Setelah memastikan Richie telah dibawa pergi, aku mengadakan rapat kecil dengan seluruh karyawan. Dengan nada tegas, aku memberikan peringatan kepada mereka semua. Jika mereka merasa belum siap untuk bekerja, lebih baik mereka segera menyerahkan surat pengunduran diri.Aku tidak lagi terjebak dalam pernikahan yang penuh batasan. Era tanpa pengawasan ketat dan konsisten telah berakhir. Aku lalu memberi instruksi kepada tim HR untuk segera memulai proses rekrutmen untuk mencari pengganti yang paling cocok untuk posisi Richie.Setelah rapat selesai, aku segera menuju rumah sakit. Ini adalah hari di mana Grace akhirnya diperbolehkan pulang. Akhirnya, dia bisa keluar dari ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman itu.Dalam perjalanan keluar kantor, aku bertemu dengan kepala keamanan dan memberinya instruksi agar tempat itu tetap dijaga dengan ketat. Siapa yang tahu berapa banyak "Bran" lain yang mungkin dimiliki Richie.Aku mengemudi menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, aku singgah seb
Senyuman pria itu memudar dan wajahnya tampak menjadi kaku jika dilihat lebih dekat. Sydney tidak menyangka jika pria itu akan begitu memperhatikannya atau langsung mengungkapkan kecurigaannya.Pria itu tertawa canggung. Dia berusaha meredakan suasana yang tegang itu, tetapi sudah terlambat. "Ayolah, Bu. Kami cuma mau bicara sama Grace. Kami juga mau mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak," katanya.Aku menyeringai ketika sorot matanya sejenak tampak melunak. Orang-orang seperti mereka tidak mungkin menyerah. Aku berkata dengan dingin, "Maaf, aku cuma bisa bilang kalau Nona Grace tidak akan mencabut gugatan itu. Bagusan kalian pulang saja."Tiba-tiba, pintu kamar pasien perlahan terbuka. Aku mundur selangkah lalu Grace berjalan keluar. Pria berjas itu langsung melempar tatapan penuh kebencian padaku, kemudian mengalihkan pandangannya ke kamar pasien.Grace melihat pria itu, lalu berkata, "Aku Grace. Masuklah, mari kita minum kopi sambil kalian jelaskan apa saja syarat yang
"Kurasa ini udah bagus, Grace. Kamu nampak memesona. Waktu kamu nggak sadarkan diri di ranjang pun tetap cantik," puji aku ke Grace.Grace mendengus dan memutar bola matanya, "Ah, jangan ingatkan aku soal dulu. Waktu kulihat wajahku macam itu stress banget. Aku takut kalau bekas lukanya nggak bakal hilang."Aku tertawa pelan sambil mendekat, melihatnya menyesuaikan gaunnya, lalu membantunya memasangkan kalung zamrud yang kubuatkan untuknya. "Bekas lukanya udah hilang kok."Grace mematung sejenak, lalu tiba-tiba berteriak dan memelukku erat-erat. "Kamu menemukannya!""Nenek itu memakainya, tapi kucuri diam-diam.""Mungkin bagusan kamu cekik dia pakai itu," usul Grace. Kami berdua pun tertawa terbahak-bahak."Janganlah, aku nggak mau dipenjara macam Richie. Aku yakin ayahnya bakal buat aku meringkuk di penjara," kataku di tengah tawa."Mark nggak mungkin membiarkan itu," jawabnya sambil mengerlingkan alis.Aku memutar bola mataku. "Sudahlah, itu sudah berlalu." Lucunya, sejak kami berdua
