“Darel sudah mengatakan semuanya pada saya.” Siswanto merupakan ayah kandung Darel. Pria berperawakan kurus tinggi itu menatap Bella yang duduk di seberangnya. Di sebelah Siswanto duduklah Darel yang juga menatap Bella. “Darel memberikan ide mengenai kamu yang sepertinya perlu bekerja.”Bella masih menunduk itu mengangguk. Dia setuju saja dengan ide Darel. Lebih cepat dia pergi dari rumah Darel, lebih cepat pula dia keluar dari kampung itu. Walau Siswanto merupakan kepala desa sekalipun, dia tidak ingin keluarga Darel menjadi buah bibir di masyarakat. Apalagi ibunya Darel yang dia tahu sedang berada di luar kota sebab sedang menghadiri kemalangan saudaranya. “Kemarin aku membantu mencarikan pekerjaan untukmu, Bella.” Darel membuka percakapan. Memberikan informasi pada Bella dan Siswanto—Bapaknya. “Ada satu pekerjaan yang cocok untuk Bella menurutku.”Bella mendongak. “Apapun, Darel. Aku setuju saja.”Darel menatap Siswanto. Pria paruh baya yang merupakan kepala desa itu menggeleng.
“Kamu cepat sekali belajar, Bella.” Siti tersenyum. Dia memuji keterampilan Bella dalam hal rumah tangga. Kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruangan praktek tersebut. “Contoh Bella. Kalian seharusnya cepat beradaptasi agar cepat pergi dari tempat ini.”Bella menunduk. Dia tidak pernah ingin jadi pusat perhatian dan juga tatapan sinis orang lain padanya. Bella sudah satu bulan berada di Pusat Pelatihan Siti. Siti merupakan penyalur pembantu, perawat bayi, dan perawat lansia.“Ya, Bu!” sahut delapan wanita yang berada dalam ruangan praktek tersebut.Seorang wanita masuk ke dalam ruangan praktek. Dia menghampiri Siti lalu membisikkan sesuatu. Bella memerhatikan siti yang mengedarkan pandangan ke sekitar lalu mengangguk pelan dengan apa yang dibisikkan wanita itu.“Kalian boleh istirahat!” perintah Siti lalu keluar dari ruangan praktek.Bella masih berdiri di tempatnya. Dia sedang belajar menggantik
“Ini enak sekali, Bella. Apa namanya ini?” Chloe menyuap satu sendok penuh masakan buatan Bella.Bella tersenyum sopan. “Tempe orek, Nyonya. Makanan kampung.”“Nah,” Chloe mengunyah seraya menunjuk Bella dengan sendoknya. “Tempe itu makanan sejuta umat tetapi baru kali ini saya makan tempe yang rasanya ada gurihnya, manisnya, kriuknya, pedasnya. Enak. Besok masak ini lagi, ya, Bella.”“Ya, Nyonya.” Tadinya Bella masak tempe itu untuk dirinya. Dia masak pun dalam porsi sedikit sekali tetapi melihat Chloe yang makan lahap sekali, dia jadi ingin memasak lebih banyak untuk semua anggota keluarga.Bella membiarkan majikannya makan tempe orek buatannya sedangkan dia merapikan dapur. Hari sudah siang saat Bella melihat jam yang berada di microwave. ‘Sebentar lagi makan siang,’ pikirnya. ‘Tuan Herman dan Nona Lena pasti akan pulang untuk makan siang.’Seraya makan, Chloe mengangguk-angguk melihat kerja Bella yang cekatan. Ini adalah hari berikutnya Bella tinggal di rumah besar itu. Rumah yang
