"Apa kau masih kesal?" tanya Lilian lagi. Ia memposisikan dirinya di samping Jaden yang tengah berbaring. Lilian kemudian memeluk Jaden dan menyandarkan kepalanya pada dada bidangnya.
"Aku tak kesal, aku hanya tidak suka dengan tingkahnya! Serius, memangnya usianya berapa? Mengapa ia masih saja merajuk seperti itu?"
"Usia Kevin sepuluh tahun lebih muda darimu, wajar jika ia masih memiliki sifat yang begitu impulsif. Sebaliknya, justru aku yang akan mempertanyakan dirimu. Memangnya berapa usiamu hingga kau berdebat dengan begitu sengit pada seseorang yang jauh lebih muda darimu?"
"Ck, perdebatan tak memandang usia, aku hanya sedang berdebat dengan seorang pria. Kebetulan saja ia hanya bocah yang suka merajuk. Itu saja," balas Jaden. Ia memeluk Lilian dengan ringan.
"Kevin adalah anak yang malang. Ia sudah kehilangan kedua orangtuanya saat dirinya masih terlalu kecil. Dan ketika Tuan Greg memutuskan untuk mengadopsinya, hanya akulah sosok terdekatnya. I
"Dari mana saja kau?!" teriak Marina pada Laura, putrinya, saat ia memasuki halaman dan mendapati gadis itu sedang duduk di salah satu bangku taman. "Mom?!" ucapnya kaget. Ia mendongak dan mendapati Marina berjalan memburunya. Tanpa berbasa-basi lagi, Marina segera menampar putrinya. "Plaaak!!" Tamparan keras yang mendarat di salah satu pipinya terasa begitu menyakitkan. Laura segera bangkit dan menatap Marina dengan terkejut. "M ... mom," lirihnya sembari memegang pipinya yang terasa panas. Air matanya mulai menetes pilu. "Dasar kau tak tahu berterima kasih! Apa kau senang membuat ayahmu menekanku karena dirimu?! Mengapa kau tak memberinya kabar atau semacamnya!" "Jadi itukah yang kau pentingkan?!" ucapnya. "Kau bahkan tak menanyakan keadaan putrimu? Kau tak memberiku waktu untuk bercerita dan menjelaskan semuanya?!" seru Laura. "Ayahmu menyebutku seorang ibu yang tak becus mengurusmu. Kau senang?"balas Marina. L
"Kau ingin makan apa malam ini, Sayang?" tanya Jaden pada Lilian saat mereka masuk ke dalam lift."Apa pun yang ingin kau buat, aku tak masalah," ucap Lilian."Yah, baiklah, kecuali makanan pedas, berair banyak dan segala sesuatu yang lembek. Benar, bukan?" ucapnya sambil menarik dagu Lilian."Kau benar-benar menghafal seleraku rupanya,""Tentu saja ... bukan hanya selera, tapi aku juga hafal segala sesuatu yang dapat menyenangkan tunanganku ini. Kau begitu menikmati saat aku memelukmu seperti ini, bukan ... atau saat aku menciumimu dan ...,""Ahem!! Uhuk! Uhuk! Apakah kalian lupa aku ada di dalam sini? Ini bukan lift pribadi kalian, jadi bisakah kalian hentikan percakapan dan adegan-adegan yang begitu menggelikan itu?!" protes Seth yang sedang berdiri di sudut lift dengan tatapan kesalnya.Lilian mengerjap dan melepaskan dengan segera pelukan Jaden terhadapnya. Tak ingin merasa kalah, Jaden kembali memeluk Lilian ke dalam pelukannya w
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan para reporter itu?" tanya Seth pada Lilian ketika mereka dalam perjalanan pulang. "Tak ada sesuatu yang khusus, aku hanya kebetulan melihat rekannya yang terlalu sibuk dengan ponselnya setelah ia mengambil foto Jaden. Mungkin ia berkepentingan mengirim foto-foto tersebut pada seseorang atau semacamnya," balas Lilian. "Benarkah? Bukankah itu hal yang normal? Maksudku tak ada yang aneh dengan itu. Siapa pun bisa memainkan ponselnya saat ia memang membutuhkannya." Lilian menghela napasnya sejenak sebelum menjawab Seth lagi. "Tak ada yang normal setelah penyerangan dan penguntitan itu. Dia adalah Jaden, apa kau lupa fakta itu? Orang normal mana yang akan mengabaikan seorang artis begitu saja saat ia dihadapkan olehnya di depan mata. Lagipula, rekannya tadi tampak begitu mencurigakan. Gerak-geriknya terlihat was-was dan waspada seolah ia sedang melaporkan sesuatu pada orang yang dituju di ponselnya.
