Kami kembali berjalan dalam diam. "Ngomong-ngomong, soal saham yang dikasih nenekmu, aku nggak berniat menerimanya," ujarku mengawali pembicaraan.Aku menatap Mark dan tersenyum. "Kamu bisa suruh pengacaramu bikin dokumen transfer dan mengirimkannya ke aku."Mark menggeleng dan berkata, "Nggak usah. Nenek sudah transfer sahamnya ke kamu, jadi saham itu punyamu sekarang. Anggap saja itu nafkah cerai dari aku."Aku mengangkat bahu dan sedikit terkejut. Awalnya aku mengira saham itu sangat penting bagi Mark dan dia pasti marah saat aku menandatangani dokumen transfer saham itu. Namun, dugaanku ternyata salah."Kalau kamu berubah pikiran, hubungi saja pengacaraku nanti," kataku sambil menyerahkan kartu nama pengacaraku.Mark melirik kartu itu sebentar, lalu mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Saat ini kami sudah sampai di tempat parkir, jadi aku berjalan ke mobilku dan membuka kuncinya."Oke," kataku sambil berdiri canggung di depan pintu mobil yang terbuka, "aku pergi sekarang."Dia m
Perjalanan menuju tempat kerja sangat lancar. Tidak ada kemacetan di jalan seolah semesta sedang melawan Richie.Dalam waktu singkat, aku sudah sampai di kantor. Ban mobilku berdecit keras di aspal saat aku mendadak menginjak rem dan memarkir mobilku dengan pelan. Aku melihat ke sekeliling dan mencari mobil polisi. Namun, tidak ada satu pun mobil, kilauan maupun suara sirene mereka di sekitar."Bagus, aku tepat waktu," gumamku sambil mengunci pintu mobil dan bergegas masuk. Aku mengabaikan semua sapaan dari beberapa kolega dan langsung menuju lift. Di dalam lift, aku menelepon kepala keamanan."Selamat pagi, Bu.""Pagi," jawabku. Tanpa basa-basi, aku langsung ke inti pembicaraan. "Sekarang, aku ingin semua pintu keluar dijaga ketat. Jangan biarkan Richie dan kepala departemen customer service keluar dari area kantor.""Siap, Bu."Bahkan sebelum panggilan berakhir, aku sudah mendengar sang kepala keamanan memberikan instruksi tegas kepada anak buahnya. Bagus.Akan kupastikan Richie dita
"Richie.""Bu Sydney," sahutnya. Aku tidak bisa menahan tawa pahit yang keluar dari tenggorokanku. Bukankah dia dengan santai memanggilku "Sydney" kemarin? Sekarang, apa maksudnya dengan "Bu"?"Beri tahu aku, Richie, apa untungnya bagimu menyewa pembunuh bayaran yang menyamar sebagai pemasok untuk membunuhku?"Sekarang, semuanya mulai masuk akal saat kami membahas fitur baru untuk Luxe Vogue. Sebagai kepala departemen, Bran tentu hadir dalam diskusi itu, termasuk para kepala departemen lainnya yang ikut memberikan pendapat.Bibirnya bergetar sedikit. "Apa? Pembunuh? Apa maksudmu? Aku nggak ngerti," dalih dia dengan suara gemetar, berusaha berpura-pura tidak tahu.Namun, aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Jemarinya yang gelisah, bibirnya yang gemetar, alisnya yang terus berkedut, dan tatapan matanya yang menyipit. Semuanya tanda-tanda bersalah yang begitu nyata.Aku mengangkat alisku. "Jadi, ini caramu mencoba lari dari masalah? Dengan berpura-pura nggak tahu apa-apa?"Kerutan alis
