SUDUT PANDANG GRACEIt's my birthdayI'ma do what I likeI'ma eat what I likeI'ma kiss who I likeIt's my birthdaySaat irama energik dari bagian chorus lagu Anne Marie, *Birthday*, menggema dari speaker stereo, aku merasa tidak bisa menahan diri lagi. Sambil menyisir rambut, kepalaku ikut bergoyang mengikuti irama, bibirku mengikuti setiap kata dengan semangat, benar-benar tenggelam dalam nada.I'ma do what I likeI'ma wear what I likeI'ma party tonightGoddamn, it's my birthdayEverybody love meYeah, yeah, yeah, look at me, gimme moneyDamn, it's my birthdayAku berhenti sejenak untuk mengaplikasikan lipstik dengan hati-hati. Setelah merapatkan bibir, aku tersenyum pada bayangan diriku di cermin. Aku berdiri tegak dan mengagumi diriku sendiri di sana; mataku menelusuri garis leher gaun yang kupakai, kalung zamrud buatan Sydney, lekuk tubuhku yang dipertegas, dan belahan di gaun itu."Yes! Aku terlihat keren," gumamku sambil berputar di depan cermin, hatiku penuh dengan kebaha
Dengan hati yang berat karena pengkhianatan, aku berkata dengan suara tersendat, "Kamu benar-benar menyalahkan aku sekarang?" Aku menengadah, berusaha sia-sia untuk menghentikan air mata yang akan jatuh. Tawa pahit keluar dari bibirku bahkan saat aku terisak. "Aku hanya ingin memberimu kejutan, tapi malah memergoki kamu selingkuh!"Joel mencemooh, dan suara itu seakan menusuk hatiku yang sudah hancur berkeping-keping. "Selingkuh?" Dia mendengus. "Kita tidak pernah mendefinisikan hubungan kita. Tidak ada label, tidak ada komitmen. Kita bukan pacar. Bagaimana kamu bisa menuduhku selingkuh padahal kita tidak pernah eksklusif?"Aku melipat tangan di dada dan memohon padanya, "Jadi aku ini siapa bagimu, Joel? Jika bukan pacarmu, lalu apa?"Hatiku hancur menjadi jutaan keping saat Joel, pria yang kukira aku cintai dan yang kupikir juga mencintaiku dengan sepenuh hati, berkata dingin padaku, "Kita hanya teman kencan, Grace," katanya dengan nada dingin. "Kita hanya sekadar teman bercinta. K
SUDUT PANDANG SYDNEYAku membantu Grace menuju mobilnya. Kembali ke dalam, aku mengambil ponselnya dari barang-barang yang tumpah dari dalam tasnya. Tidak perlu mencari terlalu lama—di layar kunci, ada foto dia dan seorang pria yang tampak familiar.Aku menyelipkan ponselnya di saku belakang, menemukan sepasang sandal jepit, lalu kembali ke mobil. Saat aku mengemudi ke rumah sakit, Grace hanya terdiam, kepalanya miring ke jendela dengan ekspresi sedih dan kosong di matanya.Aku tidak tahu harus mengatakan apa atau bagaimana menghiburnya. Mungkin dia butuh keheningan ini. Sesekali, aku menggenggam tangannya, dan perlahan, jarinya mulai melingkar di tanganku. Perasaan lega membanjiriku. Dia masih ada di sana. Grace-ku yang tangguh masih ada.Setibanya di rumah sakit, seorang perawat menghampiriku dan kami berdua membantu Grace ke bangsal. Mereka segera memulai perawatan setelah aku menyelesaikan administrasi tagihan.Aku memegang tangan Grace saat dokter membersihkan darah kering di
Dia tampak terkejut, matanya menelusuri ekspresiku yang penuh amarah. "Sydney," ulangnya, dan mendengar namaku dari bibirnya mulai benar-benar membuatku kesal.“Di mana Joel?”Bibirnya terlihat bergetar beberapa saat sebelum akhirnya bisa mengeluarkan kata-kata. "Bagaimana kamu bisa sampai di sini?" Alisnya mengernyit dan tatapannya melembut saat dia melangkah mendekat. Dia menunjuk ke pintu di belakangku, "Sudah berapa lama kamu berdiri di belakang pintu itu, Sydney?" Matanya menelusuri mataku, seolah mencari jawaban, "Apa yang kamu dengar barusan?" Dia mulai berjalan ke arahku setelah menanyakan pertanyaan terakhir.Aku mengangkat telapak tangan di udara untuk menghentikannya. Dia langsung menghentikan langkahnya, dan tatapannya yang penuh kekhawatiran dan kebingungan bertemu dengan mataku.“Sydney” dia berusaha memulai percakapan, tapi aku sudah tak tahan lagi mendengar namaku dari bibirnya."Bisakah kamu berhenti menyebut namaku dan cukup bilang di mana Joel?" Kata-kataku melu
