Aku mencibir dan menatap Bella. Lagaknya mulai membuatku muak dan sebuah ide tiba-tiba muncul di benakku. "Kamu punya uang receh 500-an? Kasih aku, nanti aku beri tahu."Bella terbengong. Namun, dia lalu tertawa karena mungkin mengira aku hanya bercanda. "Cuma 500?" tanyanya."Iya, kamu punya nggak?" ujarku sambil menyodorkan telapak tanganku ke arahnya.Bella mengerutkan kening dan menatapku dari ujung kepala hingga kaki, lalu memutar bola matanya. Dia mengambil selembar uang seratus ribuan dari dompet dan membantingnya di telapak tanganku. "Ambil saja semuanya, nggak perlu kembalian," katanya dengan dagu terangkat seolah-olah baru saja memberiku uang ratusan juta.Aku mengambil uang itu dan mengamatinya sebentar sebelum mengembalikannya kembali kepada Bella. "Ini kebanyakan. Aku cuma mau koin 500-an."Bella tertawa sinis, "Sudah, Sydney, ambil saja. Aku ikhlas. Siapa tahu kamu butuh uang nanti.""Nggak. Aku minta koin 500-an karena cintamu ke Mark cuma seharga itu."Senyum di wajah B
Keesokan harinya, aku tersenyum dari dalam gedung ketika melihat Mark. Melalui dinding kaca ruang tunggu pengadilan, aku bisa melihat sosoknya keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk pengadilan.Aku tiba sekitar lima menit lalu dan menduga bahwa aku harus menunggu cukup lama sebelum Mark akhirnya datang. Namun, dia datang tepat waktu sesuai dengan yang telah kami sepakati.Saat memasuki pintu, Mark menoleh ke kiri dan kanan untuk mencariku. Setelah melihatku, dia segera berjalan mendekat."Aku kira kamu bakal telat," ujarku sambil berdiri dan menggantungkan tas di bahu.Mark mengangkat pundak dan berkata, "Aku sudah janji, jadi aku nggak akan melanggarnya."Aku tidak mampu menahan senyum. Jujur saja, aku cukup terkesan. Apakah ini pengaruh Doris?"Oke, ayo," kataku sambil berjalan di depan, menuju ruangan hakim.Senyumku makin lebar saat hakim memutuskan bahwa kami resmi bercerai. Akhirnya, aku bukan lagi istri Mark. Rasanya sungguh melegakan.Proses perceraian kami berjalan
Kami kembali berjalan dalam diam. "Ngomong-ngomong, soal saham yang dikasih nenekmu, aku nggak berniat menerimanya," ujarku mengawali pembicaraan.Aku menatap Mark dan tersenyum. "Kamu bisa suruh pengacaramu bikin dokumen transfer dan mengirimkannya ke aku."Mark menggeleng dan berkata, "Nggak usah. Nenek sudah transfer sahamnya ke kamu, jadi saham itu punyamu sekarang. Anggap saja itu nafkah cerai dari aku."Aku mengangkat bahu dan sedikit terkejut. Awalnya aku mengira saham itu sangat penting bagi Mark dan dia pasti marah saat aku menandatangani dokumen transfer saham itu. Namun, dugaanku ternyata salah."Kalau kamu berubah pikiran, hubungi saja pengacaraku nanti," kataku sambil menyerahkan kartu nama pengacaraku.Mark melirik kartu itu sebentar, lalu mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Saat ini kami sudah sampai di tempat parkir, jadi aku berjalan ke mobilku dan membuka kuncinya."Oke," kataku sambil berdiri canggung di depan pintu mobil yang terbuka, "aku pergi sekarang."Dia m
