~Menata hati dalam mencari jati diri. Menyusun mimpi menuju pencapaian sejati~
♤♤♤
Pagi itu para sel tahanan rebutan mengambil sarapan. Saling berteriak meminta makanan. Mendorong sana-sini karena ambisinya mendapat makanan. Suasana seperti ini mengingatkannya saat di pesantren. Semuanya serba antri. Kebersamaannyalah yang membuat ia dirundung rasa rindu.Giliran Imaz bergerak maju, salah satu dari mereka mendorong Imaz sampai jatuh. Jesselyn yang santai tidak terburu-buru mengambil makanan, bergerak membelanya.
"Apa begini cara kalian mengantri makanan?" Ketus Jesselyn. Ia memang sangat pemberani.
Jesselyn membantu membangunkan Imaz. Mereka mundur memberi ruang untuk mengeluarkan Imaz dari kerumunan.
"Eh, Jes. Untuk apa kau membela wanita itu, tidak ada gunanya." Jawabnya meledek. Sebut saja namanya Poppy. Ia ketua geng dari tempat sel penjara yang Imaz tempati. Para pengikutnya menambah dengan menertawakan Jesselyn. Ia merasa geram tak terima harga dirinya diinjak-injak seperti itu. Tidak berlangsung lama, ia menarik kotak makan Poppy dan ia berikan pada Imaz. Sementara milik Imaz yang masih kosong, ia berikan pada Poppy.
"Impas." Katanya membalasnya meledek.
"Kurang ajar ! Serang dia!!" Poppy berteriak. Kali ini, mereka tidak main-main. Tanpa mengambil kuda-kuda, mereka keroyokan.
"Imaz, kau mundur. Lalu lapor ke pak polisi." Teriak Jesselyn setengah terdengar setengah tidak karena suara keroyokan geng Poppy. Mereka melayangkan pukulan ke perut Jesselyn. Ia tangkis dengan menendang kakinya. Pertengkaran berujung klimaks. Imaz sangat panik. Ia terus berteriak memanggil pihak polisi untuk menindaklanjuti perselisihan ini. Pihak kepolisian akhirnya berdatangan.
"Diam! Harap tenang!!!" Salah satu dari pihak polisi menekan pistol ke atap. Mereka berlangsung diam. Jesselyn sempoyongan menahan perutnya yang sakit. Imaz segera menghampiri dan memberi pertolongan pertama dengan mengolesinya obat luka.
Pihak kepolisian membuka jeruji besi. Memindahkan geng Poppy yang selalu membuat rusuh ke sel yang lebih pantas untuk mereka. Sel tahanan nomor 77 paling belakang. Mereka menatap Jesselyn emosi.
"Kami sudah memindahkan ke sel paling belakang. Jadi sel tahanan ini khusus untuk kalian berdua." Kata salah satu pihak polisi menutup jeruji besi.
"Terima kasih Pak." Ucap Jesselyn.
"Ini obat lukanya." Pak polisi itu menyerahkan obat luka pada Jesselyn.
"Sekali lagi terima kasih Pak."
"Sama-sama."
Pak polisi itu melenggang keluar dari sel tahanan. Sementara Imaz membukakan kotak obat lukanya. Mengoles luka pada tepi mulut dengan kapas dan penuh perhatian.
"Kenapa kau melakukan ini?" Tanya Imaz merasa terharu dengan pengorbanannya tadi.
"Tidak usah baper. Biasa saja."
"Aku merasa tidak enak."
"Kasih bumbu saja biar enak."
Imaz menghela napas kesal. Menurut Imaz, Jesselyn ini tipe orang yang suka tidak mau dipuji. Walaupun sikapnya menjengkelkan. Ia berusaha memahami sikapnya yang misterius itu.
"Jangan seperti ini lagi ya?" Kata Imaz berkaca-kaca.
"Tidak usah cengeng." Jesselyn bukannya membuat Imaz merasa tak enak hati. Justru dengan pengorbanannya itu supaya ia menjauh darinya.
"Lagian kenapa sih kau tidak membalasnya. Harga diri itu penting Maz. Apa kau mau dalam hidupmu selalu direndahkan terus? Mending tidak usah hidup kalau begitu." Kalimat Jesselyn itu menyakitkan. Tetapi mengandung pengertian.
"Tapi bagaimana jika orang yang merendahkan kita, menyakiti orang yang kita sayang?" Imaz balik bertanya.
"Kau sayangkan?"
Imaz mengangguk yakin.
