“Kau baik-baik saja?” tangan kekar dengan sigap menarik Bella berdiri. Wanita itu mendongak menatap siapa yang menariknya. Tenyata pengawal Kartika. Pria itu berdiri tanpa ekspresi masih menggenggam lengan kanan Bella. Bella mulai berandai-andai jika pria yang ada di sebelahnya adalah Evan tentulah hatinya senang bukan main. Nyatanya bukan.
“Bella?”Suara Kartika yang berulang kali bertanya apakah dia baik-baik saja membuat Bella memusatkan pandangannya. Kartika sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan khawatir.“John, dudukkan dia di kursi.” Kartika berkata lagi pada pengawalnya yang bernama John.Tanpa banyak kata, John membimbing Bella duduk di kursi kayu yang ada di kamar itu. Pandangan Bella masih berkunang ditambah lagi perutnya yang mulai mual. Ditahannya rasa tidak enak di perutnya seraya memejamkan mata.“Kau pucat sekali. Apakah perlu kupanggil dokter Febri kemari?”Ucapan itu sontak membuat Bella membuka mata lalu menggeleng. Gelengan kepala membuatnya sakit. “Tidak perlu, Mami.” Dijawabnya pelan ucapan Kartika yang khawatir itu.“Kalau begitu, kau istirahatlah. Kita bisa mengobrol jika kau sudah sehat. Aku kasihan melihatmu pucat.” Kartika menatap iba Bella yang menurutnya lemas bukan main.“Tidak, Mi.” Bella mencoba duduk tegak. Perutnya lapar dan dia mulai menyumpahi bayi yang ada dalam kandungannya diam-diam.“Kalau itu maumu.” Kartika memberikan isyarat pada John untuk menunggu di luar kemudian wanita itu duduk di tepi tempat tidur milik Bella. Ditatapnya Bella. “Kebetulan aku sedang berada di sekitar sini saat kau telepon. Jadi aku bisa langsung ke rumahmu.” Tanpa ditanya oleh Bella, Kartika memberitahukan mengapa dia cepat sampai di muka rumah Bella.Bella mengangguk. Dia diam mencoba memikirkan apa yang mesti dia katakan pada Kartika. Diperhatikannya induk semangnya tersebut sedang memantik korek api untuk rokok yang dibawanya di tas jinjing kecil berwarna merah muda yang ada di pangkuannya itu.“Jadi,” Kartika menghembuskan asap dari bibirnya perlahan. Ditatapnya Bella yang masih menatapnya. “Apa yang mau kau bicarakan padaku, Bella?” tanyanya. Nada bicara Kartika mulai mendesak.“Mi,” Bella duduk tegak di kursinya. Dihembuskan napasnya pelan. Seluruh tubuhnya mulai gemetar karena ketakutan luar biasa. Dia sudah tahu ujung pembicaraan ini nantinya. Diusir oleh Kartika dari perlindungan wanita paruh baya itu lalu membayar sejumlah denda.“Katakan.” Kartika mulai tidak sabar.”Sepertinya ada hal yang membuatmu bimbang? Benar?”Sebenarnya bukan bimbang melainkan takut. Dia benar-benar takut jika diusir maka tinggal di mana dia nantinya? dia belum mencari tempat tinggal baru. Tidak ada tempatnya pulang. Ke rumah Bapaknya? Dia tidak ingin melakukannya. Dia tidak menyukai tindakan Bapaknya. Melihat Bapaknya adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan saat ini.“Maafkan saya, Mi.” Bella akhirnya berkata pelan.“Untuk?” Kartika menghisap rokoknya lalu menghembuskannya cepat.Sebenarnya rokok tidak baik untuk kandungan, tetapi Bella diam saja. Dia berharap asap rokok itu dapat menghilangkan bayi yang tidak diinginkannya dengan segera. Detik itu juga walau tidak mungkin. Dia mencintai Evan. Namun, jika pria itu tidak ada kabar dan memutuskan kontak begitu saja maka tidak ada yang harus dia harapkan lagi.