Perjalanan menuju tempat kerja sangat lancar. Tidak ada kemacetan di jalan seolah semesta sedang melawan Richie.Dalam waktu singkat, aku sudah sampai di kantor. Ban mobilku berdecit keras di aspal saat aku mendadak menginjak rem dan memarkir mobilku dengan pelan. Aku melihat ke sekeliling dan mencari mobil polisi. Namun, tidak ada satu pun mobil, kilauan maupun suara sirene mereka di sekitar."Bagus, aku tepat waktu," gumamku sambil mengunci pintu mobil dan bergegas masuk. Aku mengabaikan semua sapaan dari beberapa kolega dan langsung menuju lift. Di dalam lift, aku menelepon kepala keamanan."Selamat pagi, Bu.""Pagi," jawabku. Tanpa basa-basi, aku langsung ke inti pembicaraan. "Sekarang, aku ingin semua pintu keluar dijaga ketat. Jangan biarkan Richie dan kepala departemen customer service keluar dari area kantor.""Siap, Bu."Bahkan sebelum panggilan berakhir, aku sudah mendengar sang kepala keamanan memberikan instruksi tegas kepada anak buahnya. Bagus.Akan kupastikan Richie dita
"Richie.""Bu Sydney," sahutnya. Aku tidak bisa menahan tawa pahit yang keluar dari tenggorokanku. Bukankah dia dengan santai memanggilku "Sydney" kemarin? Sekarang, apa maksudnya dengan "Bu"?"Beri tahu aku, Richie, apa untungnya bagimu menyewa pembunuh bayaran yang menyamar sebagai pemasok untuk membunuhku?"Sekarang, semuanya mulai masuk akal saat kami membahas fitur baru untuk Luxe Vogue. Sebagai kepala departemen, Bran tentu hadir dalam diskusi itu, termasuk para kepala departemen lainnya yang ikut memberikan pendapat.Bibirnya bergetar sedikit. "Apa? Pembunuh? Apa maksudmu? Aku nggak ngerti," dalih dia dengan suara gemetar, berusaha berpura-pura tidak tahu.Namun, aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Jemarinya yang gelisah, bibirnya yang gemetar, alisnya yang terus berkedut, dan tatapan matanya yang menyipit. Semuanya tanda-tanda bersalah yang begitu nyata.Aku mengangkat alisku. "Jadi, ini caramu mencoba lari dari masalah? Dengan berpura-pura nggak tahu apa-apa?"Kerutan alis
Setelah memastikan Richie telah dibawa pergi, aku mengadakan rapat kecil dengan seluruh karyawan. Dengan nada tegas, aku memberikan peringatan kepada mereka semua. Jika mereka merasa belum siap untuk bekerja, lebih baik mereka segera menyerahkan surat pengunduran diri.Aku tidak lagi terjebak dalam pernikahan yang penuh batasan. Era tanpa pengawasan ketat dan konsisten telah berakhir. Aku lalu memberi instruksi kepada tim HR untuk segera memulai proses rekrutmen untuk mencari pengganti yang paling cocok untuk posisi Richie.Setelah rapat selesai, aku segera menuju rumah sakit. Ini adalah hari di mana Grace akhirnya diperbolehkan pulang. Akhirnya, dia bisa keluar dari ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman itu.Dalam perjalanan keluar kantor, aku bertemu dengan kepala keamanan dan memberinya instruksi agar tempat itu tetap dijaga dengan ketat. Siapa yang tahu berapa banyak "Bran" lain yang mungkin dimiliki Richie.Aku mengemudi menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, aku singgah seb
Senyuman pria itu memudar dan wajahnya tampak menjadi kaku jika dilihat lebih dekat. Sydney tidak menyangka jika pria itu akan begitu memperhatikannya atau langsung mengungkapkan kecurigaannya.Pria itu tertawa canggung. Dia berusaha meredakan suasana yang tegang itu, tetapi sudah terlambat. "Ayolah, Bu. Kami cuma mau bicara sama Grace. Kami juga mau mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak," katanya.Aku menyeringai ketika sorot matanya sejenak tampak melunak. Orang-orang seperti mereka tidak mungkin menyerah. Aku berkata dengan dingin, "Maaf, aku cuma bisa bilang kalau Nona Grace tidak akan mencabut gugatan itu. Bagusan kalian pulang saja."Tiba-tiba, pintu kamar pasien perlahan terbuka. Aku mundur selangkah lalu Grace berjalan keluar. Pria berjas itu langsung melempar tatapan penuh kebencian padaku, kemudian mengalihkan pandangannya ke kamar pasien.Grace melihat pria itu, lalu berkata, "Aku Grace. Masuklah, mari kita minum kopi sambil kalian jelaskan apa saja syarat yang