"Korbankan. Bukan membiarkan. Bodo amat dia mau menyakiti suamimu misalkan. Jangan percaya! Sakiti balik saja. Bereskan?"
"Hidup itu jangan dibuat ribet sendiri. Jika disakiti, sakiti balik. Jika dia baik, balas dia dengan baik. Simpel kan?"
Semudah itu cara Jesselyn hidup hingga ia kuat menjalani semuanya. Imaz wanita yang lemah. Ibarat kaca yang mudah retak ketika disakiti. Mudah berkilau ketika disanjungi.
Selain dipindah ke sel paling belakang, mereka juga mendapatkan hukuman. Ya. Mengumpulkan beberapa sampah dan mengangkut batu-bata untuk renovasi tempat sel tahanan yang baru.
***
Kereta api menuju Depok akan berjalan beberapa jam lagi. Para penumpang diharapkan bersabar menunggu. Mereka amat beruntung membawa selimut karena udara diluar sangat dingin juga gelap membawa suasana semakin merinding. Tidak pada gadis kecil yang duduk disamping orang tuanya. Ia tampak menikmati udara segar dari jendela kereta."Diluar dingin, Nak. Ayo tidur sudah malam." Kata Ibunya khawatir.
Gadis kecil itu memonyongkan bibir kecewa. Ibunya segera menutup jendela kereta.
"Nama kamu siapa Adek kecil?" Sapa Nenek-nenek yang duduk disampingnya. Nenek itu gemas sekali dengannya.
"Lily. Namanya Lily." Sahut ibunya menjawab.
"Gemas sekali namanya." Nenek itu langsung mencubit pipi kanannya.
"Kelas berapa Lily?"
"Dia baru berusia lima tahun." Lagi-lagi, ibunya yang menjawab. Dari raut muka Nenek itu seperti ingin sekali memiliki cucu. Nenek itu merogoh sakunya dan memberinya uang lima puluh ribu.
"Lily, ini buat beli es krim."
Lily menerimanya tersenyum manis. Uang yang diberikan Nenek itu dimasukkan ke saku kecilnya.
Malam semakin gelap. Dingin semakin menggelitik. Para penumpang yang menghibur diri di kereta entah menonton film, bercanda dengan penumpang yang lain, kini semua sudah terlelap dan kereta tak kunjung berjalan juga. Lily masih membuka mata. Melihat bintang yang bersinar di langit. Ia teringat pesan wanita itu.
"Lily, bintang itu selalu menyinari langit dalam gelapnya malam. Seperti Lily yang selalu menyinari semua orang meski dia jahat."
Wajah yang ada dalam bayangannya pun tak asing. Ya. Dia adalah Imaz. Wanita yang selama ini merawatnya, menemaninya di Panti asuhan. Sampai ia mendapatkan orang tua angkat. Kasih sayang Imaz tiada bandingannya bagi Lily. Berbanding dengan pengasuh Panti asuhan yang meski dia selalu memberi perhatian. Berbanding dengan orang tua angkatnya yang meski mereka selalu menuruti kemauannya. Semua tak lepas merindu dengan Imaz.
Meow...meow...
Suara kucing mengeong terdengar nyaring di telinga Lily. Ia keluar dari kereta mencari tahu keberadaan kucing tersebut. Usut punya usut, Lily menemukan kucing tersebut di pinggir rel kereta. Kucing itu masih kecil seperti dirinya. Mengendus-endus kakinya kelaparan. Menggulung-gulungkan tubuhnya memohon. Lily pun kasihan dan membalas dengan menggendong kemudian membelai lembut bulu lebatnya.Cerobong asap kereta tiba-tiba berbunyi. Roda siap berputar dan berjalan sesuai porosnya. Lily kaget. Ia mencoba mengejar kereta tersebut. Namun, usaha yang ia bisa lakukan hanyalah menangis tanpa mereka tahu keadaan Lily.
Lily tersesat sambil terus menangis. Ia terjebak di terowongan kereta. Ketakutan pada gelapnya malam. Kucing yang ia temukan masih dalam gendongannya. Semua terasa temaram. Tak ada pertolongan buat si kecil manis itu. Ia terduduk di pinggir rel kereta. Menangis tiada hentinya hingga mata terasa kantuk dan akhirnya ia terlelap tidur.
Sampai pada pagi harinya, kereta jurusan dari Depok ke Tangerang berhenti. Sosok pria memakai jaket hitam, bertopi abu-abu, menggendong tas ransel tinggi keluar dari kereta melihat anak malang itu. Ia lepaskan kaca mata hitamnya dan langsung panik ketika anak malang itu tak sadarkan diri.
