"Tuan, semua sudah menunggu."
Ezra terdiam sesaat, pakaian formal yang ia pakai sekarang membuatnya sedikit tak menyangka, jika ia sudah ada di tahap ini, menemukan jati diri yang sejatinya tak mudah untuk dilalui. Ia menatap arloji di pergelangan tangan, kemudian melindungi netra tajamnya dengan kacamata hitam.Tubuh tinggi tegap dan proposional, kulit putih bersih, rahang kokoh, dan hidungnya yang mancung, membuat ketampanannya semakin terpancar kuat.Langkah lebarnya masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi, membiarkan salah satu pengawal pribadinya mengambil alih dengan semangat untuk mengantar Ezra."Tidak perlu gugup, Tuan! Mereka manusia biasa. Dan saya harap, Tuan tidak terkecoh dengan semua sikap baik orang-orang di sana!"Pengawal pribadi mendiang kakeknya, Andrew kini menjadi pengawal pribadi Ezra. Wajahnya juga tegas. Ia tahu betul, tiga pengawal setia mendiang Nathan tak diragukan lagi kekuatannya, tak mudah ditaklukan dan menjadi benteng paling kokoh sebelum menyentuh kakeknya."Terima kasih, Paman Andrew."Kendaraan roda empat itu melintas dengan kecepatan rata-rata, sepanjang jalan hanya menatap pepohonan yang dilewati, tapi kemudian memilih fokus pada pikirannya sendiri. Bayang masa lalu kerap kali melintas sesuka hati.Harusnya Nathan, tak gugur dengan cepat. Sayang sekali, hari di mana ia tahu jati dirinya, hari itu juga ia kehilangan orang penting yang seharusnya menjadi pelindung utama, selain tiga orang kepercayaannya.Perlahan mobil itu mulai memasuki area kantor, gedung tinggi, kokoh, juga mewah. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sini, karpet merah yang terbentang hingga ke pintu masuk, menandakan jika Ezra memang bukan orang sembarangan sekarang, ia bukan lagi sopir pribadi menantu dari ibunya, cukup rumit untuk dijelaskan 'bukan?"Selamat datang di perusahaanmu, Putraku."Alana, wanita paruh baya yang sudah melahirkannya tersenyum elegan. Sebagian orang mungkin akan beranggapan jika itu senyum tulus juga bangga yang diberikan sang ibu, pada putranya.Nyatanya Alana adalah salah satu orang yang tidak bisa ia percaya, sesuai perintah mendiang Nathan.Ezra hanya tersenyum tipis, kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke dalam lift. Ia menatap semua orang yang ada di perusahaan, beberapa orang pilihan Nathan, yang harusnya bisa ia percaya, tapi Ezra merasakan gelagat yang lain.Sekarang, ruangan luas menjadi tujuan. Beberapa pengawal pribadi Ezra mengekori langkahnya. Ezra menjadi satu-satunya orang yang wajib dilindungi saat ini, mengingat musuh Nathan dulu tak sedikit, khawatir nyawa Ezra juga berada dalam bahaya.Meja persegi yang memanjang, juga sederet orang-orang penting yang diundang khusus sesuai fungsi dan kepentingan mereka juga sudah hadir, menunggu cucu miliarder yang selama ini hilang memunculkan diri.Semua berdecak kagum, melihat wajah Ezra serupa Nathan, benar-benar tampan juga tegas."Ucapkan kata sambutan pada mereka, sebagai tanda jika kau memang pewaris yang sah di keluarga ini!" tegur Alana tersenyum pada Ezra.Semua berjalan lancar sesuai rencana, Alana pikir hari ini Ezra akan mempermalukan dirinya sendiri, mengingat dari mana Ezra berasal setelah diculik sejak bayi, tapi rupanya ia benar-benar duplikat Nathan, bukan Darren ayah biologis Ezra sendiri.Semua orang terkagum, juga merencanakan banyak hal termasuk akan menjalin kerja sama dengan Ezra setelah ini."Terima kasih telah berkenan hadir memenuhi undangan saya."Ezra tersenyum ramah pada mereka, satu persatu mulai meninggalkan ruangan. Lucas yang melihatnya jadi tersenyum haru, ia seperti melihat atasannya seperti bangkit lagi di dalam diri Ezra.Dan sekarang, tujuannya adalah ruangan Nathan, yang kini resmi menjadi ruang kerjanya sendiri. Ezra masuk ke dalam, melihat foto Nathan tertempel di dinding belakang