Setelah memastikan Richie telah dibawa pergi, aku mengadakan rapat kecil dengan seluruh karyawan. Dengan nada tegas, aku memberikan peringatan kepada mereka semua. Jika mereka merasa belum siap untuk bekerja, lebih baik mereka segera menyerahkan surat pengunduran diri.Aku tidak lagi terjebak dalam pernikahan yang penuh batasan. Era tanpa pengawasan ketat dan konsisten telah berakhir. Aku lalu memberi instruksi kepada tim HR untuk segera memulai proses rekrutmen untuk mencari pengganti yang paling cocok untuk posisi Richie.Setelah rapat selesai, aku segera menuju rumah sakit. Ini adalah hari di mana Grace akhirnya diperbolehkan pulang. Akhirnya, dia bisa keluar dari ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman itu.Dalam perjalanan keluar kantor, aku bertemu dengan kepala keamanan dan memberinya instruksi agar tempat itu tetap dijaga dengan ketat. Siapa yang tahu berapa banyak "Bran" lain yang mungkin dimiliki Richie.Aku mengemudi menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, aku singgah seb
Senyuman pria itu memudar dan wajahnya tampak menjadi kaku jika dilihat lebih dekat. Sydney tidak menyangka jika pria itu akan begitu memperhatikannya atau langsung mengungkapkan kecurigaannya.Pria itu tertawa canggung. Dia berusaha meredakan suasana yang tegang itu, tetapi sudah terlambat. "Ayolah, Bu. Kami cuma mau bicara sama Grace. Kami juga mau mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak," katanya.Aku menyeringai ketika sorot matanya sejenak tampak melunak. Orang-orang seperti mereka tidak mungkin menyerah. Aku berkata dengan dingin, "Maaf, aku cuma bisa bilang kalau Nona Grace tidak akan mencabut gugatan itu. Bagusan kalian pulang saja."Tiba-tiba, pintu kamar pasien perlahan terbuka. Aku mundur selangkah lalu Grace berjalan keluar. Pria berjas itu langsung melempar tatapan penuh kebencian padaku, kemudian mengalihkan pandangannya ke kamar pasien.Grace melihat pria itu, lalu berkata, "Aku Grace. Masuklah, mari kita minum kopi sambil kalian jelaskan apa saja syarat yang
"Kurasa ini udah bagus, Grace. Kamu nampak memesona. Waktu kamu nggak sadarkan diri di ranjang pun tetap cantik," puji aku ke Grace.Grace mendengus dan memutar bola matanya, "Ah, jangan ingatkan aku soal dulu. Waktu kulihat wajahku macam itu stress banget. Aku takut kalau bekas lukanya nggak bakal hilang."Aku tertawa pelan sambil mendekat, melihatnya menyesuaikan gaunnya, lalu membantunya memasangkan kalung zamrud yang kubuatkan untuknya. "Bekas lukanya udah hilang kok."Grace mematung sejenak, lalu tiba-tiba berteriak dan memelukku erat-erat. "Kamu menemukannya!""Nenek itu memakainya, tapi kucuri diam-diam.""Mungkin bagusan kamu cekik dia pakai itu," usul Grace. Kami berdua pun tertawa terbahak-bahak."Janganlah, aku nggak mau dipenjara macam Richie. Aku yakin ayahnya bakal buat aku meringkuk di penjara," kataku di tengah tawa."Mark nggak mungkin membiarkan itu," jawabnya sambil mengerlingkan alis.Aku memutar bola mataku. "Sudahlah, itu sudah berlalu." Lucunya, sejak kami berdua
Aku menyeruput anggurku setelah sedikit sadar, mataku terfokus pada kedua orang yang tampak di atas tepi gelas anggurku. "Sejujurnya, tadi kukira kalian lagi mabuk. Tapi setelah kuliat baik-baik, kalian cuma nunjukkin kebodohan kalian kayak biasanya," ucapku dengan tajam sambil mengamati keduanya.Mereka sudah berhenti tertawa dan kini menatap kami dengan tatapan tajam. Mata Sandra seolah-olah bisa membunuhku."Pecundang menyebut orang lain pecundang. Waktu kalian pikir bukan cuma kalian satu-satunya pecundang, rasanya lega sekali, 'kan? Sandra, biar kamu paham, kamu lah pecundangnya, bukan kami.""Kamu adalah pecundang terbesar yang pernah kutemui dalam hidupku. Maksudku, cuma kamu sendiri pecundang di usiamu yang pulang ke rumah, menangis meminta orang tuanya untuk membereskan kekacauan yang kamu buat. Bukankah begitu, Nona Sandra?"Aku mengangkat alis pada Sandra, lalu melanjutkan, "Ayolah, harusnya kamu berterima kasih sama ayahmu si anggota kongres itu. Dia udah capek-capek memban