***
Jeruji besi dibukakan oleh petugas polisi. Mengantarkan dua kotak makan pada pagi hari untuk Imaz dan Jesselyn.Mereka terbangun. Mengucek matanya yang masih ngantuk."Sudah pagi, ayo makan." Perintah petugas polisi meletakkan makanannya di lantai. Mereka merapat mengambil makanannya. Membuka makanannya berupa menu nasi dan oseng-oseng tempe. Meski demikian, mereka tetap melahap makanannya. Tidak tahan dengan perutnya yang terus berdemo.
"Kalau mau apa-apa bilang saja. Tidak perlu sungkan."
"Beres Pak. Habis ini belikan saya es krim." Permintaan Jesselyn langsung ngegas.
"Baiklah, jika permintaanmu masih ada."
Pak polisi itu keluar dan langsung mengunci jeruji besinya.
"Pak, nama Bapak siapa?" Teriak Jesselyn berusaha memanggil ketika pak polisi itu melangkah berjalan. Ia membalikkan badan lantas menjawab, "Pak Rudy."
"Selamat pagi Bapak Rudy. Selalu ganteng ya?" Jesselyn menggoda. Imaz terbelalak kaget. Pak Rudy hanya tersenyum tipis. Ia terlihat kaku digoda sebab ia tak membalas perkataannya dan langsung pergi keluar.
"Polisi itu ya mukanya serius terus." Kata Jesselyn sambil mengunyah makanannya.
"Mungkin hanya tuntutan kerja."
"Tuh kan, lagi-lagi manusia itu selalu akting."
"Kamu berani sekali ya menggoda kepada polisi pula."
"Untuk apa takut? Lagipula aku terbiasa menjadi wanita penggoda."
Imaz terperanjat dengan kalimatnya.
"Tidak usah kaget. Aku nggak menggigit kok." Jesselyn cengengesan.
"Kurang satu bulan lagi, kau keluar dari penjara." Kalimat Imaz menjadikan suasana hati berujung melow. Sudah dua bulan mereka menjalani kebersamaan di penjara. Saling bercanda, berkorban, dan berbagi pengalaman. Semua tak luput dari kenangan.
"Aku benci sama kamu Imaz." Kata Jesselyn mengagetkan Imaz.
"Kenapa tiba-tiba?"
"Selalu membuat aku menangis." Air mata Jesselyn jatuh perlahan di pipi. Mendadak dia memeluk Imaz dengan erat. Mereka larut dalam air mata.
"Maaf selama ini aku selalu membuatmu menangis."
"Sekali lagi, aku benci sama kamu."
"Kenapa lagi?"
"Selalu membuatmu merasa bersalah."
Imaz melepaskan pelukannya. Menghapus air matanya.
"Aku juga benci sama kamu."
"Benci kenapa?"
"Selalu berkorban demi aku."
"Aku akan membuatmu semakin benci sama aku."
"Maksudmu?"
Jesselyn merogoh sakunya. Mengeluarkan sebuah obat bubuk warna putih. Imaz menatapnya heran. Tanpa menghiraukan reaksinya, ia langsung menenggak obat itu sampai habis. Menetralisirnya dengan air putih, lalu tersenyum.
"Obat apa itu?" Imaz penasaran.
"Ganja." Jawabnya tanpa beban.
"Kau gila ya? Kenapa kau melakukan itu?"
Jesselyn mengacuhkan pertanyaan Imaz dan langsung berteriak memanggil Pak Rudy. Sedetik kemudian, Pak Rudy datang menghampiri.
"Ada yang bisa dibantu?" Pak Rudy bertanya.
"Saya habis minum ganja, Pak." Jesselyn menunjukkan bungkus bekas ganjanya.
"Apa Anda masih menyimpannya?"
"Iya, Pak. Jadi, tahan saya lagi."
Imaz dan Pak Rudy terbelalak.
"Tidak usah kaget. Penjarakan saya lagi tiga bulan."
Imaz menepuk jidat. Terkadang sahabat melakukan hal konyol di depannya. Pengorbanan memang beragam caranya. Seperti yang dilakukan Jesselyn.
***
Pesantren Benang Biru masih tetap berdenyut ramai. Pengajaran kitab berlangsung begitu damai. Pukul setengah sepuluh, Ning Dija mengakhiri pelajarannya di kelas khodam. Beliau melenggang keluar dari kelas. Para santri berbondong-bondong keluar menuju kantin sekedar menyegarkan otaknya dengan menjamah berbagai jajanan kantin.Di ruang tamu, kesembilan putri Romo Kiyai berkumpul membahas persoalan kematian Eko yang misterius.
