~Telah lama rindu itu merajalela. Namun Allah memberikannya tanpa ia pinta. Inikah pertemuan terbaik yang tak pernah ia bayangkan selama ini~
♤♤♤
Selamat sampai tujuan, Ibu Lily tersadar anaknya tidak ada semalaman. Ia panik. Mencoba menanyakan keberadaan Lily pada seisi penumpang jawabannya nihil. Ayahnya menenangkan kepanikannya."Tenang Ma. Pasti Lily bisa ditemukan." Kata Ayah membelai punggungnya berusaha menenangkan.
"Padahal kemarin aku sangat senang bisa ngobrol sama Lily. Berharap ia tidak diam saja dan mau bercanda." Nenek yang pernah mengajak Lily mengobrol ikut sedih dan menyesal tidak bisa menjaganya.
"Nenek tidak tahu, apa yang terjadi dengan Lily."
"Memangnya kenapa?" Nenek penasaran.
"Dia bisu Nek. Percuma saja Nenek mengajaknya mengobrol."
Nenek itu kaget. Pantas saja dia banyak diam ketika ditanya. Malang nasib Lily. Hilang dalam posisi tidak sanggup mengatakan keberadaannya.
Turun dari kereta, Ibu meminta izin ke petugas kereta untuk mengembalikannya ke perjalanan awal dikarenakan anaknya hilang.
"Tidak bisa bu, kalau ibu mau kembali ke perjalanan awal, ibu harus menunggu jadwal selanjutnya." Kata petugas itu menurunkan semangat Ibu untuk mencari Lily.
"Kalau Anak Ibu hilang, Ibu bisa lapor saja ke kantor polisi. Biar pihak polisi menyebarkan berita hilangnya Anak ibu." Petugas itu memberinya usulan.
"Baik, Pak."
Orang tua Lily bergegas menuju ke kantor polisi untuk melaporkan kasus hilangnya Lily. Tiba di kantor, Ibu langsung masuk. Tanpa menyadari, kantor polisi yang ibu datangi adalah kantor dimana Imaz di penjara. Dan sayangnya, mereka sama sekali tidak saling mengenal.
"Ada yang bisa Saya bantu, bu?" Pak polisi menanyakan dengan sopan.
Dengan duduk tenang dan tegap, Ibu berusaha memberi keterangan dengan jelas. Ayah mendampingi doa dan duduk di sampingnya menyemangati.
"Saya ingin melapor Pak."
"Baik, ada kejadian apa, bu?"
"Kemarin Saya naik kereta bersama anak Saya. Waktu itu, dia masih ada di kereta, tiba-tiba, keesokan harinya, anak saya menghilang."
"Sudah di tanyakan keseluruh penumpang dan petugas kereta?"
"Sudah Pak. Mereka sama sekali tidak tahu."
"Kapan terakhir Anda melihat Anak Anda?"
"Waktu malam, melihat Anak saya mengobrol sama Nenek-nenek."
"Sudah ditanya ke Nenek-nenek itu?"
"Sudah Pak. Nenek itu juga tidak tahu."
"Siapa nama Anak anda? Dan berapa usianya?"
"Lily. Dia berusia lima tahun."
"Apa dia pernah berpesan sesuatu?"
"Masalahnya, dia bisu pak."
"Baiklah, keterangan Anda akan Saya akumulasi. Kami pihak polisi akan melakukan tindakan pencarian."
Pihak polisi meminta tanda tangan sebagai bukti penerima pelapor. Setelah sah ditanda tangani, mereka keluar dari kantor polisi. Meski demikian sudah melapor, entah kenapa Ibu masih cemas dengan keadaan Lily.
"Sudah, berdoa saja."
Ibu menangis dalam pelukan Ayah. Menuntun pelan kembali ke rumah. Padahal, tujuan mereka pulang kampung membawa Lily karena ingin menunjukkan rumah barunya. Musnah sudah harapan karena ditelan kehilangan Anak yang disayang.
Lalu, bagaimana kabar Lily yang sebenarnya?
Ya. Dia dibawa lelaki yang menemukan Lily pingsan dipinggir rel kereta. Ia tak mau menunjukkan nama aslinya. Hanya saja memberi inisialnya. Ia lakukan itu semata-mata demi menjaga reputasinya sebagai CEO. Sebut saja dia R.
