BAB 1
“Mari kita makan, Pangeran ...,” canda Airin pada lelaki yang telah menikahinya hampir sepuluh tahun yang lalu. Hidangan makan malam yang ia racik sendiri untuk suaminya ini merupakan makanan kesukaan mereka berdua. Gurami asam manis.Bram Indrawan—sang suami—tersenyum melihat tingkah istrinya yang menggemaskan. Airin Sukma, kini berusia 31 tahun, sedangkan Bram sudah kepala enam. Perbedaan usia mereka tiga puluh tahun. Sepuluh tahun yang lalu Bram yang waktu itu merupakan seorang duda yang ditinggal istrinya meninggal karena penyakit leukemia, menikahi Airin yang seorang kembang desa.Pernikahan yang tak didasari cinta dari Airin karena niatnya menikah dengan Bram hanya untuk berterima kasih karena lelaki paruh baya itu telah menyelamatkan nyawa ayahnya yang mengalami kecelakaan kerja dan harus segera menjalani operasi bedah kepala. Sementara sang ayah hanya seorang tukang bangunan di proyek pembangunan gedung bertingkat milik Bram.Bram yang terkenal dermawan dan selalu peduli dengan semua pekerjanya, langsung menandatangani surat pernyataan untuk operasi ayah Airin juga membiayai semuanya tanpa syarat apa pun. Airin yang saat itu datang dari kampung bersama ibunya, menangis tersedu seraya mengucap kata terima kasih yang tak terhingga pada Bram. “Terima kasih, Sayangku.” Bram menjawab dengan senyum merekah dan dada berdebar-debar setiap kali memandang wajah cantik istrinya yang selalu merah merona.“Kamu itu hebat. Semua serba bisa. Masak makanan menjadi sangat enak, membuat kue, mengurus rumah, mengurus bisnis bisa, mengurus anak dan suami apalagi. Terima kasih, ya, Sayang,” ucap Bram seraya mengelus lengan istrinya penuh cinta.Airin tersenyum dan memandang laki-laki yang sangat dihormatinya. Ia sangat bersyukur mendapatkan suami begitu menyayanginya, dan mengerti dirinya yang terkadang bersifat kekanak-kanakan. Bram tak pernah melarang Airin untuk bertemu teman atau arisan di luar rumah, asal Airin begitu dimanjakan.Bagi Bram, melihat Airin selalu tersenyum ceria saja ia sudah bahagia. Bram menyadari kalau dirinya tak lagi muda dan sangat jauh perbedaan usia dengan istrinya itu yang membuat Bram berjanji akan selalu mengerti apa mau Airin.“Tambah lagi ikannya, ya,” tawar Airin pada suaminya.“Sudah, Sayang. Sudah cukup,” tolak Bram karena merasa sudah cukup banyak makanan yang masuk ke perutnya.Selesai makan malam, mereka duduk santai di balkon atas seraya menikmati sinar bulan yang malam ini menampakkan seluruh isinya, bulat sempurna.Airin duduk di ayunan rotan yang sengaja ia pasang untuk bersantai dan Bram duduk di kursi rotan seraya menikmati teh panas buatan tangan cekatan istrinya.“Dua bulan lagi ulang tahun pernikahan kita yang kesepuluh, Airin. Mau minta apa sebagai kado?” Bram bertanya pada Airin yang dijawab Airin dengan kerlingan dan senyum menggemaskan.“Jangan seperti itu, aku tak tahan.” Bram mendekati Airin.“Tak tahan kenapa?” Airin semakin menggoda suaminya.“Tak tahan untuk tak ....” Bram tak melanjutkan ucapannya, tetapi ia malah menggendong tubuh mungil Airin dan membopongnya menuju tempat tidur.Direbahkannya tubuh mungil Airin yang selama ini memberikan kepuasan untuk Bram. Tatapan keduanya saling bertemu dan menghadirkan pijar-pijar panas untuk keduanya. Bram semakin mendekatkan wajahnya pada Airin yang sudah siap menerima serangan apa pun yang akan dilakukan lelaki itu padanya. Napas Bram semakin memburu dan tak lama terdengar rintihan dan desahan khas dari suatu ajang pertempuran yang menghasilkan kenikmatan tiada tara.