"Aku yakin ada alasan tersendiri kenapa Pak Eko mencelakai dirinya sendiri." Ning Fiyyah menduga.
"Apa mungkin dia masih terlilit hutang, putus asa lalu bunuh diri?" Dugaan Ning Shita.
"Coba panggil Wafi untuk menceritakan hasil penyelidikannya." Dugaan demi dugaan mereka lontarkan. Ning Dija akhirnya yang memutuskan agar dugaan tersebut mendapat pencerahan. Ning Fiyyah mencoba menghubungi Wafi. Memintanya datang ke pesantren untuk dimintai penjelasan. Secepat mungkin Wafi mengendarai mobil agar segera sampai ke pesantren.
Hanya menunggu beberapa menit saja, Wafi datang. Ning Fiyyah memberi ruang duduk di antara mereka.
"Ada keperluan apa sehingga kalian memanggil saya kesini?" Wafi tanpa basa-basi bertanya.
"Kami ingin tahu hasil penyelidikan kematian atas nama Eko." Ning Fiyyah menjawab.
"Oh, itu. Ya. Kami pihak kepolisian masih dalam proses penyelidikan."
"Apa ada bukti-bukti tentang kematian Eko?"
"Masalah bukti masih penyidikan. Tapi kami mendatangi rumahnya lewat ktp yang ada di dompetnya."
"Bagaimana setelah kau mendatanginya?"
"Jadi..."
Wafi menjelaskan kronologis cerita kehidupan Eko. Saat mendatangi ke rumahnya, ternyata itu alamat neneknya. Dia yang menceritakan semua tentang Eko. Neneknya bercerita, jika Eko itu anak sebatang kara yang ia titipkan ke panti asuhan sejak lahir. Ayahnya meninggal saat kejadian jatuhnya pesawat garuda. Ibunya syok dan disaat bersamaan, mereka meninggal. Disanalah Eko dibesarkan sama pengurus panti hingga ia menjadi satpam di panti.
Suatu hari, ia di adopsi sama keluarga yang ternyata, keluarga tersebut memiliki perusahaan sebagai agen mafia. Ia tidak betah tinggal bersama keluarga mafia yang hobinya membunuh orang yang tidak bersalah. Neneknya tidak sepenuhnya tahu latar belakang keluarga mafia itu. Ketidak betahannya itu membuat Eko nekad kabur mencari pekerjaan lain yang kebetulan dia bekerja menjadi pelayan di restoran milik Arman.
"Jadi, Arman memiliki restoran?" Ning Fiyyah menangkap pernyataan baru.
"Iya. Kami melihat di laman pemberitaan, dia bos restoran."
"Tapi kenapa dia berencana mencuri warisan Ayah?"
"Soal itu kami tidak tahu. Yang pasti kami menangkap kalau Eko bunuh diri karena tidak ada pekerjaan setelah membawa kabur Imaz."
"Sulit bagi kami menerima kalau Imaz adalah pelakunya. Aku yakin, Eko pasti tahi siapa pelakunya."
"Pelaku atau tidaknya, yang pasti Eko masih ada kaitannya dengan pembunuhan Romo Kiyai. Karena setelah terbunuhnya Romo, kami baru menemukan jasad Eko yang sudah membusuk."
"Ya Allah...kira-kira kapan kejadian kecelakaan itu?" Ning Dija ikut prihatin.
"Kami mengecek kapan Eko melihat w******p-nya, setelah hari dimana Romo terbunuh."
Seisi ruangan terkejut. Penyelidikan sebentar lagi mengungkapkan kebenaran. Mereka semakin yakin kejadian ini membawa pada keadilan. Imaz tak pantas dizalimi.
"Lalu, apa rencana kalian?"
"Kami akan mendatangi Arman juga mencari Robet."
"Jadi, kalian tidak tahu keberadaan Robet?" Ning Fiyyah terkejut.
"Setelah pensiun jadi polisi, ia sama sekali tidak mengabarkan keberadaannya. Rumahnya disewa. Perusahaannya saja dari dulu dia tidak pernah cerita."
"Robet, kemana kamu? Imaz sangat membutuhkanmu." Dalam hati Ning Fiyyah.
Pengorbanan sahabat demi menyatukan cinta belum dapat ia gapai. Kekecewaan yang dikorbankan mematahkan mimpi yang ia sematkan. Dan keikhlasan hati dalam meraih mimpi itu butuh kesabaran. Sahabatnya mampu melewati kesabaran itu. Ia pun harus memberi kekuatan atas kesabaran sahabatnya.
