Share

Suasana Baru

Author: Ri III
last update Last Updated: 2021-12-11 09:04:10

~ Luka baru semakin perih, seperti disiram paksa oleh air keras, membuat luka yang telah tersayat semakin melepuh dan menggila. Tak ada pemandangan yang lebih pilu dari ini, ketika harus melihat kebahagiaan mereka di saat aku tak lagi memiliki sesiapa. ~

Angin menggoyangkan daun yang seolah tengah melambai, satu-persatu daunnya berguguran, menghiasi jalan dengan warna daunnya yang terlihat lebih mencolok dari biasanya, suara kicauan burung juga mampu didengar meski kini dipadu dengan suara kendaraan yang masih melaju dengan stabil. Anak lelaki itu hanya diam, wajahnya terus terpaku ke luar jendela, seolah menikmati pemandangan meski kenyataannya hampa.

Bahkan ia tak tahu seperti apa rasanya sekolah, ia berharap semoga saja teman sekolahnya tak terlalu berisik hingga membuat gendang telinganya pecah nanti. Tak membutuhkan waktu lama, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan gerbang yang tak terlalu menjulang, beberapa ruang kelas bertingkat terpampang jelas dan indah. Marisa tersenyum lega dan segera turun dari mobil. Tapi, pemandangan ini jelas tak bisa ia baca. Ady sedari tadi tak bergerak dan terus saja mengamati dari balik kaca. Satu hal yang membuat batinnya meronta, sesuatu yang dilihat Ady pasti menjadi satu hal yang paling menyakitkan sekarang.

“Turun, yuk! Nanti telat loh masuk kelas barunya,” tukas Marisa pada Ady kecil. Tapi, ia masih terpaku, bagaimana mungkin ia harus melihat pemandangan ini, hampir semua siswa seusianya tengah bersenda gurau, bahkan melakukan drama kecil yang manja bersama ibu dan ayah, ada yang menjerit tak ingin ditinggal, ada yang tertawa terpingkal-pingkal ketika digoda ayahnya, ada juga yang sibuk memasukkan kotak bekal yang semula dikeluarkan dari dalam tas.

Pemandangan indah tapi terasa sakit bagi Ady, ia merasa tak adil sekarang. Marisa mengembuskan napas berat dan mulai membujuk Ady sekali lagi. Beruntung kali ini ia menurut, memegang erat jemari Marisa seolah enggan lepas, bahkan mungkin juga ingin menunjukkan bahwa ia juga diantar orang yang paling mencintainya sekarang.

“Angkat kepalamu, Jagoan! Ady jagoan papa.”

Tiba-tiba Ady mendongak semangat ketika mendengar suara Pravat, bahkan tak jauh dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Pravat dan Clarissa yang kini memakai pakaian serba putih, tengah melambai ke arahnya seolah memberi semangat. Anak lelaki itu tersenyum senang dan ikut melambai ke arah ilusi yang dibuatnya sendiri.

“Oma pulang dulu ya. Nanti kakek Harry bakal jemput lagi ke sini. Belajar yang rajin ya cucu oma!” ucap Marisa seraya mengecup kening Ady lembut. Anak lelaki itu mengangguk antusias ketika melihat kelas barunya yang rapi dan bersih, banyak sekali hiasan di dinding yang akan membuat ia nyaman.

Tapi sayangnya, sekolah tak seperti yang ia bayangkan. Seolah berada di tengah hutan, kebisingan di mana-mana dan semakin tak terkendali. Banyaknya siswa tak menjamin ia tenang, bahkan tak ada siswa pendiam yang ia temui di sini. Ady mendengkus kesal sambil menutup rapat kedua telinganya karena merasa terganggu.

Suara tangisan dari seorang gadis kecil berkepang dua itu seolah menguasai setiap sudut ruangan, bahkan jika Ady perhatikan, tak ada satu pun yang mengusik ketenangan gadis cengeng itu. Ia terus saja menangis dan mengencangkan volumenya membuat gendang telinga Ady hampir pecah. Tapi, sepertinya menutup telinga saja tak cukup. Ia harus menutup mata karena banyaknya siswa yang berlarian ke sana ke mari, derit meja dan kursi membuat giginya sedikit ngilu.

“Argh berisik!” sungutnya. Tapi, siapa yang akan mendengarkan? Semua sibuk dengan urusannya saat ini. Hingga dewi penyelamat itu datang, menangani kekacauan dan membuat suasana mendadak tenang dan senyap. Ady bisa bernapas lega sekarang, tapi suara sesenggukan dari gadis cantik berkepang dua itu masih terdengar berisik meski hanya perlahan, tak lagi menggila seperti tadi.

