Aku berharap Anastasia akan datang ke pesta dan hampir saja meminta manajerku untuk menjadikan pesta itu wajib bagi semua karyawan yang masih dipertahankan, tetapi aku menahan diri. Aku tidak ingin memaksakan sesuatu.Aku memutuskan untuk menunggu dan melihat apakah dia akan datang. Jika iya, bagus, aku akan berbicara dengannya di pesta. Jika tidak, aku akan membicarakannya di tempat kerja.Namun, dia datang. Aku melihatnya begitu dia masuk ke ruangan, menerangi tempat itu dengan kehadirannya yang memukau. Saat aku melihatnya berdiri di pintu masuk dan mengagumi perubahan besar di ruangan yang tadinya adalah area resepsionis, aku menahan diri untuk tidak berlari ke arahnya dan memeluknya.Aku tidak yakin bagaimana reaksinya jika aku mencoba berbicara dengannya di depan orang banyak. Sejauh yang aku tahu, Ana yang aku kenal dahulu tidak akan ragu untuk melemparkan minumannya ke wajahku meskipun aku adalah bosnya. Jadi, aku mengirim salah satu pelayan untuk memanggilnya.Namun, Ana tidak
Sudut pandang Anastasia:Ya Tuhan, tidak.Tidak.Aku terus mengulang kata-kata itu dalam pikiranku saat air mata jatuh dari mataku ke telapak tangan dan membasahi sela-sela jari-jariku.Bukan Amie-ku. Bukan dia. Gadisku yang sangat kucintai, yang memiliki tawa yang menular dan energi tanpa batas. Bagaimana ini bisa terjadi?Aku masih menundukkan kepala ketika dokter mulai berbicara dengan penuh simpati dan secara profesional."Aku paham bahwa kabar ini sangat berat, Bu Anastasia. Aku ingin Ibu tahu bahwa kami memiliki tim berdedikasi yang siap membantu dan membimbing Ibu melalui proses perawatan ini."Pikiranku merasa asing dengan kata-katanya, seolah-olah bahasa yang tidak bisa aku mengerti sedang diucapkan kepadaku. Aku ingin mengangkat kepalaku dan bertanya bagaimana mungkin anak perempuan lima tahunku bisa didiagnosis dengan penyakit seperti ini.Mungkin ada kesalahan di suatu tempat.Namun, aku bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Jika aku mencoba berbicara, aku hanya a
Aku berdengus. "Terima kasih, Dokter." Aku membungkuk sedikit, lalu bertanya lagi, "Lalu, setelah perawatan dan terapi, bagaimana prognosisnya? Apa dia akan baik-baik saja?""Tentu saja, dia akan baik-baik saja. Selama dia mendapatkan perawatan dan pengobatan yang memadai, dia akan baik-baik saja dan sehat total saat perawatannya selesai."Jawaban dokter itu memberiku harapan, tetapi memikirkan Amie harus menjalani semua perawatan dan terapi itu membuat hatiku patah lagi.Setelah beberapa kalimat panjang penuh dorongan dan jaminan bahwa Amie akan baik-baik saja setelah perawatan selesai, aku berterima kasih kepada dokter dan keluar ke lorong.Saat berjalan menuju ruangan Amie, aku tidak bisa menghentikan air mata yang mengalir di pipiku, juga tidak bisa menghentikan isak tangisku.Aku berhenti di depan pintu kamar Amie dan berusaha menghentikan air mataku. Aku menghabiskan beberapa detik mengusap air mata yang terus mengalir sambil terisak pelan. Akhirnya, aku tidak merasakan lagi jeja
Sudut pandang Anastasia:Kami berdua menoleh dan melihat Amie berdiri di pintu di belakang kami. Tangannya memegang pintu yang sedikit terbuka sementara matanya yang penasaran menatapku, lebar dan penuh tanya.Dennis segera melepaskanku dan fokus kepada Amie. Gerakannya lembut dan alami saat dia mengangkat dan menggendong Amie di pelukannya.Aku memperhatikan Dennis yang berpindah dari menenangkanku menjadi mengalihkan perhatian Amie dalam hitungan detik."Nggak kok," katanya sambil sedikit menggelitik Amie.Tawa kecil keluar dari Amie saat dia menggeliat dalam pelukan Dennis."Hentikan, Om Dennis," kata Amie setengah hati, kata-katanya tercampur dengan tawa lebih lanjut."Nggak, aku nggak mau," jawab Dennis dengan geraman dibuat-buat yang hanya membuat Amie tertawa lebih keras.Setelah beberapa saat, Dennis berhenti dan menunggu tawa Amie mereda perlahan. Koridor rumah sakit seolah menghilang, meninggalkan kami bertiga dalam sebuah gelembung normalitas sementara."Amie?" Suara Dennis