Aku menyeruput anggurku setelah sedikit sadar, mataku terfokus pada kedua orang yang tampak di atas tepi gelas anggurku. "Sejujurnya, tadi kukira kalian lagi mabuk. Tapi setelah kuliat baik-baik, kalian cuma nunjukkin kebodohan kalian kayak biasanya," ucapku dengan tajam sambil mengamati keduanya.Mereka sudah berhenti tertawa dan kini menatap kami dengan tatapan tajam. Mata Sandra seolah-olah bisa membunuhku."Pecundang menyebut orang lain pecundang. Waktu kalian pikir bukan cuma kalian satu-satunya pecundang, rasanya lega sekali, 'kan? Sandra, biar kamu paham, kamu lah pecundangnya, bukan kami.""Kamu adalah pecundang terbesar yang pernah kutemui dalam hidupku. Maksudku, cuma kamu sendiri pecundang di usiamu yang pulang ke rumah, menangis meminta orang tuanya untuk membereskan kekacauan yang kamu buat. Bukankah begitu, Nona Sandra?"Aku mengangkat alis pada Sandra, lalu melanjutkan, "Ayolah, harusnya kamu berterima kasih sama ayahmu si anggota kongres itu. Dia udah capek-capek memban
Enam bulan kemudian.Aku mengambil kunci mobilku sambil berbicara di telepon yang terjepit antara telinga dan bahu, "Bilang ke pilotnya untuk pelan sedikit, aku masih di rumah."Grace tertawa. "Kukasi telepon ini aja langsung ke pilotnya biar kamu bisa bicara langsung sama dia, bodoh."Aku tertawa keras, hampir membuat telepon itu terlepas dari bahuku. "Dasar! Semoga lidahmu bukan satu-satunya yang makin tajam selama perjalanan itu.""Jemput aku, nanti kamu bakal tahu."Ada jeda sejenak dari suaranya. Namun, aku bisa mendengar suara orang-orang di latar belakang serta suara seseorang yang cukup jelas mengeluarkan instruksi dengan lembut. Itu pasti pramugari. "Mohon matikan ponsel Anda dan pastikan semua barang Anda karena kami akan mendarat dalam beberapa menit lagi.""Oke, aku harus mematikan telepon, kami hampir mendarat. Jangan buat aku menunggu, Sydney!" kata Grace dengan suara serak."Siap, Bos," jawabku meskipun teleponnya sudah terputus.Aku menyimpan segala sesuatu yang mungkin
Aku tersenyum lebar pada Grace. "Kamu cantik sekali, Sis."Wajahnya merona dan dia memelukku lagi. "Oh, sudahlah, kamu juga makin cantik kok," katanya sambil menarik diri."Sydney!"Grace dan aku saling bertatapan ketika mendengar namaku dipanggil. Lalu kami berdua menoleh ke arah datangnya suara itu.Aku mengangkat alisku saat melihat orang-orang yang mendekat. Sungguh, mereka adalah orang-orang yang tak kusangka akan bertemu, Mark dan Bella. Ini benar-benar mengejutkan.Setelah Grace pergi ke Paris, aku yang harus menangani urusan perusahaan. Aku sangat sibuk memastikan segalanya berjalan dengan baik serta membersihkan perusahaan dari pegawai-pegawai yang tidak peduli dengan kemajuan perusahaan. Aku hampir tidak punya waktu untuk memikirkan Mark atau Bella atau siapa pun, bahkan apa pun yang tidak berhubungan dengan perkembangan perusahaan.Bahkan saat aku berada di GT Group, aku tidak pernah bertemu dengan Mark. Sekarang, aku mulai bertanya-tanya bagaimana bisa itu terjadi. Maksudku
Sudut pandang Mark:Belakangan ini, pikiranku terus terganggu. Setiap kali pikiranku melayang dan aku teringat tendangan yang kurasakan di perut Bella, jantungku seperti berhenti sejenak. Aku hampir seperti bisa merasakan lagi bagaimana rasanya di telapak tanganku, seperti aku menghidupkan kembali momen itu. Itu seperti pengingat harian bahwa aku akan segera menjadi seorang ayah. Aku akan menjadi ayah bagi seorang anak yang bahkan aku tidak tahu apakah aku menginginkannya. Seorang wanita yang mulai membuat perasaanku kacau sedang mengandung anakku dan aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Aku merasa terjebak.Aku pernah berpikir bahwa aku mencintai Bella dan aku siap melakukan apa saja untuk bersamanya. Akhirnya, aku bisa bersamanya, tapi kini aku tidak begitu yakin lagi apakah aku masih mencintainya. Jantungku tidak lagi berdebar ketika melihatnya ataupun senyumannya. Aku tidak merasa di rumah setiap kali dia ada di dekatku, malah aku merasa ... sesak, dan tiba-tiba hanya ing
