Tingkah Mengerikan Wanita Itu"A-pa? Ja-ya? Apakah yang Ibu maksud Pak Jaya… ayahnya Rahma?" Pertanyaan Mas Riza membuatku terperanjat. Benarkah apa yang diucapkannya? Karena saat ayahnya Rahma menemuiku, dia sempat mengatakan tentang keburukan wanita yang selama ini kupanggil mertua. "Benarkah dia masih hidup? Jaya itu memiliki tai lalat cukup besar di atas alisnya sebelah kiri. Selain itu, pipinya juga terdapat luka codet akibat terkena gancu saat dia bekerja," terang ibu yang sontak membuat kaki ini lemas. Ciri-ciri itu benar dimiliki oleh ayahnya Rahma. "Apakah dia punya ciri-ciri serupa?" tanya ibu pada kami. Aku dan Mas Riza berpandangan dan kemudian mengangguk bersamaan." Dia tinggal di sekitar sini?" tanya ibu lagi. Dan entah karena syok atau memang tak punya cara lain, kami berdua hanya mengangguk memberi jawaban pada wanita itu. "Luar biasa… bisa sekali Sari dan Jaya hidup berdampingan seperti ini. Apakah bapakmu tak curiga?" "Bapak tak bisa berbuat banyak. Seolah wanit
Ibunya Sari syok hingga tak fokus lagi menjalankan usahanya. Sari yang merupakan anak satu-satunya harus mengambil alih peran sebagai pencari nafkah tunggal. Beruntung nya, saat itu Jaya mendukung perjuangan Sari yang amat dicintainya itu. Ibu berkali-kali mendengar Jaya bercerita mengenai hubungannya dengan Sari. Kebetulan saat itu Ibu sering bermain ke toko milik mertua, sehingga mendengar Jaya sedang menceritakan hal tersebut pada sesama pekerja di sana. Bahkan Jaya sudah berniat akan menikahi gadis impiannya itu. Ibu bersyukur dan turut berbahagia, mengingat Sari teman baikku akan dipersunting laki-laki bertanggung jawab seperti Jaya. Apalagi hubungan mereka terbilang cukup lama. Dengan usul dari Ibu juga, Sari akhirnya dipekerjakan di toko milik kakek nenekmu. Tentu saja pikiranku karena sebentar lagi mereka berdua menikah, bukankah lebih baik mereka bekerja di satu tempat seperti itu? Jaya dan Sari tak perlu terpisah karena saat itu sarana transportasi tak semudah saat ini.
Segalanya Sudah Berubah Pov Ibu Kandung Riza"Apa? Ha-mil?" ucap Jaya di balik tembok pembatas toko milik mertuaku. Aku yang tengah mengambil daun pandan untuk membuat bubur kacang hijau mendadak menghentikan aktivitasku. Suara Jaya yang panik beradu dengan tangisan Sari yang terdengar lirih tertahan. "Ba-iklah. Saya akan bertanggungjawab. Katakan pada ibumu, pulang dari toko nanti aku mampir ke rumah," ucap lirih Jaya pada kekasihnya. Kakiku mendadak lemas mendengar penuturan mereka. Tak kusangka, Jaya yang baik perangainya itu merenggut kehormatan temanku, Sari. Seharusnya mereka bisa lebih meredam nafsunya, atau bahkan lebih baik menikah demi terhindar dari bisikan setan seperti ini. "Tapi aku takut, Mas. Ibuku tidak menyetujui pernikahan kita. Kau sendiri tahu, keadaan ekonomi kami sedang tidak baik.""Apa maksudmu? Apakah dia takut aku tak bisa menafkahimu? Bahkan uang hasil kerja di toko ini kutabung demi masa depan kita," ucap Jaya lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih ker
"Ya sudah nanti Mas mampir ke rumah Sari saja, bukankah melewati rumahnya?" tawarku yang langsung diiiyakan oleh suamiku. Sari yang tak dapat menolak hanya berucap terima kasih dengan lirih. Aku tahu, kondisi mentalnya sedang tidak baik-baik saja. Hamil di luar nikah adalah aib yang tak bisa dianggap enteng. Akan ada sanksi sosial yang harus ditanggungnya apabila kabar itu menyebar. Tadinya aku berharap dia akan jujur mengenai hal itu. Nyatanya dia tetap diam sambil duduk menunggu Jaya menyelesaikan memindahkan karung berisi kedelai ke gudang belakang. Laki-laki pekerja keras itu nampak bermandi peluh saat melakukan tugasnya. "Kamu beruntung, Safitri. Kehidupanmu sekarang sudah sangat baik. Mertua yang baik, anak sehat dan suami pengertian. Harta yang kalian miliki pun sangat melesat jauh. Beda dengan kehidupanku… ." Suara Sari terlihat putus asa. Wajahnya pun menampakkan rasa yang serupa. Matanya menatap jalanan depan toko yang mulai lengang. Entah disadari atau tidak, tangan kan