Aku bergegas melewati dua pria bertubuh besar berwajah cemberut yang berjaga di pintu masuk dan menaiki tangga pendek. Di sanalah bajingan tidak bermoral itu berada.Seseorang menepuk bahuku. Aku pun berbalik dan melihat salah satu pria yang berjaga di depan sudah ada di belakangku. "Anda nggak boleh berada di sini," katanya pendek. Namun, dia kembali ke posisinya setelah melirik ke atas kepalaku.Aku menoleh ke arah Joel dan menyipitkan mataku ketika melihatnya melingkarkan lengannya ke tubuh seorang wanita yang bersandar di sampingnya. Wanita itu tersenyum lebar.Aku mengenal wanita itu. Dia adalah Sandra, teman Bella. Seingatku Bella selalu bersama dengannya. 'Apa yang dia lakukan di sini bersama dengan Joel?''Yah, aku datang ke sini memang bukan untuk menemui Sandra.'Aku berhenti saat tatapanku tertuju pada leher wanita itu. Aku datang untuk mengambil kembali kalung di lehernya. Kalung itu persis seperti kalung yang aku buatkan untuk Grace. 'Jadi, dia bukan hanya wanita jalang, t
Saat Mark berdiri di hadapanku, Sandra tiba-tiba terdiam dan orang-orang itu dengan hormat mundur beberapa langkah. Kemudian sebelum dia mengatakan apa-apa, dia memberi isyarat agar bartender datang. Bocah kurus yang sedang menjalani sif-nya itu terbelalak dan langsung berlari ke arah Mark."Selamat datang, Pak," dia menundukkan kepalanya sebagai salam dengan kedua tangan berada di sisi tubuhnya. Sepertinya dia berusaha keras untuk tidak melihat ke arahku.Aku tidak menyalahkannya. Dia baru saja melihatku memukul kepala seorang pria dengan botol."Pergilah temui bosmu dan suruh semua orang, selain kami, keluar dari bar ini. Aku akan membayar semua tagihannya."Dia menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat, "Ya Pak! Saya akan segera melakukannya!" Kemudian dia berbalik dan berlari.Aku bertanya-tanya mengapa Mark melakukan ini, tetapi aku menyimpulkan bahwa dia ada benarnya. Kami semua memang berasal dari keluarga terkenal di kalangan elite, tetapi aku tidak peduli. Walaupun keribut
"Dia 'kan memang wanita jalang!" balasku, menantang Joel dan Mark untuk melakukan apa pun yang ingin mereka lakukan."Jangan memanggilnya jalang lagi. Sandra adalah pacarku. Mungkin temanmu yang pantas mendapatkan sebutan itu."Aku mundur dan menatapnya dengan tidak percaya. Aku tidak percaya Grace bisa jatuh cinta pada pria seperti ini. "Kamu bajingan! Pacarmu yang bodoh ini yang jalang. Kamu pikir aku akan tinggal diam ketika temanku dihajar olehnya?"Joel berseru geram, "Nggak ada seorang pun yang menghajarnya. Selain itu, kamu bahkan nggak ada di sana dan nggak melihat apa yang Grace lakukan pada pacarku."Aku menatap Sandra dari atas ke bawah. Aku menatap gaunnya yang sempurna dan tanpa sobekan sedikitpun. Rambutnya lurus seperti baru saja keluar dari salon. Juga tidak ada memar di wajahnya selain memar kuberikan padanya."Aku nggak lihat bekas gigitan ataupun goresan parah di wajah si jalang ini. Bahkan dia juga nggak terbaring di ranjang rumah sakit. Jadi, apa persisnya yang dil