kursi kebesarannya. Ia menatap kagum, melihat senyum wibawa Nathan terpancar di sana.Tiba-tiba sentuhan tangan Alana menghampiri Ezra. Wanita dengan dress mewah berwarna merah, juga penampilan glamour yang memang cocok untuknya itu tersenyum sinis. Ia lekas berdiri di sebelah Ezra sembari melipat kedua tangan di dada."Ini memang ruanganmu. Tapi, lihat! Bukan fotomu yang terpampang di sini, melainkan foto Nathan, ayahku. Itu tandanya, kau tak pantas, dan tak akan pernah bisa menggantikan posisinya. Jangankan posisinya, kau pun tak mampu menggeser fotonya dan mengganti semua dengan wajahmu, Ezra."Bukannya panas, Ezra hanya tersenyum lekas berbalik ke arah Alana."Saya tahu tujuan ibu mengatakan itu. Untuk memancingku? Memantik api agar aku memusuhi kakek dan menjadi orang yang naif seperti ibu?"Alana menatap marah."Sayang sekali, saya memang dilahirkan dari rahim ibu, tapi beruntung tak ada keserakahan ibu yang mengalir di setiap sel darahku," lanjutnya lagi.Alana marah, ia pikir setelah kepergian Nathan, bisa melewati semua sendiri tanpa hambatan, lalu hidup seperti biasa bersama anak asuhnya. Nyatanya sampai sekarang pun ia tak tahu ke mana Ezra mengasingkan Alexander, putra asuh sekaligus selingkuhan yang selama ini menempati posisi Ezra."Jangan senang dulu, Ezra! Kau sendiri akan menyesal karena sudah berani memunculkan diri setelah puluhan tahun. Padahal aku berharap kau mati di tangan perempuan pencuri itu, tapi sayang sekali, rupanya kau memiliki kesempatan hidup, mungkin Tuhan ingin kau mati di tanganku sendiri."Alana menatap nyalang pada putranya. Jika di depan publik, tatapan itu akan berubah seperti menunjukkan ia adalah ibu yang baik sedunia."Iya. Tuhan juga ingin mengutusku ke tengah-tengah keluarga yang berantakan seperti keluarga kita. Sekaligus menyingkirkan siapa pun yang berani menghalangi jalanku," lirihnya tenang.Alana yang tak tahan, langsung berbalik dan meninggalkan Ezra sendirian. Ia kembali menatap pigura besar di hadapan."Lihat, Kakek! Ibu sedikit menyebalkan."Baru saja Ezra berbalik hendak duduk, benda pipih di sakunya bergetar. Beruntung tepat waktu, karena jika saja ponselnya berbunyi ketika mereka masih mengadakan pertemuan penting, semua akan berantakan juga seperti tak beretika.Nama kekasihnya terpampang di sana. Pesan singkat yang semakin membuatnya rindu.[Temui aku di kafe biasa, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu, Ezra!]Tapi, senyum Ezra memudar ketika membaca gaya ketikan berbeda. Ada hal aneh yang mengganjal saat ini, seperti ada yang tidak beres dengan wanitanya.Ezra langsung buru-buru menghubungi Lucas untuk menyelidiki rumah Audrey. Beruntung Lucas bergerak cepat dan mengirim beberapa orang ke sana. Sementara Ezra masih duduk dengan bimbang di ruangannya sendiri.Tiba-tiba, ...DUAR!!!Satu tembakan berhasil memecahkan kaca jendela ruangan Ezra, beruntung ia cepat menghindar dan pelurunya melesat.Menyadari Ezra dalam bahaya, semua orang menjerit dan beberapa orang langsung melesak masuk ke ruangan untuk melindungi Ezra."Tuan, merunduk!"Ezra menuruti, ia merunduk dan berjalan dengan posisi jongkok ke arah pintu, karena nyatanya tembakan itu tak hanya sekali, ada tembakan susulan yang terancam membahayakan Ezra."Tangkap penyusup itu!""Siapa yang menyuruhmu?"Suara dingin Ezra mendominasi ruangan gelap juga mencekam di markas, pria dengan pakaian lengkap serba hitam, juga penutup wajah yang telah disingkap itu hanya menunduk seperti tak ingin bersitatap dengan Ezra. "Siapa yang mengutusmu untuk mencelakai saya?"Hening! Pria itu memilih bungkam, sekali pun kaki dan tangannya telah diikat pada kursi, juga sudut bibir, hidung yang berdarah, rupanya ia belum mau buka suara selain rintihan kesakitan."Hey, apa kau tak mendengar pertanyaannya?" Kini William angkat suara, ia muak dengan penjahat di hadapannya, matanya sudah menatap tajam pria pecundang yang masih menundukkan kepala di hadapan mereka.Hingga satu tendangan berhasil membuat penjahat tadi terjengkang. William tak bisa menahan amarahnya, Ezra juga tak mencegah perbuatan Willy, sebenarnya ia pun sama geramnya, tapi masih bisa mengontrol diri untuk tidak mengotori tangannya sendiri. Pria tadi terbatuk darah, tak ada yang peduli. Ezra setengah berjongkok di d
