Lilian menghela napasnya ketika akhirnya mereka sampai di depan rumah. Jaden menatapnya dan tersenyum lembut sembari mengusap salah satu sisi wajahnya.
"Kerja bagus, Sayang. Kau telah berhasil melewati satu ketakutanmu. Aku tak menyangka kau akan mendatangi rumah sakit karena diriku. Aku bahkan tak memikirkan itu,"
Lilian menoleh ke arahnya. "Maka lain kali, usahakanlah dirimu agar jangan sampai berada di rumah sakit lagi." Ia kemudian bersandar pada kursi pengemudi dan memejamkan matanya sejenak. Lilian menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya menghembuskannya.
"Ada apa? Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?" Jaden menatap Lilian dengan sedikit cemas.
Lilian menghembuskan napasnya lagi perlahan-lahan sebelum akhirnya menjawab, "Aku tak apa, kepalaku hanya sedikit terasa berputar," ucapnya. Ia meremas kedua tangannya yang saling bertaut dan memijat keningnya secara bergantian.
"Tanganmu begitu dingin, sebaiknya kita masuk saja." J
"Bagaimana? Apakah posisimu sudah nyaman?" tanya Lilian saat membantu Jaden berbaring. Ia kemudian menempatkan dirinya sendiri di samping Jaden."Aku masih mampu memelukmu semalaman dengan luka-luka kecil ini. Bahkan, jika kau menginginkan lebih, aku yakin aku masih dapat memuaskanmu, Sayang," goda Jaden sambil tersenyum jahil."Aku percaya bagian yang itu, tapi tidak dengan yang lainnya. Sekarang, jangan coba-coba mengalihkan ucapanku seperti sebelum-sebelumnya," balas Lilian tegas. Tatapannya menunjukkan keseriusannya."Ah, kau mulai lagi ...," gumam Jaden. Ia tahu benar arti dari tatapan Lilian kepadanya. "Kemarilah, biarkan aku memelukmu," pintanya.Lilian semakin merapatkan dirinya pada lengan terbuka Jaden yang siap memeluknya. Ia merebahkan kepalanya pada dada bidang Jaden dan menghembuskan napasnya dengan lega. Selalu terasa nyaman dan menenangkan saat berada dalam pelukan Jaden.Karena merasakan hal yang sama, Jaden kemudian mencium lembut
"Well ... sebenarnya, rumah ini memang milikmu, Sayang," ucap Jaden sedikit ragu-ragu. "Maksudmu rumah yang aku beli dari Edith, bukan? Kau sempat membuatku terkejut saat kau mengatakan itu pada Marina. Aku tahu kau hanya ingin menggertaknya dengan mengatakan ini rumahku. Bahkan kau sampai mengeluarkan surat kepemilikan juga. Apa itu adalah surat kepemilikan rumah bagianku? Kau tak mengatakan apa pun tentang sertifikat itu." "Tidak, Sayang, bukan begitu. Yang aku katakan waktu itu di depan Marina memang benar adanya. Bukan hanya bagian itu, tetapi seluruh bagian rumah ini adalah milikmu. Memang benar-benar milikmu, SELURUHNYA," jelas Jaden lagi. Lilian tersentak dan segera duduk untuk menegakkan tubuhnya. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan raut keterkejutan yang tak dapat disembunyikan lagi. "Rumah ini, MILIKMU," tegas Jaden lagi. Ia menatap Lilian dengan serius. Lilian menelan ludahnya dan kemudian membasahi bibirnya yang terasa kering. Melihat
Lilian sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. Ia begitu fokus hingga tak menyadari kedatangan Jaden yang memperhatikannya dari belakang. Jaden yang baru saja bangun dari tidurnya dan tak mendapati Lilian di sampingnya tadi, bergegas turun dari ranjangnya dan mencari sosok Lilian ke segala penjuru rumah hingga ia akhirnya menemukan wanita itu berdiri di dapur. Jaden sedikit menganga dan menggelengkan kepalanya saat melihat kondisi dapurnya yang begitu berantakan. Ia bahkan menahan napasnya saat mendekati Lilian yang sedang fokus memotong bahan-bahan makanan dengan pisau tajam di tangannya. Jantungnya serasa hampir melompat tiap kali wanita itu menggerakkan pisau dagingnya yang super tajam itu untuk mengiris sebuah timun dengan posisi jari-jarinya yang salah dan tidak aman! Ia mengernyit ngeri saat membayangkan jika jari putih mulus itu teriris pisaunya yang sangat tajam dan terlihat begitu berbahaya. "Hentikan sekarang juga," ucapnya