R tidak bermaksud menculik Lily. Ia hanya melindungi selama beberapa hari dan baru ia melapor ke kantor polisi. Mengapa R membiarkan Lily menginap di rumahnya? Ya. Lily sedang sakit panas. Ia mengkhawatirkan keadaannya. Demi Lily merasa nyaman, R menyewa Dokter pribadi dan memberinya tempat tinggal selama Lily proses penyembuhan.
"Bagaimana Dok keadaan Lily?" R panik.
"Demamnya sangat tinggi. Akibat ia terlalu lama tidur dalam keadaan kedinginan."
"Lalu, sampai kapan Lily menghadapi demamnya itu?"
"Dia bisa secepatnya sembuh asalkan, minum obat dan makan teratur. Terutama kalau malam, ia wajib memakai jaket dan berselimut."
"Baik, Dok."
Dokter itu kembali ke kamarnya. Sementara R duduk di samping Lily menjaganya. Ia tak sanggup melihat anak kecil terlantar di pinggir jalan sampai jatuh sakit. Ia pun rela menjaga Lily sampai meliburkan diri pada pekerjaannya. Meeting ia batalkan. Tugas-tugasnya menumpuk di atas meja sekalian mengerjakannya sambil menjaga Lily sampai lembur.
Jari tangan Lily mendadak bergerak. R yang sedang mengetik membuat proposal hasil renovasi hotelnya, segera menutup tugasnya. Bergerak cepat memegang tangannya. Membelai lembut sebagai upaya menyadarkannya. Napas Lily terengah sambil meraung kesakitan. R dengan sigap berteriak memanggil Dokter. Dokter datang secepatnya mendengar teriakannya. Dan segera memeriksanya dengan stetoskop.
"Bagaimana Dok?" R semakin panik.
"Lily sudah mulai sadar. Coba ajak saja dia bicara pelan-pelan."
R mendekat ke arah Lily. Membelai lembut dahinya. Dokter memantaunya dari samping.
"Lily, selamat pagi..." Ucapan pertama R.
Lily mengontrol pernapasannya. Membuka perlahan matanya. Memandang wajah R dengan lekat. Raut mukanya asing melihat R.
"Jangan takut ya, Om tidak jahat. Nanti, kalau Lily sudah sembuh, Om akan bawa Lily ke Mama dan Papa Lily." Kata R memberinya ruang kenyamanan agar Lily tidak merasa takut.
Lily hanya terus memandang wajah R. Tatapan itu masih berkoneksi menerima kehadirannya.
"Lily mau makan apa? Om akan belikan."
Lily akhirnya menerima kehadiran R walaupun jawabannya hanya menggelengkan kepala.
"Lo kenapa? Kasihan nanti perutnya nangis. Masak Lily nggak cengeng, perutnya yang cengeng." R bercanda justru membuat Lily tersenyum.
"Eh, Lily lolipop Om ketawa." R senang akhirnya Lily menunjukkan senyumannya. Sebagai tanda bahagianya, R membalas dengan mencubit hidungnya. Lily langsung ketawa.
"Om panggil Lily lolipop ya, abisnya Lily gemesin kayak lolipop. Lolipop mau makan apa nih?"
Lily masih saja diam. R bahkan tidak tahu jika Lily ternyata bisu.
"Lily panggil Om, Omelet ya? Kenapa kok Omelet? Karena Omelet nya ganteng. Omelet sebutin menunya ya?"
Lily mengangguk dengan semangat.
"Nasi goreng?"
Lily menggeleng.
"Ayam goreng?"
Lily menggeleng.
"Lele goreng, roti goreng, tempe goreng, tahu goreng, bakwan goreng, penggorengan?"
R mencubit kedua pipinya. Lily tiada hentinya tertawa.
"Omgan, belikan bubur ayam ya? Biar perutnya nggak sakit." R menghibur Lily dengan memonyongkan bibirnya. Lily mengangguk tertawa.
R akhirnya memutuskan membelikan bubur ayam dekat rumah. Sebelum berangkat, ia juga tak lupa menitipkan Lily pada Dokter.
Sebentar saja membelikan, R kembali meraih bubur ayamnya. Sungguh berbinar-binar mata Lily melihat kedatangan bubur ayamnya. Sambil membawa mangkok, R menuangkan bubur ayamnya. Membantu membangunkan Lily perlahan. Menyandarkannya pada tembok dengan bantalnya.
"Pesawatnya datang..." R menyuapi Lily dengan senang. Lily pun ikut senang dan dengan lahap memakan bubur ayamnya.
"Lolipop senang? Enak rasanya?"
Lily mengangguk senang. Suapan demi suapan ia lahap hingga buburnya ludes dimakan.
"Saatnya minum obat ya?"
