Senja yang datang untuk mengindahkan, rela menghilang demi langit yang menggelapkan. Langit sudah menunjukkan kegelapannya. Keluarga Hilda memulai makan malamnya. "Hilda, besok pagi k
~ jika kau cinta, siapkan hatimu. Jika kau kecewa, siapkan akalmu. Jika sudah terlanjur sakit dan kecewa, siapkan relasi antara hati dan akalmu. Kadang punya hati tapi tak dapat memahami. Kadang punya akal tapi tak dapat berpikir~ ***Melihat kabar kematian Imaz, Irma ingin berkunjung ke makamnya. Tetapi, bagaimana bisa sedang dia di penjara. Penjaga polisi tadi langsung menarik tangan Irma. Mengisyaratkannya untuk kembali ke sel tahanan. Ia melintasi sel tahanan. Tepat di depan sel tahanan Arman, ia menghentikan langkahnya. Arman yang sedang duduk termenung di pojokan segera mendekat. Irma menatapnya nanar. "Man, apa kau sudah tau kabar tentang Imaz?" Tanya Irma menyeka air matanya. "Dia sudah ketemu?" "Iya.""Alhamdulillah.""Dan dia sudah bahagia disana." "Mereka menikah?""Imaz sudah bahagia di alam sana."Arman terperangah. Jantungnya berdetak