Nenek Doris dan aku keluar dari ruang tamu di bawah tatapan mata Rose dan Mark yang waspada. Aku bisa merasakan tatapan mata mereka yang tajam menusuk ke arah kami saat pintu tertutup di belakang kami.Kami melangkah keluar ke halaman yang tenang, berjalan melalui halaman, lalu ke taman. Taman itu membungkus kami dalam keheningannya yang tenteram. Sesekali gemerisik dedaunan yang lembut dan kepakan sayap burung yang lembut mengganggu keheningan yang tenang itu.Warna-warna cerah dari berbagai bunga memenuhi seluruh area, kelopaknya bergoyang anggun tertiup angin. Kupu-kupu yang juga berwarna-warni dengan berbagai bentuk dan ukuran beterbangan di taman, menambah nuansa lembut dan keindahan surgawi ke tempat itu.Aku mengagumi bunga-bunga dan kupu-kupu itu. Aku mendesah pelan, andai saja hidupku bisa semudah keindahan mereka.Nenek Doris menggenggam kedua tangannya di belakang punggungnya saat kami berjalan di sepanjang jalan setapak di antara taman itu. Pasti menyakitkan bagiku untuk me
Suara Nenek Doris bergetar saat berbicara. Dia mengembalikan ponsel itu kepadaku. "Nggak diragukan lagi," ucapnya seraya menggelengkan kepalanya dengan sungguh-sungguh."Mark nggak pantas untukmu." Dia menarik napas dalam-dalam dan menyelesaikan kalimatnya. "Aku setuju dengan perceraianmu. Kalau itu membuatmu bahagia, aku akan mendukungmu sepenuhnya."Aku mengembuskan napas yang tanpa sadar telah kutahan dan rasanya seperti sesuatu yang berat akhirnya terangkat dari dadaku setelah sekian lama."Terima kasih, Nek." Aku berseri-seri dan terkekeh gemetar saat merasakan air mata mengalir di pipiku. Aku menyekanya, tetapi air mata itu terus mengalir. Akhirnya, aku membiarkannya jatuh dan memeluk Nenek Doris dengan erat."Nenek adalah nenek terbaik di dunia dan aku akan selamanya berterima kasih kepada Nenek.""Jangan menangis, Nak. Kamu sudah berusaha sebaik mungkin." Telapak tangan Nenek Doris yang lembut tetapi kuat menepuk punggungku dengan lembut. "Kamu adalah cucu menantu terbaikku. Se
Sesuai dugaan, dan memang sewajarnya begitu, bukan hanya aku yang terkejut. Ekspresi terkejut sekilas terpancar di wajah Mark, merusak sikap tenang yang selama ini ditunjukkannya.Keterkejutan Rose begitu hebat. Dia tidak bisa menahannya sehingga dia mengamuk. "Apa-apaan ini?" Dia meledak, tersentak dari posisi duduknya. "Apa Ibu serius akan memberinya saham?"Doris mengamatinya sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Rose, aku serius akan memberinya saham.""Kenapa? Ibu? Kenapa?" Kemudian, Rose menoleh kepadaku. Wajahnya sudah merah karena marah. "Dasar jalang!" Dia memelotot dan suaranya bergetar setiap kata-kata makian itu keluar dari mulutnya. "Beraninya kamu mengambil saham anakku! Kamu bilang apa kepada Ibu hingga dia memberimu saham milik anakku?"Aku hanya menatapnya dengan acuh tak acuh. Mataku terus menatap, mengamati tatapan kemarahannya. Apa wanita ini tidak pernah lelah? Bahkan orang bodoh yang gila pun akan tahu bahwa tidak seorang pun bisa memengaruhi keputusan apa pun yang
Doris tersenyum puas, lalu memanggil pembantu. "Tolong ambilkan map cokelat di meja kamarku," perintahnya.Aku mengerutkan kening. Kelihatannya sejak awal Nenek Doris berniat memberikan saham itu padaku. Dia memang tipe orang yang memikirkan segala sesuatunya matang-matang. Jadi, dia mungkin sudah merencanakan hal ini, terlepas apakah aku akan tetap bersama Mark atau tidak.Tak lama kemudian, pembantu tadi kembali dengan membawa selembar map. Doris menerima map itu, lalu memanggilku. "Kamu tanda tangan di sini, sama di sini," katanya sambil menunjuk spasi-spasi kosong di dokumen. "Oh, sama satu lagi di sini."Aku mendekat dan mengambil pena yang Doris ulurkan. Setelah membaca dokumen transfer saham itu sebentar, aku menandatanganinya. Dari belakang, aku bisa merasakan tatapan tajam Rose yang menusuk seperti pisau.Doris mengambil kembali dokumen yang telah kutandatangani dan meletakkannya di samping. "Bagus. Saham itu punyamu sekarang," ujarnya sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya.