“Kau dengar aku, kan, Bella?” Lena kembali bertanya. Menggebu.Bella hanya tersenyum. dia tidak menjawab apa pun yang dilontarkan oleh Lena. Dia memang bercerita pada majikannya mengenai kehidupannya tetapi tidak semuanya. Dirinya yang menjadi istri kontrak itu tidak dibahasnya. Dia hanya mengatakan bekerja mati-matian demi melunasi utang Bapaknya. Bella hanya bercerita mengenai suami yang meninggalkannya begitu saja tanpa kejelasan. Hanya itu. Dia bahkan tidak ingin membahas namanya.“Baiklah,” angguk Lena. “Akan kuantar kamu sampai rumah sakit. Oke? Setelah itu aku akan berangkat ke sekolah. Bagaimana?”Bella merasa sungkan tetapi tatapan Nona mudanya yang begitu serius membuatnya mengangguk pada akhirnya. “Baiklah, Nona,” ucapnya kalah.Lena tersenyum puas. Dia menjulurkan tangannya menepuk bahu supir pribadinya. “Pak, ke rumah sakit dulu ya, setelah itu ke sekolah.”“Baik, Nona.&
“Tampannya.” Chloe Ansell dengan hati-hati menggendong bayi laki-laki. Dia tersenyum senang. “Halo, ini Oma, sayang.” Dia berbicara lembut pada bayi yang tidur nyaman dalam gendongannya.Bella menatap Chloe dengan senyum lemahnya. Dia sudah masuk ruang rawat inap. Herman dan Chloe memaksa Bella untuk dirawat hingga benar-benar pulih agar dapat pulang dengan baik.“Bella, kamu mau dibawakan apa? Lena akan ke sini.” Chloe bertanya. Namun, dengan mata menatap bayi dalam gendongannya takjub. “Sudah lama sekali aku tidak menggendong bayi. Terakhir gendong saat Lena bayi.” Kemudian dia tertawa mengenang masa itu.“Tidak perlu, Nyonya.” Bella menjawab pelan.Chloe menoleh. Alisnya terangkat. “Tidak mau apa pun? Sungguh? Kalau begitu susu saja ya? Akan kusuruh Lena membeli susu ibu menyusui. Ya?”Bella tersenyum sungkan. “Saya tidak ingin merepotkan.”“Tidak.&r
“Saya tidak pernah mengatakan pada Nyonya bagaimana anak ini bisa saya kandung.” Bella berkata lirih. Dia sebenarnya malu tetapi dia harus mengatakannya. Terlebih lagi setelah majikannya berkata bahwa dia adalah bagian dari keluarga. Sembilan bulan dia bekerja di rumah besar itu, tidak sekalipun mereka bersikap jahat padanya. Mereka sangat baik pada Bella.Chloe tersenyum pada ucapan Bella. Wanita itu dengan sabar menunggui Bella mengatakan hal selanjutnya.“Ma,” ucap Lena menyela pembicaraan. “Aku keluar sebentar. Ingin beli kue bolen di seberang jalan rumah sakit ini.”Chloe mengangguk. Lena tanpa menunggu ucapan Bella, segera keluar dari ruangan itu. Dia merasa tahu diri untuk tidak menguping pembicaraan Ibunya dan Bella yang sudah dia anggap sebagai saudara sendiri. ‘Pastilah Bella malu jika aku mengetahui masa lalunya. Lebih baik aku keluar saja membeli makanan.’ Begitulah yang dipikirkan oleh Lena. Gadis itu berjalan santai menuju keluar dari rumah sakit tersebut.“Jika belum si
“Kamu yakin pada keputusanmu, Bella?” Herman menanyakan berulang kali pada Bella yang duduk di hadapannya sementara Samudera tidur di kereta bayi di sampingnya seraya digerakkannya maju mundur secara berulang. “Saya yakin, Tuan,” jawab Bella serius. Herman menoleh pada Chloe. Dia bertanya pada istrinya melalui tatapan mata. “Bella,” Chloe akhirnya bertanya setelah terdiam beberapa saat. “Kami menganggapmu seperti anak kami sendiri maka dari itu kami lebih memilih mencari asisten rumah tangga baru agar pekerjaanmu lebih ringan. Bukannya mengusirmu. Sungguh.” Bella tersenyum sopan. “Saya tidak berpikir seperti itu, Nyonya, Tuan,” jawabnya. “Ini memang keinginan saya sejak memiliki Samudera.” Keputusannya sudah bulat dan sudah dia pikirkan sejak jauh-jauh hari. Dia pun sudah mengumpulkan uang selama tinggal di rumah besar itu. Sudah lebih dari satu tahun semenjak dia pertama kali menginjakkan kaki ke rumah besar itu. Dan selama itu, dia tidak menghabiskan banyak uang untuk membeli apa