***
~Bertambahnya kawan menghapus lawan. Bertambahnya doa menyimpan pahala. Bagaimana dengan kehilangan cinta menyambut benci?~ ***Empat tahun sudah ia lalui tanpa merasa beban. Sebagai terdakwa kasus pembunuhan Romo Kiyai tak memungkiri ia tetap ziarah ke makam beliau. Bersama dengan Jesselyn, Imaz sengaja mengajak ke pesantren untuk memberikannya tempat tinggal. Tampilan Jesselyn lebih tertutup dibanding saat di penjara. Itu semua berkat Imaz yang membimbingnya pelan-pelan ke jalan yang lebih terang. Dibilang susah, iya. Karena Jesselyn belum terbiasa memakai hijab dengan dress panjang. Saat bebas dari penjara kurang dua tahun lagi, Imaz berkali-kali meminta Ningrum berkunjung untuk membawakan semua pakaiannya yang masih ada di pesantren. Tapi yang dibawa bukan hanya pakaian Imaz bahkan kesembilan putri Romo Kiyai menyisihkan pa
~Telah lama rindu itu merajalela. Namun Allah memberikannya tanpa ia pinta. Inikah pertemuan terbaik yang tak pernah ia bayangkan selama ini~ ♤♤♤Selamat sampai tujuan, Ibu Lily tersadar anaknya tidak ada semalaman. Ia panik. Mencoba menanyakan keberadaan Lily pada seisi penumpang jawabannya nihil. Ayahnya menenangkan kepanikannya. "Tenang Ma. Pasti Lily bisa ditemukan." Kata Ayah membelai punggungnya berusaha menenangkan. "Padahal kemarin aku sangat senang bisa ngobrol sama Lily. Berharap ia tidak diam saja dan mau bercanda." Nenek yang pernah mengajak Lily mengobrol ikut sedih dan menyesal tidak bisa menjaganya. "Nenek tidak tahu, apa yang terjadi dengan Lily." "Memangnya kenapa?" Nenek penasaran. "Dia bisu Nek. Percuma saja Nenek mengajaknya mengobrol." Nenek itu kaget. Pantas saja dia banyak diam ke
~Sudah lama doaku sematkan. Tanpa berharap lebih Allah mempertemukan kita melintasi jalan yang tak terduga~ ♤♤♤ R sangat menyayangi Lily seperti anaknya sendiri. Sampai-sampai ia belanja untuk sarapan hari ini. Permasalahannya, ia belum lihai memasak. Demi kesembuhan Lily, ia melihat tutorial memasak di Youtube. Ia berupaya memasak makanan yang paling enak. Dengan menenteng belanjaan, R masuk rumah. Mengucapkan salam tak ada jawaban. Ia berniat melihat keadaan Lily, rupanya masih tertidur. Ini menjadi kesempatan R memasak dengan sepenuh hati. Berlandaskan kepercayaan diri. Terbentuklah keberhasilan yang hakiki. R pun menyiapkan penggorengan di atas kompor. Menuangkan minyak. Menu yang ia racik pagi ini adalah Sup Kimlo Bakso. Ada yang tahu? Sup Kimlo Bakso adalah makanan khas Tiong Hoa China. Jadi, R tidak sembarangan memasak. Ia berharap makan
~ Ku pikir kau akan sadar harapan yang selalu ku langitkan agar kita bisa bertemu. Namun, apalah daya kau terlanjur membenciku~ ♤♤♤Rasa yang telah lama terpendam, terkubur dalam doa setiap sepertiga malamnya, dibangkitkan atas pertemuan mereka kembali yang tak terduga seperti ini. Kenikmatan mana yang engkau dustakan?Imaz mendekat. Menatap lekat wajah yang ia rindukan."Gus, kau?""Aku datang kesini bukan ingin bertemu denganmu. Tapi, Lily yang ingin bertemu denganmu." Ketus Robet. Imaz menoleh pada Lily yang berdiri di belakangnya. Lily memberikannya bakpao."Selama ini, Gus Robet yang merawatmu Lily. Iya?"Lily mengangguk. Imaz menitikkan air mata sembari menerima bakpaonya. Berbeda halnya dengan Ning Fiyyah, Ningrum, dan Yati. Mereka menatap Robet penuh kebencian."Hanya itu?" Celetuk Ning Fiyyah membalas perka
