Empat bulan kemudian…
Suara gemerisik yang ditiup angin berhasil membangunkan wanita cantik bermata hazel itu. Ia berusaha meraih sesuatu di atas nak, kemudian dengan telaten menutupinya dengan khimar. Ia bangkit perlahan lalu berjalan menuju arah jendela, membuka gorden, hingga membiarkan sinar matahari masuk dan memberi kehangatan tersendiri. Sepasang mata yang mengungkapkan kosong ke depan, berharap dapat melihat burung-burung yang lebih baik dan berkicau khawatir. Bibirnya melengkung bak bulan sabit, tersenyum, mensyukuri apa yang telah Sang Pencipta berikan Anda.
Suasana hati yang semula waspada, kini berubah
Berada di antara keramaian, tetapi tetap merasa kesepian. Kau tahu? Aku selalu ke tempat ini. Tempat pertama kali aku melihatmu. Melihat senyum, tawa, dan hal konyol yang kini sangat aku rindu. Aku berusaha mencarimu. Ingin sekali menghubungimu, tetapi aku tak tahu nomor ponselmu. Jangankan nomor, bahkan alamat rumahmu saja aku tak tahu. Sembilan tahun lamanya kita bersama, dan aku tak pernah tahu apa pun tentangmu.Di halaman sekolah dasar ini, aku berdiri. Merasakan terpaan angin yang terus menerus membelai pipi. Menghirup udara yang mungkin sedikit berbeda. Berharap aku dapat merasakan wangi bedakmu seperti dahulu.Maaf, bukannya aku tak peduli. Bukannya aku sengaja tak menghiraukanmu. Tetapi, aku hanya ingin meyakinkan hatiku. Apa benar telah ada cinta untukmu? Apa benar hatiku bisa luluh dengan semudah itu? Ke mana pun langkah kaki ini menuntunku, seramai apa pun suasana di sekelilingku, siapa pun yang berusaha mendekatiku, semuanya tak bisa membuat ingatan
"Tuan, semua sudah menunggu."Ezra terdiam sesaat, pakaian formal yang ia pakai sekarang membuatnya sedikit tak menyangka, jika ia sudah ada di tahap ini, menemukan jati diri yang sejatinya tak mudah untuk dilalui. Ia menatap arloji di pergelangan tangan, kemudian melindungi netra tajamnya dengan kacamata hitam. Tubuh tinggi tegap dan proposional, kulit putih bersih, rahang kokoh, dan hidungnya yang mancung, membuat ketampanannya semakin terpancar kuat. Langkah lebarnya masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi, membiarkan salah satu pengawal pribadinya mengambil alih dengan semangat untuk mengantar Ezra. "Tidak perlu gugup, Tuan! Mereka manusia biasa. Dan saya harap, Tuan tidak terkecoh dengan semua sikap baik orang-orang di sana!"Pengawal pribadi mendiang kakeknya, Andrew kini menjadi pengawal pribadi Ezra. Wajahnya juga tegas. Ia tahu betul, tiga pengawal setia mendiang Nathan tak diragukan lagi kekuatannya, tak mudah ditaklukan dan menjadi benteng paling kokoh sebelum menyentuh
"Siapa yang menyuruhmu?"Suara dingin Ezra mendominasi ruangan gelap juga mencekam di markas, pria dengan pakaian lengkap serba hitam, juga penutup wajah yang telah disingkap itu hanya menunduk seperti tak ingin bersitatap dengan Ezra. "Siapa yang mengutusmu untuk mencelakai saya?"Hening! Pria itu memilih bungkam, sekali pun kaki dan tangannya telah diikat pada kursi, juga sudut bibir, hidung yang berdarah, rupanya ia belum mau buka suara selain rintihan kesakitan."Hey, apa kau tak mendengar pertanyaannya?" Kini William angkat suara, ia muak dengan penjahat di hadapannya, matanya sudah menatap tajam pria pecundang yang masih menundukkan kepala di hadapan mereka.Hingga satu tendangan berhasil membuat penjahat tadi terjengkang. William tak bisa menahan amarahnya, Ezra juga tak mencegah perbuatan Willy, sebenarnya ia pun sama geramnya, tapi masih bisa mengontrol diri untuk tidak mengotori tangannya sendiri. Pria tadi terbatuk darah, tak ada yang peduli. Ezra setengah berjongkok di d