"Assalamualaikum, anak-anak!" sapa guru cantik bernama Janne pada murid kelas satu sekolah dasar itu ramah. Ia mengamati wajah lucu dan imut setiap anak didiknya dan kini terpaku pada gadis cantik berkepang dua yang matanya sembap.

"Waalaikumsalam, Bu guru!" para murid menjawab serempak.

"Loh, kok malah ada yang menangis? Namamu siapa, Sayang?"

"Aurora, Bu guru. Tapi bisa dipanggil Rara,” balasnya masih dengan Isak tangis yang terdengar pilu.

"Rara, kenapa menangis? Kan seru bisa dapat teman yang banyak di sini!"

"Mama ninggalin Rara di sini." Ibu guru hanya tersenyum, lalu mengusap kepala gadis kepang dua itu perlahan.

"Nanti, mama datang lagi kalau jam belajarnya selesai. Lihat yang lainnya! Mereka semua akan jadi teman Rara.”

Rara mengangguk paham. Ia kini sudah mulai tenang dan duduk di kursinya tepat di sebelah Ady. Sekilas ia menoleh ke arah anak lelaki itu dan melambaikan tangannya. Ady terlihat tak acuh dan melempar pandangan ke arah lain dan membuat gadis kecil itu berdecak sebal.

"Baik anak-anak, kita mulai sesi perkenalan dulu ya. Tetapi sebelum itu, ibu guru mau tanya sama kalian semua dan jawabannya tidak boleh sama, ya!"

"Iya, Bu guru."

"Apa yang akan kalian lakukan jika ada yang merebut hak milik kalian?"

Siswa berbadan gempal mengancungkan telunjuknya.

"Siapa namamu, Nak?"

"Vero, Bu!"

"Apa jawabanmu, Vero?"

"Vero akan mencubitnya, karena berani merebut mainan Vero."

Semua yang berada di kelas tertawa, kecuali Ady.

"Wah, kejam sekali. Selanjutnya!"

Aurora mengancungkan jemarinya.

"Apa jawabanmu, Rara?"

"Rara, akan menggelitiki dia karena berani berantakin istana pasir Rara."

"Wah, nanti dia geli dong."

"Biarin, Bu. Siapa suruh, nakal."

Pertanyaan terus berlanjut. Banyak murid-murid yang mengancungkan telunjuknya, kecuali Ady. Janne memperhatikan anak didiknya yang hanya diam sedari tadi.

"Nak, siapa namamu?"

"Ady, Bu guru."

"Apa jawabanmu?"

"Jawaban apa bu guru?"

"Apa yang akan Ady lakukan, jika ada yang merebut hak milik Ady?"

Seketika bayangan pembunuhan orang tuanya melintas begitu saja. Percikan darah, erangan, jeritan, dan bunyi tembakan berdengung ditelinganya. Anak lelaki itu menggeleng tegas seakan ingin menepis kenangan pedih itu.

"Ady,” panggil Janne sembari menunggu jawaban Ady dan membuat anak lelaki itu sedikit terperanjat.

"Bu guru. Ady mau ke kamar mandi!" pintanya memaksa.

Bu Janne hanya tersenyum dan mengentarkan Ady kepada salah satu guru yang kebetulan lewat, menyuruhnya untuk menemani Ady ke kamar kecil. Anak lelaki itu mulai berjalan tergesa dan mengunci pintu toilet rapat-rapat, menyalakan keran air agar suaranya tak terdengar hingga ke luar. Wajahnya menatap ke arah kaca dan menumpahkan tangisnya di sana. Yang ia ingat hanya luka dan dendam yang terus saja membekas, patah hati terbesarnya yang terjadi ketika ia masih membutuhkan mereka semua.

Ia ingat jelas bagaimana Pravat selalu menyebutnya jagoan, tak ingin membiarkan anak lelakinya menangis begitu saja.

"Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa,” ujar  Pravat memberi semangat kepada Ady.

Karena asik melihat Pravat yang heboh sendiri, Ady yang  baru belajar mengayuh sepeda barunya oleng dan terjatuh. Buru-buru Pravat berlari menghampiri anaknya yang sedang memegangi lututnya yang lecet dan berdarah.

“Sakit, Papa!” Adyatma merengek sambil menunjukkan lutut kirinya yang lecet.