"Kurasa ini udah bagus, Grace. Kamu nampak memesona. Waktu kamu nggak sadarkan diri di ranjang pun tetap cantik," puji aku ke Grace.Grace mendengus dan memutar bola matanya, "Ah, jangan ingatkan aku soal dulu. Waktu kulihat wajahku macam itu stress banget. Aku takut kalau bekas lukanya nggak bakal hilang."Aku tertawa pelan sambil mendekat, melihatnya menyesuaikan gaunnya, lalu membantunya memasangkan kalung zamrud yang kubuatkan untuknya. "Bekas lukanya udah hilang kok."Grace mematung sejenak, lalu tiba-tiba berteriak dan memelukku erat-erat. "Kamu menemukannya!""Nenek itu memakainya, tapi kucuri diam-diam.""Mungkin bagusan kamu cekik dia pakai itu," usul Grace. Kami berdua pun tertawa terbahak-bahak."Janganlah, aku nggak mau dipenjara macam Richie. Aku yakin ayahnya bakal buat aku meringkuk di penjara," kataku di tengah tawa."Mark nggak mungkin membiarkan itu," jawabnya sambil mengerlingkan alis.Aku memutar bola mataku. "Sudahlah, itu sudah berlalu." Lucunya, sejak kami berdua
Sudut pandang Anastasia:Penjaga penginapan muncul di depan pintu kamarku sekitar tengah hari setelah tukang ledeng pergi. Dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran, dia bertanya, "Kamu nggak apa-apa? Tukang ledeng bilang kamu menangis."Aku memaksakan tawa. "Aku tahu dia pasti panik. Aku baik-baik saja. Ini cuma karena menstruasi. Aku selalu jadi emosional setiap kali waktunya tiba.""O." Mulutnya membentuk huruf itu. "Maaf soal itu.""Nggak apa-apa. Aku sudah terbiasa.""Nanti kalau kamu sudah merasa lebih baik, tukang ledeng bakal balik buat selesaikan pekerjaannya.""Terima kasih," ucapku. Begitu dia berbalik, bibirku kembali mengerucut ke bawah. Dadaku terasa lebih sesak saat aku kembali menangis.Malam itu, Amie menelepon dan bertanya dengan alisnya yang lucu berkerut dan wajahnya yang pucat, "Mama nangis?"Aku menggeleng dan mengendus, berusaha tersenyum di balik air mataku. "Aku baik-baik aja, Sayang. Kamu sendiri gimana?" tanyaku, mengerutkan dahi. Dia tidak terlihat seceria bia
Aku menunggu untuk mendengar suara Aiden, tetapi dia tidak mengatakan apa pun. Ada keheningan panjang yang membuatku hampir mengira mereka sudah selesai berbicara sampai suara lain kembali terdengar. Aku sekarang berasumsi bahwa pemilik suara itu adalah Martin.Dia berkata, "Aku masih bisa membantu, kalau kamu mengizinkanku.""Gimana caranya?" Aiden bertanya hampir seketika. Aku menekan tanganku perlahan ke dinding sambil bertanya-tanya apa yang sedang mereka bicarakan. Awalnya, kupikir tidak pantas bagiku untuk menguping. Namun kemudian, aku tidak bisa menahan diri, terutama setelah mendengar sesuatu yang indah telah dihancurkan."Aku akan mengaku padanya kalau aku yang merekayasa semuanya." Suara Martin menggema di pagi hari dan kerutan muncul di keningku. "Aku masih ingat semua gaun murah yang kubeli dan bahkan bagaimana aku menaruhnya."Apa yang sedang mereka bicarakan? Apa yang ingin Martin bantu untuk Aiden? Kenapa Aiden terdengar begitu terluka? Apa yang telah direkayasa?Aku me