Hari itu, saat aku berpakaian rapi dan bersiap untuk bekerja, sepanjang perjalanan hingga aku duduk di kursi kantorku, ada rasa gelisah yang menggerogoti hatiku.Jadi, ketika Bella datang kepadaku dua bulan kemudian sambil membawa laporan USG dan meletakkan tangannya di perut datarnya, sorot matanya bersinar dengan campuran harapan, ketakutan, dan kebahagiaan. Sejujurnya aku tidak terlalu terkejut."Mark, aku hamil," suaranya bergetar, hampir tidak terdengar.Aku hanya duduk diam dan menatapnya. Entah bagaimana, jauh di lubuk hati, aku sudah tahu dia hamil.Namun, tetap saja reaksiku muncul tanpa bisa kucegah. Wajahku pucat saat menyadari bahwa ketakutan terbesarku telah menjadi kenyataan. "Bukannya sudah kusuruh kamu minum pil KB!" bentakku marah, tanpa berpikir atau mempertimbangkan perasaannya.Seperti yang kuduga, air mata mulai menggenang di matanya saat dia menatapku. "Aku sudah minum," suaranya gemetar, "Tapi mungkin pilnya tidak bekerja. Ini kecelakaan, oke? Aku juga tidak men
Sudut pandang Dennis:"Dia ada di sini, di Eclipse?" tanyaku. "Bukan bermaksud menyinggung, tapi kamu yakin info yang kamu punya sudah benar?"Detektif itu tersenyum. "Ya, Pak Dennis. Kami nggak akan berada di sini kalau kami nggak yakin.""Bisa kamu kasih tahu siapa orang itu? Mungkin aku tahu kalau dia memang sering ke sini."Dia menggeleng dengan raut wajah menyesal dan menyatukan tangannya di atas meja. "Aku nggak bisa memberi tahu lebih dari yang sudah aku sampaikan. Tapi aku jamin kamu nggak perlu khawatir. Kamu nggak berada dalam masalah apa pun.""Keberadaan kami di sini bukanlah suatu kesalahan, kami sudah memastikan itu. Meskipun belum ada bukti kalau si pembunuh benar-benar ada di klub ini, tapi kemungkinannya cukup besar."Saat mendengar penjelasan detektif itu, aku berada di antara rasa lega dan cemas. Dia baru saja bilang tidak ada bukti, tetapi kemudian bilang ada kemungkinan besar."Sebenarnya, apa yang kamu butuhkan?"Dia melepas genggaman tangannya dan menaruh kedua t
Tidak bisa berkata-kata, aku hanya tersenyum dan mengangguk untuk menerima rasa terima kasihnya. Saat memikirkan situasi itu lebih dalam, aku sadar bahwa aku sebenarnya tidak berpikir saat berteriak menghentikannya.Argh, ada apa denganku? Sekarang semua orang mencuri pandang ke arahku."Bagaimana kamu tahu kalau dia punya alergi?" Salah satu rekan timku memanfaatkan kedekatannya denganku untuk bertanya.Hanya ada satu cara untuk menghindari pertanyaan itu. Aku langsung mengabaikannya dan pura-pura tidak mendengar sambil fokus memperhatikan para juri yang mencicipi makanan, seolah-olah mereka sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar membuka mulut, memasukkan makanan dengan sendok atau garpu, lalu mengunyah dengan sadar untuk menilai rasa.Tanpa kendali, mataku melirik ke arah Aiden, tetapi aku segera mengalihkan pandanganku. Meski begitu, pikiranku tetap tertuju padanya.Aku bergidik membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak tanpa sengaja mendengar mereka membicarakan r