"Kita juga boleh memasak sendiri. Hari ini, anggap saja aku kokinya. Kamu pelanggan. Jadi, silakan pilih bahan-bahannya, Nona."Aku tidak bisa menahan tawa yang muncul dari tenggorokanku. "Kamu gila." Namun, aku tetap memilih bahan-bahannya."Daging …," gumamku sambil memilih bahan-bahan. "Banyak-banyak. Sayuran, secukupnya ....""Siap, Nona."Aku tersenyum sambil terus memilih bahan pilihanku. "Sausnya .…" Aku menjelaskan seperti apa saus yang aku inginkan. "Dan bumbu!" seruku sambil memilih bumbu dari pilihan yang tersaji dengan gaya prasmanan."Makanan Anda akan siap dalam sepuluh detik!" kata Dennis sambil memindahkan bahan-bahan ke area memasak di mana dia akan memasaknya di atas pemanggang datar besar. Dia mulai bekerja dan membuat pertunjukan dengan melebih-lebihkan setiap gerakannya untuk membuatku terkesan dan tertawa.Aku terkesiap, mataku terbelalak. "Kupikir masakannya akan siap seketika."Dia tertawa. "Kalau aku bisa mewujudkannya hanya untukmu, aku pasti akan melakukannya
Sudut pandang Aiden:Itu sangat jelas, tidak bisa disangkal, bahwa adegan itu sengaja diatur.Aku memeriksa dengan lebih teliti dan melihat hasil pekerjaan amatir yang buruk. Perhatian terhadap detailnya bisa dibilang konyol, bahkan sangat memalukan.Hingga hari ini, aku masih ingat bagaimana lipatan gaun dan pakaian dalam yang tampaknya terlempar asal-asalan itu terlihat sangat disengaja pada pandangan lebih dekat, seolah-olah diatur oleh seseorang yang tidak memiliki konsep tentang kekacauan alami.Sepatu yang tergeletak sembarangan itu bahkan memiliki ukuran yang berbeda dan warna yang mirip, sebuah kesalahan pemula dalam mengatur adegan perselingkuhan.Kemeja-kemeja pria itu bukan milikku, juga bukan ukuran atau gayaku. Kemeja-kemeja itu tergantung lemas, seperti properti dalam sebuah drama yang buruk.Bau menyengat yang sepertinya dimaksudkan sebagai parfum pria itu memenuhi ruangan, menyerang indra penciuman dan baunya sama sekali tidak seperti milikku. Jika parfum itu dimaksudka
"Aku nggak bisa bilang, tolong lepaskan aku. Aku nggak akan kembali lagi.""Akan kubayar dua kali lipat dari yang kamu terima."Matanya melebar, mungkin dia sedang menghitung dalam pikirannya. "Dua kali lipat?""Tiga kali lipat." Aku tidak akan terkejut jika bola matanya benar-benar keluar pada saat itu.Kemudian, dia tiba-tiba terlihat seperti akan menangis. "Aku sangat ingin memberitahumu, tapi aku nggak tahu."Aku mengernyit. "Bagaimana kamu dibayar?""Aku dibayar secara langsung, tapi aku nggak tahu siapa orangnya dan …."Aku menggelengkan kepala, membersihkan kebingungan yang disebabkannya. "Tunggu, di mana kamu ketemu orang ini?"Dia ragu sejenak dan berani melirikku. "Apa kamu tetap akan membayarku?""Kalau nggak?""Kalau begitu, aku nggak akan bilang," rengeknya. "Lalu, aku akan menelepon polisi setelah kamu melepaskanku."Andai aku tidak baru saja kehilangan cinta seumur hidupku, aku mungkin sudah menghabiskan beberapa menit untuk mentertawakan kelakuan kekanak-kanakan anak it
Sudut pandang Anastasia:Setelah beberapa menit sibuk merapikan barang-barangku di dalam tas, aku menutup mata dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri."Nggak apa-apa, dia akan baik-baik saja," gumamku pelan sambil memaksakan senyum."Kamu hanya perlu pergi kerja, bertahan beberapa jam, selesaikan pekerjaan, lalu pulang lagi."Bibirku tertarik ke bawah saat aku memikirkan berapa lama aku harus jauh darinya. Ya Tuhan, aku akan jauh darinya selama berjam-jam! Pikiran itu membuat tanganku sedikit gemetar saat aku menggenggam tali tasku.Bagaimana kalau dia butuh sesuatu dan tidak ada orang di sekitarnya?"Tenang, Ana," kataku cepat-cepat pada diri sendiri. "Perawat ada di sini. Dokter sudah memastikan kalau dia akan dirawat dengan baik. Lagi pula, Clara bilang dia akan mampir. Jadi, dia akan baik-baik saja. Dia punya semua bantuan yang dia butuhkan." Aku mengulang-ulang fakta itu, mencoba melawan rasa cemas yang nyaris membuatku kewalahan.Dengan senyum lebar, aku berbalik me
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku melingkarkan tanganku erat-erat di sekeliling tubuhnya, lalu berbisik penuh rahasia, "Iya, Mama janji. Para suster ini nggak tahu rencana rahasiaku buat bawa kamu kabur."Tawanya kembali memenuhi telingaku dan dia menarik diri sambil mengedipkan mata nakal. Aku mengecup keningnya sekali lagi, seolah-olah untuk menyegel janji kami. "Sekarang lanjut gambar kita yang banyak, ya."Dia mengangguk cepat, lalu mengambil kembali buku sketsanya dan melanjutkan gambarnya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri para suster. "Tolong awasi Amie dengan baik. Aku nggak mau dia keluyuran atau terima barang dari orang asing, ya. Aku sudah cukup banyak pikiran dan nggak mau nambah beban lagi.""Kami benar-benar minta maaf soal itu, Bu. Amie anak yang penuh energi dan punya cara manisnya sendiri. Kami juga nggak tahu gimana dia bisa mengelabui suster, tapi kami akan perhatikan semua yang Ibu sampaikan. Dia akan aman di sini," jawab salah satu suster dengan tulus."Bagus, terima kasih." Pandanganku bera