Sudut pandang Anastasia:Aku tidak bisa tidur sedikit pun setelah kembali ke kamarku yang kebanjiran. Kamu mungkin berpikir bahwa kamar yang terendam air akan menggangguku, tetapi itu adalah hal terakhir yang kupikirkan saat aku berbaring di tempat tidur yang untungnya tidak ikut terendam dalam genangan air.Tidak ada tempat lain untuk tidur di tengah malam dan aku juga tidak ingin menghabiskan sisa malam itu di antara manusia lain pada saat itu.Aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi di kamar Aiden dan apa yang hampir saja kubiarkan terjadi. Pada saat yang sama, aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri."Kenapa, Ana? Kenapa?" gumamku ke ruangan kosong sambil menatap langit-langit cokelat, mengerutkan kening saat merasakan sakit kepala mulai berdenyut di pelipisku.Aku menghela napas keras dan berguling di tempat tidur, berhenti sejenak ketika aku hampir jatuh dari tepi tempat tidur.'Apa arti semua ini?' Kupikir aku sudah melupakannya. Kupikir kepulangannya ngga
Aku menggelengkan kepala dan menatap ke depan, memandang para pria yang bangun pagi-pagi untuk bekerja, saat aku teringat hari-hari kelam setelah Ana pergi, lalu aku menambahkan dengan suara pelan, "Segalanya hancur setelah itu."Martin tetap diam dan aku hampir bisa merasakan rasa bersalah serta penyesalan yang terpancar darinya."Aku benar-benar minta maaf, Aiden."" Ayolah. Itu sudah berlalu. Nggak apa-apa." Aku memaksakan senyum kaku untuk meredakan rasa bersalah di wajah anak itu, tetapi sepertinya dia bisa melihat melalui senyumku."Nggak, itu nggak baik," katanya sambil menggelengkan kepala. "Kamu menanganiku dengan cara seperti itu meskipun ada risiko dihukum polisi, kamu memaksaku mengatakan yang sebenarnya dengan segala cara yang bisa kamu lakukan." Martin menggelengkan kepala dan menghela napas. "Aku menghancurkan sesuatu yang indah hanya demi sejumlah uang yang nggak seberapa."Aku tidak bisa lagi memunculkan senyum palsu. Martin benar. Dia telah menghancurkan sesuatu yang
Sudut pandang Aiden:Pelan-pelan, aku duduk setelah kembali dari rasa surgawi yang mengisi diriku dengan perasaan memeluk Ana dalam dekapanku. Pikiranku yang kabur tidak bisa jernih begitu saja saat aku menatap pintu yang dia lewati dan ditutupnya dengan keras.Aku sangat ingin berdamai, aku ingin cinta kami berkembang kembali, tetapi tidak dengan cara seperti ini. Bukan berarti aku tidak menyukai apa yang baru saja terjadi. Aku sangat menikmati setiap detiknya.Aku berharap Ana tidak panik dan berlari pergi, tetapi aku ingin kami memperbaiki semuanya perlahan. Membuatnya mengerti bahwa semuanya adalah kesalahpahaman besar. Menunjukkan kepadanya bahwa aku tidak akan pernah mengkhianatinya dengan cara yang murah seperti itu. Mungkin aku bahkan akan memutarkan rekaman suara itu kepadanya.Ketika aku merasa ada seseorang di sekitarku, merasakan sentuhan di wajahku, dan aku membuka mataku, aku terkejut melihatnya. Sampai dia menyisirkan jarinya ke rambutku dan membalas ciumanku, aku masih
Begitu aku duduk di kursi untuk makan, aku mendengar bel pintu berbunyi. Pandangan mataku beralih ke monitor dan wajahku langsung tersenyum melihat Dennis di pintu."Dennis!" seruku sambil membuka pintu. "Masuk."Tanpa senyum malu yang sudah biasa aku lihat, dia melewatiku dan berjalan masuk. Meskipun aku bisa merasakan ketegangan di udara, aku tetap berbicara. Mungkin dia khawatir karena Ana bersama Aiden lagi dan butuh sedikit hiburan."Kamu datang tepat waktu. Aku baru saja menyiapkan makan malam. Ayo ikut makan," kataku sambil menutup pintu dan berjalan ke arahnya.Namun, wajahnya masih tampak tegang, ekspresinya keras. Aku membuka mulut hendak bertanya ada apa ketika dia melemparkan ponselnya ke sofa.Aku mengangkat alis kepadanya. Oke? Dia berbalik dan aku mengalihkan pandanganku ke ponsel di sofa.Ada sebuah video yang sedang diputar. Aku berjalan mendekat dan mengambil ponsel itu.Jantungku berdebar kencang dan rasa dingin menyusup ke tulang punggungku melihat isi video itu.Ba
