Mari Bercerai, Mas! "Mohon maaf, ada yang bisa kami bantu, Mbak?" tanyanya dengan ramah. Aku masih menatap masam wajah Tika yang kini terlihat mulai ketakutan. Mungkin dia mengira aku akan diam seperti biasa, apalagi di depan keramaian seperti ini. Tetapi mulutnya yang rusak itu harus kuberi pelajaran. "Katakan pada pegawai bernama Kartika Pratiwi ini, Pak. Jaga attitude dia selama bekerja. Saya pelanggan minimarket ini. Tapi seingat saya, dia selalu menampakkan wajah tak bersahabat. Bahkan hari ini, dia terang-terangan menghina dengan kalimat sarkas yang sangat merendahkan saya. Apakah perlu saya laporkan pada manager area mengenai kelakuan salah satu pegawai di outlet ini?" Aku memandang Tika dengan sorot penuh ancaman. Mulutnya memang sebelas duabelas dengan ibunya. Kasar dan tak tahu tempat. Dia kira aku tak bisa membalasnya? Dia kira aku diam saja? Tak mungkin! Saatnya membalas apa yang dia katakan di depan banyak orang! "Kenapa melotot? Tak terima dengan tuduhanku? Apakah pe
"Diangkat, Vit. Siapa tahu penting. Dia masih suamimu. Jangan lupakan hal itu," saran Mas Hamdan. Akhirnya kugeser tombol hijau di layar ponselku. "Bun, anak-anak sehat?" tanya Mas Riza setelah aku menjawab salam darinya. Jika dulu suara darinya selalu membuatku sejuk, kini tidak lagi. Hatiku bergemuruh hebat. "Alhamdulillah, sehat. Mereka tak menanyakanmu," jawabku penuh penekanan. Aku yakin jawabanku menohok hatinya. Biarlah. Memang aku ingin tak hanya hatiku saja yang sakit. Dia juga harus merasakan buah dari perbuatannya. "Kemarin aku lihat Mas Hamdan pulang, benarkah yang kulihat?" "Ya, betul Mas," jawabku sedatar mungkin. Samar-samar kudengar teriakan di sekitar Mas Riza. Suara ibu mertuaku. Sepertinya wanita itu menginginkan Mas Riza mengucapkan sesuatu. "Bun… .""Ada apa, Mas?" Aku menangkap nada suara yang sedikit aneh. Sepertinya Mas Riza ragu-ragu akan mengucapkan sesuatu. "Apakah hari ini… kamu bertemu dengan Tika?" Oh. Aku baru paham. Mas Riza pasti sudah menerima
Tak Semudah ItuHari ini Mas Hamdan dan keluarganya berpamitan pulang. Aku mengantar kepergian mereka dengan isakan air mata yang kutahan. Aku tak boleh kelihatan lemah di depan kedua anakku. Mas Hamdan membisikkan kalimat saat aku memeluknya. Ditepuknya bahuku perlahan, aku yakin sekali dia pun berat meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. "Jaga diri baik-baik, Vita. Kamu harus kuat, demi anak-anakmu. Jika kamu tak sanggup memaafkan, maka melepaskan diri akan lebih baik. Dari pada kalian memaksa hidup bersama namun setiap saat dihantui bayang-bayang kesalahan Riza. Anak-anakmu butuh ibu yang sehat," ucapnya sambil mengusap punggungku. Aku mengangguk, meresapi apa yang Mas Hamdan katakan. Betul sekali, Lala dan Risa butuh ibu yang sehat. Bukan ibu yang terus menerus tertekan dengan keadaan di depan mata ini. Setelah mendengar pertengkaranku melalui sambungan telepon tadi malam, Mas Hamdan nampaknya menyadari betapa Mas Riza memang tak layak untuk kuperjuangkan. Aku pun lelah berju
Sayangnya hal yang begitu kontras terjadi denganku. Dulu aku tak sempat mencari informasi mengenai Mas Riza dan keluarganya sebelum menikah. Aku hanya terkesima dengan sikapnya yang lembut serta bertanggung jawab. Setidaknya hingga beberapa minggu yang lalu aku masih menganggap laki-laki itu jauh dari kata cacat. Tapi sekarang? Sudahlah. Memang mungkin seperti ini jalan yang harus kulalui. Aku sadar, semua yang terjadi memang kehendak yang di atas. Lala dan Risa sangat antusias saat kuberi tahu akan mengajak mereka mencari mesin cuci dan televisi layar datar yang sudah kuincar dari beberapa minggu yang lalu. Jika lebih lagi, aku ingin mengganti sofa di ruang tamu agar lebih segar dan nyaman kupakai. "Nunggu dijemput ayah, Bun?" tanya Lala dengan mata berbinar. Aku menundukkan badanku agar sejajar dengannya. Baiklah. Sepertinya mulai saat ini aku harus mulai sounding agar dia tak kaget nantinya.Suatu saat Lala pasti mengerti dengan keadaan yang membelit kedua orangtuanya. "Lala a