"Duduklah di mana pun kau ingin, silakan," ucap Seth sembari menekan beberapa tombol lampu untuk penerangan apartemennya.Seth sendiri segera menuju ke arah dapar setelah meletakkan koper yang ia seret sebelumnya tepat di samping pintu masuk apartemennya.Apartemen Seth terlihat cukup hangat dan rapi. Ia kemudian tak lupa menyalakan penghangat agar dirinya dan Casey segera merasa hangat di cuaca yang hampir memasuki musim dingin ini."Apa yang kau inginkan? Cokelat hangat atau kopi?" tawar Seth."Cokelat saja, please ... terima kasih. A ... aku akan segera kembali setelah merasa cukup hangat," ucap Casey menegaskan maksudnya. Ia benar-benar merasa jika Seth mungkin sedang sangat kesal padanya dan karena itu ia tak ingin berlama-lama di kediaman pria itu.Seth hanya mengangguk tak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya meneruskan aktivitasnya setelah meletakkan jaketnya di salah satu kursi dapur.Dengan kikuk Casey melakukan hal yang sama. Ia ke
Lilian dan Jaden sampai di kediaman mereka tak lama setelah mereka kembali dari menyantap hidangan di sebuah restoran tenang langganan Jaden sebelumnya. Karena beberapa bahan makanan yang Jaden butuhkan untuk mengisi akhir pekan mereka telah habis, ia berinisiatif untuk membelinya setelah mengantar Lilian ke rumah."Apa kau yakin tak ingin kutemani?" tanya Lilian lagi."Tidak, Sayang, masuklah. Udara sangat dingin dan ini hampir larut. Aku hanya akan pergi sebentar, tunggu saja aku di rumah," tolak Jaden."Persiapkan saja dirimu untuk menyambutku saat aku kembali nanti. Karena seperti yang kau tahu, aku hanya ingin menghabiskan akhir pekan bersamamu dengan di rumah saja sambil menikmati hidangan-hidangan spesialku yang akan menemani waktu berduaan kita, oke?" ucap Jaden sambil mengerling jahil."Oke, baiklah," ucap Lilian akhirnya. Ia tahu jika sudah menyangkut soal makanan, ia tak akan pernah dapat membantah Jaden.Sekepergian Jaden, Lilian kemudi
"Aku akan memberikan ini pada Laura," ucap Lilian setelah Jaden menyelesaikan membuat satu hidangan di dapur."Sungguh menyebalkan, gadis itu tahu benar waktu yang tepat untuk merusak rencana orang lain," ucapnya. Jaden yang mengoceh sembari membersihkan peralatan yang digunakan sebelumnya untuk memasak itu membuat Lilian geli."Jangan begitu, ia hanya sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarkannya," ucapnya sambil memeluk Jaden dari belakang. Sedang pria itu masih sibuk mencuci peralatan dapurnya."Aku tak mau tahu, besok ia harus pulang. Aku tak suka jika harus berurusan dengan penyihir tua itu jika ia tahu putrinya berada di sini," ucapnya kesal."Kemarilah," ucap Lilian ketika Jaden selesai membenahi peralatan memasaknya."Ada apa?" tanyanya dengan sedikit curiga sambil berjalan mendekati Lilian. "Oh, please jangan coba membujukku dengan permintaanmu lagi. Cukup hidangan ini saja dan juga kamar itu yang akan Laura dapatkan malam ini. Dan ji
"Masuklah," ucap Jaden memberi perintah pada Laura. Jaden, Laura dan Lilian sekarang sudah berdiri di halaman depan kediaman keluarga Jarvis, ayah Jaden. Penjaga gerbang langsung membuka pintu dan mempersilakan mobil Lilian masuk saat dilihatnya Jaden, sang tuan muda pemilik rumah turut bersamanya. "Bisakah kalian mengantarku ke dalam?" tanya Laura seolah enggan. Ia memasang wajah memelas. Saat mereka turun dari dalam mobil setelah selesai memarkir mobil. "Kau bukan anak kecil lagi, haruskah kami menggandeng kedua tanganmu juga dan menuntunmu masuk!?" balas Jaden. "Laura? Kau kembali?" Sebuah suara menghentikan perdebatan mereka. Ethan, pria muda bersetelan rapi itu segera berlari menyongsong Laura. "Ethan ...!" seperti hendak meminta pertolongan, Laura segera berhambur ke arah Ethan. "Tuan dan Nyonya begitu cemas mencarimu. Apakah telah terjadi sesuatu?" tanyanya cemas. Ia kemudian refleks menatap Jaden yang berdiri dengan tegap di sa
"Lilian, ayo kita pulang," ucap Jaden kemudian pada Lilian. Lilian yang masih bimbang meninggalkan Laura, tampak sedikit ragu dengan ajakan Jaden. "Urusan kita di sini sudah selesai," tegasnya lagi karena melihat kebimbangan Lilian. Laura menggigit bibirnya dan mulai meneteskan air matanya. Entah mengapa ia merasa sedih dan kecewa saat Jaden meminta Lilian untuk pergi bersamanya. Ia merasa bahwa tak ada seorang pun yang bahkan akan mendengar dan membelanya. Ya, kecuali Lilian. Maka tak heran jika ia merasa kehilangan dan tiba-tiba merasa begitu kesepian. "Please ... Lilian," lirihnya sembari mencengkeram ujung kemeja Lilian seolah ingin menghentikan kepergiannya. "Lilian?!" panggil Jaden lagi. "Bisakah kau hentikan teriakanmu?" tegur Jarvis kemudian. Ia yang sedari tadi hanya mengamati mereka, kini mulai buka suara. Ia menatap Jaden dengan tatapan yang sulit dibaca. "Benar, hentikanlah keributan kalian," seolah telah mendapat dukungan,
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u