GeramTika mengerjapkan mata dengan perlahan. Selang pernapasan yang terpasang di hidungnya ditarik dengan kasar. Aku, Mas Riza, bapak dan ibu yang berada di ruangan serba putih tersebut terlonjak kaget. Dengan gerakan cepat aku mendekati pembaringan gadis itu. "Apa-apaan, Tik! Kamu nggak sadar tindakan kamu ini bahaya?" ucapku agak keras padanya. Mungkin karena aku refleks hingga tak sadar mengucapkan nada keras pada gadis itu. "Kamu yang apa-apaan! Bisa-bisanya membentak anakku seperti ini? Kamu pikir kamu siapa? Matamu buta melihat bagaimana keadaan anakku?" ujar ibu dengan mata mendelik ke arahku. Mas Riza menggenggam tanganku kode agar aku tak melanjutkan ketegangan tersebut. Sementara bapak yang memanggil suster yang jaga masuk kembali ke dalam ruangan disertai wanita muda dengan pakaian serba putih. "Ini Tika, ya?" tanya wanita itu sesaat setelah memasang kembali selang infus milik Tika. Kami yang semula menunduk segera menatap suster muda tersebut. Setelah melepas maskern
"Siapa, Tik? Mas lelah! Kasihan Lala dan Risa yang kami tinggal lama!" Nyatanya Mas Riza tidak mendengarkan saranku. Dia tetap bersikeras menuntut jawaban dari adiknya. Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya disambut linangan air mata Tika. Terlihat sekali dia makin kacau dan menyedihkan seperti ini. "Namanya Tio, Mas." "Apa? Tio kemari lagi? Mau apa dia kemari? Apa dia sudah bosan hidup? Dasar laki-laki tak tahu diri! Berani-beraninya dia menampakkan wajah di depan Tika lagi. Akan kubuat perhitungan dengan anak itu!" Kalimat yang ibu lontarkan membuat kami makin dilanda penasaran. Sayangnya Tika hanya menunduk dengan tangisna tergugu yang membuat punggungnya berguncang. "Siapa Tio itu, Bu? Sepertinya Ibu mengenalnya? Apakah ada hubungan antara Tio dengan kehamilan Tika?" tanya Mas Riza. Aku menatap ibu dan Tika bergantian. Sepertinya mereka kompak menutup mulut. Sedangkan bapak, dia tak banyak mengambil peran dalam keributan ini. "Tik? Jawab! Mulutmu masih bisa kau pakai bukan?!"
Anak Muda Bernama Tio"Tika! Jangan gila. Kau mau cucuku itu memiliki ayah seorang tukang parkir? Mau ditaruh di mana muka kita, Tika? Mikir!" Kami yang ada di ruangan itu menatap ibu dengan wajah geram. Rasanya ingin sekali menyumpal mulut wanita itu hingga tak bisa bersuara buruk seperti ini. "Ibu tidak setuju! Kalau dia memang salah satu pelakunya, tanyakan pada Tio. Siapa saja yang sudah melakukan perbuatan itu padamu. Biar Ibu yang akan menentukan siapa yang layak kumintai pertanggung jawaban!" Aku dan Mas Riza menganga mendengar penuturan wanita itu. Benar-benar tak habis pikir, kemana akal sehatnya saat ini. Apakah sebentuk otak di kepalanya memang benar-benar sudah tak berfungsi lagi? Kudengar Tika menangis tergugu mendengar penuturan wanita yang dia sebut ibunya. Sementara bapak menatap penuh kebencian pada ibu. "Kenapa? Bukankah setiap manusia harus berpikiran rasional? Apakah harus anakku bersuamikan seorang juru parkir? Apakah kalian lupa, sebelum ini kekasih Tika ada
Saat sampai di rumah, Anak-anak tengah makan bersama ibu. Risa lahap sekali disuapi oleh neneknya. Setelah membersihkan diri, kami bergabung dengan anak-anak di depan televisi ruang santai. Setoples biskuit beraroma kopi menarik perhatianku. "Bagaimana keadaan anak itu, Vit?" tanya ibu padaku. "Sudah membaik, Bu. Allah masih melindunginya. Beruntung segera ditangani dokter. Tika dan bayinya masih bisa diselamatkan," jawabku. Ibu mengangguk-angguk mendengar jawabanku. "Jadi belum ada yang mau bertanggung jawab terhadap kehamilan Tika?""Sebenarnya tadi ada seorang laki-laki yang menemuinya di rumah sakit. Tetapi… ." Aku menoleh ke arah Mas Riza meminta persetujuannya untuk menceritakan hal tersebut pada ibu. Mas Riza memberi isyarat untuk melanjutkan kalimatku. Akhirnya aku menceritakan hal yang terjadi di rumah sakit tadi. Ibu nampak menghela napas sebelum menghembuskannya dengan menyentak. "Apakah wanita itu benar-benar sudah gila? Ibu heran dengannya. Apakah selama ini hidupny