Sudut pandang Anastasia:Kehangatan sentuhan Aiden membuatku merinding dan aku makin mencondongkan tubuhku ke dalam pelukannya. Jari-jariku menyelinap di antara rambutnya yang lembut dan aku membiarkan lidahnya yang tajam masuk saat ciuman kami makin dalam.Aku mengeluarkan erangan lembut, menekankan dadaku lebih dalam ke tubuhnya. Tanganku menempel di dadanya saat tangannya menekanku lebih dalam ke pelukannya. Tidak lama kemudian, kakiku telah berada di kedua sisi tubuhnya di sofa sementara kami terus saling melumat bibir.Jari-jarinya memijat kulit kepalaku saat dia membenamkan jari-jarinya dalam-dalam ke rambutku. Tekanan lembut di tengkukku membuatku melengkung lebih dekat, tubuhku merespons sentuhannya seolah-olah tidak ada waktu yang hilang di antara kami.Makin intens momen itu, makin banyak kenangan yang kembali mengalir ke kepalaku, begitu pula emosi lama yang muncul ke permukaan.Sementara menikmati kehangatan pelukannya, aku menyadari bahwa sebagian perasaanku kepadanya tida
Namun, lagi-lagi, aku memaksa pikiran itu menyingkir ke bagian belakang kepalaku dan mencoba menerima kenyataan bahwa kami tidak berakhir seperti yang aku inginkan. Namun, itu sulit. Mereka membuatnya sulit dengan tawa keras bodoh yang selalu Aiden keluarkan setiap kali Ana membuat lelucon yang paling konyol, atau tatapan di mata pria itu setiap kali dia memandang Ana.Belum lagi Ana, awalnya dia tampak sama sekali tidak tertarik, sampai akhirnya dia hanya membicarakan Aiden, lupa bahwa Aiden sebenarnya datang untuk mengunjungiku ketika mereka bertemu di rumahku. Ataukah mungkin itu sengaja? Ana menginginkan pria yang kuidamkan. Aku melakukan apa yang akan dilakukan oleh orang biasa dalam situasi seperti ini. Aku mencoba menahan Ana. Aku mencoba membuatnya melihat bahwa Aiden bukan untuknya, tetapi untukku. Aku pikir itu berhasil sampai Ana bertanya tentang Aiden dan aku dengan bodohnya mengatakan bahwa kami hanya teman. "Kami sebenarnya nggak pernah pacaran," kataku sambil mengang
Sudut pandang Clara:Aku masih ingat hari yang menentukan itu seolah baru terjadi kemarin. Aku sedang menggulir aplikasi kencan tanpa tujuan, dengan pikiran penuh tentang tugas panjang yang harus kuselesaikan.Secara kebetulan, aku menemukan profilnya di aplikasi itu. Namun entah kenapa, aku tidak percaya kalau itu murni kebetulan. Aku yakin bahwa pertemuan itu sudah ditakdirkan sejak awal.Aiden dan aku sepertinya memang ditakdirkan untuk bersama.Aku memberanikan diri dan mengirim pesan padanya. Foto profilnya begitu tampan dan menggoda sehingga aku tidak menyangka dia akan membalas sapaan "Hai, Ganteng" yang kukirim. Aku sempat merasa aneh dengan sapaan itu dan berpikir, seseorang setampan dia pasti dikelilingi oleh deretan gadis yang terus menerus membanjiri pesannya.Dia pasti memiliki banyak sekali pilihan untuk bercinta dan memilih siapa yang benar-benar pantas dicintai. Jadi, kenapa dia mau membalas gadis yang mengirim pesan aneh itu? Mungkin dia bahkan tidak akan pernah meliha