~Awal perpisahan adalah pertemuan. Awal pertemuan adalah perpisahan. Mereka sama-sama menjatuhkan air mata~ ♤♤♤"Ibu Imaz, kunjungan telah selesai. Dimohon segera masuk ke sel tahanan lagi." Seru petugas penjaga sel tahanan menginformasikan. Sekitar sepuluh menit, Imaz sudah bangga mereka merayakan ulang tahunnya dan membuat kue sebegitu enaknya. Sebelum mereka pergi, Imaz memberikan perpisahan berupa pelukan.Imaz terpaksa melepaskan pelukannya saat Petugas polisi mendesaknya segera masuk ke sel tahanan. Mengiringi kepergiannya sambil membawa sisa kue ulang tahun, mereka menatap punggung Imaz sedih sekaligus bahagia karena sebentar lagi, Imaz akan dibebaskan dari penjara.Masuk sel tahanan, para sel melihat Imaz nanar membawa kue ulang tahun. Jesselyn langsung mendekatinya."Wah, kau ulang tahun Maz?"Imaz mengan
~Bukan Ya masalah bagaimana cara menyesalaikannya, tetapi Ya Allah bagaimana cara menyelesaikan masalah. Setiap masalah yang dialami pasti akan indah pada waktunya~ ♤♤♤Fajar telah merona di pelukan langit. Ning Fiyyah, Ningrum, dan Yati mengawali sarapannya. Mereka buru-buru ke kantor polisi untuk menghadiri persidangan Imaz. Ning Dija yang baru menanak nasi, segera memberitahu jika persidangan dibatalkan dikarenakan tersangka kabur dari rumah. Mereka mengucap syukur dalam hati akhirnya tanpa ribet, Imaz dibebaskan dari penjara. "Jadi begitu," kata Ning Dija. "Ya sudah. Kita langsung saja jemput Imaz," seru Ningrum tidak sabaran. "Kalian sarapan terlebih dahulu." "Kau saja yang makan. Kita makan di jalan saja sama Imaz." "Ya sudah. Kalian
~Sekuat apapun seseorang memperjuangkan jika memang bukan jodohnya, manusia hanya bisa ikhlas melepaskan dan seindah apapun cara seseorang memutuskan berpisah tetap saja menyakitkan~ *** Pagi itu sangat cerah seperti hati Imaz yang sedang bercandu dengan dinginnya suasana dan sepoi-sepoinya angin. Siapa yang tak menyangka seorang Imaz sekarang tinggal bersama keluarga Kiyai Abdul Musthofa. Sambil menyeruput teh di balik tirai kamar, ia teringat wajah Robet. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah ia merindukannya? Imaz sudah bebas dari penjara. Dia membutuhkan kehadirannya. "Kenapa? Apa yang sedang kau pikirkan?" Tanya Ningrum yang tiba-tiba nongol di kamarnya dan mendekat ke arahnya. "Aku merindukan Gus Robet, bu. Kenapa dia tidak memberi kabar?" Lagi-lagi Imaz menyebut nama yang Ningrum benci. Bagaimanapun juga, Imaz masih istri sahnya. Ia tidak mempercayai keputusan Romo Kiyai yang menjo
~Jika takdirnya bersanding, sandingkanlah ! Jika takdirnya berpisah, pisahkanlah ! Jangan menggantungkan hubungan ini karena bukan cinta buta~***Dalam guyuran hujan ini, pupus sudah harapan untuk berpisah dengannya. Imaz meraih map itu sudah tidak karuan. Tulisan tak bisa dibaca. Semuanya buram. Ningrum dan Ning Dija menghampiri Imaz dan membantunya berdiri."Surat apa itu, Imaz?" Ningrum bertanya karena melihat ekspresi Imaz sedih dengan map merah itu."Bu, ini surat perceraian. Aku dan Gus robet sudah memutuskan untuk berpisah." Imaz berterus terang."Ya Allah...kau yang sabar ya Imaz. Ibu yakin kau pasti bisa mendapatkan yang tepat untukmu.""Tidak bu. Imaz tidak mau menikah lagi. Lebih baik aku sendiri dari pada mencari pria lain.""Cukup Imaz. Istighfar. Jangan buta karena cinta.""Ini bukan cinta buta bu. Justru berdo
~Kau pernah menjadi raja di hatiku, ketika rindu itu menggebu. Namun, justru Allah menjadikan aku permaisurimu ketika cinta itu bertemu~ ***Pesawat jatuh terseret arus banjir di kawasan Var. Tim sar segera mengerahkan tenaganya untuk mengevakuasi korban penumpang yang ada di pesawat. Terdapat 12 yang tewas. Mereka membawa 12 mayat ke rumah sakit untuk dimandikan. Sementara yang lain denyut nadinya masih berdetak.Berita bencana badai besar di perancis sudah disiarkan diberbagai media. Berita itu terdengar juga di telinga keluarga Hilda, Robet dan Ning Fiyyah. "Ya Allah, bagaimana keadaan Hilda?" Kiyai Usman sungguh cemas. Abah Hilda sudah makin keriput. Hanya bisa duduk di kursi roda. Ditemani istrinya yang juga sudah beruban. "Semoga Hilda bisa diselamatkan yah," Umik menenangkan. Sampai di rumah sakit, 12 yang tewas dibawa ke kamar mayat. Petugas polisi menyelidik atas nama siapa