“Untuk kecerobohan saya, Mi.” Bella menunduk.Kartika menatap Bella bingung. “Apa yang membuatmu ceroboh? Kau memecahkan barang-barangku? Itu tidak masalah. Aku tidak peduli.” Kembali wanita itu menghirup rokoknya.Bella menghela napas pelan. Dirinya yang berkata setengah-setengah memang membuat Kartika pastilah bingung. Kemudian Bella mencoba mengangkat tubuhnya. Digerakkan kakinya menuju lemari penyimpanan pakaian berpintu dua setinggi bahunya yang berada di dekat kursi yang didudukinya. Sebuah amplop disodorkannya pada Kartika seraya berkata gemetar, “saya minta maaf, Mi. Saya ceroboh.”Kartika mengerutkan keningnya. Diterimanya amplop berwarna putih polos tersebut bingung. “Apa ini?” tanyanya.Bella menelan ludah. Dia menunduk tidak berani menatap Kartika yang membolak-balik amplop putih polos tanpa tulisan atau gambar apa pun.“Bella, ini apa?” Kartika bertanya lagi dengan bingung.“Kecerobohan saya.” Dijawabnya gemetar pertanyaan Kartika tersebut. Seluruh tubuhnya mendadak panas dingin membayangkan wanita yang masih duduk anggun di tepi tempat tidurnya itu menamparnya tanpa ampun atau bahkan melemparkannya ke jalanan dan harus membayar ganti rugi puluhan juta.“Kecerobohanmu dalam sebuah amplop?” Kartika berkelakar lalu dibukanya amplop tersebut.Bella masih menunduk ketika Kartika membaca selembar kertas yang ada di dalam amplop tersebut. Suara tawa induk semang tersebut berubah menjadi geraman. Wanita itu melemparkan benda yang dipegangnya berupa amplop dan kertas berisi keterangan kehamilan pada Bella. Ditatapnya marah Bella yang masih menunduk.“Kau bisa jelaskan padaku kecerobohanmu, Bella?” tanya Kartika geram. Rokok yang terselip ditangannya itu dilemparkannya ke lantai begitu saja lalu diinjaknya dengan marah menggunakan sepatu hak tinggi berwarna merah kesukaannya.Bella luruh ke lantai. dia bersujud di kaki Kartika dengan ketakutan luar biasa. “Maafkan saya, Mi. Maafkan saya. Saya ceroboh.” Bella menceracau.“Disurat itu usia kandunganmu diperkirakan empat minggu. Kau anak emasku. Bagaimana bisa kau ceroboh seperti ini, Bella?” Kartika memejamkan matanya. Dia bertolak pinggang menatap Bella yang masih bersujud di kakinya.“Maafkan saya, Mami. Saya lupa minum pil itu jadi saya hamil anak Tuan Evan.” Bella menahan air matanya. Segalanya berkecamuk sekarang di dalam dadanya. Laparnya tergantikan sudah dengan ketakutannya pada tempat tinggal dan kandungannya.“Tidak perlu kau perjelas anak itu adalah anak Tuan Evan sebab pastilah anak dia.” Kartika menatap Bella geram. Dia berdecak keras.“Mi,” Bella mendongak. Ditatapnya Kartika yang menurutnya begitu kecewa. “Saya minta maaf yang sebesarnya. Saya ceroboh.”Kartika menghela napas pelan. Dia menyilangkan tangan di dada. “Saya kecewa padamu, Bella. Kenapa kau melakukan itu? hah? Kau mencintai Tuan Evan dan sengaja?”Bella menggeleng pelan. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa cinta untuk Evan masih ada hingga saat ini. Hingga mulai tumbuh benih yang tidak pernah dia sangka akan terjadi. “Saya tidak berpikir sampai sana, Mi.” Bella menatap Kartika mencoba memberikan penegasan dengan apa yang dikatakannya adalah benar walau sebaliknya.Kartika mundur satu langkah. Wanita paruh baya itu menggeleng lagi. “Jika kau bukan akan emasku, kau sudah kutendang jauh dari tempat ini.”Bella menatap Kartika. Penjelasan itu seolah menjadi angin segar baginya bahwa induk semangnya tidak akan menendangnya dari tempatnya ini. Namun, dia tidak berani menegaskan apa yang dikatakan Kartika tadi. Dia memilih untuk diam. Suasana menjadi hening. Kartika memilih untuk kembali duduk di tepi tempat tidur milik Bella. Pandangannya lurus ke depan. Nampak berpikir.“Ada satu hal yang bisa kau lakukan agar tetap berada di tempatku ini, Bella.” Kartika berkata setelah beberapa saat terdiam.Bella masih duduk di lantai. Ditatapnya Kartika serius. “Apa pun saya lakukan asalkan saya tetap berada di tempat ini, Mi,” jawabnya cepat tanpa berpikir dua kali.Kartika menatap Bella tepat di matanya. “Kau serius akan melakukan apa pun yang kuminta?”Bella mengangguk. Dia akan melakukan apa pun permintaan Kartika. Semuanya akan dia lakukan. Membayar ganti rugi pun dia tidak masalah kini. Uang pemberian Evan sangat banyak jadi dia tidak akan ragu memberikan pada Kartika.“Gugurkan anak yang ada dalam kandunganmu, Bella.”“Kuberikan waktu dua hari untukmu berpikir. Jika kau ingin tetap di sini, maka gugurkanlah kandunganmu. Aku tahu siapa yang berani melakukannya. Dan itu bukan dokter Febri.”Itulah yang dikatakan Kartika pada Bella. Batas waktu yang diberikan Kartika akan habis sebentar lagi. Namun, Bella belum mengambil keputusan. Sebelumnya sangat teramat yakin ingin menggugurkan kandungannya akan tetapi entah kenapa dia mulai meragukan keinginannya tersebut. Dia mulai bimbang harus melakukan apa. Kini, pikiran dan hati nuraninya bertolak belakang. Diperhatikan ponsel pemberian Evan. Ponsel yang teramat mahal baginya dan tidak akan sanggup dibelinya.“Evan,” bisiknya. “Aku ingin bertemu denganmu.” Lalu dipejamkan matanya demi menahan air matanya yang ingin tumpah. Saat ini dia berada di sebuah restoran keluarga ternama di Indonesia. Restoran tersebut ramai sebab jam makan siang. Bella sengaja datang sendiri ke restoran yang berada di mall tersebut. Di hadapannya tersaji makanan yang ingin sekali dia
“Paket! Permisi, Isabella Halka?! Paket!” Suara nyaring kurir pengiriman barang berteriak di depan muka rumahnya membuat Bella urung melakukan apa yang tadi dia niatkan. Alisnya berkerut mendengar suara kurir pengiriman berteriak memanggil namanya lagi. Dia merasa tidak membeli barang apa pun secara daring. Walau begitu, dia tetap turun dari kursi plastik baksonya lalu menuju ruang tamu. “Isabella?!” lagi, kurir berteriak memanggil namanya. “Ya? Sebentar.” Bella merapikan rambutnya lalu membuka pintu rumahnya. Dia mencoba tersenyum walau hatinya masih kalang kabut. “Paket, Mbak.” Kurir tersebut mengangsurkan padanya sebuah paket ukuran sedang pada Bella. “Isabella Halka, kan?” Bella mengangguk. “Benar.” Kurir menyodorkan lagi paketnya. “Paketnya, Mbak.” “Oiya.” Bella menerima paket tersebut dengan bingung. Dia merasa tidak pernah membeli apa pun di lokapasar. ‘Atau mungkin aku lupa pernah membeli sesuatu? Mungkin saja.’ Mengangkat bahu, Bella tersenyum pada kurir paket tersebut.
