POV RizaKetegaran VitaHingga pernikahanku dengan Vita benar-benar bisa digelar. Ibu dengan menampakkan wajah muramnya tetap berada di ruang akad. Aku benar-benar mewanti-wanti dirinya untuk tak macam-macam di saat hari bahagiaku. Mas Hamdan menggugurkan kewajibannya untuk menikahkan adiknya denganku. Tak ada senyum di wajahnya. Aku semakin yakin bahwa dia mengetahui sesuatu tentangku. Aku selalu mengalihkan pandangan darinya saat menatapku dengan sorot kebencian. Selepas akad, Mas Hamdan langsung pulang ke rumahnya di kota sebelah. Semua yang hadir berbisik tak sedap. Mereka mengira-ngira alasan Mas Hamdan pulang secepat itu. Tetapi, sebelum Mas Hamdan pergi dia sempat membisikkan sebuah kalimat padaku. "Jaga Vita baik-baik. Pastikan dia bahagia. Aku tak sanggup melihat mendung di wajahnya," ucap lirih Mas Hamdan tepat di telingaku. Aku mengangguk mantap. "Entah apa yang kamu sembunyikan, tetapi aku ingin kamu bisa memastikan adikku baik-baik saja," lanjutnya. Aku tersentak.
Berkali-kali aku meminta ibu mengubah tabiatnya. Bahkan aku mengancamnya akan pulang ke rumah orang tua Vita jika ibu tetap tak mengubah sikapnya pada Vita. Hanya berhasil beberapa saat, ibu kembali berulah. Bahkan sekarang terang-terangan melarang Vita makan ini itu yang menurut ilmu zaman dahulu dilarang dikonsumsi oleh ibu menyusui. Tetapi bukan Vita jika tak mampu menanggapi dengan cerdik segala perilaku ibuku. Kudengar dari ibu, Vita hampir tiap hari pesan makanan secara online. Aku tak masalah, justru ibu yang terlibat tak suka. Ada saja keburukan yang dia cekitakan mengenai istriku. Entah semesta yang sedang berpihak padaku atau apa, kudengar Rahma memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Entah karena melihatku yang makin bahagia dengan Vita ataupun ada alasan lain. Aku tak peduli. Yang jelas keputusannya pergi ke Jakarta membuatku tak perlu lagi dirongrong oleh ibuku untuk segera menceraikan istriku. Ibu yang frustasi akibat kepergian Vita akhirnya menumpahkan kemarahannya pada
Vita MenyerahPagi ini aku ke sekolah lebih awal. Sebagai bendahara BOS, sangat wajar ditagih laporan mendadak seperti ini. Sedangkan seluruh data yang dibutuhkan berada di sekolah. Batas penginputan jam sembilan pagi, aku akan sangat terburu-buru menyelesaikan laporan jika berangkat seperti biasanya. Kualihkan segala perasaan tak nyaman yang menderaku. Tak mungkin terus menerus terkungkung dengan rasa marahku pada lelaki itu. Aku yakin semuanya akan segera berlalu. Aku mampu melewati semuanya dengan baik. Aku yakin itu. Ada yang berdesir hebat saat aku melewati rumah Mas Riza. Aku berharap tak perlu bertemu dengannya. Sudah hampir satu minggu dia tak kuizinkan pulang. Berkali-kali Lala menanyakan ayahnya, dan selalu kujawab ayah mereka sedang mencari barang ke luar kota. Entah dia percaya atau tidak karena selama ini Mas Riza tidak pernah pergi lebih dari satu hari. Pemandangan yang amat menyedihkan yang kulihat setiap sore, saat Lala duduk di depan kaca untuk menanti ayahnya pula
"Bu Vita… ," panggil lirih Bu Ratna. Aku menoleh, kemudian mendapati wajahnya yang sedikit aneh dari biasanya. Tak lama, gadis yang juga teman sekolah Tika dulu itu mendekat. Aku merasa ada sesuatu yang penting ingin dia sampaikan. "Bu Vita tidak ada masalah apapun dengan Tika?" Pertanyaannya sukses membuatku terperangah. Aku yakin dia mengetahui sesuatu mengenai masalahku dengan Mas Riza dan keluarganya. Mungkin saja dari unggahan Tika atau pun sejenisnya. "Kok tiba-tiba pertanyaannya aneh?" tanyaku berusaha berkelit. Kualihkan pandanganku pada laptop di depanku. Aku tak mau Bu Ratna tahu masalah apa yang sedang menimpaku. Apalagi selama ini aku memang tak suka menceritakan hal-hal pribadiku pada sembarang orang. Bukan menganggap rekan kerjaku sebagai orang lain, hanya saja memang aku membatasi diri dengan hal-hal yang bukan berurusan dengan masalah kedinasan. "Bu… ," ucap Bu Ratna sambil mengangsurkan ponselnya padaku. Aku menatapnya cukup lama hingga kuputuskan mengambil ponsel