Enam bulan kemudian.Aku mengambil kunci mobilku sambil berbicara di telepon yang terjepit antara telinga dan bahu, "Bilang ke pilotnya untuk pelan sedikit, aku masih di rumah."Grace tertawa. "Kukasi telepon ini aja langsung ke pilotnya biar kamu bisa bicara langsung sama dia, bodoh."Aku tertawa keras, hampir membuat telepon itu terlepas dari bahuku. "Dasar! Semoga lidahmu bukan satu-satunya yang makin tajam selama perjalanan itu.""Jemput aku, nanti kamu bakal tahu."Ada jeda sejenak dari suaranya. Namun, aku bisa mendengar suara orang-orang di latar belakang serta suara seseorang yang cukup jelas mengeluarkan instruksi dengan lembut. Itu pasti pramugari. "Mohon matikan ponsel Anda dan pastikan semua barang Anda karena kami akan mendarat dalam beberapa menit lagi.""Oke, aku harus mematikan telepon, kami hampir mendarat. Jangan buat aku menunggu, Sydney!" kata Grace dengan suara serak."Siap, Bos," jawabku meskipun teleponnya sudah terputus.Aku menyimpan segala sesuatu yang mungkin
"Hai, Dennis, kamu nggak apa-apa?" tanya Clara, saat dia mulai mendekatiku dengan ekspresi khawatir di wajahnya. "Kamu terlihat bengong."Aku hanya mengalihkan fokus pembicaraan menggunakan koper yang dia tarik di belakangnya seperti beban mati. "Kamu mau pergi ke mana?"Clara terpancing. "Sebenarnya baru pulang. Aku melakukan perjalanan singkat, tapi sekarang aku sudah pulang. Aku lihat kamu juga ….""Nggak. Aku baru saja keluar dari rapat. Aku sedang dalam perjalanan pulang sebelum melihatmu."Dia tersenyum lebar. "Itu lebih baik lagi. Bisa antar aku? Tolong?"Aku setuju dan mengangkat kopernya, lalu menyimpannya di bagasi. Selama perjalanan, dia menceritakan perjalanannya dan orang-orang menarik yang dia temui, serta berbagai hal lain yang sebenarnya tidak perlu aku ketahui."Oh, astaga!" Dia berhenti tiba-tiba, tatapannya melirik ke kursi penumpang dengan ekspresi terkejut. Dia menepuk ringan lenganku, sambil memberikan kedipan nakal. "Ini untuk siapa?""Kamu mau membunuh kita? Jag
Aku berbagi ketakutan, impian, dan hasratku dengannya, dan sebagai balasannya, Anastasia memberikan telinga yang sabar mendengar dan membuktikan dirinya sebagai sistem pendukung yang hebat."Ana," kataku suatu hari, akhirnya menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. "Jadilah milikku."Dia tersenyum lembut, tetapi dengan cara yang sangat ramah dia menepuk pundakku dan berkata, "Aku menghargai semua yang kamu lakukan untukku dan percayalah, aku nggak menganggap ini remeh. Tapi, aku nggak butuh hubungan sekarang. Kurasa aku nggak akan pernah menginginkannya."Apa yang orang katakan tentang menjadi patah tetapi tidak terkalahkan? Itulah aku.Waktu berlalu, putrinya tumbuh dan aku dengan sabar tetap bertahan, menolak untuk mencoba hubungan lain karena perhatianku tetap pada Ana, berharap ada perubahan dalam keputusannya.Aku berharap kepada bintang-bintang di malam hari, berharap kepada langit, dengan penuh keinginan untuk melihat segala sesuatunya selaras mendukungku,