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama
Aku mulai terbuka padanya. "Hanya saja ... teman-temanku belakangan ini sangat membantu, terutama Clara. Tapi, sekarang dia sedang di luar negeri dan aku tahu Dennis juga sudah banyak membantu, tapi aku nggak mau terus-terusan merepotkannya.""Rasanya seperti aku selalu berutang budi pada orang lain. Jadi ... rasanya sulit mengatur semuanya sekarang. Setiap hari aku selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan kebutuhan Amie."Remi mengangguk, suaranya penuh dengan empati. Dia meraih tanganku dengan penuh pengertian."Aku paham kalau keluarga adalah alasan yang sah untuk nggak ikut dan aku nggak akan memaksamu."Dia sedikit condong ke depan dan menatapku lekat-lekat. "Tapi, aku mau jujur. Aku secara pribadi merekomendasikan namamu untuk masuk daftar peserta. Sekarang aku tahu sepertinya kamu memang nggak bisa ikut.""Aku nggak nyangka," ucapku pelan di balik rasa terkejut karena perhatian yang dia tunjukkan, mataku membelalak. "Terima kasih, Remi. Itu berarti banyak bagiku. Aku
Sudut pandang Anastasia:Aku memindai memo di layar komputerku, kata-kata "Retret Perusahaan" dan "Pembangunan Tim" langsung mencuri perhatian. Suasana kantor dipenuhi kegembiraan, rekan-rekanku mengobrol dengan antusias tentang acara liburan yang akan datang."Kamu percaya nggak sih? Seminggu penuh di Hawhi!" seru seorang wanita berambut pirang, berdiri di dekatku."Iya, 'kan? Aku bahkan sudah mulai membayangkan semua pakaian liburan yang bakal kuperlukan," sahut seorang pria dari seberang ruangan.Kegembiraan mereka yang begitu mencolok tidak berhasil menembus suasana hatiku yang suram. Hawhi? Aku memaksakan senyuman, berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Aku tahu aku tidak akan bisa ikut karena kondisi kesehatan Amie.Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan, apalagi kalau menyangkut nyawa putriku. Aku akan selalu mengutamakan kepentingannya.Jari-jariku menari di atas papan ketik, mengetik pesan untuk menolak tawaran retret itu.[ Maaf, aku tidak bisa menghadiri retret perusahaan
Selama waktu itu juga, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Sharon sempat memprotes, bahkan memohon agar aku tetap tinggal karena dia tidak bisa meninggalkan bisnis. Namun, aku tidak bisa. Aku butuh ruang dan waktu untuk benar-benar berpikir.Namun, sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan untuk mempersiapkan diri atau keputusan apa pun yang kuambil, pernikahan itu tetap harus dilangsungkan. Karena sifat pernikahan yang sudah diatur ini dan dokumen yang kutandatangani dengan sadar, pernikahan itu tidak bisa dihindari.Dulu kupikir semua itu baik-baik saja. Namun, saat aku bertemu Anastasia lagi, pikiranku semakin kacau. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan pernah siap untuk pernikahan ini, apalagi untuk kembali ke hubungan yang sedang kubangun dengan Sharon.Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan, yaitu menghindari Sharon dan pernikahan yang semakin dekat ini dengan segala cara yang kubisa.Sekarang, Sharon yang duduk di seberang meja, menatapku tajam dari balik
Sudut pandang Aiden:Ibuku, entah tidak menyadari senyumanku yang membeku atau memang tidak peduli, melangkah ke samping, memberi ruang bagi Sharon untuk menerima pelukan yang seharusnya untuknya.Dengan senyum lebar, Sharon melingkarkan lengannya di tubuhku. "Astaga! Aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil menyandarkan wajahnya ke dadaku."Hmm," gumamku saat dia melepaskan pelukannya, lalu menaruh tangannya di dadaku sebelum berjinjit untuk mengecup pipiku.Entah kenapa, aku ingin menghapus bekas kecupannya dari pipiku dengan jaketku. Namun, aku menahan diri dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah bibirku benar-benar menyentuh kulitnya.Aku tetap berdiri di tempat sementara Sharon duduk dan ibuku mengambil tempat di sampingnya.Alih-alih ikut duduk, aku hanya berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Bu, gimana kabarmu?" tanyaku.Setidaknya, dia akan menjawab ini, mengingat dia baru saja memberikan pelukannya ke orang lain."Aku baik-baik saja, Say