Memberi Pelajaran Pada TikaHari ini aku mendapat kejutan yang luar biasa dari kakak lelakiku. Lelaki itu beserta keluarganya datang, membuatku lupa sejenak aku punya masalah setinggi gunung. Lelaki itu masih sama seperti dulu, memperlakukanku seperti adik kecilnya. Begitu pun diriku, aku masih merasa Vita yang dulu, yang saat ada anak lain nakal aku segera melapor dan menceritakan kekesalanku padanya. Aku memeluk Mas Hamdan dan menumpahkan segala sesak yang bersemayam di dada pada kakak laki-laki itu. Kedatangannya yang tiba-tiba membuatku sangat kaget, dan secara spontan aku langsung menangis. Mungkin naluri alamiah tubuhku yang membawaku berubah serapuh ini di hadapannya. Aku luruh, tak bertenaga saat rengkuhan lelaki itu menguat. "Mas…, Mas Riza…," ucapku diantara tangisku. Mas Hamdan masih membiarkan aku memeluknya dengan erat. Dari kemarin aku berusaha kuat, nyatanya di depan kakak laki-lakiku aku tetaplah seorang adik yang lemah dan butuh tempat berlindung. Aku butuh tempat m
Setelah selesai dari acara di kecamatan, aku mampir ke minimarket yang terletak kurang dari seratus meter dari lokasiku berada. Hawa panas dari luar seketika berganti sejuk saat masuk ke dalam minimarket tersebut. Tiba-tiba aku teringat mengenai Tika yang bekerja di situ. Entahlah, aku susah sekali fokus dengan pikiranku akhir-akhir ini hingga melupakan hal tersebut. Mudah-mudahan anak itu tak berada di satu shift dengan kedatanganku ke sana. Kepalang tanggung, aku segera meraih keranjang belanjaan dan mengisinya dengan bahan-bahan kebutuhanku. Jika biasanya aku berbelanja di tempat Mas Riza, kini tidak lagi. Aku harus membiasakan hal itu mulai dari sekarang. Lagi pula disini pun lumayan lengkap. Meski harga yang ditawarkan lebih mahal. Berbagai bumbu instan andalanku dalam memasak kumasukkan ke dalam keranjang. Aneka snack ringan pesanan Lala juga sudah kuambil. Saat melewati lorong berisi aneka mie instan, aku menangkap bayangan Tika tengah berada di kasir. Sepertinya tepat sekali
Mari Bercerai, Mas! "Mohon maaf, ada yang bisa kami bantu, Mbak?" tanyanya dengan ramah. Aku masih menatap masam wajah Tika yang kini terlihat mulai ketakutan. Mungkin dia mengira aku akan diam seperti biasa, apalagi di depan keramaian seperti ini. Tetapi mulutnya yang rusak itu harus kuberi pelajaran. "Katakan pada pegawai bernama Kartika Pratiwi ini, Pak. Jaga attitude dia selama bekerja. Saya pelanggan minimarket ini. Tapi seingat saya, dia selalu menampakkan wajah tak bersahabat. Bahkan hari ini, dia terang-terangan menghina dengan kalimat sarkas yang sangat merendahkan saya. Apakah perlu saya laporkan pada manager area mengenai kelakuan salah satu pegawai di outlet ini?" Aku memandang Tika dengan sorot penuh ancaman. Mulutnya memang sebelas duabelas dengan ibunya. Kasar dan tak tahu tempat. Dia kira aku tak bisa membalasnya? Dia kira aku diam saja? Tak mungkin! Saatnya membalas apa yang dia katakan di depan banyak orang! "Kenapa melotot? Tak terima dengan tuduhanku? Apakah pe
"Diangkat, Vit. Siapa tahu penting. Dia masih suamimu. Jangan lupakan hal itu," saran Mas Hamdan. Akhirnya kugeser tombol hijau di layar ponselku. "Bun, anak-anak sehat?" tanya Mas Riza setelah aku menjawab salam darinya. Jika dulu suara darinya selalu membuatku sejuk, kini tidak lagi. Hatiku bergemuruh hebat. "Alhamdulillah, sehat. Mereka tak menanyakanmu," jawabku penuh penekanan. Aku yakin jawabanku menohok hatinya. Biarlah. Memang aku ingin tak hanya hatiku saja yang sakit. Dia juga harus merasakan buah dari perbuatannya. "Kemarin aku lihat Mas Hamdan pulang, benarkah yang kulihat?" "Ya, betul Mas," jawabku sedatar mungkin. Samar-samar kudengar teriakan di sekitar Mas Riza. Suara ibu mertuaku. Sepertinya wanita itu menginginkan Mas Riza mengucapkan sesuatu. "Bun… .""Ada apa, Mas?" Aku menangkap nada suara yang sedikit aneh. Sepertinya Mas Riza ragu-ragu akan mengucapkan sesuatu. "Apakah hari ini… kamu bertemu dengan Tika?" Oh. Aku baru paham. Mas Riza pasti sudah menerima
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a