Wanita asing yang berdiri diambang pintu itu menyelidiki Lilian dengan tatapan menilai dan terang-terangan mencemoohnya. Ia memandangi Lilian dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Entah mengapa Lilian merasa wanita itu sungguh tidak sopan dan membuatnya merasa rendah.
Bisa jadi, karena wanita itu mungkin menganggap dirinya adalah salah satu dari wanita-wanita yang sedang Jaden kencani. Walau begitu, tak sepatutnya ia menatapnya dengan pandangan menyelidik dan menghina seperti itu.
Tanpa menunggu jawaban apa pun dari Lilian, wanita itu langsung menerobos masuk ke dalam rumah dengan wajah angkuhnya yang tampak begitu kesal.
"Di mana Jaden?!" tanyanya tak bersahabat.
"I ... ia sedang berbelanja beberapa barang kebutuhan bulanan, mungkin sebentar lagi ia akan segera kembali," jawab Lilian sedikit terkejut.
"Berbelanja?! Apa kalian tinggal bersama?!" selidiknya.
"Well, sebenarnya tidak tinggal bersama. Karena aku tinggal di sebelah rumah
"Bisakah kita beristirahat sekarang?" tanya Jaden pada Lilian yang sedang merapikan sisa-sisa pekerjaannya. "Tidurlah, aku masih harus melakukan sesuatu." "Melakukan apa?" tanya Jaden. "Mencari berita atau gosip terbaru tentangmu," jawab Lilian. "Untuk apa?" Jaden yang tadinya hendak berbaring, kemudian mengurungkan niatnya. "Jika kau mencari berita tentang pertunanganku dengan Alana, aku pastikan itu tak akan ada. Berita seperti itu tak akan muncul tanpa persetujuanku. Aku pun bahkan tak tahu masalah pertunangan itu. Tak akan kubiarkan jika mereka membuat pemberitaan seperti itu. Aku bukan anak kecil yang dapat mereka atur lagi. Perlu kau ketahui juga, aku sudah pergi dari rumah itu sejak lama. Jika kau tak mempercayai ucapanku, apakah perlu aku menelepon Alana sekarang juga?" jelas Jaden. Ia merasa was-was kalau-kalau Lilian mungkin akan salah paham terhadap dirinya. "Silakan, lakukan saja," ucapnya tak acuh. Jade
Alana melenggang dengan penuh percaya diri dengan kacamata hitamnya yang tampak bergaya dan dengan mantap memasuki ruangan Lilian setelah Silvia mengantarkannya padanya. "Selamat pagi, silakan masuk Nona Alana," sapa Lilian sambil berdiri dari kursi kerjanya. Ia bergerak menghampiri Alana yang masih berada di ambang pintu. Alana kemudian baru bergerak dan duduk di salah satu sofa tamu setelah pintu dibelakangnya tertutup. Ia kemudian melepas kacamatanya dan memasukkannya ke dalam tas mungilnya. Lilian yang mengikutinya, ikut duduk di hadapannya. "Sekretaris Anda telah memberitahu kami sebelumnya tentang kedatangan Anda. Apa yang dapat aku bantu, Nona?" tanya Lilian dengan senyum formalitasnya. "Apa kau yang bernama Lilian?" tanya Alana tanpa berbasa-basi. "Benar, aku akan membantu keperluan Anda dan mewakili Tuan Greg untuk menyediakan semua kebutuhan klien kami." "Apa kau wanita yang melakukan pemotretan dan iklan bersama Jaden?" tany
Alana segera menarik dirinya dan mundur beberapa langkah dari pria jangkung yang tampak sedang menahan sakit itu. "Kau siapa? Apa kau mengikutiku? Kau seorang jurnalis? Atau fans yang ingin mendapatkan tanda tanganku? Kau begitu mengejutkanku tadi!" ucapnya lagi. Kevin menggeleng pelan untuk menghilangkan rasa berdenyut di kepala belakangnya. Ia kemudian mengerutkan alisnya dan menatap Alana dengan serius. "Jangan membuat orang lain berlari untuk mengembalikan barangmu. Tak perlu berterima kasih padaku atau meminta maaf. Kau telah membuang-buang waktuku. Dan lain kali, bisakah kau membaca tanda peringatan di hadapanmu saat kau berjalan? Pernahkah terpikirkan olehmu bahwa kecerobohanmu bisa saja merugikan orang lain di sini? Jika saja aku tak menarikmu, mungkin kau akan menghancurkan kepalamu dan mematahkan tulang-tulangmu sendiri. Kau tak lihat sedang ada perbaikan tangga di depan kedua matamu?" omel Kevin geram. Ia menyurukkan tas mungil Alana begitu saja di
Lilian mengeluarkan kunci mobilnya saat ia menunggu pintu lift terbuka. Malam ini ia lembur dan harus pulang sendiri setelah semua karyawan sudah tak ada di kantor. Sejak keluar dari ruangannya, perasaannya sedikit tak tenang. Pasalnya setelah kejadian 'menang undian' yang didapatkannya tempo lalu, ia sedikit curiga dengan orang-orang disekitarnya. Bagaimana mungkin ia dapat memenangkan undian tersebut jika ia sendiri bahkan tak ikut serta dalam pendaftaran itu. Ia yakin ada seseorang yang sengaja memasukkan namanya, entah apa tujuannya. Setelah pintu lift terbuka, Lilian segera masuk dan menekan tombol tutup. Tanpa ia sadari, lagi-lagi seseorang yang mengendap-endap di balik salah satu tembok lorong telah mengintainya dari kejauhan. Sosok itu segera menekan ponselnya dan menekan sebuah nomor. Ia mulai berbicara dengan si penerima telepon. "Hari ini ia pulang sendiri, Sayang. Aku tak melihat Jaden berada di sisinya," ucap sosok tersebut.