“Asal kamu tahu, Ibumu itu sekarang jadi perempuan tidak benar!” Timo mengulangi ucapan itu lagi. Untuk kesekian kalinya pada Bella. “Dia nikah lagi dengan orang kaya dan melupakan kita. Apa namanya itu kalau bukan perempuan tidak benar?!” nada suara pria itu meninggi di akhir kalimat.Bella yang sedang mengelap lemari buffet hanya memilih diam. Dia selalu menjadi pendengar ketika Timo mengoceh seperti itu. Dia baru saja tiba dari sekolah ketika Timo menyuruhnya mengelap lemari buffet yang berdebu.“Sudah belum?” Timo menatap Bella dengan mata menyipit. “Orang yang mau beli lemarinya mau datang.”Bella memejamkan mata sekilas. Tiba-tibanya Timo meminta dirinya membersihkan lemari buffet itu ternyata untuk dijual.‘Pasti untuk judi,’ batin Bella. ‘Berapa banyak barang lagi yang mau dijual? Televisi sudah, blender sudah, sekarang lemari.’ Ingin dia meneriaki Timo. Namun, dia tidak berani. Dia takut pria itu murka padanya.“Bella!” Timo membentaknya. “Dengar tidak?!”Plak!Tamparan menda
“Darel sudah mengatakan semuanya pada saya.” Siswanto merupakan ayah kandung Darel. Pria berperawakan kurus tinggi itu menatap Bella yang duduk di seberangnya. Di sebelah Siswanto duduklah Darel yang juga menatap Bella. “Darel memberikan ide mengenai kamu yang sepertinya perlu bekerja.”Bella masih menunduk itu mengangguk. Dia setuju saja dengan ide Darel. Lebih cepat dia pergi dari rumah Darel, lebih cepat pula dia keluar dari kampung itu. Walau Siswanto merupakan kepala desa sekalipun, dia tidak ingin keluarga Darel menjadi buah bibir di masyarakat. Apalagi ibunya Darel yang dia tahu sedang berada di luar kota sebab sedang menghadiri kemalangan saudaranya. “Kemarin aku membantu mencarikan pekerjaan untukmu, Bella.” Darel membuka percakapan. Memberikan informasi pada Bella dan Siswanto—Bapaknya. “Ada satu pekerjaan yang cocok untuk Bella menurutku.”Bella mendongak. “Apapun, Darel. Aku setuju saja.”Darel menatap Siswanto. Pria paruh baya yang merupakan kepala desa itu menggeleng.
“Kamu cepat sekali belajar, Bella.” Siti tersenyum. Dia memuji keterampilan Bella dalam hal rumah tangga. Kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruangan praktek tersebut. “Contoh Bella. Kalian seharusnya cepat beradaptasi agar cepat pergi dari tempat ini.”Bella menunduk. Dia tidak pernah ingin jadi pusat perhatian dan juga tatapan sinis orang lain padanya. Bella sudah satu bulan berada di Pusat Pelatihan Siti. Siti merupakan penyalur pembantu, perawat bayi, dan perawat lansia.“Ya, Bu!” sahut delapan wanita yang berada dalam ruangan praktek tersebut.Seorang wanita masuk ke dalam ruangan praktek. Dia menghampiri Siti lalu membisikkan sesuatu. Bella memerhatikan siti yang mengedarkan pandangan ke sekitar lalu mengangguk pelan dengan apa yang dibisikkan wanita itu.“Kalian boleh istirahat!” perintah Siti lalu keluar dari ruangan praktek.Bella masih berdiri di tempatnya. Dia sedang belajar menggantik
“Ini enak sekali, Bella. Apa namanya ini?” Chloe menyuap satu sendok penuh masakan buatan Bella.Bella tersenyum sopan. “Tempe orek, Nyonya. Makanan kampung.”“Nah,” Chloe mengunyah seraya menunjuk Bella dengan sendoknya. “Tempe itu makanan sejuta umat tetapi baru kali ini saya makan tempe yang rasanya ada gurihnya, manisnya, kriuknya, pedasnya. Enak. Besok masak ini lagi, ya, Bella.”“Ya, Nyonya.” Tadinya Bella masak tempe itu untuk dirinya. Dia masak pun dalam porsi sedikit sekali tetapi melihat Chloe yang makan lahap sekali, dia jadi ingin memasak lebih banyak untuk semua anggota keluarga.Bella membiarkan majikannya makan tempe orek buatannya sedangkan dia merapikan dapur. Hari sudah siang saat Bella melihat jam yang berada di microwave. ‘Sebentar lagi makan siang,’ pikirnya. ‘Tuan Herman dan Nona Lena pasti akan pulang untuk makan siang.’Seraya makan, Chloe mengangguk-angguk melihat kerja Bella yang cekatan. Ini adalah hari berikutnya Bella tinggal di rumah besar itu. Rumah yang