~ Luka baru semakin perih, seperti disiram paksa oleh air keras, membuat luka yang telah tersayat semakin melepuh dan menggila. Tak ada pemandangan yang lebih pilu dari ini, ketika harus melihat kebahagiaan mereka di saat aku tak lagi memiliki sesiapa. ~Angin menggoyangkan daun yang seolah tengah melambai, satu-persatu daunnya berguguran, menghiasi jalan dengan warna daunnya yang terlihat lebih mencolok dari biasanya, suara kicauan burung juga mampu didengar meski kini dipadu dengan suara kendaraan yang masih melaju dengan stabil. Anak lelaki itu hanya diam, wajahnya terus terpaku ke luar jendela, seolah menikmati pemandangan meski kenyataannya hampa.Bahkan ia tak tahu seperti apa rasanya sekolah, ia berharap semoga saja teman sekolahnya tak terlalu berisik hingga membuat gendang telinganya pecah nanti. Tak membutuhkan waktu lama, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan gerbang yang tak terlalu menjulang, beberapa ruang kelas bertingkat terpa
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kini Adyatma Mahavir Alanka Bagaskara q sudah duduk di bangku kelas enam SD. Ia tumbuh menjadi pria cerdas yang pendiam, sangat mewarisi wajah Bagaskara yang tampan dan rupawan. Hanya saja sifatnya malah bertolak belakang. Pendiam dan sangat hemat kata, tak suka keramaian, apa lagi menjalin pertemanan. Hidupnya kaku dan berjalan monoton tanpa warna.Sepasang langkahnya berjalan perlahan keluar gerbang. Ia tak sabar menunjukan nilai hasil ulangannya kepada Marisa. Dengan sedikit berlari kecil, ia menuju pak Harry yang tengah menunggu di depan sekolah, namun terdengar seorang perempuan memanggilnya dari belakang.“Dy, tunggu!” teriak Audrey.Ady menoleh perlahan. Sebenarnya ia malas meladeni gadis ini, dari suara cemprengnya saja ia sudah mengenalinya. Seorang anak perempuan seangkatannya. Anak perempuan yang hingga saat ini selalu berusaha mencari perhatian Adyatma. Dari dulu hingga sekarang, sifat A
Hari demi hari, bulan, dan tahun pun cepat berlalu. Bayangan Marisa masih membekas di benak Ady. Sulit sekali untuk dilupakan. Namun, ia juga harus mengingat pesan Marisa untuk menjadi pengusaha sukses seperti ayahnya, Pravath.Usianya kini telah menginjak 17 tahun, dan sebentar lagi ia akan segera lulus SMA. Tinggal menghitung jam, kabar kelulusan akan segera diumumkan lewat radio.Sore itu, Ady duduk di tepi kolam, ditemani sebuah radio dan secangkir teh hangat buatan Bik Inah. Pandangannya menerawang jauh ke depan, kemudian beranjak menuju kolam ikan milik Marisa yang saat ini ia rawat sendiri. Dulu, biasanya Marisa yang menaburkan makanan ikan dan Ady hanya mengangkat daun kering yang masuk ke dalam kolam. Momen itu membuatnya rindu pada Marisa. Suara dan gaya bicara Marisa seperti masih bisa Ady dengar dengan jelas. Ia mengeluarkan kalung pemberian Marisa yang ia kenakan dari balik baju, hingga saat ini, kalung itu selalu ia pakai. “Di mana kau
Empat bulan kemudian…Suara gemerisik yang ditiup angin berhasil membangunkan wanita cantik bermata hazel itu. Ia berusaha meraih sesuatu di atas nak, kemudian dengan telaten menutupinya dengan khimar. Ia bangkit perlahan lalu berjalan menuju arah jendela, membuka gorden, hingga membiarkan sinar matahari masuk dan memberi kehangatan tersendiri. Sepasang mata yang mengungkapkan kosong ke depan, berharap dapat melihat burung-burung yang lebih baik dan berkicau khawatir. Bibirnya melengkung bak bulan sabit, tersenyum, mensyukuri apa yang telah Sang Pencipta berikan Anda.Suasana hati yang semula waspada, kini berubah
Berada di antara keramaian, tetapi tetap merasa kesepian. Kau tahu? Aku selalu ke tempat ini. Tempat pertama kali aku melihatmu. Melihat senyum, tawa, dan hal konyol yang kini sangat aku rindu. Aku berusaha mencarimu. Ingin sekali menghubungimu, tetapi aku tak tahu nomor ponselmu. Jangankan nomor, bahkan alamat rumahmu saja aku tak tahu. Sembilan tahun lamanya kita bersama, dan aku tak pernah tahu apa pun tentangmu.Di halaman sekolah dasar ini, aku berdiri. Merasakan terpaan angin yang terus menerus membelai pipi. Menghirup udara yang mungkin sedikit berbeda. Berharap aku dapat merasakan wangi bedakmu seperti dahulu.Maaf, bukannya aku tak peduli. Bukannya aku sengaja tak menghiraukanmu. Tetapi, aku hanya ingin meyakinkan hatiku. Apa benar telah ada cinta untukmu? Apa benar hatiku bisa luluh dengan semudah itu? Ke mana pun langkah kaki ini menuntunku, seramai apa pun suasana di sekelilingku, siapa pun yang berusaha mendekatiku, semuanya tak bisa membuat ingatan
Berada di antara keramaian, tetapi tetap merasa kesepian. Kau tahu? Aku selalu ke tempat ini. Tempat pertama kali aku melihatmu. Melihat senyum, tawa, dan hal konyol yang kini sangat aku rindu. Aku berusaha mencarimu. Ingin sekali menghubungimu, tetapi aku tak tahu nomor ponselmu. Jangankan nomor, bahkan alamat rumahmu saja aku tak tahu. Sembilan tahun lamanya kita bersama, dan aku tak pernah tahu apa pun tentangmu.Di halaman sekolah dasar ini, aku berdiri. Merasakan terpaan angin yang terus menerus membelai pipi. Menghirup udara yang mungkin sedikit berbeda. Berharap aku dapat merasakan wangi bedakmu seperti dahulu.Maaf, bukannya aku tak peduli. Bukannya aku sengaja tak menghiraukanmu. Tetapi, aku hanya ingin meyakinkan hatiku. Apa benar telah ada cinta untukmu? Apa benar hatiku bisa luluh dengan semudah itu? Ke mana pun langkah kaki ini menuntunku, seramai apa pun suasana di sekelilingku, siapa pun yang berusaha mendekatiku, semuanya tak bisa membuat ingatan
Empat bulan kemudian…Suara gemerisik yang ditiup angin berhasil membangunkan wanita cantik bermata hazel itu. Ia berusaha meraih sesuatu di atas nak, kemudian dengan telaten menutupinya dengan khimar. Ia bangkit perlahan lalu berjalan menuju arah jendela, membuka gorden, hingga membiarkan sinar matahari masuk dan memberi kehangatan tersendiri. Sepasang mata yang mengungkapkan kosong ke depan, berharap dapat melihat burung-burung yang lebih baik dan berkicau khawatir. Bibirnya melengkung bak bulan sabit, tersenyum, mensyukuri apa yang telah Sang Pencipta berikan Anda.Suasana hati yang semula waspada, kini berubah
Hari demi hari, bulan, dan tahun pun cepat berlalu. Bayangan Marisa masih membekas di benak Ady. Sulit sekali untuk dilupakan. Namun, ia juga harus mengingat pesan Marisa untuk menjadi pengusaha sukses seperti ayahnya, Pravath.Usianya kini telah menginjak 17 tahun, dan sebentar lagi ia akan segera lulus SMA. Tinggal menghitung jam, kabar kelulusan akan segera diumumkan lewat radio.Sore itu, Ady duduk di tepi kolam, ditemani sebuah radio dan secangkir teh hangat buatan Bik Inah. Pandangannya menerawang jauh ke depan, kemudian beranjak menuju kolam ikan milik Marisa yang saat ini ia rawat sendiri. Dulu, biasanya Marisa yang menaburkan makanan ikan dan Ady hanya mengangkat daun kering yang masuk ke dalam kolam. Momen itu membuatnya rindu pada Marisa. Suara dan gaya bicara Marisa seperti masih bisa Ady dengar dengan jelas. Ia mengeluarkan kalung pemberian Marisa yang ia kenakan dari balik baju, hingga saat ini, kalung itu selalu ia pakai. “Di mana kau
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa kini Adyatma Mahavir Alanka Bagaskara q sudah duduk di bangku kelas enam SD. Ia tumbuh menjadi pria cerdas yang pendiam, sangat mewarisi wajah Bagaskara yang tampan dan rupawan. Hanya saja sifatnya malah bertolak belakang. Pendiam dan sangat hemat kata, tak suka keramaian, apa lagi menjalin pertemanan. Hidupnya kaku dan berjalan monoton tanpa warna.Sepasang langkahnya berjalan perlahan keluar gerbang. Ia tak sabar menunjukan nilai hasil ulangannya kepada Marisa. Dengan sedikit berlari kecil, ia menuju pak Harry yang tengah menunggu di depan sekolah, namun terdengar seorang perempuan memanggilnya dari belakang.“Dy, tunggu!” teriak Audrey.Ady menoleh perlahan. Sebenarnya ia malas meladeni gadis ini, dari suara cemprengnya saja ia sudah mengenalinya. Seorang anak perempuan seangkatannya. Anak perempuan yang hingga saat ini selalu berusaha mencari perhatian Adyatma. Dari dulu hingga sekarang, sifat A
~ Luka baru semakin perih, seperti disiram paksa oleh air keras, membuat luka yang telah tersayat semakin melepuh dan menggila. Tak ada pemandangan yang lebih pilu dari ini, ketika harus melihat kebahagiaan mereka di saat aku tak lagi memiliki sesiapa. ~Angin menggoyangkan daun yang seolah tengah melambai, satu-persatu daunnya berguguran, menghiasi jalan dengan warna daunnya yang terlihat lebih mencolok dari biasanya, suara kicauan burung juga mampu didengar meski kini dipadu dengan suara kendaraan yang masih melaju dengan stabil. Anak lelaki itu hanya diam, wajahnya terus terpaku ke luar jendela, seolah menikmati pemandangan meski kenyataannya hampa.Bahkan ia tak tahu seperti apa rasanya sekolah, ia berharap semoga saja teman sekolahnya tak terlalu berisik hingga membuat gendang telinganya pecah nanti. Tak membutuhkan waktu lama, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan gerbang yang tak terlalu menjulang, beberapa ruang kelas bertingkat terpa
"Siapa yang menyuruhmu?"Suara dingin Ezra mendominasi ruangan gelap juga mencekam di markas, pria dengan pakaian lengkap serba hitam, juga penutup wajah yang telah disingkap itu hanya menunduk seperti tak ingin bersitatap dengan Ezra. "Siapa yang mengutusmu untuk mencelakai saya?"Hening! Pria itu memilih bungkam, sekali pun kaki dan tangannya telah diikat pada kursi, juga sudut bibir, hidung yang berdarah, rupanya ia belum mau buka suara selain rintihan kesakitan."Hey, apa kau tak mendengar pertanyaannya?" Kini William angkat suara, ia muak dengan penjahat di hadapannya, matanya sudah menatap tajam pria pecundang yang masih menundukkan kepala di hadapan mereka.Hingga satu tendangan berhasil membuat penjahat tadi terjengkang. William tak bisa menahan amarahnya, Ezra juga tak mencegah perbuatan Willy, sebenarnya ia pun sama geramnya, tapi masih bisa mengontrol diri untuk tidak mengotori tangannya sendiri. Pria tadi terbatuk darah, tak ada yang peduli. Ezra setengah berjongkok di d
"Tuan, semua sudah menunggu."Ezra terdiam sesaat, pakaian formal yang ia pakai sekarang membuatnya sedikit tak menyangka, jika ia sudah ada di tahap ini, menemukan jati diri yang sejatinya tak mudah untuk dilalui. Ia menatap arloji di pergelangan tangan, kemudian melindungi netra tajamnya dengan kacamata hitam. Tubuh tinggi tegap dan proposional, kulit putih bersih, rahang kokoh, dan hidungnya yang mancung, membuat ketampanannya semakin terpancar kuat. Langkah lebarnya masuk ke mobil dan duduk di kursi kemudi, membiarkan salah satu pengawal pribadinya mengambil alih dengan semangat untuk mengantar Ezra. "Tidak perlu gugup, Tuan! Mereka manusia biasa. Dan saya harap, Tuan tidak terkecoh dengan semua sikap baik orang-orang di sana!"Pengawal pribadi mendiang kakeknya, Andrew kini menjadi pengawal pribadi Ezra. Wajahnya juga tegas. Ia tahu betul, tiga pengawal setia mendiang Nathan tak diragukan lagi kekuatannya, tak mudah ditaklukan dan menjadi benteng paling kokoh sebelum menyentuh