MenyesalAku merebahkan Riza yang tertidur dalam gendongan sewaktu dalam perjalanan pulang tadi. Mas Edi—suamiku, pamit keluar sesaat setelah mengantar kami ke rumah. Baru saja ingin kucegah, laki-laki itu sudah siap di atas motornya dan langsung melesat pergi. Aku bergumam lirih, merasakan hawa ganjil yang akhir-akhir ini sering kurasakan. Meskipun aku berusaha menghilangkan rasa curigaku, tetap saja bayang-bayang kejadian itu mengusik pikiranku. Beberapa saat lalu aku melihat dua orang itu saling pandang di antara rak-rak toko milik mertuaku. Siapa? Mas Edi dan Sari. Apakah aku salah melihat? Kuyakin tidak. Bahkan sempat kubaca tatapan cemburu dari Jaya yang memang berada tak jauh dari mereka. Rasa khawatir menyeruak, mengingat Sari yang saat ini tengah berbadan dua. Aku takut… ah tidak! Aku tak boleh berpikir yang tidak-tidak. Mas Edi sangat mencintai keluarga kecil kami. Aku boleh meragukan kesetiaannya. Kutata piring di atas meja makan untuk makan malam kami. Sayur sop, temb
Jam tiga pagi, aku terjaga dan kulangkahkan kaki ke arah kamar mandi. Seperti biasanya, aku menunaikan ibadah sholat malam yang rutin kukerjakan. Mas Edi yang masih terlelap kubangunkan perlahan. Meskipun terjadi ketegangan tadi malam dengannya, aku tak mungkin membiarkannya melewatkan ibadah rutin kami tersebut. Kugoyangkan tubuhnya perlahan. Sentuhanku di pipinya hanya menimbulkan reaksi kecil dari tubuh suamiku. Kutarik napas perlahan, hingga kuputuskan untuk meninggalkannya tetap dalam keadaan tertidur pulas. Kubentangkan sajadah warna merah bata yang merupakan mas kawin Mas Edi saat menikahiku dulu. Ada sesuatu yang bergetar dalam jiwaku saat aku bersujud hingga tak terasa air mataku meleleh dengan deras di pipiku. Kupanjatkan doa-doa untuk kebaikanku, anakku dan suamiku. Tuhan maha membolak-balikan hati manusia, maka janganlah Dia membiarkan suamiku tersesat dalam kekeliruannya. Aku mengusap air mata yang menderas saat untaian kalimat doa kupanjatkan pada Sang Pencipta. Sung
POV Ibu Kandung RizaMemalukan Mas Kusdi, salah seorang pegawai di toko milik mertuaku berlari masuk ke toko dengan wajah pucat. Aku yang tengah menyuapi Riza seketika menghentikan aktivitasku. Beberapa orang mendekatinya dan menanyakan apa yang telah terjadi hingga membuatnya seperti ini. "Ma-af, Pak. Barusan… sa-ya… saya… lihat… ." Laki-laki itu seumuran suamiku itu tak melanjutkan kalimatnya. Kami yang ada di sana dilanda rasa penasaran yang sangat. "Maaf… sebaiknya Mbak Safitri, Jaya dan Bapak ke rumah Sari, sekarang… ." Lututku mendadak lemas. Apa yang terjadi hingga kami bertiga harus ke sana saat ini? Aku celingukan mencari suamiku, tetapi mendadak teringat dia pamit ke kota untuk menukar barang yang salah kirim ke gudang Pak Udin, supplier toko milik mertuaku. "Mas Edi… ." ucapku lirih. Kulihat mata Jaya memerah, aku semakin kalut melihat reaksinya. "Maaf, Mbak sebaiknya kesana sekarang." Mas Kusdi menatapku dengan wajah sendu. Kutuntun Riza yang menatapku dengan wajah
"Mas?! Jawab! Jangan jadi banci seperti ini! Atau… mau kuminta warga untuk mengarak kalian berdua?" Ancamanku membuat mereka berdua terbelalak. Kudekati Sari, dan kutarik rambutnya ke belakang. Dia mengerang kesakitan, namun rasa sakit yang mereka timbulkan menahanku untuk tetap melakukan hal kasar itu padanya. "Apakah kau sudah gila, wanita jal*ng? Kau tau… Dia suamiku. Suami temanmu? Otakmu dimana saat melakukan hal ini, hah?"Di luar dugaan, Sari justru menatapku dengan penuh ledekan meskipun wajahnya terangkat ke atas karena rambutnya yang kutarik kuat. "Apakah harus kuingatkan kecurangan apa yang kau lakukan dengan Jaya berkali-kali? Aku melihat kalian bermain curang di belakang kami. Bahkan aku pernah melihatnya masuk ke rumahmu saat Mas Edi tengah ke kota memenuhi pesanan! Tak usah berlagak bodoh. Aku tahu kebusukanmu, Safitri. Bahkan aku yakin hubunganmu dengan Mas Jaya sudah berlangsung lama dari awal pernikahanmu dengan Mas Edi!" Kuludahi wajahnya yang nampak tak punya ra
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a