"Kau sudah merasa segar?" tanya Jaden yang telah menanti Lilian di depan meja makan. Ia menghampiri Lilian dan meraih lengan wanita itu untuk mengikutinya duduk di salah satu kursi.
"Minumlah, Sayang, agar kau tenang," ucapnya lagi sembari menyodorkan secangkir hangat susu cokelat.
"Ini hangat, aku suka," ucap Lilian setelah menyeruput beberapa teguk minuman itu.
"Aku tahu hal lain yang mungkin dapat membuatmu rileks," ucap Jaden. Ia meraih cangkir miliknya sendiri dan menarik lengan Lilian lagi untuk naik menuju ke kamarnya.
Lilian mengikuti Jaden dengan membawa cangkir miliknya sendiri. Dan saat mereka tiba di sana, Lilian sedikit terkejut karena di dalam kamar Jaden telah terpasang beberapa lilin aromaterapi yang telah memenuhi ruangan itu dengan harum lembut yang menenangkan.
"Surprise ...," ucap Jaden kemudian. Ia meraih cangkir Lilian dan meletakkan juga miliknya di atas meja kecil di samping ranjang.
"Apa ini?" tanya Lilian. Ant
Lilian membuka matanya dan mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya ia menguap. Ia tersenyum kecil mendapati dirinya berada dalam pelukan Jaden. Selimut lembut yang membalut tubuhnya dan Jaden, seolah menjadi saksi keintiman mereka semalam. "Selamat pagi, Sayang ...," sapa Jaden dari balik punggung Lilian. Saat Lilian berbalik, ia mendapati Jaden tersenyum lebar dan mencium keningnya dengan mesra. "Kau sering bangun lebih awal dariku," gumam Lilian. "Itu karena kau yang terlalu letih, hingga membutuhkan waktu lebih lama untuk beristirahat," balas Jaden. "Apa tidurmu nyenyak?" tanyanya lagi. "Menurutmu?" "Kau mendengkur cukup kencang, jadi ... ya bisa kusimpulkan bahwa ...," "Tidak! Aku tidak mendengkur!" Lilian memukul bahu Jaden dengan malu. "Aw ... aw! Oke, oke aku hanya bercanda, Sayang." Jaden tergelak saat menangkap ekspresi malu Lilian. Wanita itu bahkan mencubitnya gemas. "Aku tidak peduli bagaimana penampi
Jaden hanya memijat keningnya mendengar ocehan Seth yang tak kunjung henti. Sudah lebih dari setengah jam yang lalu Seth mencurahkan kekecewaannya pada dirinya. Ya, ia merasa kesal dengan pemberitaan terbaru antara Jaden dan Lilian. Yang membuatnya lebih kesal lagi, sahabatnya sendiri bahkan tak pernah sekali pun memberitahunya mengenai kedekatannya dengan Lilian. "Apa kau masih menganggapku sahabatmu?" tanyanya untuk yang kesekian kalinya. "Oh, ya ampun, aku tahu ini pasti akan terjadi. Aku hanya belum sempat bercerita padamu saja," balas Jaden. "Lalu? Kau biarkan aku tahu tentang hubunganmu dengan Lilian melalui semua pemberitaan itu?! Aku seperti orang bodoh yang bahkan tak mengetahui tentang artisku sendiri!" protesnya. "Seth, tenanglah ... aku dan Lilian telah mengetahui semua pemberitaan itu. Itu bukan masalah besar, karena pada kenyataannya kami sekarang memang bersama. Aku jamin tak akan ada pemberitaan miring lagi untuk kedepannya. Jika perlu
"Apa kau yakin, Sayang? Kau benar-benar sudah hampir sampai bukan?" tanya Jaden kembali meyakinkan Lilian. Ia sedang menelepon Lilian dan menawarkan dirinya untuk menjemputnya. Tapi Lilian menolak karena dirinya sudah dalam perjalanan pulang dan hampir sampai di rumah. Jaden sendiri posisinya sedang berada di kantor agensinya setelah menyelesaikan pertemuannya terkait pekerjaan. "Baiklah, pekerjaanku juga telah selesai. Aku akan pulang sekarang. Tunggu aku, oke? Aku mencintaimu!" ucapnya ceria sembari melayangkan suara ciuman yang mesra. "Ck ... ck ... kau benar-benar sudah tak terselamatkan," gumam Seth yang sedari tadi hanya memperhatikan sahabatnya bersikap manis sekaligus membuatnya merinding itu. "Kau hanya iri padaku. Carilah wanitamu sendiri!" protes Jaden sembari memasukkan ponselnya ke dalam kantong kemejanya. "Nope! Aku tak mungkin iri dengan kelakuan seperti itu. Aku tak akan pernah mencium-cium ponselku dengan tampang bodoh seperti
Lilian menyambar mantel dan kunci mobilnya setelah ia memutus sambungan telepon dari Seth. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera melesat mengendarai mobilnya begitu keluar dari halaman. Ia baru saja selesai mandi ketika Seth meneleponnya tadi. Jantungnya seolah berhenti saat Seth menceritakan penyerangan yang baru saja Jaden alami. Walau Seth sudah meyakinkannya bahwa Jaden baik-baik saja, tapi ia tetap merasa harus melihatnya sendiri dan memastikannya secara langsung keadaan pria itu. Lilian mempercepat laju kendaraannya. Tak sampai sepuluh menit, ia telah tiba di rumah sakit yang Seth sebutkan. Ia segera memarkir mobilnya dan bergegas menuju pintu masuk. "Lilian!" panggil Seth ketika ia memasuki lobi. Dengan berlari kecil, Lilian mulai menghampiri Seth. "Bagaimana kondisinya? Apakah ia baik-baik saja?" tanya Lilian. Seth yang mendapat pertanyaan secara tiba-tiba, sejenak hanya dapat membeku. Bukan karena pertanyaan Lilian, tetapi lebih kepada