“Kau dengar aku, kan, Bella?” Lena kembali bertanya. Menggebu.Bella hanya tersenyum. dia tidak menjawab apa pun yang dilontarkan oleh Lena. Dia memang bercerita pada majikannya mengenai kehidupannya tetapi tidak semuanya. Dirinya yang menjadi istri kontrak itu tidak dibahasnya. Dia hanya mengatakan bekerja mati-matian demi melunasi utang Bapaknya. Bella hanya bercerita mengenai suami yang meninggalkannya begitu saja tanpa kejelasan. Hanya itu. Dia bahkan tidak ingin membahas namanya.“Baiklah,” angguk Lena. “Akan kuantar kamu sampai rumah sakit. Oke? Setelah itu aku akan berangkat ke sekolah. Bagaimana?”Bella merasa sungkan tetapi tatapan Nona mudanya yang begitu serius membuatnya mengangguk pada akhirnya. “Baiklah, Nona,” ucapnya kalah.Lena tersenyum puas. Dia menjulurkan tangannya menepuk bahu supir pribadinya. “Pak, ke rumah sakit dulu ya, setelah itu ke sekolah.”“Baik, Nona.&
“Tampannya.” Chloe Ansell dengan hati-hati menggendong bayi laki-laki. Dia tersenyum senang. “Halo, ini Oma, sayang.” Dia berbicara lembut pada bayi yang tidur nyaman dalam gendongannya.Bella menatap Chloe dengan senyum lemahnya. Dia sudah masuk ruang rawat inap. Herman dan Chloe memaksa Bella untuk dirawat hingga benar-benar pulih agar dapat pulang dengan baik.“Bella, kamu mau dibawakan apa? Lena akan ke sini.” Chloe bertanya. Namun, dengan mata menatap bayi dalam gendongannya takjub. “Sudah lama sekali aku tidak menggendong bayi. Terakhir gendong saat Lena bayi.” Kemudian dia tertawa mengenang masa itu.“Tidak perlu, Nyonya.” Bella menjawab pelan.Chloe menoleh. Alisnya terangkat. “Tidak mau apa pun? Sungguh? Kalau begitu susu saja ya? Akan kusuruh Lena membeli susu ibu menyusui. Ya?”Bella tersenyum sungkan. “Saya tidak ingin merepotkan.”“Tidak.&r
“Ini Samudera? Ya ampun! Sudah besar!”Samudera memeluk erat seorang wanita tua dengan erat. “Nenek.” Dia memejamkan mata merasa rindu dengan wanita yang dipanggilnya nenek. Kedatangannya ke Indonesia untuk perjalanan bisnis membantu Evan.“Apa kabar Mama dan Papamu?”Samudera melepaskan pelukannya. “Sehat, Nek.”“Shilah apa kabarnya? Kenapa dia tidak ikut? Nenek rindu.” Chloe kembali bertanya. Mencecar Samudera.Samudera tersenyum. “Bukankah nenek sudah bertemu dengan Shilah dua minggu lalu?”Shilah merupakan adik Samudera. Usianya sekarang menginjak 15 tahun. Dia tidak menyangka akan memiliki seorang adik perempuan ketika dulu Bella sempat keguguran karena terlalu lelah dalam melakukan berbagai kegiatan. Mamanya tersebut sekolah lagi atas permintaan Papanya. Permintaan itu semata untuk memperbarui diri agar lebih baik lagi.“Yah itu sudah lama.” Chloe lalu terkekeh.Mata Samudera menatap berkeliling. “Ke mana Tante Lena, Nek? Nenek sendirian di rumah?” dia mulai sadar tidak ada Lena
“Mentari menanyakan Samudera. Apakah kalian benar pindah ke Amerika?”“Benar, Mama.” Bella menjawab santun.“Ah begitu.”Jawaban pelan itu membuat Bella bingung. “Ada apa, Mama?”“Emm, apakah boleh Mentari bicara dengan Samudera? Di sana sudah malam, ya?”Bella tersenyum. Dia memang tidak tahu menahu bagaimana pertemanan Samudera dengan Mentari sebab putranya tersebut tidak pernah bercerita mengenai teman-teman sekolah padanya. Samudera akan menjawab jika hanya ditanya. Dan kalau tidak ditanya, anak itu tidak akan mengatakan apa pun mengenai kesehariannya.“Oh, boleh. Nanti saya telepon balik Mama Mentari ya. Samuderanya sudah tidur.”“Oh ganggu ya? Tidak perlu kalau ganggu.” Mamanya Mentari mulai tidak enak sebab menganggu tidurnya Samudera.“Oh tidak,” jawab Bella terburu-buru. Mungkin dengan berbicara pada Mentari, murungnya Samudera bisa teratasi. Dia bukannya tidak memerhatikan tadi. Dia melihat putranya yang tidak teramat ceria seperti biasa di Indonesia. Dia hanya berpikir Samu