Ban mobil berdecit dan tubuhku sedikit terdorong ke depan ketika aku tiba-tiba menginjak rem di luar gerbang rumah keluarga Torres. Dari jendela, aku melihat Bella sedang berjongkok di dekat pagar. Gadis menyedihkan itu mungkin tidak boleh masuk tanpa seizin Mark.Bella pasti menyadari akulah yang berada di dalam mobil karena dia langsung berdiri dan berjalan mendekat. "Keluar!" teriaknya sambil memukul pintu mobil.Aku merasa tingkahnya sangat lucu. Memangnya dia pikir dia siapa?Meski Rose sangat membenciku dan aku sedang dalam proses perceraian, aku sulit membayangkan Bella bisa bersama Mark, kecuali jika dia bersedia menjadi perempuan simpanan. Karena latar belakang keluargaku tidak jauh berbeda dari Bella, Rose juga pasti akan merendahkan dia.Lagi pula, Doris sudah melihat video itu dan aku yakin Bella sudah kehilangan simpati di mata Doris. Jika Mark mencoba menikahi Bella, Doris pasti akan menentangnya.Keluarga Torres berasal dari dunia yang jauh berbeda dengan keluargaku. Mer
Aku mencibir dan menatap Bella. Lagaknya mulai membuatku muak dan sebuah ide tiba-tiba muncul di benakku. "Kamu punya uang receh 500-an? Kasih aku, nanti aku beri tahu."Bella terbengong. Namun, dia lalu tertawa karena mungkin mengira aku hanya bercanda. "Cuma 500?" tanyanya."Iya, kamu punya nggak?" ujarku sambil menyodorkan telapak tanganku ke arahnya.Bella mengerutkan kening dan menatapku dari ujung kepala hingga kaki, lalu memutar bola matanya. Dia mengambil selembar uang seratus ribuan dari dompet dan membantingnya di telapak tanganku. "Ambil saja semuanya, nggak perlu kembalian," katanya dengan dagu terangkat seolah-olah baru saja memberiku uang ratusan juta.Aku mengambil uang itu dan mengamatinya sebentar sebelum mengembalikannya kembali kepada Bella. "Ini kebanyakan. Aku cuma mau koin 500-an."Bella tertawa sinis, "Sudah, Sydney, ambil saja. Aku ikhlas. Siapa tahu kamu butuh uang nanti.""Nggak. Aku minta koin 500-an karena cintamu ke Mark cuma seharga itu."Senyum di wajah B
Keesokan harinya, aku tersenyum dari dalam gedung ketika melihat Mark. Melalui dinding kaca ruang tunggu pengadilan, aku bisa melihat sosoknya keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk pengadilan.Aku tiba sekitar lima menit lalu dan menduga bahwa aku harus menunggu cukup lama sebelum Mark akhirnya datang. Namun, dia datang tepat waktu sesuai dengan yang telah kami sepakati.Saat memasuki pintu, Mark menoleh ke kiri dan kanan untuk mencariku. Setelah melihatku, dia segera berjalan mendekat."Aku kira kamu bakal telat," ujarku sambil berdiri dan menggantungkan tas di bahu.Mark mengangkat pundak dan berkata, "Aku sudah janji, jadi aku nggak akan melanggarnya."Aku tidak mampu menahan senyum. Jujur saja, aku cukup terkesan. Apakah ini pengaruh Doris?"Oke, ayo," kataku sambil berjalan di depan, menuju ruangan hakim.Senyumku makin lebar saat hakim memutuskan bahwa kami resmi bercerai. Akhirnya, aku bukan lagi istri Mark. Rasanya sungguh melegakan.Proses perceraian kami berjalan