Lily mengangguk.
"Pinter lolipopnya Omelet."
R mengambilkan obat sirup di atas meja. Menuangkan ke sendok dan obat siap diminum dengan lancar tanpa harus R susah-susah membujuk.
"Pinter. Sudah Lolipopnya Omelet boleh tidur."
Lily mengangguk. Merebahkan tubuhnya di atas kasur. R menarik selimutnya agar Lily tidak kedinginan. Lega hati R akhirnya Lily mau dirawat sementara di rumahnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, siapapun nanti yang bertemu dengan Lily, akan ia pekerjakakan di kantornya sebagai sekretaris. Ia pegang janji itu.
***
Sore itu, kabar hilangnya Lily tersebar di sosial media. Pesantren Benang Biru termasuk kesembilan putri Romo Kiyai ikut prihatin melihatnya. Bahkan atas empatinya itu, Ning Fiyyah meminta doa kepada para santri agar Lily segera kembali pada orang tuanya. Sebagai tontonan serta tuntunan, Ning Fiyyah mengisi hari libur jumat para santri dengan mengizinkan mereka menonton televisi. Berikut pernyataan Ibu Lily terkait hilangnya Lily saat di wawancarai di rumah."Anak saya hilang saat kami mau pulang kampung naik kereta. Saya khawatir, karena anak saya tidak bisa bicara. Bagaimana dia bisa menemukan kami kalau saja dia tidak bisa memberi keterangan?" Ibu itu menangis. Para santri juga ikut menangis. Salah satu dari mereka mengambilkan tisu. Mereka bergantian mengambil tisu.
Tidak hanya pesantren yang melihat tayangan itu. Di kantor polisi pun melihat tayangan itu. Dan berusaha membagikan berita itu ke laman internet. Juga pihak polisi mengerahkan beberapa anggotanya ke TKP untuk melakukan penyelidikan. Ya. Mereka melakukan pergerakan di rel kereta. Ada kemungkinan bukti yang menguatkan keberadannya.
Berita itu juga terdengar di sel penjara. Termasuk sel tahanan Imaz. Mendengar kata nama Lily ia masih tidak yakin Lily yang dimaksud adalah Anak panti yang pernah ia rawat selama masa persembunyian. Jadinya, ia mengingat masa-masa bersamanya di panti. Apalagi ketika Eko membawanya pertama kali, ia sudah tertarik pada gadis yang menggemaskan itu.
"Anak-anak, perkenalkan ini Kakak Imaz yang akan menemani kalian bermain." Kata Eko memperkenalkan pada semua anak panti.
"Selamat datang Kakak Imaz." Mereka menyambutnya dengan kompak.
"Senang bertemu dengan kalian." Imaz menerima sambutannya.
Hari-hari ia jalani bersama Anak panti. Menyiapkan sarapan, makan siang sampai makan malam. Yang tak ketinggalan sebelum tidur, mereka minta didongengin. Imaz dengan senang hati mendongengi. Mulai dari menceritakan kisah pangeran katak yang akhirnya menikahi putri raja. Kisah putri angsa dinikahi pangeran istana.
"Putri angsanya Kakak Imaz ya?" Salah satu dari mereka bertanya. Namanya didit. Mereka selalu mendengarkan dongeng Imaz di kamar yang sangat luas dan sangat cukup buat mereka tidur.
"Anggap saja ya."
"Kalau pangeran istanananya?"
Imaz terkutuk. Rasanya mati rasa. Jawabannya hanya tersenyum.
"Ibu Imaz pasti belum menikah ya?" Didit menggoda, "sama kakak Eko saja bu."
Semua anak panti bersorak mendukung hubungan mereka.
"Sudah...sudah...nanti kalau jodoh ya alhamdulillah, kalau tidak, ya...wa syukurilah."
Imaz melanjutkan dongengnya. Hingga pada pukul sebelas malam, mereka akhirnya tidur terlelap. Keluar dari kamar bisa menghela napas panjang. Namun, sebelum masuk ke kamarnya sendiri, ia melihat salah satu anak panti sendirian di belakang panti sambil bermain ayunan. Ia datangi dia. Melihatnya menangis menatap langit. Imaz berlutut dan mengajaknya bicara.
"Adek kenapa menangis?" Tanya Imaz penuh perhatian. Lily hanya diam.
"Kangen sama Mama Papa?"
Akhirnya Lily mengangguk.