“Apa?” Bella berusaha menegaskan apa yang didengarnya. “Maksudmu?”Komunikasi antara Darrel dan Bella tidaklah begitu intens dan intim. Dia berkomunikasi dengan Darrel seperti biasanya. Memberi kabar jika ingin menitipkan uang pada Timo atau sekedar menanyakan keadaan pria itu.“Ya,” jawab Darrel. Pria itu mengangguk. “Aku ingin kita menikah. Aku melamarmu menjadi istriku.”Mata Bella berkedip beberapa kali. Dia begitu terkejut dengan apa yang diutarakan oleh Darrel barusan. Pria itu datang jauh-jauh dari Semarang untuk melamarnya. Bella menutup mata dan menghela napas pelan. Dia harus berpikir baik-baik mengenai ini.“Sejak lama aku memang menaruh hati padamu, Bella.” Darrel berkata lagi. “Aku ingin menikahimu agar kamu tidak hidup kesusahan lagi. Aku janji akan membahagiakanmu, Bella. Terlepas dari masa lalumu, aku tidak akan mengungkitnya.”Bella membuka matanya lalu duduk di kursi terdekat. Dia memang memberikan kabar apa pun pada Darrel selama tinggal di Jakarta. Itu dia lakukan
“Ini Samudera? Ya ampun! Sudah besar!”Samudera memeluk erat seorang wanita tua dengan erat. “Nenek.” Dia memejamkan mata merasa rindu dengan wanita yang dipanggilnya nenek. Kedatangannya ke Indonesia untuk perjalanan bisnis membantu Evan.“Apa kabar Mama dan Papamu?”Samudera melepaskan pelukannya. “Sehat, Nek.”“Shilah apa kabarnya? Kenapa dia tidak ikut? Nenek rindu.” Chloe kembali bertanya. Mencecar Samudera.Samudera tersenyum. “Bukankah nenek sudah bertemu dengan Shilah dua minggu lalu?”Shilah merupakan adik Samudera. Usianya sekarang menginjak 15 tahun. Dia tidak menyangka akan memiliki seorang adik perempuan ketika dulu Bella sempat keguguran karena terlalu lelah dalam melakukan berbagai kegiatan. Mamanya tersebut sekolah lagi atas permintaan Papanya. Permintaan itu semata untuk memperbarui diri agar lebih baik lagi.“Yah itu sudah lama.” Chloe lalu terkekeh.Mata Samudera menatap berkeliling. “Ke mana Tante Lena, Nek? Nenek sendirian di rumah?” dia mulai sadar tidak ada Lena
“Mentari menanyakan Samudera. Apakah kalian benar pindah ke Amerika?”“Benar, Mama.” Bella menjawab santun.“Ah begitu.”Jawaban pelan itu membuat Bella bingung. “Ada apa, Mama?”“Emm, apakah boleh Mentari bicara dengan Samudera? Di sana sudah malam, ya?”Bella tersenyum. Dia memang tidak tahu menahu bagaimana pertemanan Samudera dengan Mentari sebab putranya tersebut tidak pernah bercerita mengenai teman-teman sekolah padanya. Samudera akan menjawab jika hanya ditanya. Dan kalau tidak ditanya, anak itu tidak akan mengatakan apa pun mengenai kesehariannya.“Oh, boleh. Nanti saya telepon balik Mama Mentari ya. Samuderanya sudah tidur.”“Oh ganggu ya? Tidak perlu kalau ganggu.” Mamanya Mentari mulai tidak enak sebab menganggu tidurnya Samudera.“Oh tidak,” jawab Bella terburu-buru. Mungkin dengan berbicara pada Mentari, murungnya Samudera bisa teratasi. Dia bukannya tidak memerhatikan tadi. Dia melihat putranya yang tidak teramat ceria seperti biasa di Indonesia. Dia hanya berpikir Samu
