Share

BAB 43

Author: Yuli Zaynomi
last update Last Updated: 2022-10-03 11:29:56

"Katakanlah, Mas. Jangan membuat teka-teki yang membuatku makin pusing tak karuan!" ucapku cukup keras. Aku mulai kehilangan kesabaran menghadapi Mas Riza.

"Enam tahun yang lalu, aku dan Rahma sudah hampir menikah… ." Ucapan Mas Riza membuat mataku membelalak lebar. Jadi memang benar hubungan mereka sedekat itu di masa lalu? Apakah kehadiranku adalah sebagai perusak hubungan mereka?

"Kami sudah bertunangan. Bahkan sudah menentukan hari H pernikahan," jelas Mas Riza yang makin membuatku remuk. Mataku memanas. Tak dapat kubendung air mataku yang satu per satu akhirnya menderas. "Tetapi aku tak benar-benar mencintainya."

"Hingga… ." Mas Riza menjeda kalimatnya. Dia kembali menyugar rambutnya. Terlihat sekali ada beban besar yang tengah dia rasakan. Mata suamiku memerah menahan tangis.

"Mas? Teruskan. Insyaallah aku siap," ucapku dengan tangis tertahan. Sudah kuketahui sebagian rahasia masa lalu suamiku. Aku ingin segera menuntaskan apapun rahasia yang dipendam suamiku.

"Bun. Kumohon.
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mesin Cuci   BAB 44

    Pengusiran Mas RizaBeberapa hari aku bersikap seperti orang gila. Aku hidup tetapi rasaku telah mati. Bagai raga tak bernyawa. Kuhabiskan waktuku cukup lama untuk berdiam diri di depan cermin. Sesekali menatap wajahku yang nampak layu. Entah kapan terakhir aku memoles bibirku hingga nampak pucat seperti pesakitan. Mas Riza bukan diam saja melihat kondisiku. Bahkan dia sengaja meliburkan diri dari aktivitasnya di toko. Mungkin dia takut aku melalukan kebodohan. Hal yang tentu tak akan mungkin kulakukan. Aku masih mampu berpikir normal. Meski sesekali bisikan tak wajar bertebaran di kepalaku. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap pada Mas Riza saat ini. Bayang-bayang orang tuaku meninggal dengan tragis beberapa tahun lalu membuatku tak bisa bersikap normal lagi padanya. Bahkan saat kedua anakku yang sangat dekat dengan Mas Riza tengah bergelayut manja di kaki ayahnya, aku ingin sekali menarik mereka. Aku tak rela melihat mereka berdekatan dengan sosok pembunuh kakek dan nenek mereka.

    Last Updated : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 45

    "Pergi, Mas. Anak-anak akan kulatih hidup tanpamu. Lama kelamaan mereka akan terbiasa. Itu lebih baik, daripada mereka harus hidup dengan ayah seorang pembunuh dan pembohong ulung! Aku juga ingin segera lepas dari keluarga dajal seperti kalian semua!" Aku berdiri dan berjalan menjauhinya. Udara di kamar terasa panas menyesakkan. Aku butuh oksigen untuk bernapas lega demi meredam dadaku yang berdenyut nyeri. Rasa sakit menguasai seluruh perasaanku. "Kuharap kamu paham dengan posisiku. Tak perlu kasihan, aku bisa berdiri sendiri tanpamu. Aku punya anak-anak yang pasti bisa menguatkanku. Bahkan kami bertiga sudah jadi tim solid saat gempuran ibu dan adik kesayanganmu yang terlampau sering mengacaukan hidup kami. Memang Tuhan adil, membukakan rahasia itu sekarang. Aku sudah muak berbuat baik demi menyenangkan ibumu. Nyatanya sebaik apapun sikapku padanya, aku tak akan pernah bisa menggantikan posisi Rahma di hati ibumu. Wanita itu tak akan menganggapku ada. Wanita itu selalu menganggap