"Adek namanya siapa?" Lily masih tetap diam tetapi menatap Imaz dalam-dalam seperti hendak menjawab. Awalnya Imaz tidak mengerti arti tatapan itu. Ia mencoba memahami. Dan tersadar, bahwa anak yang di depannya itu tidak bisa bicara. Imaz memberi pengertian dengan menunjukkan pergelangan tangannya.
"Coba tulis nama Adek. Nanti pasti kakak paham."
Lily menorehkan tulisan namanya di pergelangan tangan Imaz.
"Lily?" Imaz bisa menebaknya. Lily mengangguk tersenyum.
"Lily tidak boleh sedih. Nanti Papa Mama Lily juga ikutan sedih." Imaz menghiburnya.
"Oh ya, hari ini, Lily sama Kakak Imaz jadi best friend ya? Kakak Imaz akan memanggil Lily dengan sebutan Cimol?"
Lily mengangguk senang.
"Terus, Lily panggil Kakak, Bakpao?"
Lily mengangguk senang.
"Bakpao sayang Cimol." Imaz menggoda dengan menggelitik pinggang Lily. Lily tertawa menahan rasa gelitiknya.
Bahagia jika merekam kembali kenangan itu.
"Cimol..." Gumam Imaz dengan tersenyum-senyum. Para sel tahanan heran tiba-tiba Imaz mengatakan Cimol.
Jesselyn langsung menggertaknya. Imaz kaget dibuatnya."Kau lagi pengen Cimol?"
"Rindu Cimol."
"Cimolnya apa pedagang cimolnya?" Jesselyn selalu membuat seisi sel tahanan jadi gelak tawa. Seandainya Cimol dan Bakpao saling bertemu.
Cimol yang dimaksud Imaz sekarang terbaring lemah di kasur. Malam itu, Lily tiba-tiba berkeringat dingin. Tidurnya tidak tenang karena sebuah mimpi. Mimpi ia bertemu dengan Imaz. Dalam mimpinya, Imaz sudah tidak sayang sama Lily. Ia lebih memilih Anak panti lain. Yang jahat sama Lily. Imaz melepas tangan Lily meninggalkannya. Lily tak kuasa melihatnya. Ia menangis histeris dan akhirnya ia terbangun pukul delapan malam. Merasa tangan Lily bergerak, R juga terbangun. Terkejut melihat Lily yang tiba-tiba terbangun dengan napas terengah-engah.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" R mengusap keringatnya dengan tangan. Lily meraih tangan R. Menuliskan sesuatu di pergelangan tangannya.
"Bakpao?" R bisa menebaknya.
Lily mengangguk.
"Oh, jadi kau mau dibelikan Bakpao?"
Lily langsung menggeleng dengan muka kusut.
"Lah terus kenapa dengan Bakpao?" R heran.
Lily menuliskan lagi di pergelangan tangannya.
"Ingin ketemu sama Bakpaonya Lily?"
Lily mengangguk.
"Bakpao itu siapa?"
Lily menuliskan lagi. R sungguh takjub dengan Lily, gadis yang masih berusia lima tahun, sudah pandai menulis. Lily menggoyak pergelangan tangannya karena R yang tidak fokus dengan apa yang ditulisnya.
"Apa yang Lily tulis?" Lily menghela napas kesal. Lanjut lagi menuliskan namanya.
"Imaz?" R terkejut setelah beberapa menit memahami yang ditulis.
Lily mengangguk.
"Iya, Omelet janji akan membawa Lolipop ke Bakpaonya Lily ya? Tapi Lily harus janji."
Lily mengangguk semangat.
"Janji apa hayo?"
Lily menggeleng.
"Janji harus minum dan makan teratur supaya Lily cepat sembuh. Masak, Lolipopnya Omelet rasanya pahit. Kalau mau manis harus sehat."
Lily mengangguk semangat. Merebahkan tubuhnya tidur lagi. R terus memandang Lily. Ia terpaksa harus mengembalikannya pada Imaz. Padahal, baru satu hari Lily di rumah, ia merasa hangat berada di dekatnya. Ia jadi memimpikan segera memiliki momongan. Namun, kepada siapa ia harus beristri? Ia sadar diri. Ia belum pantas menjadi Imam serta Ayah yang baik.
Hanya kata maaf dalam hati karena ia sudah tidak bisa lagi menjadi Imamnya. Rasa kepercayaan yang ia pupuk selama ini terlanjur punah karena adanya penghianatan. Toh, untuk apa percaya pada orang yang telah menghianati orang yang disayang meskipun itu istrinya sendiri.