Kami kembali berjalan dalam diam. "Ngomong-ngomong, soal saham yang dikasih nenekmu, aku nggak berniat menerimanya," ujarku mengawali pembicaraan.Aku menatap Mark dan tersenyum. "Kamu bisa suruh pengacaramu bikin dokumen transfer dan mengirimkannya ke aku."Mark menggeleng dan berkata, "Nggak usah. Nenek sudah transfer sahamnya ke kamu, jadi saham itu punyamu sekarang. Anggap saja itu nafkah cerai dari aku."Aku mengangkat bahu dan sedikit terkejut. Awalnya aku mengira saham itu sangat penting bagi Mark dan dia pasti marah saat aku menandatangani dokumen transfer saham itu. Namun, dugaanku ternyata salah."Kalau kamu berubah pikiran, hubungi saja pengacaraku nanti," kataku sambil menyerahkan kartu nama pengacaraku.Mark melirik kartu itu sebentar, lalu mengambilnya dan memasukkannya ke saku. Saat ini kami sudah sampai di tempat parkir, jadi aku berjalan ke mobilku dan membuka kuncinya."Oke," kataku sambil berdiri canggung di depan pintu mobil yang terbuka, "aku pergi sekarang."Dia m
Sudut pandang Anastasia:Pikiranku langsung melayang ke saat persiapan masih berlangsung dan setiap tim sibuk bolak-balik mengumpulkan bahan-bahan mereka.Meski aku sedang sibuk memikirkan jumlah dan jenis bahan yang harus kuambil, aku sempat mendengar sekilas percakapan anggota tim di sebelahku. "Kenapa kita nggak tambahin wijen?" Salah satu dari mereka mengusulkan.Temannya menjawab, tetapi aku tidak sempat menangkap jelas apa jawabannya.Beberapa saat kemudian, aku mendengar anggota tim yang lain bertanya, "Butuh bubuk wijen sebanyak apa?"Temannya hanya mengangkat bahu sambil tetap fokus pada wortel yang sedang dia ukir. "Nggak tahu. Tambahin aja secukupnya. Kita cuma butuh rasa wijennya terasa."Saat itu, aku sempat mencatatnya dalam pikiranku tanpa sadar, tetapi aku tidak terlalu memikirkannya. Kupikir, itu bukan urusanku karena setiap tim pasti akan membacakan bahan-bahan yang mereka gunakan sebelum juri mencicipi camilan mereka. Namun, saat mereka memaparkan bahan-bahan yang di
"Kamu yakin?" tanyaku ragu-ragu sambil memotong daun dill dan mint segar yang akan dicampurkan ke dalam yogurt lembut yang sedang dia aduk dengan cekatan.Dia tertawa. "Percaya deh, kamu nggak akan pernah salah kalau pakai yogurt," katanya dengan wajah berbinar. Aku tidak bisa menahan pikiran bahwa dia benar-benar menikmati membuat yogurt.Aku mengangkat bahu. "Aku cuma nggak mau jadi terlalu berlebihan, kamu tahu, 'kan?" Aku melirik ke sekeliling dan melihat semua orang melakukan yang terbaik untuk mengesankan para juri.Meskipun tidak ada hadiah uang, rasanya menyenangkan bisa berkotor-kotoran dengan pekerjaan kami di dunia nyata, bukan cuma di balik layar. Selain itu, aku juga melihat beberapa orang di sini memang punya bakat alami di dapur.Mungkin itu juga alasan kenapa mereka melamar kerja di PT Tasoron. Aku yakin mereka agak kecewa saat tahu kalau bagian "Teknik" di nama perusahaan ini tidak sekeren yang mereka bayangkan.Jujur saja, kami memang lebih banyak berurusan dengan tek
Sudut pandang Anastasia:"Kalian semua harus benar-benar menggunakan bahan-bahan yang tersedia di peternakan ini," kata pembicara, matanya menyapu kami satu per satu. Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan."Tolong, demi kebaikan kalian, patuhi aturan ini," lanjutnya dengan nada memperingatkan."Para juri akan menilai setiap kreasi berdasarkan kreativitas, rasa, penyajian, dan seberapa baik kalian mengolah bahan-bahan segar dari peternakan ini ke dalam hidangan kalian." Dia mengedipkan mata, membuat sebagian besar dari kami tersenyum karena sikapnya yang santai."Itu tadi adalah sebuah petunjuk, jadi pikirkan baik-baik bagaimana cara terbaik untuk menonjolkan keunikan bahan-bahan lokal ini dalam hidangan kalian," katanya dengan nada menggoda."Siapa tahu, kreasi tim kalian bukan hanya jadi pemenang, tapi mungkin juga akan diadopsi sebagai camilan resmi perusahaan." Kata-katanya langsung memicu bisikan antusias dari para peserta.Setelah memberikan sem