    Last Updated : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 46

    Permintaan Maaf "Aku akan pulang ke rumah ibu. Kubiarkan kamu berpikir jernih. Kumohon. Maafkan aku, tak ada niat untukku menyimpan kenyataan selama ini. Hanya saja aku benar-benar takut kehilanganmu dan anak-anak," ucap Mas Riza pilu. Tika melotot melihat reaksi Mas Riza. Dia merangsek hingga menabrak tubuhku. Dia meraih lengan kakaknya. " Hentikan merendahkan harga diri demi wanita sombong ini ! Jangan membuat ibu malu! Ingat, Masih ada Mbak Rahma yang setia menunggu kamu, Mas!"Aku sungguh terhina dengan kalimat yang Tika ucapkan. Sebagai seorang kakak ipar, bukan tidak pernah aku berusaha agar menjadi sosok yang menyenangkan untuknya. Beberapa kali aku mengalah, berusaha agar tak terjadi keributan di tengah keluarga Mas Riza, tetapi memang sepertinya Tika tak akan pernah menganggapku dengan baik. Kini aku tahu apa alasannya. Ada wanita lain yang sudah diimpikannya menjadi seorang kakak ipar. Benar-benar tak habis pikir aku berada di tengah-tengah keluarga macam ini. Aku langsun

    Last Updated : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 47

    Kutidurkan Risa di atas kasur. Lala berkali-kali melihat ke arah jendela depan rumah, memastikan ayahnya pulang. Aku sedih melihatnya demikian. Entah bagaimana caranya aku akan menjelaskan hal ini pada anak-anak, terutama Lala. Dia sudah paham ritme kerja ayahnya. Dia tahu kapan waktu ayahnya berangkat dan kapan pulang. Jam-jam seperti ini harusnya Mas Riza sudah di rumah. Tentu saja ketiadaan Mas Riza menjadi pertanyaan besar untuk sulungku. Hal yang begitu kutakutkan terjadi. Lala mulai kelihatan resah saat matanya tak mampu menangkap kehadiran ayah yang sangat ditunggunya. Hatiku gerimis, mataku tak mampu menahan air mata yang tiba-tiba lolos tanpa kendali. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke samping. Aku tersentak saat Lala setengah berlari ke arah ruang tamu. Sepertinya suara mobil Mas Riza yang membuatnya melakukan hal demikian. Kutinggalkan Risa yang sudah terlelap tidur dan menyusul Lala. Aku tak ingin ayahnya mengambil kesempatan untuk masuk. Benar, Lala sudah berhambur

    Last Updated : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 48

    POV RizaSebuah Kejahatan Aku menangis tergugu di kamarku. Ketakutan luar biasa menghantuiku. Badanku gemetar, dengan keringat yang hampir membuat sekujur tubuhku basah olehnya. Pikiranku tertuju pada sepasang laki-laki dan perempuan lanjut usia yang mungkin saat ini mereka telah meninggal akibat kehabisan darah. Aku merutuki sifat cerobohku yang melajukan motor dengan sangat kencang di tikungan yang kulalui tadi. Hingga tak kusangka, dari arah berlawanan seorang laki-laki yang mungkin memboncengkan istrinya tertabrak oleh motorku yang terlalu menikung dan makan jalan. Entah setan mana yang merasukiku, bahkan saat mereka tergeletak di jalanan yang sepi itu kutinggalkan begitu saja. Tak ada belas kasihan sama sekali. Rasa takutku teramat besar. Bayang-bayang hidup di penjara membuatku berbuat sekeji itu. Hingga sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Ibu yang melihatku masuk dengan kondisi kacau segera menghampiriku. Dia menanyakan apa yang membuatku sekacau itu. Tadinya aku han