Pertemuan itu bukan tanda rindunya. Hanya sebagai peringatan bahwa ia sudah tidak bisa lagi bersamanya.
Tunggu besok. Kau akan menyesali semuanya, Imaz.
R tersenyum licik.
***
~Sudah lama doaku sematkan. Tanpa berharap lebih Allah mempertemukan kita melintasi jalan yang tak terduga~ ♤♤♤ R sangat menyayangi Lily seperti anaknya sendiri. Sampai-sampai ia belanja untuk sarapan hari ini. Permasalahannya, ia belum lihai memasak. Demi kesembuhan Lily, ia melihat tutorial memasak di Youtube. Ia berupaya memasak makanan yang paling enak. Dengan menenteng belanjaan, R masuk rumah. Mengucapkan salam tak ada jawaban. Ia berniat melihat keadaan Lily, rupanya masih tertidur. Ini menjadi kesempatan R memasak dengan sepenuh hati. Berlandaskan kepercayaan diri. Terbentuklah keberhasilan yang hakiki. R pun menyiapkan penggorengan di atas kompor. Menuangkan minyak. Menu yang ia racik pagi ini adalah Sup Kimlo Bakso. Ada yang tahu? Sup Kimlo Bakso adalah makanan khas Tiong Hoa China. Jadi, R tidak sembarangan memasak. Ia berharap makan
~ Ku pikir kau akan sadar harapan yang selalu ku langitkan agar kita bisa bertemu. Namun, apalah daya kau terlanjur membenciku~ ♤♤♤Rasa yang telah lama terpendam, terkubur dalam doa setiap sepertiga malamnya, dibangkitkan atas pertemuan mereka kembali yang tak terduga seperti ini. Kenikmatan mana yang engkau dustakan?Imaz mendekat. Menatap lekat wajah yang ia rindukan."Gus, kau?""Aku datang kesini bukan ingin bertemu denganmu. Tapi, Lily yang ingin bertemu denganmu." Ketus Robet. Imaz menoleh pada Lily yang berdiri di belakangnya. Lily memberikannya bakpao."Selama ini, Gus Robet yang merawatmu Lily. Iya?"Lily mengangguk. Imaz menitikkan air mata sembari menerima bakpaonya. Berbeda halnya dengan Ning Fiyyah, Ningrum, dan Yati. Mereka menatap Robet penuh kebencian."Hanya itu?" Celetuk Ning Fiyyah membalas perka
~Awal perpisahan adalah pertemuan. Awal pertemuan adalah perpisahan. Mereka sama-sama menjatuhkan air mata~ ♤♤♤"Ibu Imaz, kunjungan telah selesai. Dimohon segera masuk ke sel tahanan lagi." Seru petugas penjaga sel tahanan menginformasikan. Sekitar sepuluh menit, Imaz sudah bangga mereka merayakan ulang tahunnya dan membuat kue sebegitu enaknya. Sebelum mereka pergi, Imaz memberikan perpisahan berupa pelukan.Imaz terpaksa melepaskan pelukannya saat Petugas polisi mendesaknya segera masuk ke sel tahanan. Mengiringi kepergiannya sambil membawa sisa kue ulang tahun, mereka menatap punggung Imaz sedih sekaligus bahagia karena sebentar lagi, Imaz akan dibebaskan dari penjara.Masuk sel tahanan, para sel melihat Imaz nanar membawa kue ulang tahun. Jesselyn langsung mendekatinya."Wah, kau ulang tahun Maz?"Imaz mengan
~Bukan Ya masalah bagaimana cara menyesalaikannya, tetapi Ya Allah bagaimana cara menyelesaikan masalah. Setiap masalah yang dialami pasti akan indah pada waktunya~ ♤♤♤Fajar telah merona di pelukan langit. Ning Fiyyah, Ningrum, dan Yati mengawali sarapannya. Mereka buru-buru ke kantor polisi untuk menghadiri persidangan Imaz. Ning Dija yang baru menanak nasi, segera memberitahu jika persidangan dibatalkan dikarenakan tersangka kabur dari rumah. Mereka mengucap syukur dalam hati akhirnya tanpa ribet, Imaz dibebaskan dari penjara. "Jadi begitu," kata Ning Dija. "Ya sudah. Kita langsung saja jemput Imaz," seru Ningrum tidak sabaran. "Kalian sarapan terlebih dahulu." "Kau saja yang makan. Kita makan di jalan saja sama Imaz." "Ya sudah. Kalian