Aku terkekeh, tetapi aku merasa ingin segera menanyakan alasan Sharon menelepon agar dia bisa segera menjelaskannya dan panggilan itu bisa segera berakhir.Alih-alih langsung ke inti alasan dia menelepon, Sharon mengerucutkan bibirnya. "Ayo beri aku pemandangan yang lebih baik. Aku bahkan seharusnya nggak perlu minta!""Kamu harus belajar untuk nggak hilang fokus, Sharon. Itu salah satu aturan penting dalam bisnis dan hidup secara umum," kataku dengan berpura-pura serius. "Kenapa kamu menelepon?"Sharon terkikik, menutupi mulutnya dengan tangan. Kemudian, dengan gerakan tangannya, dia menjelajahi wajahku. "Kamu terlihat lebih seksi dengan ekspresi serius seperti itu." Dia mendesah, "Aku beruntung punya pacar setampan kamu, 'kan?"Aku mendesah, "Serius, Sharon, kenapa kamu menelepon?"Dia mengerucutkan bibir bawahnya. "Calon tunanganmu nggak perlu alasan untuk menelepon. Aku bisa menelepon kapan saja aku mau. Aku bisa menelepon hanya untuk mendengar suaramu. Kamu harus terbiasa dengan i
Sudut pandang Aiden:Keluar dari kamar mandi, aku dengan cepat mengacak-acak rambut basahku dengan handuk lembut dari kain terry. Jari-jariku menyisir helaian rambut yang kusut dan merapikan simpul-simpulnya saat aku melakukannya.Entah kenapa, aku sepertinya lupa membawa handuk, dan handuk yang diberikan di sini lebih kecil daripada yang aku butuhkan. Mungkin seharusnya aku lebih menekankan bahwa aku bukan meminta handuk muka?Dengan pilihan yang terbatas, aku memutuskan untuk hanya menggunakan kain kecil itu untuk rambutku. Lagi pula, aku satu-satunya yang menempati ruangan ini, jadi aku punya kemewahan untuk menganginkan tubuhku tanpa rasa khawatir.Aku melangkah di atas karpet, kaki telanjangku tenggelam ke dalam serat-serat lembutnya saat aku berdiri di depan cermin yang terpasang di dinding.Aku kembali melanjutkan tugasku untuk merapikan rambut dengan handuk, mengamati helai-helai yang tadinya acak-acakan perlahan mulai teratur, saat mataku tanpa sengaja beralih dari cermin ke s
Amie terlihat begitu lucu dan polos saat tidur nyenyak dan hatiku terasa sakit saat aku bertanya-tanya apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Meskipun dia mungkin melihat hal-hal seperti itu, apa yang membuatnya menggambarnya?"Aku harus membuat penjelasan panjang besok," kata Clara sambil tertawa pelan, menggaruk-garuk rambutnya. "Aku nggak tahu apa yang akan kukatakan kepadanya saat dia bertanya. Sebelum aku memutuskan untuk merobek halaman itu, aku sudah mencari-cari alasan apa yang akan kukatakan saat dia tahu tentang halaman yang hilang itu."Aku mengangkat bahu sambil mencoba mencari-cari alasan yang bisa dia berikan kepada Amie. "Kamu bisa bilang kalau itu menakutkanmu."Dia menatapku, berkedip. "Serius, Dennis?""Apa?" Aku mengangkat bahu dengan sikap defensif. "Kamu bisa bilang begitu, atau kamu bisa bilang kalau kamu sedang melihat gambar-gambar itu saat makan dan mereka kena noda atau basah. Itu akan berhasil, percayalah."Dia menggelengkan kepala dan aku sudah tahu dia ak
