Share

BAB 46

Penulis: Yuli Zaynomi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-04 10:36:57

Permintaan Maaf

"Aku akan pulang ke rumah ibu. Kubiarkan kamu berpikir jernih. Kumohon. Maafkan aku, tak ada niat untukku menyimpan kenyataan selama ini. Hanya saja aku benar-benar takut kehilanganmu dan anak-anak," ucap Mas Riza pilu. Tika melotot melihat reaksi Mas Riza. Dia merangsek hingga menabrak tubuhku. Dia meraih lengan kakaknya.

" Hentikan merendahkan harga diri demi wanita sombong ini ! Jangan membuat ibu malu! Ingat, Masih ada Mbak Rahma yang setia menunggu kamu, Mas!"

Aku sungguh terhina dengan kalimat yang Tika ucapkan. Sebagai seorang kakak ipar, bukan tidak pernah aku berusaha agar menjadi sosok yang menyenangkan untuknya. Beberapa kali aku mengalah, berusaha agar tak terjadi keributan di tengah keluarga Mas Riza, tetapi memang sepertinya Tika tak akan pernah menganggapku dengan baik. Kini aku tahu apa alasannya. Ada wanita lain yang sudah diimpikannya menjadi seorang kakak ipar. Benar-benar tak habis pikir aku berada di tengah-tengah keluarga macam ini.

Aku langsun
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Titik Fidiyati
kenapa iklan tdk bisa di buka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mesin Cuci   BAB 47

    Kutidurkan Risa di atas kasur. Lala berkali-kali melihat ke arah jendela depan rumah, memastikan ayahnya pulang. Aku sedih melihatnya demikian. Entah bagaimana caranya aku akan menjelaskan hal ini pada anak-anak, terutama Lala. Dia sudah paham ritme kerja ayahnya. Dia tahu kapan waktu ayahnya berangkat dan kapan pulang. Jam-jam seperti ini harusnya Mas Riza sudah di rumah. Tentu saja ketiadaan Mas Riza menjadi pertanyaan besar untuk sulungku. Hal yang begitu kutakutkan terjadi. Lala mulai kelihatan resah saat matanya tak mampu menangkap kehadiran ayah yang sangat ditunggunya. Hatiku gerimis, mataku tak mampu menahan air mata yang tiba-tiba lolos tanpa kendali. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke samping. Aku tersentak saat Lala setengah berlari ke arah ruang tamu. Sepertinya suara mobil Mas Riza yang membuatnya melakukan hal demikian. Kutinggalkan Risa yang sudah terlelap tidur dan menyusul Lala. Aku tak ingin ayahnya mengambil kesempatan untuk masuk. Benar, Lala sudah berhambur

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 48

    POV RizaSebuah Kejahatan Aku menangis tergugu di kamarku. Ketakutan luar biasa menghantuiku. Badanku gemetar, dengan keringat yang hampir membuat sekujur tubuhku basah olehnya. Pikiranku tertuju pada sepasang laki-laki dan perempuan lanjut usia yang mungkin saat ini mereka telah meninggal akibat kehabisan darah. Aku merutuki sifat cerobohku yang melajukan motor dengan sangat kencang di tikungan yang kulalui tadi. Hingga tak kusangka, dari arah berlawanan seorang laki-laki yang mungkin memboncengkan istrinya tertabrak oleh motorku yang terlalu menikung dan makan jalan. Entah setan mana yang merasukiku, bahkan saat mereka tergeletak di jalanan yang sepi itu kutinggalkan begitu saja. Tak ada belas kasihan sama sekali. Rasa takutku teramat besar. Bayang-bayang hidup di penjara membuatku berbuat sekeji itu. Hingga sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Ibu yang melihatku masuk dengan kondisi kacau segera menghampiriku. Dia menanyakan apa yang membuatku sekacau itu. Tadinya aku han