~Jika aku bukan jalanmu. Ku berhenti mengharapkanmu. Jika aku memang tercipta untukmu. Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu~ ***Demi menyenangkan istri tercinta, akhirnya Robet mengajaknya bulan madu di luar negeri. Tepatnya di perancis. Sebelum berangkat, Hilda menyerahkan beberapa wisata yang ingin ia kunjungi, diantaranya; menara eiffel, sungai seine, jembatan gembok cinta atau pont des arts, dinding cinta atau Le Mur des Je T’aime, mobil 2cv, musium louvre, dan Jardin du Luxemburg atau taman bunga. "Ngidamnya banyak amat," goda Robet sambil mengendarai mobil menuju bandara. Sebelumnya mereka sudah berpamitan pada orang tua. Mereka mendoakan semoga Robet dan Hilda berhasil beribadah dengan penuh cinta di malam jum'at. Mereka saling tersipu. Jantung berdetak sudah tak menentu membayangkan akan beribadah penuh cinta di malam hari. "Memang itu yang aku idamkan, sayang," kata Hilda sambil
~Kecupan punggung tanganmu. Kecupan bibirku di dahimu. Belaian tanganmu mencuci kakiku. Tatapan matamu menyibak arti kecantikanmu. Dengan besanding bersamamu di pelaminan, inilah tahap awal belajar untuk mencintaimu~ ***Selesai prosesi pernikahan, para tamu dipersilakan makan hidangan yang tersedia di kursi tamu undangan. Para tamu undangan memakannya dengan lahap. Tambah nikmat dengan diiringi sholawat banjari. Sementara mempelai putra dan putri duduk saling diam di pelaminan. "Aku memang seperti ini orangnya," kata Robet memulai perbincangan pada Hilda karena sedari tadi saling diam membisu. "Iya Gus. Aku tahu mungkin kau butuh waktu menerima pernikahan ini." Hilda memaklumi. Usai mereka menikmati hidangan makanannya, para tamu undangan dipersilakan sesi foto. Foto bersama teman-teman, kerabat dan yang paling utama adalah kedua keluarga mempelai. Selesai sesi foto, kedua m
~بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ"Barakallahu laka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair""Semoga Allah memberi barakah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dlm kebaikan." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)~***Robet merasa ada yang mereka sembunyikan. "Bu, ayah kemana? Kok aku sama sekali tidak mendengar suaranya?" Ningsih bingung harus menjawab apa. Ia pun terpaksa menjawab seadanya. "Ayah sedang mencari makanan." "Oh, begitu." Ningsih menahan air matanya. Sultan dan pihak kepolisian membawa satpam ke kantor untuk dimintai keterangan. Saat Sultan bertemu langsung dengan geng mafia. Dengan emosi, dia menampar mereka satu persatu. "Sebenarnya, siapa kalian sampai berusaha membunuh Robet?" Pihak polisi berusaha menenangkan Sultan dengan menyuruhnya duduk. Ray sebagai ketua geng tersenyum licik. "Kau mau tau siapa kita?" Ra
~Kebahagianku adalah melihat Robet bahagia. Kesedihanku adalah melihat Robet sedih. Karena harta yang paling berharga adalah memiliki anak seperti Robet~ ---NINGSIH---- ***Hilda mencoba menelponnya, namun tak dapat dihubungi. Jadi benar ia telah memblokir nomornya. Apa dia merasa sakit hati? Air mata Hilda meleleh. Ia kemudian terisak. Kenangan bersamanya sungguhlah banyak. Ketika saat pertama kali bertemu dengan dia. Di sebuah jembatan ampera, ia tak sengaja menabraknya. Itu semua karena kecerobohannya. Bangun kesiangan. Tidak sempat sarapan. "Kau baik-baik saja?" Saga justru menanyakan keadaannya. "Iya, aku baik-baik saja. Maaf ya, aku buru-buru." Hilda meraih tasnya yang tergeletak di sampingnya. Lalu, berlari masuk ke kelasnya. Pertemuan itu ketika Saga skripsi jurusan bahasa inggris. Ia tetap lanjut kuliahnya di jurusan