Lilian menghela napasnya ketika akhirnya mereka sampai di depan rumah. Jaden menatapnya dan tersenyum lembut sembari mengusap salah satu sisi wajahnya. "Kerja bagus, Sayang. Kau telah berhasil melewati satu ketakutanmu. Aku tak menyangka kau akan mendatangi rumah sakit karena diriku. Aku bahkan tak memikirkan itu," Lilian menoleh ke arahnya. "Maka lain kali, usahakanlah dirimu agar jangan sampai berada di rumah sakit lagi." Ia kemudian bersandar pada kursi pengemudi dan memejamkan matanya sejenak. Lilian menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya menghembuskannya. "Ada apa? Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?" Jaden menatap Lilian dengan sedikit cemas. Lilian menghembuskan napasnya lagi perlahan-lahan sebelum akhirnya menjawab, "Aku tak apa, kepalaku hanya sedikit terasa berputar," ucapnya. Ia meremas kedua tangannya yang saling bertaut dan memijat keningnya secara bergantian. "Tanganmu begitu dingin, sebaiknya kita masuk saja." J
"Bagaimana? Apakah posisimu sudah nyaman?" tanya Lilian saat membantu Jaden berbaring. Ia kemudian menempatkan dirinya sendiri di samping Jaden."Aku masih mampu memelukmu semalaman dengan luka-luka kecil ini. Bahkan, jika kau menginginkan lebih, aku yakin aku masih dapat memuaskanmu, Sayang," goda Jaden sambil tersenyum jahil."Aku percaya bagian yang itu, tapi tidak dengan yang lainnya. Sekarang, jangan coba-coba mengalihkan ucapanku seperti sebelum-sebelumnya," balas Lilian tegas. Tatapannya menunjukkan keseriusannya."Ah, kau mulai lagi ...," gumam Jaden. Ia tahu benar arti dari tatapan Lilian kepadanya. "Kemarilah, biarkan aku memelukmu," pintanya.Lilian semakin merapatkan dirinya pada lengan terbuka Jaden yang siap memeluknya. Ia merebahkan kepalanya pada dada bidang Jaden dan menghembuskan napasnya dengan lega. Selalu terasa nyaman dan menenangkan saat berada dalam pelukan Jaden.Karena merasakan hal yang sama, Jaden kemudian mencium lembut
"Well ... sebenarnya, rumah ini memang milikmu, Sayang," ucap Jaden sedikit ragu-ragu. "Maksudmu rumah yang aku beli dari Edith, bukan? Kau sempat membuatku terkejut saat kau mengatakan itu pada Marina. Aku tahu kau hanya ingin menggertaknya dengan mengatakan ini rumahku. Bahkan kau sampai mengeluarkan surat kepemilikan juga. Apa itu adalah surat kepemilikan rumah bagianku? Kau tak mengatakan apa pun tentang sertifikat itu." "Tidak, Sayang, bukan begitu. Yang aku katakan waktu itu di depan Marina memang benar adanya. Bukan hanya bagian itu, tetapi seluruh bagian rumah ini adalah milikmu. Memang benar-benar milikmu, SELURUHNYA," jelas Jaden lagi. Lilian tersentak dan segera duduk untuk menegakkan tubuhnya. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan raut keterkejutan yang tak dapat disembunyikan lagi. "Rumah ini, MILIKMU," tegas Jaden lagi. Ia menatap Lilian dengan serius. Lilian menelan ludahnya dan kemudian membasahi bibirnya yang terasa kering. Melihat
Lilian sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. Ia begitu fokus hingga tak menyadari kedatangan Jaden yang memperhatikannya dari belakang. Jaden yang baru saja bangun dari tidurnya dan tak mendapati Lilian di sampingnya tadi, bergegas turun dari ranjangnya dan mencari sosok Lilian ke segala penjuru rumah hingga ia akhirnya menemukan wanita itu berdiri di dapur. Jaden sedikit menganga dan menggelengkan kepalanya saat melihat kondisi dapurnya yang begitu berantakan. Ia bahkan menahan napasnya saat mendekati Lilian yang sedang fokus memotong bahan-bahan makanan dengan pisau tajam di tangannya. Jantungnya serasa hampir melompat tiap kali wanita itu menggerakkan pisau dagingnya yang super tajam itu untuk mengiris sebuah timun dengan posisi jari-jarinya yang salah dan tidak aman! Ia mengernyit ngeri saat membayangkan jika jari putih mulus itu teriris pisaunya yang sangat tajam dan terlihat begitu berbahaya. "Hentikan sekarang juga," ucapnya