Ciuman lembut Jaden yang menggelitik dan mulai menekan halus kulitnya membuat Lilian tercekat. Ia tanpa sadar menahan napasnya dan mulai mencengkeram kedua sisi bantal dengan kuat.
"Bernapaslah, Sayang ..." perintah Jaden lagi. Ia tahu Lilian begitu gugup dengan sentuhannya, dan ia mengerti itu.
Jaden kemudian menghentikan aktivitasnya dan mulai menyelimuti tubuhnya sendiri dengan segera. Perlahan ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas dada dan mencengkeram kuat-kuat ujungnya.
"Maaf jika aku sudah membuatmu takut, Lilian ...," ucapnya dengan wajah polos dan bersungguh-sungguh.
Demi apa pun juga, seketika itu Lilian tergelak karena ekspresi Jaden yang begitu menggelikan. Ia berpaling dan membenamkan wajahnya sendiri di atas bantal miliknya. Bergetar karena menahan gelak tawanya.
"Kau tertawa? Ck, kau sangat tak romantis. Bisa-bisanya kau tertawa pada saat seperti ini," protes Jaden lagi.
"Kau ... ekspresimu sung
Seorang wanita melempar ponselnya ke atas sofa dengan kesal saat melihat foto-foto promosi untuk iklan restoran Jaden yang telah tersebar di dunia maya. Ia kesal karena selama mengenal Jaden, pria itu bahkan tak pernah sedikit pun memasang ekspresi lembut pada lawan pasangannya saat ia harus melakukan pemotretan atau untuk keperluan syuting apa pun. Ya, Alana begitu penasaran dan iri pada wanita yang ada di samping Jaden saat mereka melakukan pemotretan ala pasangan romantis yang sedang berkencan di dalam restoran mewah. Konsep dan foto yang wajar sebenarnya, hanya tatapan Jaden-lah yang tidak wajar baginya. "Siapa wanita itu?" gumam Alana tanpa sadar. "Siapa?" tanya periasnya spontan. Ia sedang menyapukan blush on pada pipi halusnya. "Ah, wanita yang ada di berita tadi? Kalau tidak salah ia bernama Lilian. Ia adalah salah satu pemenang utama dalam undian Jaden kemarin. Dan ia juga kebetulan merupakan asisten Starry, perusahaan di mana J
Jaden membaca pesan yang masuk ke dalam ponselnya ketika ia telah selesai menata hidangan untuk Lilian dan dirinya sendiri. Ia sedikit mengerutkan alisnya saat melihat nama pengirim tersebut. Karena tak ingin merasa terganggu, ia hanya mematikan ponselnya begitu saja. Senyum Jaden mengembang ketika kemudian Lilian muncul dengan kemeja miliknya yang tampak kebesaran, tapi sekaligus begitu seksi membalut tubuh moleknya. Kedua paha putihnya yang terbuka terlihat begitu cantik bagi Jaden. Lilian tampak segar dengan rambutnya yang masih lembab dan wajah polosnya yang tampak merona dengan semburat pink sempurna. Ia begitu segar dan hidup. Walau sedikit bayangan hitam di bawah matanya masih samar terlihat, tapi secara keseluruhan Lilian tampak seperti bidadari putih yang begitu menyilaukan di mata Jaden. "Kau begitu segar dan begitu wangi. Aku suka karena pasti sekarang kau memiliki aromaku." Jaden menghampiri Lilian dan menariknya segera ke dalam pelukannya. Menghi
Hari minggu malam di kediaman Jarvis Keegan dan Marina .... Alana, Marina, Lionel, Laura, dan Jarvis sendiri, ayah Jaden telah duduk dan bersiap di depan meja utama yang telah tertata rapi untuk acara makan malam perayaan ulang tahun dirinya. Sudah sekitar setengah jam yang lalu mereka bersiap untuk menunggu seseorang yang tak kunjung datang dan terlihat juga. "Di mana Jaden?" tanya Alana lagi untuk yang kedua kalinya. "Aku akan mencoba menghubunginya lagi, tenang saja Alana," jawab Marina dengan tersenyum manis mencoba menenangkannya. "Bagaimana jika kita berbicara tentang intinya dulu, Paman Jarvis," ucap Alana kemudian, merujuk pada pria bercambang yang beraut wajah serius di ujung meja. Ia sedikit menimbang sebelum akhirnya berkata lagi, "Baiklah, katakanlah Alana." "Seperti yang telah ayahku katakan dan sampaikan sebelumnya kepada Paman, aku hanya akan memperjelas lagi saja sekarang. Seperti yang telah Paman ketahui, ini ten
Wanita asing yang berdiri diambang pintu itu menyelidiki Lilian dengan tatapan menilai dan terang-terangan mencemoohnya. Ia memandangi Lilian dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Entah mengapa Lilian merasa wanita itu sungguh tidak sopan dan membuatnya merasa rendah. Bisa jadi, karena wanita itu mungkin menganggap dirinya adalah salah satu dari wanita-wanita yang sedang Jaden kencani. Walau begitu, tak sepatutnya ia menatapnya dengan pandangan menyelidik dan menghina seperti itu. Tanpa menunggu jawaban apa pun dari Lilian, wanita itu langsung menerobos masuk ke dalam rumah dengan wajah angkuhnya yang tampak begitu kesal. "Di mana Jaden?!" tanyanya tak bersahabat. "I ... ia sedang berbelanja beberapa barang kebutuhan bulanan, mungkin sebentar lagi ia akan segera kembali," jawab Lilian sedikit terkejut. "Berbelanja?! Apa kalian tinggal bersama?!" selidiknya. "Well, sebenarnya tidak tinggal bersama. Karena aku tinggal di sebelah rumah