~ Luka baru semakin perih, seperti disiram paksa oleh air keras, membuat luka yang telah tersayat semakin melepuh dan menggila. Tak ada pemandangan yang lebih pilu dari ini, ketika harus melihat kebahagiaan mereka di saat aku tak lagi memiliki sesiapa. ~Angin menggoyangkan daun yang seolah tengah melambai, satu-persatu daunnya berguguran, menghiasi jalan dengan warna daunnya yang terlihat lebih mencolok dari biasanya, suara kicauan burung juga mampu didengar meski kini dipadu dengan suara kendaraan yang masih melaju dengan stabil. Anak lelaki itu hanya diam, wajahnya terus terpaku ke luar jendela, seolah menikmati pemandangan meski kenyataannya hampa.Bahkan ia tak tahu seperti apa rasanya sekolah, ia berharap semoga saja teman sekolahnya tak terlalu berisik hingga membuat gendang telinganya pecah nanti. Tak membutuhkan waktu lama, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan gerbang yang tak terlalu menjulang, beberapa ruang kelas bertingkat terpa
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kini Adyatma Mahavir Alanka Bagaskara q sudah duduk di bangku kelas enam SD. Ia tumbuh menjadi pria cerdas yang pendiam, sangat mewarisi wajah Bagaskara yang tampan dan rupawan. Hanya saja sifatnya malah bertolak belakang. Pendiam dan sangat hemat kata, tak suka keramaian, apa lagi menjalin pertemanan. Hidupnya kaku dan berjalan monoton tanpa warna.Sepasang langkahnya berjalan perlahan keluar gerbang. Ia tak sabar menunjukan nilai hasil ulangannya kepada Marisa. Dengan sedikit berlari kecil, ia menuju pak Harry yang tengah menunggu di depan sekolah, namun terdengar seorang perempuan memanggilnya dari belakang.“Dy, tunggu!” teriak Audrey.Ady menoleh perlahan. Sebenarnya ia malas meladeni gadis ini, dari suara cemprengnya saja ia sudah mengenalinya. Seorang anak perempuan seangkatannya. Anak perempuan yang hingga saat ini selalu berusaha mencari perhatian Adyatma. Dari dulu hingga sekarang, sifat A
Hari demi hari, bulan, dan tahun pun cepat berlalu. Bayangan Marisa masih membekas di benak Ady. Sulit sekali untuk dilupakan. Namun, ia juga harus mengingat pesan Marisa untuk menjadi pengusaha sukses seperti ayahnya, Pravath.Usianya kini telah menginjak 17 tahun, dan sebentar lagi ia akan segera lulus SMA. Tinggal menghitung jam, kabar kelulusan akan segera diumumkan lewat radio.Sore itu, Ady duduk di tepi kolam, ditemani sebuah radio dan secangkir teh hangat buatan Bik Inah. Pandangannya menerawang jauh ke depan, kemudian beranjak menuju kolam ikan milik Marisa yang saat ini ia rawat sendiri. Dulu, biasanya Marisa yang menaburkan makanan ikan dan Ady hanya mengangkat daun kering yang masuk ke dalam kolam. Momen itu membuatnya rindu pada Marisa. Suara dan gaya bicara Marisa seperti masih bisa Ady dengar dengan jelas. Ia mengeluarkan kalung pemberian Marisa yang ia kenakan dari balik baju, hingga saat ini, kalung itu selalu ia pakai. “Di mana kau