“Ady enggak mau main sepeda lagi. Ady enggak mau jatuh lagi!" sungutnya meluapkan penyesalan. Melihat itu membuat Pravat tersenyum tipis dan menjawil pipi Ady dengan gemas.

"Masa jagoannya papa nangis. Yuk semangat lagi! Jagoan ngga boleh cengeng!”

"Ady, Jagoan Papa!" lanjut Ady menirukan perkataan ayahnya. Kini ia menyeka air mata yang tadi sempat tumpah ruah, mencuci wajahnya hingga segar kembali. Berusaha menguatkan dirinya sendiri bahwa anak lelaki tak boleh cengeng.

Seperti yang telah Marisa janjikan, Harry kini telah menunggu cucu majikannya di depan gerbang, Ady melangkah cepat dan masuk ke dalam mobil. Padahal yang Harry lihat, teman sebaya Ady terlihat berusaha untuk berinteraksi dengannya.

Harry hanya menggeleng pelan. Mungkin karena cucu majikannya terlampau tampan, itu sebabnya gadis kecil berkepang dua selalu saja berusaha untuk mencari perhatiannya. Mobil tiba di rumah dengan cepat, dengan tergesa Ady keluar, memeluk erat Marisa dan meluapkam kerinduannya, lalu membiarkan Marisa melepas seragam barunya.

“Bagaimana teman-temannya di sekolah, pasti menyenangkan ya?” tutur Marisa sembari memakaikan Ady baju ganti. Lalu membawa perlengkapan sekolahnya menuju kamar sang cucu, langkahnya diikuti Ady karena anak lelaki itu terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Ady seperti di hutan. Mereka berisik, cengeng, ngga bisa diam dan Ady ngga suka,” sungut Ady langsung tidur di pangkuan Marisa. Wanita tua itu mengusap lembut kepalanya.

“Pokoknya Ady ngga mau sekolah lagi,” lanjutnya membuat Marisa tertawa kecil.

“Kalau Ady ngga sekolah, gimana bisa jadi orang sukses?”

“Tapi mereka berisik,” keluhnya lagi.

“Mereka itu anak baik seperti Ady. Makannya kenalan dulu biar bisa akrab! Lama kelamaan juga mereka bosan membuat kegaduhan, dan cucu oma akan terbiasa dengan setiap suasana. Ya udah kita ke bawah yuk makan siang dulu! Pasti Ady lapar kan?”

“Iya, Oma.”

Related chapters

  • Miliarder yang Tersingkir    Sahabatan Yuk!

    Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kini Adyatma Mahavir Alanka Bagaskara q sudah duduk di bangku kelas enam SD. Ia tumbuh menjadi pria cerdas yang pendiam, sangat mewarisi wajah Bagaskara yang tampan dan rupawan. Hanya saja sifatnya malah bertolak belakang. Pendiam dan sangat hemat kata, tak suka keramaian, apa lagi menjalin pertemanan. Hidupnya kaku dan berjalan monoton tanpa warna.Sepasang langkahnya berjalan perlahan keluar gerbang. Ia tak sabar menunjukan nilai hasil ulangannya kepada Marisa. Dengan sedikit berlari kecil, ia menuju pak Harry yang tengah menunggu di depan sekolah, namun terdengar seorang perempuan memanggilnya dari belakang.“Dy, tunggu!” teriak Audrey.Ady menoleh perlahan. Sebenarnya ia malas meladeni gadis ini, dari suara cemprengnya saja ia sudah mengenalinya. Seorang anak perempuan seangkatannya. Anak perempuan yang hingga saat ini selalu berusaha mencari perhatian Adyatma. Dari dulu hingga sekarang, sifat A

    Last Updated : 2021-12-16
  • Miliarder yang Tersingkir    Di mana Andin

    Hari demi hari, bulan, dan tahun pun cepat berlalu. Bayangan Marisa masih membekas di benak Ady. Sulit sekali untuk dilupakan. Namun, ia juga harus mengingat pesan Marisa untuk menjadi pengusaha sukses seperti ayahnya, Pravath.Usianya kini telah menginjak 17 tahun, dan sebentar lagi ia akan segera lulus SMA. Tinggal menghitung jam, kabar kelulusan akan segera diumumkan lewat radio.Sore itu, Ady duduk di tepi kolam, ditemani sebuah radio dan secangkir teh hangat buatan Bik Inah. Pandangannya menerawang jauh ke depan, kemudian beranjak menuju kolam ikan milik Marisa yang saat ini ia rawat sendiri. Dulu, biasanya Marisa yang menaburkan makanan ikan dan Ady hanya mengangkat daun kering yang masuk ke dalam kolam. Momen itu membuatnya rindu pada Marisa. Suara dan gaya bicara Marisa seperti masih bisa Ady dengar dengan jelas. Ia mengeluarkan kalung pemberian Marisa yang ia kenakan dari balik baju, hingga saat ini, kalung itu selalu ia pakai. “Di mana kau

    Last Updated : 2022-01-07
  • Miliarder yang Tersingkir    Abi, kenapa berubah?