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 49

    Hingga akhirnya aku di hari ke sepuluh setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku di bank swasta nasional. Aku benar-benar terpuruk tak bisa berpikir jernih. Berkali-kali aku ditegur, hingga lama-kelamaan tak nyaman.Di tempat kerja aku sering melamun, tak fokus dengan pekerjaan. Setiap ada telepon yang masuk, aku sangat ketakutan jika polisilah yang menghubungiku. Aku tak dapat melupakan masalah itu begitu saja. Hingga resign adalah keputusan paling tepat yang bisa kulakukan. Aku memutuskan untuk keluar rumah, sekedar berjalan-jalan mendinginkan kepalaku yang sudah panas tak karuan. Selain itu, aku ingin tahu siapa korban yang kutabrak kemarin. Rasa penasaranku yang tinggi membuatku berani menelusuri asal usul dua orang tersebut. Aku singgah di warung kopi yang terletak kurang lebih satu kilometer dari tempat kejadian perkara. Kupakai motor yang tak kupakai saat terjadi kecelakaan tersebut. Aku takut tiba-tiba seseorang mengenali motor tersebut h

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 50

    Berawal dari Buku"Mudah-mudahan segera ketemu jodohnya. Ketemu sama orang yang bisa melindungi dia dengan baik. Bisa membantunya menghilangkan rasa sakit akibat kejadian ini," ucap ibu pemilik warung lagi. Kini dia duduk menghadap jalanan di depannya. Matanya menerawang, seolah menyayangkan peristiwa memilukan itu terjadi. Aku mencerna sebaris kalimat yang dikeluarkannya. Tiba-tiba aku berpikiran satu hal tentang gadis bernama Vita itu.Aku ingin menjadi penawar dari luka yang kutorehkan untuknya. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa melindunginya, karena rasa bersalahku entah bisa hilang atau tidak. Sejak itu aku berusaha mencari tahu informasi gadis itu. Dari mulai kesehariannya, hingga dimana lokasi dia bekerja. Entah kebetulan atau apa, Vita mengajar di sekolah tidak jauh dari rumahku. Aku sengaja duduk berlama-lama di teras rumah saat jam dia berangkat dan pulang kerja. Ingin sekali aku mengenal gadis itu lebih dekat. Aku mengamati gadis yang kehidupannya sudah kuhancurkan.

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-05
  • Mesin Cuci   BAB 51

    Aku tersenyum senang ke arahnya. Bapak langsung keluar rumah mendengar kalimat ibu. Meskipun aku kasihan dengannya yang tak punya taring saat di depan ibu, namun kali ini aku merasa beruntung beri bukan wanita itu. Dia membelaku tanpa pamrih. Akhirnya di waktu yang ditetapkan aku bertemu dengan Vita. Dia memakai tunik warna mint dengan kerudung motif yang senada dengan pakaiannya. Terlihat anggun sekali. Aku tersenyum sumringah saat dia melambaikan tangan ke arahku. Ada getar aneh yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku. Tak seperti biasanya. "Sudah lama, Mas?" tanyanya dengan lembut. Tanpa canggung dia meletakkan tasnya di atas meja kafe yang hanya terisi sepaket dimsum kesukaanku dan french fries pesanannya via whatsapp tadi. Moca float juga tersaji di meja kami. "Baru saja datang," jawabku berbohong. Aku sudah datang dari satu jam yang lalu, memastikan agar Vita tak mendahuluiku sampai di sana. Aku tak ingin dia menungguku. Akulah yang harus menunggunya. "Bohong. Kulihat mot