~Sekuat apapun seseorang memperjuangkan jika memang bukan jodohnya, manusia hanya bisa ikhlas melepaskan dan seindah apapun cara seseorang memutuskan berpisah tetap saja menyakitkan~ *** Pagi itu sangat cerah seperti hati Imaz yang sedang bercandu dengan dinginnya suasana dan sepoi-sepoinya angin. Siapa yang tak menyangka seorang Imaz sekarang tinggal bersama keluarga Kiyai Abdul Musthofa. Sambil menyeruput teh di balik tirai kamar, ia teringat wajah Robet. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah ia merindukannya? Imaz sudah bebas dari penjara. Dia membutuhkan kehadirannya. "Kenapa? Apa yang sedang kau pikirkan?" Tanya Ningrum yang tiba-tiba nongol di kamarnya dan mendekat ke arahnya. "Aku merindukan Gus Robet, bu. Kenapa dia tidak memberi kabar?" Lagi-lagi Imaz menyebut nama yang Ningrum benci. Bagaimanapun juga, Imaz masih istri sahnya. Ia tidak mempercayai keputusan Romo Kiyai yang menjo
~Jika takdirnya bersanding, sandingkanlah ! Jika takdirnya berpisah, pisahkanlah ! Jangan menggantungkan hubungan ini karena bukan cinta buta~***Dalam guyuran hujan ini, pupus sudah harapan untuk berpisah dengannya. Imaz meraih map itu sudah tidak karuan. Tulisan tak bisa dibaca. Semuanya buram. Ningrum dan Ning Dija menghampiri Imaz dan membantunya berdiri."Surat apa itu, Imaz?" Ningrum bertanya karena melihat ekspresi Imaz sedih dengan map merah itu."Bu, ini surat perceraian. Aku dan Gus robet sudah memutuskan untuk berpisah." Imaz berterus terang."Ya Allah...kau yang sabar ya Imaz. Ibu yakin kau pasti bisa mendapatkan yang tepat untukmu.""Tidak bu. Imaz tidak mau menikah lagi. Lebih baik aku sendiri dari pada mencari pria lain.""Cukup Imaz. Istighfar. Jangan buta karena cinta.""Ini bukan cinta buta bu. Justru berdo
~Engkau boleh menganggapku tak punya perasaan. Tapi, asal kau tau, aku meninggalkanmu dengan penuh perasaan~ ***Jleppp !Arman sungguh gila. Ia nekad menusuk kedua mata Robet agar dia bisa jatuh ke danau. Kini Arman dan Irma sudah tak bisa diselamatkan. Mereka meninggal dalam keadaan hanyut terbawa arus danau.Robet terjatuh mengerang kesakitan. Darah terus mengucur dari kedua matanya. Tim penyidik bergegas membawanya ke mobil. Secepat mungkin kapten Richard mengendarai mobilnya ke rumah sakit. Tim penyidik juga sesekali mengusap darahnya dengan kapas. Ia terus mengerang kesakitan sampai-sampai meremas tangan mereka."Robet, bersabarlah. Sebentar lagi kita sampai. Kau pasti kuat," kata kapten Richard menenangkan.Salah satu dari mereka juga
~Mengapa masih saja ada sisa rasa ketika rindu terbelenggu oleh kehadiranmu~ *** Ning Fiyyah dan Robet menggerakkan jarinya. Imaz yang baru datang ke ruang ICU, dikejutkan keterharuan Ning Dija karena akhirnya Ning Fiyyah bisa menggerakkan jarinya. Ia pun segera menekan tombol alarm guna memberitau perawat. Dalam beberapa menit kemudian, dokter datang. Ia segera memeriksa jantungnya."Bagaimana dok keadaannya sekarang?" Tanya Ning Dija tidak sabaran."Keadaannya sedikit demi sedikit mulai stabil," ungkap dokter sembari melepaskan alat stetoskopnya. "Tunggu dia sampai bisa membuka matanya.""Iya dok.""Nanti, kalau sudah siuman, kasih makan. Jangan lupa obatnya dirutinkan.""Baik, dok."