    Empat bulan kemudian…Suara gemerisik yang ditiup angin berhasil membangunkan wanita cantik bermata hazel itu. Ia berusaha meraih sesuatu di atas nak, kemudian dengan telaten menutupinya dengan khimar. Ia bangkit perlahan lalu berjalan menuju arah jendela, membuka gorden, hingga membiarkan sinar matahari masuk dan memberi kehangatan tersendiri. Sepasang mata yang mengungkapkan kosong ke depan, berharap dapat melihat burung-burung yang lebih baik dan berkicau khawatir. Bibirnya melengkung bak bulan sabit, tersenyum, mensyukuri apa yang telah Sang Pencipta berikan Anda.Suasana hati yang semula waspada, kini berubah

    Last Updated : 2022-03-01
  • Miliarder yang Tersingkir    Di Bawah Hamparan Bintang

    Berada di antara keramaian, tetapi tetap merasa kesepian. Kau tahu? Aku selalu ke tempat ini. Tempat pertama kali aku melihatmu. Melihat senyum, tawa, dan hal konyol yang kini sangat aku rindu. Aku berusaha mencarimu. Ingin sekali menghubungimu, tetapi aku tak tahu nomor ponselmu. Jangankan nomor, bahkan alamat rumahmu saja aku tak tahu. Sembilan tahun lamanya kita bersama, dan aku tak pernah tahu apa pun tentangmu.Di halaman sekolah dasar ini, aku berdiri. Merasakan terpaan angin yang terus menerus membelai pipi. Menghirup udara yang mungkin sedikit berbeda. Berharap aku dapat merasakan wangi bedakmu seperti dahulu.Maaf, bukannya aku tak peduli. Bukannya aku sengaja tak menghiraukanmu. Tetapi, aku hanya ingin meyakinkan hatiku. Apa benar telah ada cinta untukmu? Apa benar hatiku bisa luluh dengan semudah itu? Ke mana pun langkah kaki ini menuntunku, seramai apa pun suasana di sekelilingku, siapa pun yang berusaha mendekatiku, semuanya tak bisa membuat ingatan

    Last Updated : 2022-03-05
  • Miliarder yang Tersingkir    Kembali

    "Tuan, semua sudah menunggu."Ezra terdiam sesaat, pakaian formal yang ia pakai sekarang membuatnya sedikit tak menyangka, jika ia sudah ada di tahap ini, menemukan jati diri yang sejatinya tak mudah untuk dilalui. Ia menatap arloji di pergelangan tangan, kemudian melindungi netra tajamnya dengan kacamata hitam. Tubuh tinggi tegap dan proposional, kulit putih bersih, rahang kokoh, dan hidungnya yang mancung, membuat ketampanannya semakin terpancar kuat. Langkah lebarnya masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi, membiarkan salah satu pengawal pribadinya mengambil alih dengan semangat untuk mengantar Ezra. "Tidak perlu gugup, Tuan! Mereka manusia biasa. Dan saya harap, Tuan tidak terkecoh dengan semua sikap baik orang-orang di sana!"Pengawal pribadi mendiang kakeknya, Andrew kini menjadi pengawal pribadi Ezra. Wajahnya juga tegas. Ia tahu betul, tiga pengawal setia mendiang Nathan tak diragukan lagi kekuatannya, tak mudah ditaklukan dan menjadi benteng paling kokoh sebelum menyentuh