"Bisakah kita beristirahat sekarang?" tanya Jaden pada Lilian yang sedang merapikan sisa-sisa pekerjaannya. "Tidurlah, aku masih harus melakukan sesuatu." "Melakukan apa?" tanya Jaden. "Mencari berita atau gosip terbaru tentangmu," jawab Lilian. "Untuk apa?" Jaden yang tadinya hendak berbaring, kemudian mengurungkan niatnya. "Jika kau mencari berita tentang pertunanganku dengan Alana, aku pastikan itu tak akan ada. Berita seperti itu tak akan muncul tanpa persetujuanku. Aku pun bahkan tak tahu masalah pertunangan itu. Tak akan kubiarkan jika mereka membuat pemberitaan seperti itu. Aku bukan anak kecil yang dapat mereka atur lagi. Perlu kau ketahui juga, aku sudah pergi dari rumah itu sejak lama. Jika kau tak mempercayai ucapanku, apakah perlu aku menelepon Alana sekarang juga?" jelas Jaden. Ia merasa was-was kalau-kalau Lilian mungkin akan salah paham terhadap dirinya. "Silakan, lakukan saja," ucapnya tak acuh. Jade
Alana melenggang dengan penuh percaya diri dengan kacamata hitamnya yang tampak bergaya dan dengan mantap memasuki ruangan Lilian setelah Silvia mengantarkannya padanya. "Selamat pagi, silakan masuk Nona Alana," sapa Lilian sambil berdiri dari kursi kerjanya. Ia bergerak menghampiri Alana yang masih berada di ambang pintu. Alana kemudian baru bergerak dan duduk di salah satu sofa tamu setelah pintu dibelakangnya tertutup. Ia kemudian melepas kacamatanya dan memasukkannya ke dalam tas mungilnya. Lilian yang mengikutinya, ikut duduk di hadapannya. "Sekretaris Anda telah memberitahu kami sebelumnya tentang kedatangan Anda. Apa yang dapat aku bantu, Nona?" tanya Lilian dengan senyum formalitasnya. "Apa kau yang bernama Lilian?" tanya Alana tanpa berbasa-basi. "Benar, aku akan membantu keperluan Anda dan mewakili Tuan Greg untuk menyediakan semua kebutuhan klien kami." "Apa kau wanita yang melakukan pemotretan dan iklan bersama Jaden?" tany
Alana segera menarik dirinya dan mundur beberapa langkah dari pria jangkung yang tampak sedang menahan sakit itu. "Kau siapa? Apa kau mengikutiku? Kau seorang jurnalis? Atau fans yang ingin mendapatkan tanda tanganku? Kau begitu mengejutkanku tadi!" ucapnya lagi. Kevin menggeleng pelan untuk menghilangkan rasa berdenyut di kepala belakangnya. Ia kemudian mengerutkan alisnya dan menatap Alana dengan serius. "Jangan membuat orang lain berlari untuk mengembalikan barangmu. Tak perlu berterima kasih padaku atau meminta maaf. Kau telah membuang-buang waktuku. Dan lain kali, bisakah kau membaca tanda peringatan di hadapanmu saat kau berjalan? Pernahkah terpikirkan olehmu bahwa kecerobohanmu bisa saja merugikan orang lain di sini? Jika saja aku tak menarikmu, mungkin kau akan menghancurkan kepalamu dan mematahkan tulang-tulangmu sendiri. Kau tak lihat sedang ada perbaikan tangga di depan kedua matamu?" omel Kevin geram. Ia menyurukkan tas mungil Alana begitu saja di
Lilian mengeluarkan kunci mobilnya saat ia menunggu pintu lift terbuka. Malam ini ia lembur dan harus pulang sendiri setelah semua karyawan sudah tak ada di kantor. Sejak keluar dari ruangannya, perasaannya sedikit tak tenang. Pasalnya setelah kejadian 'menang undian' yang didapatkannya tempo lalu, ia sedikit curiga dengan orang-orang disekitarnya. Bagaimana mungkin ia dapat memenangkan undian tersebut jika ia sendiri bahkan tak ikut serta dalam pendaftaran itu. Ia yakin ada seseorang yang sengaja memasukkan namanya, entah apa tujuannya. Setelah pintu lift terbuka, Lilian segera masuk dan menekan tombol tutup. Tanpa ia sadari, lagi-lagi seseorang yang mengendap-endap di balik salah satu tembok lorong telah mengintainya dari kejauhan. Sosok itu segera menekan ponselnya dan menekan sebuah nomor. Ia mulai berbicara dengan si penerima telepon. "Hari ini ia pulang sendiri, Sayang. Aku tak melihat Jaden berada di sisinya," ucap sosok tersebut.
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u