“Evan?!” Bella terkejut melihat Evan berdiri di hadapannya. Di tangannya terdapat koper berukuran sedang. Pria itu tersenyum lebar. Di tangan yang lainnya menggenggam ponsel.“Iya. Ini aku. Datang menemuimu, Isabella.” Evan berkata lembut. Dia melihat Bella yang begitu memprihatinkan.“Evan!” tanpa pikir panjang, dia memeluk erat pria itu. Evan menyambut pelukan erat Bella dengan mengusap kepalanya.“Istirahatlah. Suhu tubuhmu panas.”Bella tersenyum masih dalam pelukan Evan. “Aku merindukanmu, Evan.” Dia sudah seperti orang dimabuk cinta dan dia tidak peduli lagi pada malunya. Dia ingin mengutarakan apa yang dirasakannya saat ini.“Aku juga.” Evan tersenyum senang. “Secepatnya kita menikah. Aku tidak sabar lagi ingin bersamamu setiap hari. Saat pagi kubuka mata aku melihatmu. Begitu juga malam hari ketika aku menutup mataku.”Bella melepaskan pelukannya. Ditatapnya Evan sayu. “Apakah tidak bisa sekarang kita menikah? Di sini?”Alis Evan naik lalu dia tertawa. “Kamu yang sakit ternyat
“Selesaikan dulu masalahmu dengan Makena,” ucap Chloe lagi. Perkataan Evan telah membuat Chloe tidak habis pikir. Kekhawatirannya naik ke permukaan. “Aku tidak mau Bella dikatakan merebutmu dari Makena. Aku tidak mau Kakakku memusuhi Bella.”“Tante,” ucap Evan tenang. “Aku tidak ingin berpisah lagi dengan Bella. 10 tahun aku kehilangan jejaknya.”Chloe menggeleng. “Tidak.”“Tante, mengenai kedua orangtuaku itu tidak masalah. Mom dan Dad pasti senang.” Evan berkata lagi masih tenang sedangkan Bella hanya duduk menunduk di sisinya dengan kedua tangan saling bertaut.“Evan.” Hermann akhirnya bersuara setelah dia melihat raut khawatir di wajah Chloe. “Bella sudah kami anggap anak sendiri. Dia tidak akan pergi ke manapun lagi.”“Tapi —““Dengar,” potong Hermann ketika Evan hendak berbicara. “Selesaikan semua masalahmu dengan Makena. Setelah itu barulah kau datang kemari dan bawalah Bella bersamamu ke Amerika.”Evan menelan ludah. Pupus sudah harapannya untuk bersama Bella dengan cepat. Per
Teriakan itu milik Lena. Gadis itu berkacak pinggang. Di sebelah Lena terdapat Samudera dan Chloe. Kedua tangan Chloe menutupi mulutnya. Terkejut pula. Sedangkan Samudera seperti hendak kesal. Namun, melihat siapa yang memeluk sontak saja anak itu tersenyum lebar.“Om Evan!” dia berjalan cepat menyongsong Evan lalu memeluknya. Dia tidak perlu bertanya pada Evan mengenai ada hubungan apa antara keduanya. Menurutnya, jika dua orang dewasa berlainan jenis melakukan pelukan berarti mereka sayang dan saling cinta.Bella berdehem. Dia berusaha tersenyum walau hatinya gugup sekali. Diperhatikannya Chloe dan Lena yang pastilah butuh cerita yang lebih lengkap. Jika sudah seperti itu, dia mau tidak mau memberitahukan mereka.“Ada apa ini?” Chloe bersuara setelah teriakan Lena tadi.Kemudian Lena menyipitkan matanya menatap Evan. “Jangan ganggu Bella. Kau harusnya paham, Om.”Evan merangkul Samudera. Dia berdehem. “Lena, Tante, aku akan jelaskan,” ucapnya. Di menoleh pada Bella yang berdiri di b