“Evan?!” Bella terkejut melihat Evan berdiri di hadapannya. Di tangannya terdapat koper berukuran sedang. Pria itu tersenyum lebar. Di tangan yang lainnya menggenggam ponsel.“Iya. Ini aku. Datang menemuimu, Isabella.” Evan berkata lembut. Dia melihat Bella yang begitu memprihatinkan.“Evan!” tanpa pikir panjang, dia memeluk erat pria itu. Evan menyambut pelukan erat Bella dengan mengusap kepalanya.“Istirahatlah. Suhu tubuhmu panas.”Bella tersenyum masih dalam pelukan Evan. “Aku merindukanmu, Evan.” Dia sudah seperti orang dimabuk cinta dan dia tidak peduli lagi pada malunya. Dia ingin mengutarakan apa yang dirasakannya saat ini.“Aku juga.” Evan tersenyum senang. “Secepatnya kita menikah. Aku tidak sabar lagi ingin bersamamu setiap hari. Saat pagi kubuka mata aku melihatmu. Begitu juga malam hari ketika aku menutup mataku.”Bella melepaskan pelukannya. Ditatapnya Evan sayu. “Apakah tidak bisa sekarang kita menikah? Di sini?”Alis Evan naik lalu dia tertawa. “Kamu yang sakit ternyat
“Selesaikan dulu masalahmu dengan Makena,” ucap Chloe lagi. Perkataan Evan telah membuat Chloe tidak habis pikir. Kekhawatirannya naik ke permukaan. “Aku tidak mau Bella dikatakan merebutmu dari Makena. Aku tidak mau Kakakku memusuhi Bella.”“Tante,” ucap Evan tenang. “Aku tidak ingin berpisah lagi dengan Bella. 10 tahun aku kehilangan jejaknya.”Chloe menggeleng. “Tidak.”“Tante, mengenai kedua orangtuaku itu tidak masalah. Mom dan Dad pasti senang.” Evan berkata lagi masih tenang sedangkan Bella hanya duduk menunduk di sisinya dengan kedua tangan saling bertaut.“Evan.” Hermann akhirnya bersuara setelah dia melihat raut khawatir di wajah Chloe. “Bella sudah kami anggap anak sendiri. Dia tidak akan pergi ke manapun lagi.”“Tapi —““Dengar,” potong Hermann ketika Evan hendak berbicara. “Selesaikan semua masalahmu dengan Makena. Setelah itu barulah kau datang kemari dan bawalah Bella bersamamu ke Amerika.”Evan menelan ludah. Pupus sudah harapannya untuk bersama Bella dengan cepat. Per
Teriakan itu milik Lena. Gadis itu berkacak pinggang. Di sebelah Lena terdapat Samudera dan Chloe. Kedua tangan Chloe menutupi mulutnya. Terkejut pula. Sedangkan Samudera seperti hendak kesal. Namun, melihat siapa yang memeluk sontak saja anak itu tersenyum lebar.“Om Evan!” dia berjalan cepat menyongsong Evan lalu memeluknya. Dia tidak perlu bertanya pada Evan mengenai ada hubungan apa antara keduanya. Menurutnya, jika dua orang dewasa berlainan jenis melakukan pelukan berarti mereka sayang dan saling cinta.Bella berdehem. Dia berusaha tersenyum walau hatinya gugup sekali. Diperhatikannya Chloe dan Lena yang pastilah butuh cerita yang lebih lengkap. Jika sudah seperti itu, dia mau tidak mau memberitahukan mereka.“Ada apa ini?” Chloe bersuara setelah teriakan Lena tadi.Kemudian Lena menyipitkan matanya menatap Evan. “Jangan ganggu Bella. Kau harusnya paham, Om.”Evan merangkul Samudera. Dia berdehem. “Lena, Tante, aku akan jelaskan,” ucapnya. Di menoleh pada Bella yang berdiri di b
“Aku tidak menyangka dia Darrel.” Bella berulang kali mengatakan kalimat itu. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia seolah teringat sesuatu. “Aku pernah melihat foto wanita itu di kamarnya Darrel.”“Makena?” Evan menoleh pada Bella. Pria itu sedang berada di toko bunga. Duduk menikmati kegiatan Bella yang sedang hilir mudik merapikan bunga-bunga tersebut seraya minum kopi. Kopi buatan Bella yang menurutnya masih enak seperti dulu. “Ya. Aku melihatnya dulu ketika aku mencoba mengakhiri hidupku. Foto itu ada di kamarnya Darrel.” Bella mengatakan dengan ringan. Namun, Evan segera berdiri dari duduknya.“Apa?” tanyanya. Dia menghampiri Bella dan berdiri di hadapannya. Kedua tangan wanita itu menggenggam dua tangkai bunga mawar merah. “Kau melakukan apa?” Evan bertanya lagi. Berharap pendengarannya salah.Bella mendongak. “Yang mana?” alis Bella berkerut. Dia tidak mengerti pertanyaan Evan yang terdengar panik serta teerkejut.“Kau mencoba bunuh diri,” ucap Evan lirih. Dia tidak tahu hi