Berada di antara keramaian, tetapi tetap merasa kesepian. Kau tahu? Aku selalu ke tempat ini. Tempat pertama kali aku melihatmu. Melihat senyum, tawa, dan hal konyol yang kini sangat aku rindu. Aku berusaha mencarimu. Ingin sekali menghubungimu, tetapi aku tak tahu nomor ponselmu. Jangankan nomor, bahkan alamat rumahmu saja aku tak tahu. Sembilan tahun lamanya kita bersama, dan aku tak pernah tahu apa pun tentangmu.Di halaman sekolah dasar ini, aku berdiri. Merasakan terpaan angin yang terus menerus membelai pipi. Menghirup udara yang mungkin sedikit berbeda. Berharap aku dapat merasakan wangi bedakmu seperti dahulu.Maaf, bukannya aku tak peduli. Bukannya aku sengaja tak menghiraukanmu. Tetapi, aku hanya ingin meyakinkan hatiku. Apa benar telah ada cinta untukmu? Apa benar hatiku bisa luluh dengan semudah itu? Ke mana pun langkah kaki ini menuntunku, seramai apa pun suasana di sekelilingku, siapa pun yang berusaha mendekatiku, semuanya tak bisa membuat ingatan
Empat bulan kemudian…Suara gemerisik yang ditiup angin berhasil membangunkan wanita cantik bermata hazel itu. Ia berusaha meraih sesuatu di atas nak, kemudian dengan telaten menutupinya dengan khimar. Ia bangkit perlahan lalu berjalan menuju arah jendela, membuka gorden, hingga membiarkan sinar matahari masuk dan memberi kehangatan tersendiri. Sepasang mata yang mengungkapkan kosong ke depan, berharap dapat melihat burung-burung yang lebih baik dan berkicau khawatir. Bibirnya melengkung bak bulan sabit, tersenyum, mensyukuri apa yang telah Sang Pencipta berikan Anda.Suasana hati yang semula waspada, kini berubah
Hari demi hari, bulan, dan tahun pun cepat berlalu. Bayangan Marisa masih membekas di benak Ady. Sulit sekali untuk dilupakan. Namun, ia juga harus mengingat pesan Marisa untuk menjadi pengusaha sukses seperti ayahnya, Pravath.Usianya kini telah menginjak 17 tahun, dan sebentar lagi ia akan segera lulus SMA. Tinggal menghitung jam, kabar kelulusan akan segera diumumkan lewat radio.Sore itu, Ady duduk di tepi kolam, ditemani sebuah radio dan secangkir teh hangat buatan Bik Inah. Pandangannya menerawang jauh ke depan, kemudian beranjak menuju kolam ikan milik Marisa yang saat ini ia rawat sendiri. Dulu, biasanya Marisa yang menaburkan makanan ikan dan Ady hanya mengangkat daun kering yang masuk ke dalam kolam. Momen itu membuatnya rindu pada Marisa. Suara dan gaya bicara Marisa seperti masih bisa Ady dengar dengan jelas. Ia mengeluarkan kalung pemberian Marisa yang ia kenakan dari balik baju, hingga saat ini, kalung itu selalu ia pakai. “Di mana kau
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kini Adyatma Mahavir Alanka Bagaskara q sudah duduk di bangku kelas enam SD. Ia tumbuh menjadi pria cerdas yang pendiam, sangat mewarisi wajah Bagaskara yang tampan dan rupawan. Hanya saja sifatnya malah bertolak belakang. Pendiam dan sangat hemat kata, tak suka keramaian, apa lagi menjalin pertemanan. Hidupnya kaku dan berjalan monoton tanpa warna.Sepasang langkahnya berjalan perlahan keluar gerbang. Ia tak sabar menunjukan nilai hasil ulangannya kepada Marisa. Dengan sedikit berlari kecil, ia menuju pak Harry yang tengah menunggu di depan sekolah, namun terdengar seorang perempuan memanggilnya dari belakang.“Dy, tunggu!” teriak Audrey.Ady menoleh perlahan. Sebenarnya ia malas meladeni gadis ini, dari suara cemprengnya saja ia sudah mengenalinya. Seorang anak perempuan seangkatannya. Anak perempuan yang hingga saat ini selalu berusaha mencari perhatian Adyatma. Dari dulu hingga sekarang, sifat A
