Sebuah PerubahanMas Riza menepikan mobil yang kami naiki tepat di restoran yang terkenal dengan menu ayam bakarnya. Beberapa kali kami menyempatkan diri singgah saat melewati rute ini. Satu tahun terakhir terpaksa kami harus bolak-balik melewati jalanan ini karena pihak rumah sakit jiwa tempat ibu tiri Mas Riza dirawat berkali-kali menghubungi kami. Ya… Wanita itu harus kami rawat di rumah sakit jiwa karena keadaan mentalnya terganggu. Tepat satu tahun kami harus merawatnya di tempat itu karena kondisinya makin yang mengkhawatirkan. Tidak hanya melukai diri sendiri, dia juga selalu berusaha melukai orang-orang yang ada di dekatnya. Bahkan bapak mertuaku harus mendapat puluhan jahitan di punggungnya karena ibu menyabetkan senjata tajam saat dia tengah tertidur lelap. Beruntung dia langsung terjaga dan menghindar meski punggungnya berdarah-darah. Dia masih sanggup berlari keluar rumah sambil meminta pertolongan. Tak hanya itu, saat frustasi tak kunjung menemukan Tika, dia langsung
"Mbak. Gimana kabar ibu?" tanya Tika yang langsung memberondongku pertanyaan saat aku baru masuk ke dalam rumah. Sepertinya dia langsung kemari setelah kukabari bahwa aku dan Mas Riza menengok ibu siang tadi. Fatih, anak lelakinya yang kini sudah berusia sembilan bulan tengah asyik bermain bersama Lala dan Risa. "Masih belum ada perkembangan, Tik. Dia masih suka hilang kontrol hingga harus diberi obat penenang," jawabku jujur. Kulihat raut kesedihan tergambar dari wajahnya. "Mbak. Apa aku harus ke sana?" tanya Tika penuh keraguan. Aku tahu, bahkan untuk sekedar mengatakan hal itu pasti sangat berat untuknya. "Belum waktunya, Tik. Lebih baik kamu fokus dulu dengan Fatih." Tika menanggapi saranku dengan mengangguk. "Dimana ayahnya Fatih?" tanyaku pada Tika. "Tadi setelah mengantar kami kemari, dia langsung berangkat lagi ke tempat jualan," jawab Tika sambil membenahi jilbabnya. Kami semua tak menyangka bahwa Tika berubah sedrastis ini. Dari informasi yang diberikan Ustadzah Fatma
Kabar dari Rumah Sakit Mas Riza menggenggam tanganku masuk ke sebuah gedung megah tempat resepsi pernikahan Farida dan Dika digelar. Foto-foto praweding wereka menghiasi setiap sudut ruangan raksasa ini. Tepat di pintu masuk sebelah kanan, terdapat booth foto tempat tamu undangan mengabadikan peristiwa penting mereka berdua. Hiasan bunga mawar dan hydrangea warna kuning membuat booth tersebut makin terlihat elegan. Dari arah kejauhan, aku melihat Farida dan Dika yang sudah duduk di atas pelaminan. Aku terpukau melihat penampilan sahabatku itu. Gaun pengantin yang dia gunakan memiliki detail kerah dan payet berwarna putih disekujur tubuhnya. Farida sepertinya sengaja gaun yang digunakannya didesain tidak terlalu menonjolkan bentuk tubuh wanita itu. Untuk menyempurnakan penampilan, gaun pengantin muslimah itu dilengkapi dengan veil yang menjuntai panjang, sangat pas digunakan Farida yang ingin menikah dengan konsep elegan. Dia pernah bercerita mengenai keinginannya itu padaku. Dada
"Apa kabar?" tanya mantan suami Farida. Aku berusaha tersenyum meski apa yang terjadi dengan masa lalunya bersama Tika membuatku cukup kaku. Apalagi Mas Riza yang dulu hampir memukul lelaki itu. "Alhamdulillah, baik Mas. Mas sendiri bagaimana kabarnya?" Lelaki itu tertawa lirih. Aku melihat aura kesedihan terpancar dari wajahnya. Mas Riza yang berada di sebelahku terlihat cuek dan memilih tak terlibat dengan obrolan kami. "Beginilah, Vit. Kira-kira bagaimana perasaan seseorang yang dipaksa untuk mendatangi pernikahan mantan pasangannya?" ucapnya dengan nada ironi. Aku maklum melihat ekspresinya. Tetapi semua ini memang berawal dari kesalahan yang diperbuatnya sendiri. Jika bukan dia yang berselingkuh, tak mungkin Farida memilih bercerai yang akhirnya pada Dikalah dia melabuhkan cintanya. "Jadi, Mas Reno kemari bukan atas inisiatif sendiri?" tanyaku penasaran. Lelaki itu menggeleng perlahan. Dia menunjuk ke satu sisi barisan kursi. Disanalah aku melihat ibunya, tengah berkumpul den