Joel tampak menarik diri tanpa sadar saat dia menoleh ke Mark. Alisnya berkerut menampakkan kebingungan. "Bung, kukira kita sahabat? Kupikir kamu akan selalu mendukungku," katanya dengan ekspresi tidak percaya."Kita sahabat dan aku akan selalu mendukungmu," jawab Mark acuh tak acuh sambil mengangkat bahu dan memasukkan tangannya ke dalam saku. "Tapi dia istriku, dan percayalah, aku nggak mendukung siapa pun.""Jadi, kamu hanya akan diam saja dan membiarkan istrimu menindas kita seperti itu?" gumam Joel dengan kekecewaan di matanya."Apa kamu akan membiarkan istriku menindasmu seperti itu?" balas Mark dengan tenang, lalu mengangkat alisnya, membuat Joel terdiam dan ternganga mendengarnya. Mark mengangkat bahu dan melanjutkan, "Apa? Kamu mau aku jadi pengawalmu, begitu?"Kata-kata Joel keluar dengan frustrasi saat dia mengumpat, "Aku menahan diri karenamu!" "Tolonglah." Aku menghadapinya dengan jijik. "Jangan jadi pengecut sekarang. Perlakukan aku seperti perlakuanmu kepada Grace. Biar
Aku mencengkeram rokku dengan erat sambil mencoba menenangkan ketakutanku serta menstabilkan detak jantungku yang kacau. Hal seperti ini benar-benar asing bagiku dan juga sangat menakutkan."Berlutut." Aku tersentak mendengar suaranya dari belakangku. Dengan patuh, aku berlutut, meringis saat lantai keras menggores lututku.Tavon mengangguk puas, matanya bersinar dengan tatapan aneh. "Kamu penurut, bagus."Dia berjalan ke salah satu sisi ruangan dan mengambil sebuah cambuk. Bulu kudukku meremang ketika dia mendekatiku. Tangan tuanya mencengkeram cambuk itu dengan erat. Sebelum aku bisa memproses apa yang akan terjadi atau mencoba memprotes, dia tiba-tiba mengangkat tangannya dan langsung mencambukku kulitkuPunggungku melengkung saat aku mencoba menghindari rasa sakit yang menyengat itu. Jeritanku menggema di seluruh ruangan, rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuhku, air mata menggenang di mataku."Kamu suka ini?" Suaranya kasar, matanya dipenuhi gairah yang mengerikan.Sial, bagaima
Aku memaksa diriku untuk tetap tenang. Aku melepaskan genggaman tanganku yang erat, berhenti menggertakkan gigi, dan memberikan senyuman terbaikku padanya, meskipun aku merasa mual karena jijik. Menjaga kepura-puraan ini sangat melelahkan, tetapi aku tahu aku harus tetap bersandiwara jika ingin rencana ini berhasil.Peringatan Dylan terngiang di pikiranku. Satu kesalahan saja bisa berarti kematianku. Jadi, aku memasang ekspresi manis dan lembut, tidak peduli seberapa besar rasa mual yang kurasakan.Bibir Tavon membentuk senyuman jahat. Tangannya yang berkeliaran berhenti di lekuk pantatku dan menekannya secara halus sambil menoleh ke arah Dylan. "Nak, kamu selalu tahu apa yang aku suka."Dylan mengangguk dengan senyum puas, matanya berbinar-binar. "Paman, kepuasanmu selalu menjadi kebahagiaan terbesarku."Bulu kudukku meremang mendengar kata-kata Dylan. Pengabdiannya dengan menjilat kepada pria bejat ini benar-benar menjijikkan. Bagaimana mungkin dia begitu antusias, begitu bangga, mel
Sudut pandang Sydney:Sekitar satu jam setelah Dylan mendandaniku, dia diberi tahu bahwa mobil sudah siap. Dia berganti ke setelan jas yang, menyebalkannya, membuatnya terlihat semakin mirip Lucas.Aku tidak melewatkan rasa iri yang sekilas muncul di mata para wanita lain saat Dylan dengan kasar menyuruh mereka bersikap baik dan tetap di kamar mereka, lalu pergi bersamaku. Aku rasa mereka pasti ingin menjadi paket yang akan dikirimkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apakah dia pernah menawarkan salah satu dari mereka kepada pamannya juga.Kami masuk ke dalam mobil, dan sopir membawa kami ke tempat di mana aku akan bertemu dengan Paman Tavon.....Setelah beberapa menit perjalanan yang menyesakkan bersama Dylan, akhirnya kami sampai di tujuan, dan aku bisa bernapas lega lagi.Mobil berhenti di depan mansion besar, tetapi yang satu ini jelas lebih mewah dan megah dibandingkan dengan tempat tinggal para wanita Dylan. Aku perlahan mengangguk pada diri sendiri. Aku bisa me