    Last Updated : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 49

    Hingga akhirnya aku di hari ke sepuluh setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku di bank swasta nasional. Aku benar-benar terpuruk tak bisa berpikir jernih. Berkali-kali aku ditegur, hingga lama-kelamaan tak nyaman.Di tempat kerja aku sering melamun, tak fokus dengan pekerjaan. Setiap ada telepon yang masuk, aku sangat ketakutan jika polisilah yang menghubungiku. Aku tak dapat melupakan masalah itu begitu saja. Hingga resign adalah keputusan paling tepat yang bisa kulakukan. Aku memutuskan untuk keluar rumah, sekedar berjalan-jalan mendinginkan kepalaku yang sudah panas tak karuan. Selain itu, aku ingin tahu siapa korban yang kutabrak kemarin. Rasa penasaranku yang tinggi membuatku berani menelusuri asal usul dua orang tersebut. Aku singgah di warung kopi yang terletak kurang lebih satu kilometer dari tempat kejadian perkara. Kupakai motor yang tak kupakai saat terjadi kecelakaan tersebut. Aku takut tiba-tiba seseorang mengenali motor tersebut h

    Last Updated : 2022-10-04
  • Mesin Cuci   BAB 50

    Berawal dari Buku"Mudah-mudahan segera ketemu jodohnya. Ketemu sama orang yang bisa melindungi dia dengan baik. Bisa membantunya menghilangkan rasa sakit akibat kejadian ini," ucap ibu pemilik warung lagi. Kini dia duduk menghadap jalanan di depannya. Matanya menerawang, seolah menyayangkan peristiwa memilukan itu terjadi. Aku mencerna sebaris kalimat yang dikeluarkannya. Tiba-tiba aku berpikiran satu hal tentang gadis bernama Vita itu.Aku ingin menjadi penawar dari luka yang kutorehkan untuknya. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa melindunginya, karena rasa bersalahku entah bisa hilang atau tidak. Sejak itu aku berusaha mencari tahu informasi gadis itu. Dari mulai kesehariannya, hingga dimana lokasi dia bekerja. Entah kebetulan atau apa, Vita mengajar di sekolah tidak jauh dari rumahku. Aku sengaja duduk berlama-lama di teras rumah saat jam dia berangkat dan pulang kerja. Ingin sekali aku mengenal gadis itu lebih dekat. Aku mengamati gadis yang kehidupannya sudah kuhancurkan.

    Last Updated : 2022-10-05
  • Mesin Cuci   BAB 51

    Aku tersenyum senang ke arahnya. Bapak langsung keluar rumah mendengar kalimat ibu. Meskipun aku kasihan dengannya yang tak punya taring saat di depan ibu, namun kali ini aku merasa beruntung beri bukan wanita itu. Dia membelaku tanpa pamrih. Akhirnya di waktu yang ditetapkan aku bertemu dengan Vita. Dia memakai tunik warna mint dengan kerudung motif yang senada dengan pakaiannya. Terlihat anggun sekali. Aku tersenyum sumringah saat dia melambaikan tangan ke arahku. Ada getar aneh yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku. Tak seperti biasanya. "Sudah lama, Mas?" tanyanya dengan lembut. Tanpa canggung dia meletakkan tasnya di atas meja kafe yang hanya terisi sepaket dimsum kesukaanku dan french fries pesanannya via whatsapp tadi. Moca float juga tersaji di meja kami. "Baru saja datang," jawabku berbohong. Aku sudah datang dari satu jam yang lalu, memastikan agar Vita tak mendahuluiku sampai di sana. Aku tak ingin dia menungguku. Akulah yang harus menunggunya. "Bohong. Kulihat mot

    Last Updated : 2022-10-05

Latest chapter

  • Mesin Cuci   BAB 162

    Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p

  • Mesin Cuci   BAB 161

    Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray

  • Mesin Cuci   BAB 160

    Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang

  • Mesin Cuci   BAB 159

    "Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p

  • Mesin Cuci   BAB 158

    Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan

  • Mesin Cuci   BAB 157

    Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l

  • Mesin Cuci   BAB 156

    Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir

  • Mesin Cuci   BAB 155

    "Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa

  • Mesin Cuci   BAB 154

    Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a

DMCA.com Protection Status