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-05
  • Mesin Cuci   BAB 52

    Janji Riza"Apa? Jangan gila kamu, Riza! Ibu tak akan pernah setuju dengan tindakanmu kali ini. Ini sudah kelewatan!" Ibu hampir meraung kesetanan setelah aku mengungkapkan rencanaku. Setelah beberapa waktu berinteraksi dengan Vita, ada rasa aneh yang tiba-tiba menjalar di tubuhku. Aku punya ketertarikan lain, yang akhirnya membuat ibu murka. Dan itu bukan karena kasihan, aku benar-benar tertarik padanya. Bahkan pada Rahma pun aku tak merasakan hal serupa. "Bagaimana dengan Rahma? Bahkan tanggal pernikahan kalian sudah ditetapkan, Riza! Jangan gila. Ibu tak mau tahu, jauhi gadis bernama Vita itu! Ibu tak mau rasa bersalahmu karena kematian orang tuanya membuatmu bertindak segila ini! Ibu tak bisa membuat Rahma kecewa." Ibu melempar apapun yang ada di dekatnya ke arahku. Aku tak berani melawan, hanya menatapnya dengan pilu. "Apa yang membuatku senekat ini, hah? Jangan-jangan karena kasihan, kamu jadi berniat segila itu untuk menikahinya!" " Tidak, Bu. Aku benar-benar tertarik dengan

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-05
  • Mesin Cuci   BAB 53

    "Ibu akan memberi pengertian pada Rahma. Ibu yakin sekali dia akan menuruti permintaan Ibu. Dan tugasmu, yakinkan Rahma agar dia mau bersabar menunggu. Ibu tahu sekali orang tua Rahma sangat menyayangi anaknya. Mereka pasti setuju jika Rahma tak berkeberatan. Lagi pula Rahma pasti tak mau calon suaminya mendekam lama di penjara. Bukankah lebih singkat menunggumu menjadi suami orang daripada harus menunggumu di balik jeruji besi?" Ibu tersenyum sinis mengurai rencana gilanya. Aku menunduk sambil mencerna kata-kata ibu. "Besok pagi undang Rahma ke mari. Gadis kesayanganku itu pasti setuju dengan rencanaku." Ibu berlalu dan meninggalkanku di ruang keluarga. Kutatap sekotak bolen yang tadi diberikan Vita saat bertemu di depan rumah. Bukan sengaja bertemu, aku memang sengaja menampakkan diri di jam-jam saat dia berangkat dan pulang sekolah. Rasa-rasanya aku sangat ketagihan jika tak melihat senyumnya yang menawan dan binar yang terpancar dari matanya. Aku yakin sekali dia gadis yang pan

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-05
  • Mesin Cuci   BAB 54

    POV RizaKetegaran VitaHingga pernikahanku dengan Vita benar-benar bisa digelar. Ibu dengan menampakkan wajah muramnya tetap berada di ruang akad. Aku benar-benar mewanti-wanti dirinya untuk tak macam-macam di saat hari bahagiaku. Mas Hamdan menggugurkan kewajibannya untuk menikahkan adiknya denganku. Tak ada senyum di wajahnya. Aku semakin yakin bahwa dia mengetahui sesuatu tentangku. Aku selalu mengalihkan pandangan darinya saat menatapku dengan sorot kebencian. Selepas akad, Mas Hamdan langsung pulang ke rumahnya di kota sebelah. Semua yang hadir berbisik tak sedap. Mereka mengira-ngira alasan Mas Hamdan pulang secepat itu. Tetapi, sebelum Mas Hamdan pergi dia sempat membisikkan sebuah kalimat padaku. "Jaga Vita baik-baik. Pastikan dia bahagia. Aku tak sanggup melihat mendung di wajahnya," ucap lirih Mas Hamdan tepat di telingaku. Aku mengangguk mantap. "Entah apa yang kamu sembunyikan, tetapi aku ingin kamu bisa memastikan adikku baik-baik saja," lanjutnya. Aku tersentak.

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-05

Bab terbaru

  • Mesin Cuci   BAB 162

    Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p

  • Mesin Cuci   BAB 161

    Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray

  • Mesin Cuci   BAB 160

    Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang

  • Mesin Cuci   BAB 159

    "Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p

  • Mesin Cuci   BAB 158

    Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan

  • Mesin Cuci   BAB 157

    Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l

  • Mesin Cuci   BAB 156

    Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir

  • Mesin Cuci   BAB 155

    "Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa

  • Mesin Cuci   BAB 154

    Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a

DMCA.com Protection Status