"Aku nggak butuh bantuanmu!" Aku ingin meludah ke wajahnya dan menunjukkan semua kebencian yang kurasakan padanya, tetapi itu pasti akan merusak segalanya, bukan? Itu bahkan bisa membuatku kehilangan nyawa.Jadi, sebagai gantinya, aku memasang senyuman tipis di bibirku dan berbalik menghadapnya. Aku mengejapkan bulu mataku padanya, "Aww." Aku mendesah manja. "Terima kasih."Sambil tersenyum sinis, dia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekatiku. Tiba-tiba, lingerie yang kupakai dirobek olehnya dari tubuhku dan dilemparkannya begitu saja, lalu dia merebut gaun itu dari tanganku.Aku terperanjat dan menatapnya dengan mata terbelalak, tetapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia bahkan tidak melihatku dan senyum itu telah lenyap dari wajahnya. Alisnya berkerut dalam konsentrasi saat dia memakaikan gaun itu kepadaku dan mulai mendandaniku.Tangannya bergerak begitu terampil seolah-olah dia sudah terbiasa melakukan hal ini.Saat dia selesai, dia melangkah mundur dan menatap tubuhku
Dengan hati-hati, aku mengambil gaun itu darinya dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan benar-benar menyerahkannya padaku. Dengan kedua tanganku menggenggam sisi gaun, aku mengangkatnya di depan tubuhku dan membentangkannya sepenuhnya agar bisa melihat desainnya dengan jelas.Itu adalah gaun merah panjang yang langsung membuatku tercengang. Saat aku melihatnya lebih dekat, aku menyadari bahwa bahan gaun ini adalah sutra halus dan mewah dengan tekstur yang begitu lembut sehingga aku bisa langsung tahu bahwa aku akan menyukai sensasinya saat kain itu mengenai kulitku.Panjangnya saja sudah memberikan kesan elegan dan berkelas, tetapi desainnya yang berani, menjadikannya jauh dari kesan sederhana. Kamu hanya perlu melihatnya untuk mengetahuinya.Sebagai pemilik bersama lini pakaian dengan sahabatku, Grace. Aku telah terbiasa dengan banyak desain mode yang menakjubkan dan indah selama bertahun-tahun. Namun, aku tidak bisa menyangkal bahwa gaun yang dipilih Dylan ini memiliki keunikan d
Sudut pandang Sydney:Aku langsung menarik diri dari pelukan Dylan begitu mendengar suara tepukan tangan.Sambil menatap Dylan yang hanya berjarak beberapa sentimeter dariku, aku tetap membiarkan lenganku melingkar di lehernya. "Kenapa kamu tepuk tangan?" tanyaku dengan senyum kecil, mataku mencari-cari petunjuk di wajahnya. Ada kilatan nakal di matanya yang membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dia rencanakan.Dylan hanya balas tersenyum, tidak repot-repot menjawab. Dan dia memang tidak perlu menjelaskan apa pun karena, tepat saat itu, salah satu anak buahnya membuka pintu kamar dan melangkah masuk.Pria itu membawa sebuah kantong belanja di tangannya. "Selamat malam, Pak," sapanya sopan sambil menunduk sedikit, lalu mengangguk padaku. "Nona." Wajahnya tetap datar, tidak memberi petunjuk apa pun tentang isi kantong yang dibawanya.Aku melirik pria itu lalu kembali menatap Dylan, masih dengan tangan yang melingkari lehernya."Apa itu?" tanyaku sambil mengangkat alis, penuh selidik.