Kondisi Ibu Mertua Mas Riza menatap nanar wanita di depannya. Dia menggenggam erat teralis yang digunakan sebagai pembatas ruangan yang ditempati ibu sendirian. Aku tahu apa yang dirasakan suamiku itu. Bagaimana jahatnya ibu tirinya, tetap saja belasan tahun waktu yang dihabiskan dengan wanita itu membuat kenangan di dalam ingatannya. "Maaf, Pak. Sepertinya memang sudah saatnya seseorang yang bernama Tika itu menemui Bu Sari. Dia terurs-menerus memanggil nama itu." Dokter Lidya membuka percakapan. Mas Riza menarik napas dalam-dalam tanpa menolak ke arah dokter yang mengenakan jilbab lebar menutupi setengah tubuhnya. "Sejauh ini belum ada perkembangan berarti, Bu Sari belum merespon apapun yang dikatakan padanya. Dengan kehadiran seseorang bernama Tika, siapa tahu mampu memperbaiki kondisi kejiwaannya. Paling tidak dia mulai mengingat siapa dirinya." Dokter Lidya mulai menjelaskan keadaan ibu akhir-akhir ini. Seringkali ibu berteriak seolah dirinya tengah berada dalam bahaya. Tidak
"Mbak, tadi Bapak kemari. Entah apa yang dikatakannya pada Ibu Safitri, hingga Ibu terlihat marah dan sampai sekarang berdiam diri di kamarnya." Tika menyambut kedatanganku dengan laporan mengenai tingkah ayah mertua. Aku menghela napas sejenak, memang akhir-akhir ini aku melihat lelaki itu tampak frustasi dengan apa yang menimpanya. Entah perasaanku saja atau memang begitu kenyataannya, Bapak selalu berusaha mencari perkara dengan kami. "Bapak lama di sini?" tanyaku pada Tika. Adik iparku yang mengenakan abaya warna hitam itu mengedikkan bahu sembari menarik tubuh anaknya agar mendekat. "Kurang tahu, Mbak. Tadi saya kemari mereka sedang bertengkar." Aku yang bahkan belum meminum segelas air pun setelah pulang dari rumah sakit membuat rasa lelahku bertumpuk. Persoalan keluarga Mas Riga membuat kepalaku berdenyut nyeri. Belum lagi kondisi Mas Riga yang seperti terguncang melihat ibu tirinya dalam keadaan yang menyedihkan. Kami sepakat memberi tahu keadaan ibunya pada Tika secepatny
Masalah BapakMas Riza menyugar rambutnya kasar. Aku tak bisa membayangkan bagaimana lelaki itu memikirkan persoalan runyam yang makin membelit keluarga kami. Apalagi persolan tersebut berhubungan dengan orang-orang terdekatnya. Hari ini aku dan Mas Riza sengaja mendatangi rumah Bapak yang kini tinggal seorang diri di rumahnya. Sebenarnya berkali-kali dia diajak tinggal di rumah Tika, namun dia menolak. Tika pun menolak tinggal di rumah Bapak dengan alasan dia merasa tertekan setiap kali melihat rumah setiap sudut rumah itu. Tinggal bersamaku dan Mas Riza? Tentu saja hal yang mustahil, terutama karena keberadaan Ibu di rumah kami. "Pak, sepertinya untuk sementara waktu Bapak tinggal bersama Tika dulu. Kami khawatir jika Bapak tinggal sendirian di rumah ini. Tika dan Tio tak keberatan, bahkan mereka memintaku untuk membujuk Bapak tinggal bersama mereka." Mas Riza langsung menyampaikan persoalan yang memang ingin kami bahas, tentu selain larangan untuk mendatangi rumah kami untuk se
Mas Riza mengurai kalimatnya panjang lebar. Tetapi lelaki setengah baya di depanku tetap bergeming, tak mengubah ekspresi wajahnya sedikit pun. Datar, bahkan tak terlihat tersinggung dengan penuturan Mas Riza. "Seharusnya Bapak fokus dengan pengobatan Ibu. Keadaannya memburuk, dia lebih sering melukai dirinya sendiri. Satu atau dua minggu ke depan kami akan menengoknya, kuharap Bapak dan Tika juga ikut. Siapa tahu dengan kedatangan keluarga dekatnya bisa memberi dampak positif bagi kesehatannya." Mas Riza menatap tajam ke arah ayah kandungnya. "Berhenti menambah pikiran kami, Pak. Sudah cukup persoalan Ibu yang sampai sekarang masih membutuhkan perhatian kita dan sedang kita usahakan kesembuhannya. Buang buang jauh-jauh keinginan Bapak untuk kembali rujuk, karena itu sungguh memalukan, dan kami—anak-anakmu—tak akan setuju!" Mas Riza bangkit, diikuti aku yang dari awal kedatangan kami tak sekecap pun kata keluar dari mulutku. Kuikuti langkah Mas Riza yang langsung berjalan ke luar r
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a