"Kau sudah merasa segar?" tanya Jaden yang telah menanti Lilian di depan meja makan. Ia menghampiri Lilian dan meraih lengan wanita itu untuk mengikutinya duduk di salah satu kursi. "Minumlah, Sayang, agar kau tenang," ucapnya lagi sembari menyodorkan secangkir hangat susu cokelat. "Ini hangat, aku suka," ucap Lilian setelah menyeruput beberapa teguk minuman itu. "Aku tahu hal lain yang mungkin dapat membuatmu rileks," ucap Jaden. Ia meraih cangkir miliknya sendiri dan menarik lengan Lilian lagi untuk naik menuju ke kamarnya. Lilian mengikuti Jaden dengan membawa cangkir miliknya sendiri. Dan saat mereka tiba di sana, Lilian sedikit terkejut karena di dalam kamar Jaden telah terpasang beberapa lilin aromaterapi yang telah memenuhi ruangan itu dengan harum lembut yang menenangkan. "Surprise ...," ucap Jaden kemudian. Ia meraih cangkir Lilian dan meletakkan juga miliknya di atas meja kecil di samping ranjang. "Apa ini?" tanya Lilian. Ant
Lilian membuka matanya dan mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya ia menguap. Ia tersenyum kecil mendapati dirinya berada dalam pelukan Jaden. Selimut lembut yang membalut tubuhnya dan Jaden, seolah menjadi saksi keintiman mereka semalam. "Selamat pagi, Sayang ...," sapa Jaden dari balik punggung Lilian. Saat Lilian berbalik, ia mendapati Jaden tersenyum lebar dan mencium keningnya dengan mesra. "Kau sering bangun lebih awal dariku," gumam Lilian. "Itu karena kau yang terlalu letih, hingga membutuhkan waktu lebih lama untuk beristirahat," balas Jaden. "Apa tidurmu nyenyak?" tanyanya lagi. "Menurutmu?" "Kau mendengkur cukup kencang, jadi ... ya bisa kusimpulkan bahwa ...," "Tidak! Aku tidak mendengkur!" Lilian memukul bahu Jaden dengan malu. "Aw ... aw! Oke, oke aku hanya bercanda, Sayang." Jaden tergelak saat menangkap ekspresi malu Lilian. Wanita itu bahkan mencubitnya gemas. "Aku tidak peduli bagaimana penampi
Jaden hanya memijat keningnya mendengar ocehan Seth yang tak kunjung henti. Sudah lebih dari setengah jam yang lalu Seth mencurahkan kekecewaannya pada dirinya. Ya, ia merasa kesal dengan pemberitaan terbaru antara Jaden dan Lilian. Yang membuatnya lebih kesal lagi, sahabatnya sendiri bahkan tak pernah sekali pun memberitahunya mengenai kedekatannya dengan Lilian. "Apa kau masih menganggapku sahabatmu?" tanyanya untuk yang kesekian kalinya. "Oh, ya ampun, aku tahu ini pasti akan terjadi. Aku hanya belum sempat bercerita padamu saja," balas Jaden. "Lalu? Kau biarkan aku tahu tentang hubunganmu dengan Lilian melalui semua pemberitaan itu?! Aku seperti orang bodoh yang bahkan tak mengetahui tentang artisku sendiri!" protesnya. "Seth, tenanglah ... aku dan Lilian telah mengetahui semua pemberitaan itu. Itu bukan masalah besar, karena pada kenyataannya kami sekarang memang bersama. Aku jamin tak akan ada pemberitaan miring lagi untuk kedepannya. Jika perlu
"Apa kau yakin, Sayang? Kau benar-benar sudah hampir sampai bukan?" tanya Jaden kembali meyakinkan Lilian. Ia sedang menelepon Lilian dan menawarkan dirinya untuk menjemputnya. Tapi Lilian menolak karena dirinya sudah dalam perjalanan pulang dan hampir sampai di rumah. Jaden sendiri posisinya sedang berada di kantor agensinya setelah menyelesaikan pertemuannya terkait pekerjaan. "Baiklah, pekerjaanku juga telah selesai. Aku akan pulang sekarang. Tunggu aku, oke? Aku mencintaimu!" ucapnya ceria sembari melayangkan suara ciuman yang mesra. "Ck ... ck ... kau benar-benar sudah tak terselamatkan," gumam Seth yang sedari tadi hanya memperhatikan sahabatnya bersikap manis sekaligus membuatnya merinding itu. "Kau hanya iri padaku. Carilah wanitamu sendiri!" protes Jaden sembari memasukkan ponselnya ke dalam kantong kemejanya. "Nope! Aku tak mungkin iri dengan kelakuan seperti itu. Aku tak akan pernah mencium-cium ponselku dengan tampang bodoh seperti