Sudut pandang Anastasia:Pikiranku langsung melayang ke saat persiapan masih berlangsung dan setiap tim sibuk bolak-balik mengumpulkan bahan-bahan mereka.Meski aku sedang sibuk memikirkan jumlah dan jenis bahan yang harus kuambil, aku sempat mendengar sekilas percakapan anggota tim di sebelahku. "Kenapa kita nggak tambahin wijen?" Salah satu dari mereka mengusulkan.Temannya menjawab, tetapi aku tidak sempat menangkap jelas apa jawabannya.Beberapa saat kemudian, aku mendengar anggota tim yang lain bertanya, "Butuh bubuk wijen sebanyak apa?"Temannya hanya mengangkat bahu sambil tetap fokus pada wortel yang sedang dia ukir. "Nggak tahu. Tambahin aja secukupnya. Kita cuma butuh rasa wijennya terasa."Saat itu, aku sempat mencatatnya dalam pikiranku tanpa sadar, tetapi aku tidak terlalu memikirkannya. Kupikir, itu bukan urusanku karena setiap tim pasti akan membacakan bahan-bahan yang mereka gunakan sebelum juri mencicipi camilan mereka. Namun, saat mereka memaparkan bahan-bahan yang di
"Kamu yakin?" tanyaku ragu-ragu sambil memotong daun dill dan mint segar yang akan dicampurkan ke dalam yogurt lembut yang sedang dia aduk dengan cekatan.Dia tertawa. "Percaya deh, kamu nggak akan pernah salah kalau pakai yogurt," katanya dengan wajah berbinar. Aku tidak bisa menahan pikiran bahwa dia benar-benar menikmati membuat yogurt.Aku mengangkat bahu. "Aku cuma nggak mau jadi terlalu berlebihan, kamu tahu, 'kan?" Aku melirik ke sekeliling dan melihat semua orang melakukan yang terbaik untuk mengesankan para juri.Meskipun tidak ada hadiah uang, rasanya menyenangkan bisa berkotor-kotoran dengan pekerjaan kami di dunia nyata, bukan cuma di balik layar. Selain itu, aku juga melihat beberapa orang di sini memang punya bakat alami di dapur.Mungkin itu juga alasan kenapa mereka melamar kerja di PT Tasoron. Aku yakin mereka agak kecewa saat tahu kalau bagian "Teknik" di nama perusahaan ini tidak sekeren yang mereka bayangkan.Jujur saja, kami memang lebih banyak berurusan dengan tek
Sudut pandang Anastasia:"Kalian semua harus benar-benar menggunakan bahan-bahan yang tersedia di peternakan ini," kata pembicara, matanya menyapu kami satu per satu. Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan."Tolong, demi kebaikan kalian, patuhi aturan ini," lanjutnya dengan nada memperingatkan."Para juri akan menilai setiap kreasi berdasarkan kreativitas, rasa, penyajian, dan seberapa baik kalian mengolah bahan-bahan segar dari peternakan ini ke dalam hidangan kalian." Dia mengedipkan mata, membuat sebagian besar dari kami tersenyum karena sikapnya yang santai."Itu tadi adalah sebuah petunjuk, jadi pikirkan baik-baik bagaimana cara terbaik untuk menonjolkan keunikan bahan-bahan lokal ini dalam hidangan kalian," katanya dengan nada menggoda."Siapa tahu, kreasi tim kalian bukan hanya jadi pemenang, tapi mungkin juga akan diadopsi sebagai camilan resmi perusahaan." Kata-katanya langsung memicu bisikan antusias dari para peserta.Setelah memberikan sem
Aku terkekeh, tetapi aku merasa ingin segera menanyakan alasan Sharon menelepon agar dia bisa segera menjelaskannya dan panggilan itu bisa segera berakhir.Alih-alih langsung ke inti alasan dia menelepon, Sharon mengerucutkan bibirnya. "Ayo beri aku pemandangan yang lebih baik. Aku bahkan seharusnya nggak perlu minta!""Kamu harus belajar untuk nggak hilang fokus, Sharon. Itu salah satu aturan penting dalam bisnis dan hidup secara umum," kataku dengan berpura-pura serius. "Kenapa kamu menelepon?"Sharon terkikik, menutupi mulutnya dengan tangan. Kemudian, dengan gerakan tangannya, dia menjelajahi wajahku. "Kamu terlihat lebih seksi dengan ekspresi serius seperti itu." Dia mendesah, "Aku beruntung punya pacar setampan kamu, 'kan?"Aku mendesah, "Serius, Sharon, kenapa kamu menelepon?"Dia mengerucutkan bibir bawahnya. "Calon tunanganmu nggak perlu alasan untuk menelepon. Aku bisa menelepon kapan saja aku mau. Aku bisa menelepon hanya untuk mendengar suaramu. Kamu harus terbiasa dengan i