“Aku tidak menyangka dia Darrel.” Bella berulang kali mengatakan kalimat itu. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia seolah teringat sesuatu. “Aku pernah melihat foto wanita itu di kamarnya Darrel.”“Makena?” Evan menoleh pada Bella. Pria itu sedang berada di toko bunga. Duduk menikmati kegiatan Bella yang sedang hilir mudik merapikan bunga-bunga tersebut seraya minum kopi. Kopi buatan Bella yang menurutnya masih enak seperti dulu. “Ya. Aku melihatnya dulu ketika aku mencoba mengakhiri hidupku. Foto itu ada di kamarnya Darrel.” Bella mengatakan dengan ringan. Namun, Evan segera berdiri dari duduknya.“Apa?” tanyanya. Dia menghampiri Bella dan berdiri di hadapannya. Kedua tangan wanita itu menggenggam dua tangkai bunga mawar merah. “Kau melakukan apa?” Evan bertanya lagi. Berharap pendengarannya salah.Bella mendongak. “Yang mana?” alis Bella berkerut. Dia tidak mengerti pertanyaan Evan yang terdengar panik serta teerkejut.“Kau mencoba bunuh diri,” ucap Evan lirih. Dia tidak tahu hi
“Isabella?”Evan kembali memanggil namanya ketika Bella tidak kunjung menjawab.“Katakan padaku kebenarannya. Samudera merupakan putraku, bukan?”Bella memejamkan mata. Dia takut jika mengatakan kebenarannya Evan akan membawa pergi Samudera jauh darinya. Tidak. Bella menggeleng samar. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya.“Chloe bilang 10 tahun lalu kau datang ke rumahnya dalam keadaan hamil.” Evan kembali berkata. “10 tahun lalu adalah tahun di mana kita berpisah.”Dieratkan pegangannya pada buku-buku yang dia susun menjadi satu itu. Bella diam menunduk. Dia berusaha mencari cara agar Evan tidak tahu bahwa Samudera adalah putra kandungnya.“Diammu kuanggap—”“Samudera bukan anakmu.” Bella menyela cepat. “Kau harusnya tahu profesiku apa. Samudera anak dari pria lain.”“Tatap mataku dan katakan itu lagi.” Evan mulai menuntut ketika Bella tidak kunjung menatap matanya.“Untuk apa kau mengatakan itu padaku,” ucap Bella pelan. Dia mulai menatap Evan dan berusaha untuk membendung sega
Evan terdiam ketika mendengar pertanyaan tersebut muncul begitu saja dari Chloe. Dia tidak ingin masa lalunya yang begitu intim dengan Bella terungkap sebelum bisa menyelesaikan masalahnya dengan Makena. Ketika Evan hendak membuka mulutnya untuk menjawab, ponselnya berdering dari saku celana yang dipakainya. Dia berdiri dari duduknya lalu mengeluarkan ponselnya. Ternyata telepon dari asistennya. “Halo? Ada masalah?” Evan bertanya tanpa basa-basi. Dia memberi kode pada Chloe seraya beranjak keluar dari ruang makan tersebut. “Terima kasih kau telah menghubungiku, Jacob.” Dia terselamatkan dengan entah laporan apa yang akan disampaikan asistennya tersebut. “Begitukah?” Jacob menjawab seraya tertawa di ujung telepon. “Ada apa? semua lancar?” Jacob bergumam menjawab. “Kapan kau akan kembali?” Evan mengangkat bahu. “Entah,” sahutnya. “Kau tidak berniat mengurus permasalahanmu dengan Makena?” Evan mengusap wajahnya. Dia kini duduk di ruang tamu yang sepi. Hermann sepertinya masih di ka
“Sam,” ucap Bella.Mengingat apa yang dilakukan Evan pada Samudera tadi setelah kembali dari berjalan-jalan di taman perumahan, membuat dia semakin tidak ingin pria itu tahu siapa sebenarnya Samudera. Sikap Evan yang begitu perhatian pada Samudera membuat Bella takut terjadi hal yang tidak dia inginkan. Dia takut Samudera dibawa ke Amerika.“Ya, Ma?” Samudera menjawab masih dengan kedua tangan memeluk pinggang Bella.“Jangan terlalu dekat dengan Om Evan. Bisa?”Biasanya dia mengucapkan kalimat tidak langsung pada Samudera demi menghindari kata ‘Jangan’. Dia berusaha membiasakan pada Samudera untuk menghindari kata larangan, perintah, dan memarahi. Namun, dia adalah manusia biasa yang selalu luput dari kesalahan seperti sekarang ini. Emosinya mulai meningkat seiring dengan kedatangan Evan yang tiba-tiba.“Kenapa, Ma?”Bella menghela napas pelan. Dinyalakan motornya lagi. “Jangan terlalu dekat. Kamu mengerti?”Bibir Samudera mencebik tetapi dia tidak berani membalas ucapan Mamanya. Dia