Peduli"Mengapa kamu berbohong, Tio? Apa tujuanmu?" tanyaku lagi. Mas Riza memijit keningnya, aku yakin dia pun sepemikiran denganku. Dia pasti meragukan Tio sebagai pelaku kejahatan itu. Tapi apa tujuannya? Mengapa harus menikahi wanita yang bisa dibilang sudah dirusak oleh orang lain? "Tio. Jawablah. Apa tujuanmu ingin bertanggung jawab terhadap sesuatu yang tidak kamu lakukan?" Suara Mas Riza terdengar melunak. Ditatapnya anak muda berperawakan kekar di depan kami. "Maaf, Mas, Mbak. Meski terdengar tidak tahu diri… tapi aku ingin jujur. A-ku… Aku mencintai Tika." Seketika aku dan Mas Riza berpandangan. Tak ada keraguan dalam wajah oval dengan guratan keras di wajah lelaki itu. Dia benar-benar terlihat serius, wajahnya tak nampak keraguan sedikit pun. "Mas. Aku serius dengan ucapanku. Aku rela menunggu Tika sampai dia melahirkan dan sudah sah untuk kunikahi" ucapnya dengan sorot mata yakin. Sungguh, kudukku meremang melihat keyakinan anak muda yang kutaksir seumuran dengan T
Sungguh… aku tak menyangka ada anak muda dengan pemikiran sedewasa itu. Apakah keadaan yang menempanya hingga menjadi manusia setangguh dan sekuat itu? Mendengar sedikit kisahnya membuatku sangat yakin dia benar-benar serius dngan ucapannya. Hanya saja pertanyaan kami, bagaimana cara meyakinkah ibu yang sekeras batu karang? Apalagi Tio tak memiliki syarat utama untuk menjadi menantu idaman wanita itu. "Kami akan berusaha. Hanya saja tidak bisa menjanjikan padamu. Sedikit banyak kamu sudah tahu bagaimana watak ibu kami," ucap Mas Riza. Rasanya agak aneh saat dia menyebut wanita itu dengan kata 'ibu kami'. Tio menunduk. Aku bisa melihat kekecewaan dari wajahnya. "Kami akan berusaha. Tetapi sebelumnya, Terima kasih atas niatanmu. Mudah-mudahan usaha kita semua membuahkan hasil." Ucapan Mas Riza disambut sebentuk senyum tipis anak itu. Tak lama, dia berpamitan pada kami."Mas. Tolong pastikan Tika baik-baik saja. Saya takut dia akan berbuat nekat," ucap Tio saat berdiri hendak keluar
Rencana Gila Ibu"Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bisa di sini?" tanyaku pada Tika yang dengan wajah pucatnya tengah duduk di sofa tamu rumahku. Aku yang akan berangkat ke sekolah akhirnya menunda keberangkatanku. Tika nampak kepayahan meski dia sudah diizinkan dokter pulang dari rumah sakit sekitar seminggu yang lalu. "Mbak. Mas Riza ada?" Tika mengusap peluh yang membanjiri dahinya. "Mas Riza berangkat ke toko lebih awal. Ada kiriman minyak goreng ke toko, pegawainya tidak ada yang bisa dimintai tolong, jadi dia menanganinya sendiri." Aku berlalu dari hadapannya untuk mengambilkan air putih di dapur."Diminum, Tik." Tika meraih gelas di depannya dan meminumnya hingga tandas. Napasnya terangah-engah saat mengembalikan gelas ke tempatnya semula. "Mbak. Yang tadi nganter Lala ke sekolah itu… ibunya Mas Riza?" tanyanya kemudian. Aku mengingat hal tadi, memang ibu yang mengantar Lala ke sekolah karena beliau yang bersikeras. "iya, Tik.""Apakah orangnya… baik?" Pertanyaan Tika s
"Mbak. Cepat pulang. Ibu menyeret Tika agar cepat pulang. Tetapi Tika menolaknya! Aku takut Tika kenapa-kenapa." Mbak Marni meneleponku tak lama setelah aku selesai menutup kelasku. Dengan suara tersendat dia menjelaskan apa yang sedang terjadi di rumahku. "Mbak. Ponsel Mas Riza tak diangkat. Aku juga takut ibu kandung Mas Riza diapa-apakan. Dia tengah melindungi Tika yang mau diseret ibunya!" Desiran darahku mendadak melaju cepat. Pikiranku tak karuan, terlebih Mbak Marni mengatakan hal yang sebenarnya sudah lama kutakutkan. Aku takut dendam lama antara kedua mertuaku itu pecah di rumah. Apalagi di depan anak-anak. Kuraih tas dan segera berpamitan dengan kepala sekolah. Beruntung beliau langsung mengizinkanku untuk pulang terlebih dahulu. "Kau sudah hilang kewarasan? Lihat anakmu kesakitan. Dia tak mau pulang. Hentikan menyiksanya seperti itu! Dia darah dagingmu!" teriak Ibu Safitri saat aku sampai di rumah. Kulihat Tika bersembunyi di balik tubuh ibu kandung Mas Riza yang dibal
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a