Jaden sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk saat ia mendengar bel rumah berbunyi beberapa kali. Ia kemudian keluar dengan tubuh masih berbalut jubah mandinya. Ia membuka pintu depan tanpa curiga sedikitpun ataupun memeriksanya terlebih dahulu. Dan saat membukanya, di hadapannya telah berdiri seorang pria jangkung dengan setelan kerjanya yang terlihat begitu rapi dan formal. Jaden sedikit mengerutkan alisnya karena ia merasa begitu familier dengan sosok tersebut. Pria yang sedang berdiri di hadapannya hanya menatapnya dengan tatapan datar. "Selamat siang, perkenalkan aku adalah Kevin, rekan Lilian," ucapnya memberi salam. Ah, ya benar. Pria itu yang bernama Kevin. Selain Lilian pernah menyebutkannya, ia juga pernah melihatnya berada di kantor kekasihnya saat awal-awal pertemuan mereka. "Jika kau ingin mencari Lilian, kau mungkin harus mencarinya di kantornya karena ia baru saja berangkat ke sana satu jam yang lalu," ucap Jaden sembari men
Lilian lagi-lagi harus pulang larut karena ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk. Ia melangkah mendekati mobilnya dengan sedikit was-was. Beberapa hari ini perasaannya begitu tidak enak setelah kejadian penguntitan yang menimpanya tempo lalu, ia menjadi sedikit paranoid saat berada di tempat sepi dan sendirian.Entah mengapa ia begitu terburu-buru saat hendak mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya. Saat ia begitu fokus mencari kuncinya, sebuah tepukan ringan di pundaknya tiba-tiba mengagetkannya dan membuatnya terpekik. Lilian refleks menutup kedua telinganya dan memejamkan matanya."Lilian, jangan takut. Ini aku,"Lilian berbalik dengan cepat saat mendengar suara yang ia kenal betul. "Kevin! Kau mengagetkanku!" Ia menyandarkan dirinya di sisi samping mobilnya dengan lega setelah melihat Kevin. Kakinya sedikit goyah karena keterkejutannya."Maafkan aku," ucap Kevin sedikit menyesal."Tak apa, lain kali kau bisa memanggilku saja dari
Jaden tak sedetik pun melepaskan tatapannya pada Kevin setelah mereka sampai di rumah. "Duduklah, Kev," ucap Lilian setelah ia meletakkan tas kerjanya pada meja tamu. Dengan patuh Kevin duduk pada salah satu sofa. Jaden yang masih tampak kesal, mengikuti Kevin duduk dan menatapnya dalam-dalam. Lilian menggeleng kecil melihat aksi Jaden tersebut. Ia kemudian meraih lengannya dan berkata, "Bisakah aku berbicara berdua dengannya saja?" tanyanya. Jaden sedikit tersentak menatap Lilian. Ia seolah protes dengan keinginannya itu dan menggeleng keras. "Tidak, apakah ada sesuatu yang aku tidak boleh tahu?" "Please, Jaden. Bisakah kau membuat sesuatu yang hangat yang dapat kita nikmati bersama-sama, Sayang?" pinta Lilian. Mendapat permintaan yang begitu lembut dan penuh harap, seketika membuat hati Jaden melemah. Ia mengerjap kecil dengan penekanan dan panggilan sayang dari Lilian. "Oke, oke ... kau membuatku bekerja lagi bahkan setelah
"Apa kau masih kesal?" tanya Lilian lagi. Ia memposisikan dirinya di samping Jaden yang tengah berbaring. Lilian kemudian memeluk Jaden dan menyandarkan kepalanya pada dada bidangnya. "Aku tak kesal, aku hanya tidak suka dengan tingkahnya! Serius, memangnya usianya berapa? Mengapa ia masih saja merajuk seperti itu?" "Usia Kevin sepuluh tahun lebih muda darimu, wajar jika ia masih memiliki sifat yang begitu impulsif. Sebaliknya, justru aku yang akan mempertanyakan dirimu. Memangnya berapa usiamu hingga kau berdebat dengan begitu sengit pada seseorang yang jauh lebih muda darimu?" "Ck, perdebatan tak memandang usia, aku hanya sedang berdebat dengan seorang pria. Kebetulan saja ia hanya bocah yang suka merajuk. Itu saja," balas Jaden. Ia memeluk Lilian dengan ringan. "Kevin adalah anak yang malang. Ia sudah kehilangan kedua orangtuanya saat dirinya masih terlalu kecil. Dan ketika Tuan Greg memutuskan untuk mengadopsinya, hanya akulah sosok terdekatnya. I
"Dari mana saja kau?!" teriak Marina pada Laura, putrinya, saat ia memasuki halaman dan mendapati gadis itu sedang duduk di salah satu bangku taman. "Mom?!" ucapnya kaget. Ia mendongak dan mendapati Marina berjalan memburunya. Tanpa berbasa-basi lagi, Marina segera menampar putrinya. "Plaaak!!" Tamparan keras yang mendarat di salah satu pipinya terasa begitu menyakitkan. Laura segera bangkit dan menatap Marina dengan terkejut. "M ... mom," lirihnya sembari memegang pipinya yang terasa panas. Air matanya mulai menetes pilu. "Dasar kau tak tahu berterima kasih! Apa kau senang membuat ayahmu menekanku karena dirimu?! Mengapa kau tak memberinya kabar atau semacamnya!" "Jadi itukah yang kau pentingkan?!" ucapnya. "Kau bahkan tak menanyakan keadaan putrimu? Kau tak memberiku waktu untuk bercerita dan menjelaskan semuanya?!" seru Laura. "Ayahmu menyebutku seorang ibu yang tak becus mengurusmu. Kau senang?"balas Marina. L