Sudut pandang Dennis:Aku bersandar di kursi dan memandang keluar jendela ke terminal bandara yang sibuk sambil menunggu rapatku berakhir."Baiklah, Rekan-rekan, mari kita tinjau proyeksi penjualan kita untuk kuartal berikutnya. Pak Ben, bisa tolong ringkas poin-poin utamanya?"Seorang pria botak yang duduk di ujung meja berdeham sebelum mulai berbicara. "Kami memperkirakan kenaikan penjualan sebesar 12%, yang terutama didorong oleh peluncuran produk baru kita dan upaya pemasaran yang diperluas.""Itu perkiraan yang konservatif, 'kan?" tanya Ketua menginterupsi. "Aku yakin kita bisa mendorongnya mencapai pertumbuhan 15%."Seorang wanita di sebelahku menambahkan pendapatnya, "Aku setuju dengan Bapak. Apa yang menghambat kita untuk mencapai proyeksi yang lebih tinggi itu?""Kita perlu mempertimbangkan tren pasar, persaingan, dan tingkat adopsi pelanggan. Tapi, aku rasa kita bisa meninjau kembali strategi harga kita dan mengeksplorasi saluran baru untuk menjangkau target audiensi kita," j
"Sekarang, pemandu akan memperkenalkan fasilitas di sini," kata Aiden, lalu melangkah ke samping dan digantikan oleh si pemandu bersama dua orang lainnya."Halo semuanya," kata pria yang tampaknya pemimpin mereka dengan aksen yang aneh. "Aku ingin kalian membentuk tiga kelompok dan kita akan mulai."Kami semua dibagi menjadi tiga kelompok dengan masing-masing pemandu memimpin satu kelompok dan membawa kami berkeliling penginapan bergaya pedesaan yang indah.Pemandu menunjukkan kepada kami ruang makan yang memiliki dapur di sampingnya. Setiap orang yang tertarik bisa memasak makanannya sendiri. Keren. Kemudian, dia menunjukkan danau yang berkilauan yang tersembunyi di balik pohon-pohon pinus yang lebih besar dan lebih tinggi di area tersebut.Ada banyak fasilitas yang kami lihat dan semuanya berakhir di kamar yang telah ditentukan untuk kami. Dua orang per kamar.Saat memasuki kamar, aku menyadari bahwa teman sekamarku tidak ada di sini. Dia tidak ikut perjalanan ini.Bagus! pikirku den
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku melingkarkan tanganku erat-erat di sekeliling tubuhnya, lalu berbisik penuh rahasia, "Iya, Mama janji. Para suster ini nggak tahu rencana rahasiaku buat bawa kamu kabur."Tawanya kembali memenuhi telingaku dan dia menarik diri sambil mengedipkan mata nakal. Aku mengecup keningnya sekali lagi, seolah-olah untuk menyegel janji kami. "Sekarang lanjut gambar kita yang banyak, ya."Dia mengangguk cepat, lalu mengambil kembali buku sketsanya dan melanjutkan gambarnya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri para suster. "Tolong awasi Amie dengan baik. Aku nggak mau dia keluyuran atau terima barang dari orang asing, ya. Aku sudah cukup banyak pikiran dan nggak mau nambah beban lagi.""Kami benar-benar minta maaf soal itu, Bu. Amie anak yang penuh energi dan punya cara manisnya sendiri. Kami juga nggak tahu gimana dia bisa mengelabui suster, tapi kami akan perhatikan semua yang Ibu sampaikan. Dia akan aman di sini," jawab salah satu suster dengan tulus."Bagus, terima kasih." Pandanganku bera
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama