“Pak, jangan! Aku tidak mau seperti ini.” Bella bersimbah air mata. Kedua tangannya gemetar di sisi tubuhnya tatkala melihat wajah Timo yang begitu menakutkan baginya.
“Kamu mau membantah Bapak?! Begitu?!” Timo melotot. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan sempit. Bella pun berlutut memohon belas kasih bapaknya.Bella mendongakkan kepala. Dia berseru, “Pak, Bella mohon jangan! Apa pun Bella lakukan, asalkan jangan ini, Pak.” Kedua tangannya terulur memeluk kaki Timo erat dengan deraian air mata. Timo menghentakkan kaki agar kedua tangan Bella yang semakin memeluk erat kakinya bak lilitan ular terlepas. Pria setengah baya itu menggeram.“Apalagi kali ini? Kamu mau bantu apa?” tanya Timo masih berusaha agar Bella terlepas dari kakinya. “Entah berapa kali kamu berkata sama seperti itu! Mana buktinya?!”Bella menengadah. Wajahnya tersirat ketakutan. “Pak, kali ini Bella janji akan memenuhi segala keinginan Bapak. Namun jangan ini, ya, Pak? Bella mohon!”Timo tidak menggubris. Dia semakin keras menghentak salah satu kakinya. Akibatnya, tubuh kecil itu terayun-ayun masih berusaha menggenggam erat pada kaki Timo. “Lepas! Kamu anak tidak tahu diuntung! Menyusahkan!” bentak Timo dengan sekuat tenaga hingga akhirnya Bella terlepas. “Pak!” teriak Bella mengejar Timo yang hendak keluar dari ruangan sempit yang hanya berisi satu tempat tidur dan sebuah lemari kayu kecil. Dia menarik tangan Timo. “Tidak adakah jalan lain, Pak?”“Tidak ada,” jawab Timo singkat. Bella kembali berlutut di kaki Timo seraya mencium ujung sepatu olahraga yang sudah usang itu. “Bella mohon, Pak! Bapak butuh uang berapa? Bella akan carikan. Asalkan jangan bawa Bella ke tempat ini, Pak. Bella masih ingin sekolah.” Sungguh pilu sekali suara permohonan itu terdengar. Timo bersidekap. Dia menunduk menatap gadis yang berlutut di kakinya dengan tidak peduli. “Nah, uang yang akan kamu cari ada di tempat ini, Bella,” jawabnya.Ucapan itu serta merta membuat Bella mendongak. “Maksud Bapak? Aku bekerja pada Mami?”Timo terbahak seolah yang dikatakan Bella adalah pertanyaan yang lucu. “Bantu Bapak bayarkan uang yang sudah diberikan Mami Kartika.”“Bantu Bapak? Maksudnya?” Bella bingung dan dia tidak mau berpikir yang macam-macam walau nyatanya pikirannya sudah berkelana mengenai tempat ini dan segala macam kehidupannya. Timo lagi-lagi terbahak seraya menggumamkan kata naif. Dia merogoh saku jaket yang dikenakannya, lalu dikeluarkan amplop coklat tebal. “Ini uang pinjaman Mami Kartika pada Bapak. Sebagai gantinya, kamu harus bekerja padanya untuk membayar utang Bapak ini. Paham?”Seluruh tubuh Bella membeku. Dia melihat tumpukan uang yang dikeluarkan Timo dari amplop tersebut di depan wajahnya. Begitu banyak uang seratus ribuan yang entah berapa jumlahnya. Bella tidak tahu berapa lama dia harus membayar utang Timo pada Kartika jika uang yang dipinjam begitu banyak!Timo kembali memasukkan uang tersebut ke dalam amplop lalu menjejalkan ke saku jaketnya. “Jadi ….” Dia menunduk menatap Bella yang masih bersujud di kakinya. “Bekerjalah dengan rajin dan bersikap baiklah pada Mami! Siapa tahu hutang Bapak akan lunas cepat!” Usai mengucapkan kalimat barusan, Timo mendorong Bella hingga gadis itu terjungkal. Suara tertawa puas membahana di ruangan sempit tersebut. Tubuh kecil Bella membentur dinding yang ada di belakangnya. Sedangkan tubuh gempal Timo terguncang-guncang karena tawanya yang begitu senang. Namun, tawa itu begitu menyiksa Bella hingga ke relung hatinya. Timo pun keluar dari ruangan itu. Bella memejamkan mata. Air matanya menetes lagi. Dia menangis dalam diam. Tangis yang dia harap dapat menyembuhkan luka hatinya pada bapak kandungnya sendiri. ***"Kamu cantik." Salah satu pelayan yang merias wajah Bella bergumam sambil tersenyum. Tangannya memegang perona bibir . Ya, dia sedang memberikan sentuhan akhir pada bibir Bella."Dia sudah selesai, Mad?" tanya pelayan lain pada Mad. Mad mengangguk. "Sudah, Klara," balasnya. "Kamu bisa memberitahu Mami Kartika sekarang.""Oke." Klara hendak berjalan menuju pintu ketika pintu tersebut terbuka dan Kartika sudah berdiri di sana dengan wajah ditekuk."Kalian sudah selesai?!"Pertanyaan Kartika dijawab Klara dan Mad dengan anggukan. Mad serta merta merapikan peralatannya ke dalam koper yang dibawa. "Bagus," gumam Kartika. "Tamunya datang lebih cepat dan aku belum memberikan wejangan pada gadis ini." Kartika menggerutu, lalu masuk ke ruang ganti seraya memerhatikan Bella yang sudah berganti pakaian berupa gaun hijau pastel sebatas lutut. Kartika tersenyum puas melihat kecantikan Bella. Bella meremas kedua tangannya yang ada di pangkuan. Ditatap dirinya di cermin. ‘Cantik dan seperti bukan diriku,’ batinnya. Kedua mata Bella mengerjap dan jelas ketakutan. "Kamu sudah tahu apa yang dilakukan di sini?" Kartika berdiri di belakang Bella. Dipegangnya pundak gadis itu dengan satu tangannya. Tentu saja dia sudah tahu. "Saya–""Maaf, Mami." Suara seorang pria yang merupakan salah satu penjaga rumah mewah itu memotong ucapan Bella. Menunduk hormat.Kartika menoleh. "Ya, Andri?" "Tuan Oliver memaksa ingin naik ke sini." Andri menjawab sopan.Kartika berdecak. "Dia tidak sabar sekali!" gerutunya."Tuan Oliver berkata ada pertemuan penting saat jam makan siang nanti." Andri menjawab gerutuan Kartika. "Suruh dia tunggu di kamar yang sudah kusiapkan sebelumnya!" Kartika mengibaskan tangannya meminta Andri segera pergi. Setelah penjaga itu pergi, dia kembali mengibas tangannya meminta dua pelayan tadi untuk pergi juga. "Kalian boleh pergi!" suruhnya.Bella menatap kepergian Mad dan Klara dengan pasrah. Melalui cermin, dia kembali menatap Kartika. Wajah wanita itu masih ditekuk."Seharusnya kamu mengikuti masa latihan dahulu. Bukan seperti ini. Terburu-buru," ucapnya memutar mata. "Aku berbaik hati sebab menurut Timo kamu masih sangat gadis. Benar? Belum pacaran sama sekali?"Mata Bella mengerjap. Dia tidak terpikirkan untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Anggukan adalah jawabannya. Apalagi yang dia ingin katakan? Timo telah berutang pada Kartika. Jika dia berbohong, Timo pasti dikejar dan dibunuh, begitu pula dirinya. "Berdiri dan ikut saya!" Kartika memerintah Bella yang dijawab dengan patuh. Gadis itu berdiri dan mengikuti Kartika gugup. Sepatu yang diberikan Klara terlalu tinggi menurutnya. Dia takut terkilir."Kamu harus bersikap baik pada Tuan Evan. Paham?"Bella menoleh. "Tuan Evan?" Kartika melirik Bella. "Orang yang akan kamu temani," balasnya. "Timo sudah menjelaskannya, bukan? Sebab aku malas mengulang dari awal."Walau Timo sudah menjelaskan padanya tadi di ruangan sempit dan pengap itu, tetap saja Bella takut setengah mati. Tubuhnya gemetar. Kartika memasuki sebuah ruangan dan Bella mau tidak mau harus ikut masuk ke sana."Ah, Tuan Evan. Menunggu lama?" Suara Kartika terdengar teramat ramah di telinga Bella yang masih menunduk di depan pintu masuk. Dari ujung matanya tahulah dia bahwa itu sebuah kamar tidur mewah. Dia semakin gemetar. "Aku tidak punya banyak waktu, Kartika."‘Suara berat yang dalam milik seorang pria. Pastilah itu Tuan Evan,’ pikir Bella."Tentu." Kartika terkekeh manja. Diberi isyarat pada Andri yang berjaga di belakang Bella untuk membawa gadis itu masuk. "Ini Bella. Gadis. Sesuai keinginanmu. Bagaimana? Kamu puas dengan pilihanku?" "Aku sudah membuat suratnya. Suruh dia tanda tangani!" Evan memberikan map kuning pada Kartika."Boleh aku baca?" Kartika menerima map itu penasaran."Tentu." Evan duduk di kursi, lalu menatap Bella dari ujung kaki hingga kepala dengan tajam."Menikah kontrak?!" Seruan Kartika membuat Bella serta merta mendongak terkejut. ‘Apa? Tidak mungkin!’Bella pikir hanya menemani satu malam saja. Matanya kemudian bertemu dengan mata pria yang menurutnya hanya bisa dilihat dari televisi. Mata biru pria yang dia yakini bernama Evan. Mata itu menurutnya indah dan serasi dengan wajahnya yang rupawan."Itulah kenapa aku memintamu mencarikan gadis." Evan berkata dengan mata tidak lepas dari Bella. "Aku ingin menikahinya. Namun, sesuai dengan perjanjian di atas meterai."“Kamu jangan sekali-kali kabur. Paham? Tuan Evan sudah membayarmu mahal.” Kartika menatap Bella tajam. Nada bicaranya penuh penekanan setiap kata. Bella menunduk. “Kamu paham?”Dia sangat paham. Sudah masuk tidak akan bisa menemukan jalan keluar walau pintu itu terbuka lebar. Sebagai jawabannya, Bella mengangguk. “Bagus.” Kartika bersedekap menatap Bella yang duduk di hadapannya masih mengenakan kebaya pengantin sederhana berwarna putih tulang yang sedikit kebesaran di tubuh mungil itu. “Satu lagi, utang Timo masih banyak. Jadi, bersikap baiklah pada Tuan Evan sebab diakhir kontrak nanti, kamu akan mendapatkan pesangon besar.” Kartika berkata lagi. Satu kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi berwarna merah mengetuk pelan.Bella mendongak mendengar penuturan Kartika tersebut. “Maksud Mami? aku harus bersikap baik bagaimana?”Pertanyaan itu disambut gelak tawa Kartika. Bahunya berguncang. Mereka berdua sedang berada di kamar besar di rumah mewah itu. “Kamu polos sekali,” gumamnya
“Aku ada rapat mendadak. Aku sudah memesan sarapan untukmu. Makan dan jangan menungguku—Evan.”Bella membaca catatan kecil yang tertempel di lampu tidur. Alisnya terangkat. ‘Tulisan tangan Evan bagus juga,’ pikir Bella. Kemudian, mata Bella tertuju pada jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 11:00. Sebentar lagi waktunya makan siang dan dirinya baru bangun tidur. Sarapan itu sudah ada di meja seberang tempat tidurnya. Bella menghela napas pelan. Dia tidak berniat untuk bangun dari tidurnya. Untuk pertama kalinya, dia merasakan bagaimana menjadi seorang istri sepenuhnya dan untuk pertama kalinya pula dia bangun tidur kesiangan. Salahkan Evan dan hasrat besar pria itu padanya semalaman. Matanya kembali terpejam. Namun, segera terbuka lagi sebab perutnya mulai perih. Mau tidak mau, Bella bangkit dari tempat tidurnya dan meraih jubah kamar yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Brak!Pintu yang menjeblak terbuka membuat Bella serta merta menoleh terkejut. Evan pulang lebih
“Jalan hidupmu akan berliku.” Alis Bella naik tatkala seorang peramal melihat tapak tangan kanannya. “Begitu?” Bella bertanya pelan. Dia kini berada di pasar malam. Malam itu suasana kota Semarang cerah. Evan mengajaknya berkeliling kota Semarang setelah pulang berbisnis. Sebuah pasar malam menarik perhatian Bella dan pria itu menurutinya. Setelah berkeliling pasar malam, Bella memutuskan untuk masuk ke tenda peramal. Hanya iseng saja. Itu yang ada di pikirannya. Evan diajaknya tetapi pria itu tidak mau dan memilih untuk membeli jagung bakar.“Percintaan?” Bella bertanya lagi. Dia menatap serius peramal wanita berpakaian ala gipsi. Wanita itu mengangguk. Diperhatikannya tangan Bella lagi, lalu berkata pelan, “sabarlah.”Alis Bella semakin naik mendengar ucapan itu. “Aku harus bersabar?”Peramal yang Bella tidak tahu namanya tersebut mengangguk. Tatapannya iba. “Tuhan tahu bahwa kau adalah orang yang baik. Keadaan yang membuatmu seperti ini,” ucapnya. Bella segera menurunkan tanga
“Kukembalikan Isabella Halka. Perjanjian kontrak pernikahan telah selesai.”Isabella berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Ucapan Evan berdengung layaknya lebah. Tiga bulan kebersamaannya selesai sudah. Pernikahannya dan Evan telah usai. Talak telah dilayangkan padanya. Ditatapnya mata biru Evan yang menurutnya indah. Pria itu sedang berbicara dengan Kartika yang berdiri di sebelahnya. Dia tidak fokus pada apa yang diucapkan Evan. Namun, dia lebih fokus pada wajah pria itu. Wajah itu dipandanginya dalam demi membuat memori di pikiran.Kartika tersenyum senang. Wanita itu menerima amplop coklat tebal dari Evan Oliver. “Terima kasih sudah percaya padaku, Tuan Oliver. Jika berkunjung lagi ke Semarang, mampirlah kemari. Akan kusediakan wanita cantik untukmu.” Kartika mengulurkan tangannya mengusap lengan kiri Evan.Mata Evan melirik Bella yang berdiri di sebelah Kartika. Sejak dalam perjalanan menuju kediaman Kartika, Bella hanya diam saja. “Tentu.” Evan mengangguk. “Boleh aku
“Kalau dilihat dari siklus datang bulan Mbak Isabella yang terakhir kali, usia kandungan berjalan empat minggu, ya.” Dokter Febri tersenyum menatap Isabella yang menahan air mata. Tangan dokter tersebut terulur mengusap lengan kanan Bella. Hanya dengan perlakuan seperti itu telah berhasil meruntuhkan pertahanan Bella yang telah dibangunnya sejak tadi pagi. Sekedar ingin memastikan apa yang dilihatnya pada alat tes kehamilan, Bella memutuskan untuk datang ke klinik dokter Febri. “Saya harus bagaimana, Dok?” Bella berkata setengah berbisik. Dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. “Jalani, ya, Mbak. Ikhlas,” jawab dokter Febri. Wanita dipenghujung usia 45 tahun tersebut menatap Bella dengan iba. Bella mendongak. Ada satu keinginan tiba-tiba terlintas di kepalanya begitu saja. “Dok, bantu saya gugurkan. Ya?” Dokter Febri menggeleng pada permintaan Bella lalu menjawab, “jangan timpakan kesalahan pada yang tidak berdosa, Mbak. Siapa tahu anak yang Mbak kandung nanti membawa kebe
“Kau baik-baik saja?” tangan kekar dengan sigap menarik Bella berdiri. Wanita itu mendongak menatap siapa yang menariknya. Tenyata pengawal Kartika. Pria itu berdiri tanpa ekspresi masih menggenggam lengan kanan Bella. Bella mulai berandai-andai jika pria yang ada di sebelahnya adalah Evan tentulah hatinya senang bukan main. Nyatanya bukan. “Bella?” Suara Kartika yang berulang kali bertanya apakah dia baik-baik saja membuat Bella memusatkan pandangannya. Kartika sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan khawatir. “John, dudukkan dia di kursi.” Kartika berkata lagi pada pengawalnya yang bernama John. Tanpa banyak kata, John membimbing Bella duduk di kursi kayu yang ada di kamar itu. Pandangan Bella masih berkunang ditambah lagi perutnya yang mulai mual. Ditahannya rasa tidak enak di perutnya seraya memejamkan mata. “Kau pucat sekali. Apakah perlu kupanggil dokter Febri kemari?” Ucapan itu sontak membuat Bella membuka mata lalu menggeleng. Gelengan kepala membuatnya sakit. “Tidak
“Kuberikan waktu dua hari untukmu berpikir. Jika kau ingin tetap di sini, maka gugurkanlah kandunganmu. Aku tahu siapa yang berani melakukannya. Dan itu bukan dokter Febri.”Itulah yang dikatakan Kartika pada Bella. Batas waktu yang diberikan Kartika akan habis sebentar lagi. Namun, Bella belum mengambil keputusan. Sebelumnya sangat teramat yakin ingin menggugurkan kandungannya akan tetapi entah kenapa dia mulai meragukan keinginannya tersebut. Dia mulai bimbang harus melakukan apa. Kini, pikiran dan hati nuraninya bertolak belakang. Diperhatikan ponsel pemberian Evan. Ponsel yang teramat mahal baginya dan tidak akan sanggup dibelinya.“Evan,” bisiknya. “Aku ingin bertemu denganmu.” Lalu dipejamkan matanya demi menahan air matanya yang ingin tumpah. Saat ini dia berada di sebuah restoran keluarga ternama di Indonesia. Restoran tersebut ramai sebab jam makan siang. Bella sengaja datang sendiri ke restoran yang berada di mall tersebut. Di hadapannya tersaji makanan yang ingin sekali dia
“Paket! Permisi, Isabella Halka?! Paket!” Suara nyaring kurir pengiriman barang berteriak di depan muka rumahnya membuat Bella urung melakukan apa yang tadi dia niatkan. Alisnya berkerut mendengar suara kurir pengiriman berteriak memanggil namanya lagi. Dia merasa tidak membeli barang apa pun secara daring. Walau begitu, dia tetap turun dari kursi plastik baksonya lalu menuju ruang tamu. “Isabella?!” lagi, kurir berteriak memanggil namanya. “Ya? Sebentar.” Bella merapikan rambutnya lalu membuka pintu rumahnya. Dia mencoba tersenyum walau hatinya masih kalang kabut. “Paket, Mbak.” Kurir tersebut mengangsurkan padanya sebuah paket ukuran sedang pada Bella. “Isabella Halka, kan?” Bella mengangguk. “Benar.” Kurir menyodorkan lagi paketnya. “Paketnya, Mbak.” “Oiya.” Bella menerima paket tersebut dengan bingung. Dia merasa tidak pernah membeli apa pun di lokapasar. ‘Atau mungkin aku lupa pernah membeli sesuatu? Mungkin saja.’ Mengangkat bahu, Bella tersenyum pada kurir paket tersebut.
“Ini Samudera? Ya ampun! Sudah besar!”Samudera memeluk erat seorang wanita tua dengan erat. “Nenek.” Dia memejamkan mata merasa rindu dengan wanita yang dipanggilnya nenek. Kedatangannya ke Indonesia untuk perjalanan bisnis membantu Evan.“Apa kabar Mama dan Papamu?”Samudera melepaskan pelukannya. “Sehat, Nek.”“Shilah apa kabarnya? Kenapa dia tidak ikut? Nenek rindu.” Chloe kembali bertanya. Mencecar Samudera.Samudera tersenyum. “Bukankah nenek sudah bertemu dengan Shilah dua minggu lalu?”Shilah merupakan adik Samudera. Usianya sekarang menginjak 15 tahun. Dia tidak menyangka akan memiliki seorang adik perempuan ketika dulu Bella sempat keguguran karena terlalu lelah dalam melakukan berbagai kegiatan. Mamanya tersebut sekolah lagi atas permintaan Papanya. Permintaan itu semata untuk memperbarui diri agar lebih baik lagi.“Yah itu sudah lama.” Chloe lalu terkekeh.Mata Samudera menatap berkeliling. “Ke mana Tante Lena, Nek? Nenek sendirian di rumah?” dia mulai sadar tidak ada Lena
“Mentari menanyakan Samudera. Apakah kalian benar pindah ke Amerika?”“Benar, Mama.” Bella menjawab santun.“Ah begitu.”Jawaban pelan itu membuat Bella bingung. “Ada apa, Mama?”“Emm, apakah boleh Mentari bicara dengan Samudera? Di sana sudah malam, ya?”Bella tersenyum. Dia memang tidak tahu menahu bagaimana pertemanan Samudera dengan Mentari sebab putranya tersebut tidak pernah bercerita mengenai teman-teman sekolah padanya. Samudera akan menjawab jika hanya ditanya. Dan kalau tidak ditanya, anak itu tidak akan mengatakan apa pun mengenai kesehariannya.“Oh, boleh. Nanti saya telepon balik Mama Mentari ya. Samuderanya sudah tidur.”“Oh ganggu ya? Tidak perlu kalau ganggu.” Mamanya Mentari mulai tidak enak sebab menganggu tidurnya Samudera.“Oh tidak,” jawab Bella terburu-buru. Mungkin dengan berbicara pada Mentari, murungnya Samudera bisa teratasi. Dia bukannya tidak memerhatikan tadi. Dia melihat putranya yang tidak teramat ceria seperti biasa di Indonesia. Dia hanya berpikir Samu
“Evan?!” Bella terkejut melihat Evan berdiri di hadapannya. Di tangannya terdapat koper berukuran sedang. Pria itu tersenyum lebar. Di tangan yang lainnya menggenggam ponsel.“Iya. Ini aku. Datang menemuimu, Isabella.” Evan berkata lembut. Dia melihat Bella yang begitu memprihatinkan.“Evan!” tanpa pikir panjang, dia memeluk erat pria itu. Evan menyambut pelukan erat Bella dengan mengusap kepalanya.“Istirahatlah. Suhu tubuhmu panas.”Bella tersenyum masih dalam pelukan Evan. “Aku merindukanmu, Evan.” Dia sudah seperti orang dimabuk cinta dan dia tidak peduli lagi pada malunya. Dia ingin mengutarakan apa yang dirasakannya saat ini.“Aku juga.” Evan tersenyum senang. “Secepatnya kita menikah. Aku tidak sabar lagi ingin bersamamu setiap hari. Saat pagi kubuka mata aku melihatmu. Begitu juga malam hari ketika aku menutup mataku.”Bella melepaskan pelukannya. Ditatapnya Evan sayu. “Apakah tidak bisa sekarang kita menikah? Di sini?”Alis Evan naik lalu dia tertawa. “Kamu yang sakit ternyat
“Selesaikan dulu masalahmu dengan Makena,” ucap Chloe lagi. Perkataan Evan telah membuat Chloe tidak habis pikir. Kekhawatirannya naik ke permukaan. “Aku tidak mau Bella dikatakan merebutmu dari Makena. Aku tidak mau Kakakku memusuhi Bella.”“Tante,” ucap Evan tenang. “Aku tidak ingin berpisah lagi dengan Bella. 10 tahun aku kehilangan jejaknya.”Chloe menggeleng. “Tidak.”“Tante, mengenai kedua orangtuaku itu tidak masalah. Mom dan Dad pasti senang.” Evan berkata lagi masih tenang sedangkan Bella hanya duduk menunduk di sisinya dengan kedua tangan saling bertaut.“Evan.” Hermann akhirnya bersuara setelah dia melihat raut khawatir di wajah Chloe. “Bella sudah kami anggap anak sendiri. Dia tidak akan pergi ke manapun lagi.”“Tapi —““Dengar,” potong Hermann ketika Evan hendak berbicara. “Selesaikan semua masalahmu dengan Makena. Setelah itu barulah kau datang kemari dan bawalah Bella bersamamu ke Amerika.”Evan menelan ludah. Pupus sudah harapannya untuk bersama Bella dengan cepat. Per
Teriakan itu milik Lena. Gadis itu berkacak pinggang. Di sebelah Lena terdapat Samudera dan Chloe. Kedua tangan Chloe menutupi mulutnya. Terkejut pula. Sedangkan Samudera seperti hendak kesal. Namun, melihat siapa yang memeluk sontak saja anak itu tersenyum lebar.“Om Evan!” dia berjalan cepat menyongsong Evan lalu memeluknya. Dia tidak perlu bertanya pada Evan mengenai ada hubungan apa antara keduanya. Menurutnya, jika dua orang dewasa berlainan jenis melakukan pelukan berarti mereka sayang dan saling cinta.Bella berdehem. Dia berusaha tersenyum walau hatinya gugup sekali. Diperhatikannya Chloe dan Lena yang pastilah butuh cerita yang lebih lengkap. Jika sudah seperti itu, dia mau tidak mau memberitahukan mereka.“Ada apa ini?” Chloe bersuara setelah teriakan Lena tadi.Kemudian Lena menyipitkan matanya menatap Evan. “Jangan ganggu Bella. Kau harusnya paham, Om.”Evan merangkul Samudera. Dia berdehem. “Lena, Tante, aku akan jelaskan,” ucapnya. Di menoleh pada Bella yang berdiri di b
“Aku tidak menyangka dia Darrel.” Bella berulang kali mengatakan kalimat itu. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia seolah teringat sesuatu. “Aku pernah melihat foto wanita itu di kamarnya Darrel.”“Makena?” Evan menoleh pada Bella. Pria itu sedang berada di toko bunga. Duduk menikmati kegiatan Bella yang sedang hilir mudik merapikan bunga-bunga tersebut seraya minum kopi. Kopi buatan Bella yang menurutnya masih enak seperti dulu. “Ya. Aku melihatnya dulu ketika aku mencoba mengakhiri hidupku. Foto itu ada di kamarnya Darrel.” Bella mengatakan dengan ringan. Namun, Evan segera berdiri dari duduknya.“Apa?” tanyanya. Dia menghampiri Bella dan berdiri di hadapannya. Kedua tangan wanita itu menggenggam dua tangkai bunga mawar merah. “Kau melakukan apa?” Evan bertanya lagi. Berharap pendengarannya salah.Bella mendongak. “Yang mana?” alis Bella berkerut. Dia tidak mengerti pertanyaan Evan yang terdengar panik serta teerkejut.“Kau mencoba bunuh diri,” ucap Evan lirih. Dia tidak tahu hi
“Isabella?”Evan kembali memanggil namanya ketika Bella tidak kunjung menjawab.“Katakan padaku kebenarannya. Samudera merupakan putraku, bukan?”Bella memejamkan mata. Dia takut jika mengatakan kebenarannya Evan akan membawa pergi Samudera jauh darinya. Tidak. Bella menggeleng samar. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya.“Chloe bilang 10 tahun lalu kau datang ke rumahnya dalam keadaan hamil.” Evan kembali berkata. “10 tahun lalu adalah tahun di mana kita berpisah.”Dieratkan pegangannya pada buku-buku yang dia susun menjadi satu itu. Bella diam menunduk. Dia berusaha mencari cara agar Evan tidak tahu bahwa Samudera adalah putra kandungnya.“Diammu kuanggap—”“Samudera bukan anakmu.” Bella menyela cepat. “Kau harusnya tahu profesiku apa. Samudera anak dari pria lain.”“Tatap mataku dan katakan itu lagi.” Evan mulai menuntut ketika Bella tidak kunjung menatap matanya.“Untuk apa kau mengatakan itu padaku,” ucap Bella pelan. Dia mulai menatap Evan dan berusaha untuk membendung sega
Evan terdiam ketika mendengar pertanyaan tersebut muncul begitu saja dari Chloe. Dia tidak ingin masa lalunya yang begitu intim dengan Bella terungkap sebelum bisa menyelesaikan masalahnya dengan Makena. Ketika Evan hendak membuka mulutnya untuk menjawab, ponselnya berdering dari saku celana yang dipakainya. Dia berdiri dari duduknya lalu mengeluarkan ponselnya. Ternyata telepon dari asistennya. “Halo? Ada masalah?” Evan bertanya tanpa basa-basi. Dia memberi kode pada Chloe seraya beranjak keluar dari ruang makan tersebut. “Terima kasih kau telah menghubungiku, Jacob.” Dia terselamatkan dengan entah laporan apa yang akan disampaikan asistennya tersebut. “Begitukah?” Jacob menjawab seraya tertawa di ujung telepon. “Ada apa? semua lancar?” Jacob bergumam menjawab. “Kapan kau akan kembali?” Evan mengangkat bahu. “Entah,” sahutnya. “Kau tidak berniat mengurus permasalahanmu dengan Makena?” Evan mengusap wajahnya. Dia kini duduk di ruang tamu yang sepi. Hermann sepertinya masih di ka
“Sam,” ucap Bella.Mengingat apa yang dilakukan Evan pada Samudera tadi setelah kembali dari berjalan-jalan di taman perumahan, membuat dia semakin tidak ingin pria itu tahu siapa sebenarnya Samudera. Sikap Evan yang begitu perhatian pada Samudera membuat Bella takut terjadi hal yang tidak dia inginkan. Dia takut Samudera dibawa ke Amerika.“Ya, Ma?” Samudera menjawab masih dengan kedua tangan memeluk pinggang Bella.“Jangan terlalu dekat dengan Om Evan. Bisa?”Biasanya dia mengucapkan kalimat tidak langsung pada Samudera demi menghindari kata ‘Jangan’. Dia berusaha membiasakan pada Samudera untuk menghindari kata larangan, perintah, dan memarahi. Namun, dia adalah manusia biasa yang selalu luput dari kesalahan seperti sekarang ini. Emosinya mulai meningkat seiring dengan kedatangan Evan yang tiba-tiba.“Kenapa, Ma?”Bella menghela napas pelan. Dinyalakan motornya lagi. “Jangan terlalu dekat. Kamu mengerti?”Bibir Samudera mencebik tetapi dia tidak berani membalas ucapan Mamanya. Dia