Sudut pandang Dennis:"Oh!" seru Clara, matanya melebar sebesar cawan. "Kamu kembali."Aku menatapnya tanpa berkedip, dengan sengaja menahan diri untuk tidak merespons kekagetannya seperti yang mungkin dia harapkan. Kami tetap terkunci dalam tatapan yang tidak tergoyahkan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dan meskipun aku berusaha sekuat tenaga, aku tidak bisa menahan pikiran yang berlarian dengan kecepatan luar biasa dalam pikiranku.Meskipun Clara terus menatapku, sikapnya memancarkan kecemasan yang nyata. Telapak tangannya menggenggam erat halaman yang dirobeknya dari buku gambar Amie.Aku menatapnya dengan tatapan bertanya, mataku berpindah-pindah antara wajahnya yang terlihat penuh kecemasan yang sulit disembunyikan dan kepalan tangannya yang sedikit gemetar di bawah pengamatanku.Clara sepertinya menyadari pertanyaan tidak terucap dalam tatapanku karena dia tiba-tiba mengeluarkan tawa canggung yang terdengar seperti cegukan tertahan. Mengangkat kedua kepalan ta
Sudut pandang Anastasia:Saat percakapan mengalir, Aiden bertanya, "Pak Jenkins, bagaimana Bapak bisa menjaga tempat ini berjalan dengan lancar? Maksudku, ada hektaran tanah perkebunan dan juga pondok ini. Bagaimana Bapak mengelolanya tanpa kehilangan fokus pada fungsi utama tempat ini?"Aku sadar bahwa aku sudah terlalu lama menatap sisi wajah Aiden. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku tepat pada saat Pak Jenkins menjawab pertanyaan itu.Pak Jenkins tertawa pelan. "Ini kerja tim, tapi putraku, Alex, sangat membantu. Dia sedang pergi beberapa hari, tapi biasanya dia ikut membantu dengan tugas-tugas di sekitar pondok."Aiden melanjutkan, "Aku ingin sekali bertemu dengannya. Sekarang dia sedang apa?"Wajah Pak Jenkins berseri dengan kebanggaan, matanya berkeriput sebagai tanda tahun-tahun petualangannya. "Dia sedang dalam perjalanan berkemah bersama beberapa teman. Dia anak yang hebat, selalu siap membantu."Saat percakapan makin ramai dengan tawa dan candaan, aku melirik jam tangank
Sudut pandang Anastasia:Aku memperhatikan saat perhatian kelompok beralih ke Aiden, matanya menyala dengan sorot protektif yang begitu intens hingga membuat jantungku berdetak lebih cepat."Dia menyuruhmu mundur, Bung," kata Aiden dengan suara tegas namun terkontrol. "Sadari batasmu. Dia nggak tertarik."Karyawan itu, yang bangkit dari tanah sambil mencoba menyelamatkan muka, menyeringai kepadanya. "Jangan ikut campur, Teman."Aiden melangkah maju, matanya menyala dengan kebencian yang cukup untuk membakar pria itu hanya dengan satu tatapan. "Aku bukan temanmu dan ini adalah urusanku sekarang.""Aku bisa menghadapinya sendiri," kataku, mencoba ikut campur, tetapi pandangan Aiden tetap tertuju kepada karyawan itu."Nggak, kamu nggak perlu menghadapinya sendiri," jawab Aiden dengan suara tegas. "Dia perlu belajar untuk menghormati batasan. Kalau aku lihat dia mengganggumu lagi, aku akan melaporkannya."Wajah karyawan itu memerah, tetapi dia tahu dia sudah kalah. Dia mundur menjauh dari