    Last Updated : 2021-12-11
  • Miliarder yang Tersingkir    Penyusup

    "Siapa yang menyuruhmu?"Suara dingin Ezra mendominasi ruangan gelap juga mencekam di markas, pria dengan pakaian lengkap serba hitam, juga penutup wajah yang telah disingkap itu hanya menunduk seperti tak ingin bersitatap dengan Ezra. "Siapa yang mengutusmu untuk mencelakai saya?"Hening! Pria itu memilih bungkam, sekali pun kaki dan tangannya telah diikat pada kursi, juga sudut bibir, hidung yang berdarah, rupanya ia belum mau buka suara selain rintihan kesakitan."Hey, apa kau tak mendengar pertanyaannya?" Kini William angkat suara, ia muak dengan penjahat di hadapannya, matanya sudah menatap tajam pria pecundang yang masih menundukkan kepala di hadapan mereka.Hingga satu tendangan berhasil membuat penjahat tadi terjengkang. William tak bisa menahan amarahnya, Ezra juga tak mencegah perbuatan Willy, sebenarnya ia pun sama geramnya, tapi masih bisa mengontrol diri untuk tidak mengotori tangannya sendiri. Pria tadi terbatuk darah, tak ada yang peduli. Ezra setengah berjongkok di d

    Last Updated : 2021-12-11

Latest chapter

  • Miliarder yang Tersingkir    Di Bawah Hamparan Bintang

    Berada di antara keramaian, tetapi tetap merasa kesepian. Kau tahu? Aku selalu ke tempat ini. Tempat pertama kali aku melihatmu. Melihat senyum, tawa, dan hal konyol yang kini sangat aku rindu. Aku berusaha mencarimu. Ingin sekali menghubungimu, tetapi aku tak tahu nomor ponselmu. Jangankan nomor, bahkan alamat rumahmu saja aku tak tahu. Sembilan tahun lamanya kita bersama, dan aku tak pernah tahu apa pun tentangmu.Di halaman sekolah dasar ini, aku berdiri. Merasakan terpaan angin yang terus menerus membelai pipi. Menghirup udara yang mungkin sedikit berbeda. Berharap aku dapat merasakan wangi bedakmu seperti dahulu.Maaf, bukannya aku tak peduli. Bukannya aku sengaja tak menghiraukanmu. Tetapi, aku hanya ingin meyakinkan hatiku. Apa benar telah ada cinta untukmu? Apa benar hatiku bisa luluh dengan semudah itu? Ke mana pun langkah kaki ini menuntunku, seramai apa pun suasana di sekelilingku, siapa pun yang berusaha mendekatiku, semuanya tak bisa membuat ingatan

  • Miliarder yang Tersingkir    Abi, kenapa berubah?

    Empat bulan kemudian…Suara gemerisik yang ditiup angin berhasil membangunkan wanita cantik bermata hazel itu. Ia berusaha meraih sesuatu di atas nak, kemudian dengan telaten menutupinya dengan khimar. Ia bangkit perlahan lalu berjalan menuju arah jendela, membuka gorden, hingga membiarkan sinar matahari masuk dan memberi kehangatan tersendiri. Sepasang mata yang mengungkapkan kosong ke depan, berharap dapat melihat burung-burung yang lebih baik dan berkicau khawatir. Bibirnya melengkung bak bulan sabit, tersenyum, mensyukuri apa yang telah Sang Pencipta berikan Anda.Suasana hati yang semula waspada, kini berubah

  • Miliarder yang Tersingkir    Di mana Andin

    Hari demi hari, bulan, dan tahun pun cepat berlalu. Bayangan Marisa masih membekas di benak Ady. Sulit sekali untuk dilupakan. Namun, ia juga harus mengingat pesan Marisa untuk menjadi pengusaha sukses seperti ayahnya, Pravath.Usianya kini telah menginjak 17 tahun, dan sebentar lagi ia akan segera lulus SMA. Tinggal menghitung jam, kabar kelulusan akan segera diumumkan lewat radio.Sore itu, Ady duduk di tepi kolam, ditemani sebuah radio dan secangkir teh hangat buatan Bik Inah. Pandangannya menerawang jauh ke depan, kemudian beranjak menuju kolam ikan milik Marisa yang saat ini ia rawat sendiri. Dulu, biasanya Marisa yang menaburkan makanan ikan dan Ady hanya mengangkat daun kering yang masuk ke dalam kolam. Momen itu membuatnya rindu pada Marisa. Suara dan gaya bicara Marisa seperti masih bisa Ady dengar dengan jelas. Ia mengeluarkan kalung pemberian Marisa yang ia kenakan dari balik baju, hingga saat ini, kalung itu selalu ia pakai. “Di mana kau

  • Miliarder yang Tersingkir    Sahabatan Yuk!

    Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kini Adyatma Mahavir Alanka Bagaskara q sudah duduk di bangku kelas enam SD. Ia tumbuh menjadi pria cerdas yang pendiam, sangat mewarisi wajah Bagaskara yang tampan dan rupawan. Hanya saja sifatnya malah bertolak belakang. Pendiam dan sangat hemat kata, tak suka keramaian, apa lagi menjalin pertemanan. Hidupnya kaku dan berjalan monoton tanpa warna.Sepasang langkahnya berjalan perlahan keluar gerbang. Ia tak sabar menunjukan nilai hasil ulangannya kepada Marisa. Dengan sedikit berlari kecil, ia menuju pak Harry yang tengah menunggu di depan sekolah, namun terdengar seorang perempuan memanggilnya dari belakang.“Dy, tunggu!” teriak Audrey.Ady menoleh perlahan. Sebenarnya ia malas meladeni gadis ini, dari suara cemprengnya saja ia sudah mengenalinya. Seorang anak perempuan seangkatannya. Anak perempuan yang hingga saat ini selalu berusaha mencari perhatian Adyatma. Dari dulu hingga sekarang, sifat A

  • Miliarder yang Tersingkir    Suasana Baru

    ~ Luka baru semakin perih, seperti disiram paksa oleh air keras, membuat luka yang telah tersayat semakin melepuh dan menggila. Tak ada pemandangan yang lebih pilu dari ini, ketika harus melihat kebahagiaan mereka di saat aku tak lagi memiliki sesiapa. ~Angin menggoyangkan daun yang seolah tengah melambai, satu-persatu daunnya berguguran, menghiasi jalan dengan warna daunnya yang terlihat lebih mencolok dari biasanya, suara kicauan burung juga mampu didengar meski kini dipadu dengan suara kendaraan yang masih melaju dengan stabil. Anak lelaki itu hanya diam, wajahnya terus terpaku ke luar jendela, seolah menikmati pemandangan meski kenyataannya hampa.Bahkan ia tak tahu seperti apa rasanya sekolah, ia berharap semoga saja teman sekolahnya tak terlalu berisik hingga membuat gendang telinganya pecah nanti. Tak membutuhkan waktu lama, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan gerbang yang tak terlalu menjulang, beberapa ruang kelas bertingkat terpa

  • Miliarder yang Tersingkir    Penyusup

    "Siapa yang menyuruhmu?"Suara dingin Ezra mendominasi ruangan gelap juga mencekam di markas, pria dengan pakaian lengkap serba hitam, juga penutup wajah yang telah disingkap itu hanya menunduk seperti tak ingin bersitatap dengan Ezra. "Siapa yang mengutusmu untuk mencelakai saya?"Hening! Pria itu memilih bungkam, sekali pun kaki dan tangannya telah diikat pada kursi, juga sudut bibir, hidung yang berdarah, rupanya ia belum mau buka suara selain rintihan kesakitan."Hey, apa kau tak mendengar pertanyaannya?" Kini William angkat suara, ia muak dengan penjahat di hadapannya, matanya sudah menatap tajam pria pecundang yang masih menundukkan kepala di hadapan mereka.Hingga satu tendangan berhasil membuat penjahat tadi terjengkang. William tak bisa menahan amarahnya, Ezra juga tak mencegah perbuatan Willy, sebenarnya ia pun sama geramnya, tapi masih bisa mengontrol diri untuk tidak mengotori tangannya sendiri. Pria tadi terbatuk darah, tak ada yang peduli. Ezra setengah berjongkok di d

  • Miliarder yang Tersingkir    Kembali

    "Tuan, semua sudah menunggu."Ezra terdiam sesaat, pakaian formal yang ia pakai sekarang membuatnya sedikit tak menyangka, jika ia sudah ada di tahap ini, menemukan jati diri yang sejatinya tak mudah untuk dilalui. Ia menatap arloji di pergelangan tangan, kemudian melindungi netra tajamnya dengan kacamata hitam. Tubuh tinggi tegap dan proposional, kulit putih bersih, rahang kokoh, dan hidungnya yang mancung, membuat ketampanannya semakin terpancar kuat. Langkah lebarnya masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi, membiarkan salah satu pengawal pribadinya mengambil alih dengan semangat untuk mengantar Ezra. "Tidak perlu gugup, Tuan! Mereka manusia biasa. Dan saya harap, Tuan tidak terkecoh dengan semua sikap baik orang-orang di sana!"Pengawal pribadi mendiang kakeknya, Andrew kini menjadi pengawal pribadi Ezra. Wajahnya juga tegas. Ia tahu betul, tiga pengawal setia mendiang Nathan tak diragukan lagi kekuatannya, tak mudah ditaklukan dan menjadi benteng paling kokoh sebelum menyentuh

DMCA.com Protection Status