Tanpa memberinya kesempatan untuk mengajukan keberatan lebih jauh, aku langsung membungkamnya dengan ciuman yang intens.Sekejap saja, bibirnya sudah bergerak membalas ciumanku, tangannya mencengkeram erat pinggangku dan menarikku lebih dekat ke dadanya. Lalu, satu tangannya meluncur turun, meremas bokongku seolah-olah tubuhku adalah miliknya.Aku menggeliat di atas pangkuannya, merasakan tonjolan keras di balik celananya. "Sial, Sydney," desahnya kasar sebelum menggigit bibir bawahku dengan keras, lalu mengisapnya seakan-akan hendak menghapus bekas yang baru saja dia tinggalkan.Dalam permainan balas dendam yang berkedok cinta ini, kami terus menguji dan menebak satu sama lain. Aku bertanya-tanya, apakah dia bisa melihat senyum palsuku, atau kasih sayang yang hanya merupakan ilusi belaka? Hatiku bergidik saat memikirkan kemungkinan itu.Dylan meremas bokongku lebih kuat, membuatku kembali menggeliat di atasnya. Aku mengerang pelan yang terdengar begitu meyakinkan walaupun semuanya han
"Tentu saja aku keberatan karena kamu ngebunuh sahabatku," kataku pelan, berusaha menjaga agar suaraku tetap terdengar lembut tanpa memperlihatkan kemarahan atau kebencian yang tersembunyi di baliknya. Aku menampilkan gambaran sempurna seorang wanita yang jatuh cinta terlalu dalam, yang sedang mengungkapkan kenyataan pahit pada pria yang dicintainya."Tapi Lucas memang sudah sakit parah sejak lama. Bahkan kalau kamu nggak melakukan apa-apa, dia nggak akan bertahan lebih lama lagi. Mungkin, dengan cara ini, kamu justru membebaskan dia dari penderitaan lebih cepat. Selama ini, dia terus dihantui rasa sakit dan siksaan dari segala penyakit yang bikin tubuhnya melemah …."Aku mengangkat bahu seolah-olah kematian Lucas tidak lagi membebani pikiranku."Lagi pula, aku nggak bisa membenci laki-laki yang sekarang jadi alasan jantungku berdetak. Aku cuma ingin bisa bersama orang yang aku cintai, hanya itu yang aku mau. Aku yakin Lucas nggak akan nyalahin aku … atau bahkan nyalahin kamu, karena k
Sudut pandang Sydney:Tawaku meledak karena ucapan Dylan yang menggelikan. Bagaimana mungkin dia bisa cemburu pada orang yang sudah mati?Dylan berdiri di sana, berusaha terlihat mengintimidasi dengan tatapan marahnya, tapi malah terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Di saat itu, rasanya hampir seperti saat aku sedang bercanda dengan Lucas, dan bukan dengan Dylan.Konfrontasi ini sebenarnya pertanda baik walaupun tingkah Dylan ini agak terlalu dramatis. Ini artinya sandiwara yang selama ini kurancang dengan hati-hati masih berjalan sesuai rencana.Mungkin aku belum sepenuhnya memasuki hatinya yang gila itu, tapi setidaknya aku sudah berhasil masuk cukup jauh ke dalam pikirannya yang rapuh."Maaf," kataku terkikik sambil menutup mulut dengan tanganku untuk menahan tawa. Aku pun turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapannya. Aku tidak bisa menahan rasa geli melihat kecemburuan Dylan terpicu oleh sesuatu yang begitu sepele. Dia benar-benar konyol.Selagi aku masih tertawa p