Aku tersenyum meski kupaksa sekali. Hatiku sedikit teriris mendengar kenyataan yang diucapkannya. Luar biasa sekali, bahkan kedua anakku panasan naik motor, Rahma yang masih bukan siapa-siapa justru nyaman di dalam mobil yang belinya pun saat sudah menikah denganku. Aku mendekat, dan berbisik di telinga ibu mertua. "Silahkan bersenang-senang, Bu. Sebelum Mas Riza kujebloskan ke penjara. Persiapkan juga diri Ibu yang sudah memberi saran Mas Riza agar lari dari tanggung jawab. Kasih tahu Rahma, tunggu Mas Riza kurang lebih lima tahun lagi. Belum terlanjur hamil 'kan dia?" Mata ibu mertuaku melotot marah. Aku tersenyum. Reaksi ibu mertua membuat Tika mendorongku pelan. Aku masih harus jaga sikap di depan anak-anak, jangan sampai mereka melihat adegan kekerasan. Bagaimanapun psikologis anak harus kujaga betul. "Kamu jangan ngomong sembarangan. Rahma itu gadis baik-baik!" teriak ibu mertua lantang. "Yakin dia masih gadis?" Aku meliriknga sekilas. Wajah yang sebenarnya cukup manis itu t
Kejutan Barang-barang dari toko datang keesokan harinya. Uang dari Mas Hamdan tak kugunakan sama sekali. Aku memilih menggunakan ATM Mas Riza untuk membeli barang yang kubutuhkan. Aku masih punya perasaan, tak kuhabiskan seluruh uang yang ada dalam kartu berwarna gold itu. Televisi LED 50 inch, mesin cuci satu tabung yang sudah lama kuincar dan sofa untuk ruang tamu yang sesuai dengan konsep rumahku yang minimalis. Beberapa lampu gantung untuk pelengkap dapur dan ruang makan juga kubeli. Kali ini mainan skuter untuk Lala juga kubelikan. Setelah di rumah neneknya tak pernah memperoleh izin, kini setelah sudah di rumah sendiri tentu aku bebas membelikan mainan yang anakku inginkan. Total belanjaanku menyentuh angka dua puluh lima juta. Masih menyisakan banyak di ATM milik Mas Riza. Aku masih punya hati tak melahap habis uang suamiku itu. Hanya saja aku tak akan mengembalikan ATM ini, biarlah kalau dia punya muka akan meminta kartu miliknya ini. Aku sudah meminta kurir mengirim baran
"Jangan banyak alasan. Aku hanya ingin menyelamatkan harta Riza. Bukankah kalian sebentar lagi akan bercerai?" tanyanya dengan raut wajah licik. Hatiku terasa dialiri listrik mendengar penuturannya. "Bercerai? Kata siapa, Bu? Kok malah aku baru tahu?" tanyaku menelisik wajahnya yang kini terlihat gusar. Bahkan dia tersentak kaget mendengar penuturanku. "Apa? Kau tak akan meminta cerai dari Riza? Setelah tahu… setelah tahu bahwa Riza yang telah menabrak orang tuamu hingga meninggal?" tanyanya dengan wajah panik. Betul dugaanku, dia hanya menebak bahwa aku akan meminta cerai setelah mendapati hal itu. Memang benar, rencanaku ke arah itu. Tetapi kali ini aku ingin bermain-main dengan ibu mertuaku. "Bu… manusia itu tempatnya salah dan dosa. Tuhan saja Maha Pemaaf, kenapa manusia tak bisa memberi maaf? Apalagi Mas Riza selama ini tak pernah berbuat salah. Dia sangat menyayangiku, memberi nafkah lebih dari cukup, tak pernah berselingkuh, jadi… apakah ada alasan yang membuatku meminta cer
Janji RizaAku menatap laki-laki di depanku yang tengah bermain dengan anak-anakku. Lala dan Risa mengobati rasa rindu mereka, begitu pula Mas Riza pada anak-anaknya. Sedikit terenyuh saat Lala mempertanyakan kemana perginya ayah mereka selama kurang lebih dua minggu ini. Dengan tergagap, Mas Riza memberi alasan sama yang kukemukakan pada anak-anak saat mereka mempertanyakannya. Tubuh Risa panas. Berkali-kali anak bungsuku itu memanggil nama sang ayah dalam tidurnya. Aku menyesal, karena keegoisanku anakku harus tersakiti seperti ini. Dengan terpaksa kuhubungi Mas Riza. Memberitahukan bahwa anak kami itu sakit. Aku sadar tak boleh membatasi anak-anak untuk bertemu dengan ayahnya. Mereka belum paham kesalahan seperti apa yang membuat bunda mereka tak kunjung memberi maaf pada ayah mereka. Anak seusia mereka hanya tahu kesalahan terbesar seorang ayah adalah lupa membelikan lolipop atau es krim yang mereka pesan. Atau salah membeli seri mainan lego sesuai pesanan mereka. "Sampai sekar
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a