~Kau pernah menjadi raja di hatiku, ketika rindu itu menggebu. Namun, justru Allah menjadikan aku permaisurimu ketika cinta itu bertemu~ ***Pesawat jatuh terseret arus banjir di kawasan Var. Tim sar segera mengerahkan tenaganya untuk mengevakuasi korban penumpang yang ada di pesawat. Terdapat 12 yang tewas. Mereka membawa 12 mayat ke rumah sakit untuk dimandikan. Sementara yang lain denyut nadinya masih berdetak.Berita bencana badai besar di perancis sudah disiarkan diberbagai media. Berita itu terdengar juga di telinga keluarga Hilda, Robet dan Ning Fiyyah. "Ya Allah, bagaimana keadaan Hilda?" Kiyai Usman sungguh cemas. Abah Hilda sudah makin keriput. Hanya bisa duduk di kursi roda. Ditemani istrinya yang juga sudah beruban. "Semoga Hilda bisa diselamatkan yah," Umik menenangkan. Sampai di rumah sakit, 12 yang tewas dibawa ke kamar mayat. Petugas polisi menyelidik atas nama siapa
~Jika aku bukan jalanmu. Ku berhenti mengharapkanmu. Jika aku memang tercipta untukmu. Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu~ ***Demi menyenangkan istri tercinta, akhirnya Robet mengajaknya bulan madu di luar negeri. Tepatnya di perancis. Sebelum berangkat, Hilda menyerahkan beberapa wisata yang ingin ia kunjungi, diantaranya; menara eiffel, sungai seine, jembatan gembok cinta atau pont des arts, dinding cinta atau Le Mur des Je T’aime, mobil 2cv, musium louvre, dan Jardin du Luxemburg atau taman bunga. "Ngidamnya banyak amat," goda Robet sambil mengendarai mobil menuju bandara. Sebelumnya mereka sudah berpamitan pada orang tua. Mereka mendoakan semoga Robet dan Hilda berhasil beribadah dengan penuh cinta di malam jum'at. Mereka saling tersipu. Jantung berdetak sudah tak menentu membayangkan akan beribadah penuh cinta di malam hari. "Memang itu yang aku idamkan, sayang," kata Hilda sambil
~Kecupan punggung tanganmu. Kecupan bibirku di dahimu. Belaian tanganmu mencuci kakiku. Tatapan matamu menyibak arti kecantikanmu. Dengan besanding bersamamu di pelaminan, inilah tahap awal belajar untuk mencintaimu~ ***Selesai prosesi pernikahan, para tamu dipersilakan makan hidangan yang tersedia di kursi tamu undangan. Para tamu undangan memakannya dengan lahap. Tambah nikmat dengan diiringi sholawat banjari. Sementara mempelai putra dan putri duduk saling diam di pelaminan. "Aku memang seperti ini orangnya," kata Robet memulai perbincangan pada Hilda karena sedari tadi saling diam membisu. "Iya Gus. Aku tahu mungkin kau butuh waktu menerima pernikahan ini." Hilda memaklumi. Usai mereka menikmati hidangan makanannya, para tamu undangan dipersilakan sesi foto. Foto bersama teman-teman, kerabat dan yang paling utama adalah kedua keluarga mempelai. Selesai sesi foto, kedua m
~بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ"Barakallahu laka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair""Semoga Allah memberi barakah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dlm kebaikan." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)~***Robet merasa ada yang mereka sembunyikan. "Bu, ayah kemana? Kok aku sama sekali tidak mendengar suaranya?" Ningsih bingung harus menjawab apa. Ia pun terpaksa menjawab seadanya. "Ayah sedang mencari makanan." "Oh, begitu." Ningsih menahan air matanya. Sultan dan pihak kepolisian membawa satpam ke kantor untuk dimintai keterangan. Saat Sultan bertemu langsung dengan geng mafia. Dengan emosi, dia menampar mereka satu persatu. "Sebenarnya, siapa kalian sampai berusaha membunuh Robet?" Pihak polisi berusaha menenangkan Sultan dengan menyuruhnya duduk. Ray sebagai ketua geng tersenyum licik. "Kau mau tau siapa kita?" Ra