~ Luka baru semakin perih, seperti disiram paksa oleh air keras, membuat luka yang telah tersayat semakin melepuh dan menggila. Tak ada pemandangan yang lebih pilu dari ini, ketika harus melihat kebahagiaan mereka di saat aku tak lagi memiliki sesiapa. ~Angin menggoyangkan daun yang seolah tengah melambai, satu-persatu daunnya berguguran, menghiasi jalan dengan warna daunnya yang terlihat lebih mencolok dari biasanya, suara kicauan burung juga mampu didengar meski kini dipadu dengan suara kendaraan yang masih melaju dengan stabil. Anak lelaki itu hanya diam, wajahnya terus terpaku ke luar jendela, seolah menikmati pemandangan meski kenyataannya hampa.Bahkan ia tak tahu seperti apa rasanya sekolah, ia berharap semoga saja teman sekolahnya tak terlalu berisik hingga membuat gendang telinganya pecah nanti. Tak membutuhkan waktu lama, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan gerbang yang tak terlalu menjulang, beberapa ruang kelas bertingkat terpa
"Siapa yang menyuruhmu?"Suara dingin Ezra mendominasi ruangan gelap juga mencekam di markas, pria dengan pakaian lengkap serba hitam, juga penutup wajah yang telah disingkap itu hanya menunduk seperti tak ingin bersitatap dengan Ezra. "Siapa yang mengutusmu untuk mencelakai saya?"Hening! Pria itu memilih bungkam, sekali pun kaki dan tangannya telah diikat pada kursi, juga sudut bibir, hidung yang berdarah, rupanya ia belum mau buka suara selain rintihan kesakitan."Hey, apa kau tak mendengar pertanyaannya?" Kini William angkat suara, ia muak dengan penjahat di hadapannya, matanya sudah menatap tajam pria pecundang yang masih menundukkan kepala di hadapan mereka.Hingga satu tendangan berhasil membuat penjahat tadi terjengkang. William tak bisa menahan amarahnya, Ezra juga tak mencegah perbuatan Willy, sebenarnya ia pun sama geramnya, tapi masih bisa mengontrol diri untuk tidak mengotori tangannya sendiri. Pria tadi terbatuk darah, tak ada yang peduli. Ezra setengah berjongkok di d
"Tuan, semua sudah menunggu."Ezra terdiam sesaat, pakaian formal yang ia pakai sekarang membuatnya sedikit tak menyangka, jika ia sudah ada di tahap ini, menemukan jati diri yang sejatinya tak mudah untuk dilalui. Ia menatap arloji di pergelangan tangan, kemudian melindungi netra tajamnya dengan kacamata hitam. Tubuh tinggi tegap dan proposional, kulit putih bersih, rahang kokoh, dan hidungnya yang mancung, membuat ketampanannya semakin terpancar kuat. Langkah lebarnya masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi, membiarkan salah satu pengawal pribadinya mengambil alih dengan semangat untuk mengantar Ezra. "Tidak perlu gugup, Tuan! Mereka manusia biasa. Dan saya harap, Tuan tidak terkecoh dengan semua sikap baik orang-orang di sana!"Pengawal pribadi mendiang kakeknya, Andrew kini menjadi pengawal pribadi Ezra. Wajahnya juga tegas. Ia tahu betul, tiga pengawal setia mendiang Nathan tak diragukan lagi kekuatannya, tak mudah ditaklukan dan menjadi benteng paling kokoh sebelum menyentuh