Sudut pandang Aiden:Keluar dari kamar mandi, aku dengan cepat mengacak-acak rambut basahku dengan handuk lembut dari kain terry. Jari-jariku menyisir helaian rambut yang kusut dan merapikan simpul-simpulnya saat aku melakukannya.Entah kenapa, aku sepertinya lupa membawa handuk, dan handuk yang diberikan di sini lebih kecil daripada yang aku butuhkan. Mungkin seharusnya aku lebih menekankan bahwa aku bukan meminta handuk muka?Dengan pilihan yang terbatas, aku memutuskan untuk hanya menggunakan kain kecil itu untuk rambutku. Lagi pula, aku satu-satunya yang menempati ruangan ini, jadi aku punya kemewahan untuk menganginkan tubuhku tanpa rasa khawatir.Aku melangkah di atas karpet, kaki telanjangku tenggelam ke dalam serat-serat lembutnya saat aku berdiri di depan cermin yang terpasang di dinding.Aku kembali melanjutkan tugasku untuk merapikan rambut dengan handuk, mengamati helai-helai yang tadinya acak-acakan perlahan mulai teratur, saat mataku tanpa sengaja beralih dari cermin ke s
Amie terlihat begitu lucu dan polos saat tidur nyenyak dan hatiku terasa sakit saat aku bertanya-tanya apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Meskipun dia mungkin melihat hal-hal seperti itu, apa yang membuatnya menggambarnya?"Aku harus membuat penjelasan panjang besok," kata Clara sambil tertawa pelan, menggaruk-garuk rambutnya. "Aku nggak tahu apa yang akan kukatakan kepadanya saat dia bertanya. Sebelum aku memutuskan untuk merobek halaman itu, aku sudah mencari-cari alasan apa yang akan kukatakan saat dia tahu tentang halaman yang hilang itu."Aku mengangkat bahu sambil mencoba mencari-cari alasan yang bisa dia berikan kepada Amie. "Kamu bisa bilang kalau itu menakutkanmu."Dia menatapku, berkedip. "Serius, Dennis?""Apa?" Aku mengangkat bahu dengan sikap defensif. "Kamu bisa bilang begitu, atau kamu bisa bilang kalau kamu sedang melihat gambar-gambar itu saat makan dan mereka kena noda atau basah. Itu akan berhasil, percayalah."Dia menggelengkan kepala dan aku sudah tahu dia ak
Sudut pandang Dennis:"Oh!" seru Clara, matanya melebar sebesar cawan. "Kamu kembali."Aku menatapnya tanpa berkedip, dengan sengaja menahan diri untuk tidak merespons kekagetannya seperti yang mungkin dia harapkan. Kami tetap terkunci dalam tatapan yang tidak tergoyahkan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dan meskipun aku berusaha sekuat tenaga, aku tidak bisa menahan pikiran yang berlarian dengan kecepatan luar biasa dalam pikiranku.Meskipun Clara terus menatapku, sikapnya memancarkan kecemasan yang nyata. Telapak tangannya menggenggam erat halaman yang dirobeknya dari buku gambar Amie.Aku menatapnya dengan tatapan bertanya, mataku berpindah-pindah antara wajahnya yang terlihat penuh kecemasan yang sulit disembunyikan dan kepalan tangannya yang sedikit gemetar di bawah pengamatanku.Clara sepertinya menyadari pertanyaan tidak terucap dalam tatapanku karena dia tiba-tiba mengeluarkan tawa canggung yang terdengar seperti cegukan tertahan. Mengangkat kedua kepalan ta