“Isabella?”Evan kembali memanggil namanya ketika Bella tidak kunjung menjawab.“Katakan padaku kebenarannya. Samudera merupakan putraku, bukan?”Bella memejamkan mata. Dia takut jika mengatakan kebenarannya Evan akan membawa pergi Samudera jauh darinya. Tidak. Bella menggeleng samar. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya.“Chloe bilang 10 tahun lalu kau datang ke rumahnya dalam keadaan hamil.” Evan kembali berkata. “10 tahun lalu adalah tahun di mana kita berpisah.”Dieratkan pegangannya pada buku-buku yang dia susun menjadi satu itu. Bella diam menunduk. Dia berusaha mencari cara agar Evan tidak tahu bahwa Samudera adalah putra kandungnya.“Diammu kuanggap—”“Samudera bukan anakmu.” Bella menyela cepat. “Kau harusnya tahu profesiku apa. Samudera anak dari pria lain.”“Tatap mataku dan katakan itu lagi.” Evan mulai menuntut ketika Bella tidak kunjung menatap matanya.“Untuk apa kau mengatakan itu padaku,” ucap Bella pelan. Dia mulai menatap Evan dan berusaha untuk membendung sega
Evan terdiam ketika mendengar pertanyaan tersebut muncul begitu saja dari Chloe. Dia tidak ingin masa lalunya yang begitu intim dengan Bella terungkap sebelum bisa menyelesaikan masalahnya dengan Makena. Ketika Evan hendak membuka mulutnya untuk menjawab, ponselnya berdering dari saku celana yang dipakainya. Dia berdiri dari duduknya lalu mengeluarkan ponselnya. Ternyata telepon dari asistennya. “Halo? Ada masalah?” Evan bertanya tanpa basa-basi. Dia memberi kode pada Chloe seraya beranjak keluar dari ruang makan tersebut. “Terima kasih kau telah menghubungiku, Jacob.” Dia terselamatkan dengan entah laporan apa yang akan disampaikan asistennya tersebut. “Begitukah?” Jacob menjawab seraya tertawa di ujung telepon. “Ada apa? semua lancar?” Jacob bergumam menjawab. “Kapan kau akan kembali?” Evan mengangkat bahu. “Entah,” sahutnya. “Kau tidak berniat mengurus permasalahanmu dengan Makena?” Evan mengusap wajahnya. Dia kini duduk di ruang tamu yang sepi. Hermann sepertinya masih di ka
“Sam,” ucap Bella.Mengingat apa yang dilakukan Evan pada Samudera tadi setelah kembali dari berjalan-jalan di taman perumahan, membuat dia semakin tidak ingin pria itu tahu siapa sebenarnya Samudera. Sikap Evan yang begitu perhatian pada Samudera membuat Bella takut terjadi hal yang tidak dia inginkan. Dia takut Samudera dibawa ke Amerika.“Ya, Ma?” Samudera menjawab masih dengan kedua tangan memeluk pinggang Bella.“Jangan terlalu dekat dengan Om Evan. Bisa?”Biasanya dia mengucapkan kalimat tidak langsung pada Samudera demi menghindari kata ‘Jangan’. Dia berusaha membiasakan pada Samudera untuk menghindari kata larangan, perintah, dan memarahi. Namun, dia adalah manusia biasa yang selalu luput dari kesalahan seperti sekarang ini. Emosinya mulai meningkat seiring dengan kedatangan Evan yang tiba-tiba.“Kenapa, Ma?”Bella menghela napas pelan. Dinyalakan motornya lagi. “Jangan terlalu dekat. Kamu mengerti?”Bibir Samudera mencebik tetapi dia tidak berani membalas ucapan Mamanya. Dia