~Kebahagianku adalah melihat Robet bahagia. Kesedihanku adalah melihat Robet sedih. Karena harta yang paling berharga adalah memiliki anak seperti Robet~ ---NINGSIH---- ***Hilda mencoba menelponnya, namun tak dapat dihubungi. Jadi benar ia telah memblokir nomornya. Apa dia merasa sakit hati? Air mata Hilda meleleh. Ia kemudian terisak. Kenangan bersamanya sungguhlah banyak. Ketika saat pertama kali bertemu dengan dia. Di sebuah jembatan ampera, ia tak sengaja menabraknya. Itu semua karena kecerobohannya. Bangun kesiangan. Tidak sempat sarapan. "Kau baik-baik saja?" Saga justru menanyakan keadaannya. "Iya, aku baik-baik saja. Maaf ya, aku buru-buru." Hilda meraih tasnya yang tergeletak di sampingnya. Lalu, berlari masuk ke kelasnya. Pertemuan itu ketika Saga skripsi jurusan bahasa inggris. Ia tetap lanjut kuliahnya di jurusan
~Ketika kedua kali aku mengucapkan Qobiltu, aku akan belajar untuk mencintaimu. Walau terkadang melawan hati sulit bagiku. Karena adanya keyakinan, aku percaya Allah yang memberi restu~ -----SAGA------ ***Hal yang paling dinantikan Robet adalah bisa melihat. Ketika sudah lama ia menunggu antrian, akhirnya Dokter Thomas memanggilnya juga. Ningsih dan Sultan senang melihatnya. Mereka menunggunya di depan ruang operasi sambil berdoa. Kapten Richard masih memberi pertanyaan pada geng mafia itu. Ia belum puas jika tidak ada bukti. Maka, kalau sampai hari ini ia tak menjawab jujur lagi, ia akan mencari bukti bersama anggota-anggotanya. Petugas polisi membawa Ray lagi. Ia menatapnya dengan memutar bola matanya malas. Lalu, duduk. "Ray, jangan bosan-bosan mendengar pertanyaanku jika kau tidak mau jujur," kata Kapten Richard."Apalagi yang
~Janji kita berdua yang dulu pernah kita ikrarkan untuk bersatu dalam ikatan cinta harus terpisah dalam alam berbeda. Akankah janji kedua bisa satu untuk selamanya?~ ***Sultan sudah meminta taarufan mereka selesai. Tak mau nanti kesiangan dan terlalu menunggu lama di bandara, Sultan menuntun Robet. Hilda menatapnya sangsi. Kiyai Usman juga merasa tak enak jika mengganggu keberangkatan mereka. Maka, beliau meminta maaf dan pamit langsung pulang ke rumah. Sultan menyalakan mesin mobilnya. Mobil siap melaju ke bandara. Robet siap untuk dioperasi. Mata siap untuk melihat luasnya dunia. Selama tiga bulan ini, mereka akan menetap di Singapura. Menanti keberhasilan penglihatan Robet. Masalah pekerjaan, Sultan sudah meminta Daniel menghandle-nya. Masalah jadwal pengajian, Robet sudah mencari penggantinya dari kang-kang lain yang siap mengajar. Masalah pernikahan, mereka serahkan semuanya pada Allah ta'ala. Mu
~Mencoba mengobati dengan pengganti baru. Mencoba melupakan karena dia bukan untukku. Dan mencoba mengikhlaskan walau kadang hati sering berdusta. Cinta tak salah. Tapi aku yang salah~ ***Senja membutakan segalanya dengan segala keindahannya. Ning Fiyyah dengan gesit melukisnya. Ibu Robet memotretnya. Keluarga Hilda merekam saat senja datang hingga menghilang. Mereka mengabadikan momen dengan cara masing-masing. Ketika senja menghilang, Ning Fiyyah mengucapkan terima kasih telah mengizinkan melukisnya. Robet mengucapkan terima kasih telah hadir walau dia tak bisa melihat kehadirannya. Hilda mengucapkan terima kasih sudah hadir walau sebentar. Tapi, ia yakin dia akan datang dengan segala keindahannya. Senja yang datang untuk mengindahkan, rela menghilang demi langit yang menggelapkan. Langit sudah menunjukkan kegelapannya. Keluarga Hilda memulai makan malamnya. "Hilda, besok pagi k
~ jika kau cinta, siapkan hatimu. Jika kau kecewa, siapkan akalmu. Jika sudah terlanjur sakit dan kecewa, siapkan relasi antara hati dan akalmu. Kadang punya hati tapi tak dapat memahami. Kadang punya akal tapi tak dapat berpikir~ ***Melihat kabar kematian Imaz, Irma ingin berkunjung ke makamnya. Tetapi, bagaimana bisa sedang dia di penjara. Penjaga polisi tadi langsung menarik tangan Irma. Mengisyaratkannya untuk kembali ke sel tahanan. Ia melintasi sel tahanan. Tepat di depan sel tahanan Arman, ia menghentikan langkahnya. Arman yang sedang duduk termenung di pojokan segera mendekat. Irma menatapnya nanar. "Man, apa kau sudah tau kabar tentang Imaz?" Tanya Irma menyeka air matanya. "Dia sudah ketemu?" "Iya.""Alhamdulillah.""Dan dia sudah bahagia disana." "Mereka menikah?""Imaz sudah bahagia di alam sana."Arman terperangah. Jantungnya berdetak