~Ketika kedua kali aku mengucapkan Qobiltu, aku akan belajar untuk mencintaimu. Walau terkadang melawan hati sulit bagiku. Karena adanya keyakinan, aku percaya Allah yang memberi restu~ -----SAGA------ ***Hal yang paling dinantikan Robet adalah bisa melihat. Ketika sudah lama ia menunggu antrian, akhirnya Dokter Thomas memanggilnya juga. Ningsih dan Sultan senang melihatnya. Mereka menunggunya di depan ruang operasi sambil berdoa. Kapten Richard masih memberi pertanyaan pada geng mafia itu. Ia belum puas jika tidak ada bukti. Maka, kalau sampai hari ini ia tak menjawab jujur lagi, ia akan mencari bukti bersama anggota-anggotanya. Petugas polisi membawa Ray lagi. Ia menatapnya dengan memutar bola matanya malas. Lalu, duduk. "Ray, jangan bosan-bosan mendengar pertanyaanku jika kau tidak mau jujur," kata Kapten Richard."Apalagi yang
~Janji kita berdua yang dulu pernah kita ikrarkan untuk bersatu dalam ikatan cinta harus terpisah dalam alam berbeda. Akankah janji kedua bisa satu untuk selamanya?~ ***Sultan sudah meminta taarufan mereka selesai. Tak mau nanti kesiangan dan terlalu menunggu lama di bandara, Sultan menuntun Robet. Hilda menatapnya sangsi. Kiyai Usman juga merasa tak enak jika mengganggu keberangkatan mereka. Maka, beliau meminta maaf dan pamit langsung pulang ke rumah. Sultan menyalakan mesin mobilnya. Mobil siap melaju ke bandara. Robet siap untuk dioperasi. Mata siap untuk melihat luasnya dunia. Selama tiga bulan ini, mereka akan menetap di Singapura. Menanti keberhasilan penglihatan Robet. Masalah pekerjaan, Sultan sudah meminta Daniel menghandle-nya. Masalah jadwal pengajian, Robet sudah mencari penggantinya dari kang-kang lain yang siap mengajar. Masalah pernikahan, mereka serahkan semuanya pada Allah ta'ala. Mu
~Mencoba mengobati dengan pengganti baru. Mencoba melupakan karena dia bukan untukku. Dan mencoba mengikhlaskan walau kadang hati sering berdusta. Cinta tak salah. Tapi aku yang salah~ ***Senja membutakan segalanya dengan segala keindahannya. Ning Fiyyah dengan gesit melukisnya. Ibu Robet memotretnya. Keluarga Hilda merekam saat senja datang hingga menghilang. Mereka mengabadikan momen dengan cara masing-masing. Ketika senja menghilang, Ning Fiyyah mengucapkan terima kasih telah mengizinkan melukisnya. Robet mengucapkan terima kasih telah hadir walau dia tak bisa melihat kehadirannya. Hilda mengucapkan terima kasih sudah hadir walau sebentar. Tapi, ia yakin dia akan datang dengan segala keindahannya. Senja yang datang untuk mengindahkan, rela menghilang demi langit yang menggelapkan. Langit sudah menunjukkan kegelapannya. Keluarga Hilda memulai makan malamnya. "Hilda, besok pagi k
~ jika kau cinta, siapkan hatimu. Jika kau kecewa, siapkan akalmu. Jika sudah terlanjur sakit dan kecewa, siapkan relasi antara hati dan akalmu. Kadang punya hati tapi tak dapat memahami. Kadang punya akal tapi tak dapat berpikir~ ***Melihat kabar kematian Imaz, Irma ingin berkunjung ke makamnya. Tetapi, bagaimana bisa sedang dia di penjara. Penjaga polisi tadi langsung menarik tangan Irma. Mengisyaratkannya untuk kembali ke sel tahanan. Ia melintasi sel tahanan. Tepat di depan sel tahanan Arman, ia menghentikan langkahnya. Arman yang sedang duduk termenung di pojokan segera mendekat. Irma menatapnya nanar. "Man, apa kau sudah tau kabar tentang Imaz?" Tanya Irma menyeka air matanya. "Dia sudah ketemu?" "Iya.""Alhamdulillah.""Dan dia sudah bahagia disana." "Mereka menikah?""Imaz sudah bahagia di alam sana."Arman terperangah. Jantungnya berdetak