***“Terima kasih, Sayangku,” bisik lembut Bram di telinga Airin pagi harinya, seraya memeluk dari belakang. Airin yang tengah mengaduk susu untuk Kenzo—putra semata wayangnya—refleks menghentikan aktivitasnya.“Terima kasih untuk apa, Yank?” tanyanya sedikit heran.“Terima kasih untuk suguhan setelah makan malam kita tadi malam.” Bram menjawab seraya terkekeh dan menarik kursi kemudian mendudukinya.Airin tertawa mendengar gurauan suaminya, “Itu bukan suguhan, tapi penyerangan.” Lalu tertawalah mereka berdua di pagi itu. Sungguh indah rumah tangga yang mereka jalani meski sering kali orang memandang salah terhadap Airin.Tak sedikit orang yang memandang Airin sebagai perempuan matre karena bersuami Bram yang sebaya dengan ayahnya, bahkan tak jarang saat jalan berdua, orang mengira Airin adalah anak pertama Bram, karena perawakan Airin yang mungil dengan wajah baby face.“Biar aku yang antar Kenzo sekolah, ya.” Bram mengutarakan niatnya seraya meneguk teh pahit kesukaannya.“Mau keluar?” Airin bertanya pada suaminya.“Sudah.”“Sudah? Kapan? Baru juga keluar kamar.”“Tadi malam ‘kan? Kamu yang buat,” jawab Bram yang langsung mendapat cubitan dari Airin. Sementara lelaki itu meringis sebelum akhirnya tertawa hingga hampir tersedak.“Nakal, sih, masih pagi juga!” Airin berkata seraya menepuk-nepuk pelan tengkuk suaminya.“Papi, kenapa?” Kenzo yang baru saja datang hendak sarapan heran melihat papinya terbatuk-batuk.“Nggak papa, Sayang, papimu cuma tersedak.” Airin mencoba menjelaskan.“Makanya, Pi, kalo minum itu pelan-pelan. Kata ibu guru Kenzo di sekolah, kalo minum itu harus tiga teguk berhenti dulu, terus minum lagi tiga teguk. Begitu, Pi,”“Iya, Sayang. Tadi Papi tersedak juga karena Mami kamu, tuh.”“Lho, kok, Mami?” Airin tak terima, sementara Bram malah terkekeh melihat Airin yang sedikit sewot.“Iya, Mami.” Bram mempertegas lagi yang membuat Airin melotot.“Sarapan dulu, Sayang,” Airin menyodorkan segelas susu dan sepotong sandwich kesukaan Kenzo.“Allahumma bariklana fima rozaktana wakina adzabannar.” Kenzo membaca doa sebelum makan. Bram dan Airin tersenyum bangga melihat anak semata wayangnya sudah bisa membaca doa-doa harian.“Kenzo, hari ini sekolah Papi yang antar, ya.” Bram berbicara pada Kenzo yang tengah mengunyah sarapannya.“Iya, Pi.”“Mami, hari ini ke butik?” Bram bertanya pada Airin yang tengah memotong sandwich di piringnya.Bram memang membiasakan memanggil Mami pada Airin kalau di hadapan Kenzo, tetapi jika sedang berdua saja ia lebih nyaman memanggil Airin atau Sayang.“Iya, Pi, ada beberapa desain baru yang harus Mami cek, juga ada janji dengan pelanggan butik siang ini.”“Ya sudah, hati-hati, ya. Kenzo sudah selesai sarapannya, Nak?”“Sudah, Pi.”“Yoklah, kita berangkat nanti kesiangan.”Kenzo menghabiskan sisa susu di gelasnya kemudian pamit pada Airin untuk berangkat ke sekolah dengan diantar Bram. Dua laki-laki beda generasi itu terlihat sangat akrab sekali sebagai ayah dan anak.Setelah suami dan anaknya pergi, Airin termenung sendiri di meja makan. Hidupnya memang sempurna. Memiliki suami yang sangat memanjakan dirinya, memiliki anak yang manis dan pintar, serta materi berkecukupan.Orang tuanya pun semenjak dia menjadi istri Bram, hidupnya jauh lebih baik dari sebelumnya karena Bram mencukupi segala kebutuhan orang tua Airin. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, tak ada yang tahu kalau sebenarnya jauh di sudut hatinya yang terdalam, dia merasa hampa. Rasa yang tak terbaca oleh siapa pun, termasuk suaminya. Hanya Airin sendiri yang merasakannya.BAB 2Siang itu Airin masih bergelut dengan setumpuk file yang harus ia periksa. Ada beberapa desain terbaru harus ia cek sebelum lanjut ke produksi dan pameran. Ada dua cabang baru yang peresmiannya baru akan dilaksanakan bulan depan. Airin sangat ulet dalam menjalankan bisnisnya ini. Sebenarnya ia tidak mempunyai dasar ilmu berbisnis. Namun, wanita itu memiliki bakat di bidang desain. Dulu, ia sempat bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan di bidang fashion, sempat bercita-cita ingin menjadi seorang desainer ternama. Namun, keadaan ekonomi keluarga menghentikan langkah dan cita-citanya. Pendidikannya berhenti hanya sampai di bangku SMA saja, setelah itu dia mencoba melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik garmen hingga kecelakaan yang menimpa sang ayah dan akhirnya ia menerima pinangan Bram.Setelah menikah, Bram memboyong Airin untuk tinggal di Jakarta. Bram sangat memanjakan Airin yang kala itu masih sangat muda, dua puluh satu tahun. Dua orang anak Bram yang keduanya perem
BAB 3Hari ini Airin akan meresmikan pembukaan cabang baru untuk butiknya. Pagi-pagi sekali ia sudah rapi dan cantik. Bram yang tak bisa menemani karena harus menemui klien dari luar pun meminta maaf pada istrinya.“Sayang, maaf, ya, aku gak bisa hadir temani kamu di acara hari ini,” ucapnya seraya memeluk pinggang Airin.“Gapapa, Sayang.” Airin menjawab seraya tersenyum lalu merangkul dan menggelayut manja pada suaminya.“Bener gapapa, Sayang?”“Ya gapapa, dong.”“Terima kasih, Sayang. Kamu itu bener-bener wanita hebat. Aku bangga sama kamu dan aku sangat bahagia memiliki kamu. I love you.”“I love you more,”Bram dengan lembut mencium istrinya sementara Airin semakin erat memeluk suaminya.“Aku berangkat duluan, ya, kamu hati-hati, ya, Sayang.”“Iya, Sayang, kamu juga hati-hati.”“Kenzo?”“Gapapa, biar nanti aku yang antar.”“Oke.”Setelah Bram pergi, Airin gegas merapikan semua yang akan ia bawa untuk keperluan launching hari ini. Sambil sesekali memanggil Kenzo yang
BAB 4Waktu sudah hampir lewat Magrib saat Airin tiba di rumah. Bram baru saja selesai menunaikan salat, saat Airin dengan terburu-buru masuk kamar."Hai, Mi, baru pulang, Sayang?" "Assalamualaikum," Airin menjawab dengan mengucap salam lalu mencium tangan suaminya."Wa'alaikum salam, salat dulu, Sayang.""Iya, Pi, aku bersih-bersih dulu, ya.""Oke, aku tunggu di bawah, ya."Bram berlalu keluar kamar sementara Airin gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melaksanakan salat Magrib. Hujan yang mengguyur Kota Bogor siang tadi membuat Airin tak bisa segera pulang karena kabut yang menutupi jalanan. Suara petir yang saling bersahutan membuatnya mengurungkan niat untuk segera pulang dan lebih memilih menata koleksi gaun-gaun yang baru saja ia keluarkan untuk dipajang di etalase depan butiknya.Tak henti ia mengucap syukur atas nikmat yang dirasakan, dan suami yang teramat sangat peduli akan dirinya dan juga orang tuanya di kampung. Adiknya bisa sekolah hingga ke perguruan
BAB 5Suara guyuran air di kamar mandi membangunkan Bram dari tidurnya, ia pun tak kalah kagetnya dengan Airin saat membuka mata ternyata hari sudah memasuki waktu Zuhur. Tadi ia berjanji akan membereskan koper Airin, tetapi ia malah tidur dan terlambat bangun."Sayang, maaf, jadi terlambat karena aku, ya?""Enggak, Pi, enggak terlambat, kok, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum ke bandara, aku mau lanjut rapikan koperku, Papi mandi sana.""Aku bantu, ya?" "Enggak usah, Sayang. Mandi aja sana nanti 'kan mau antar Mami ke bandara""Beneran, nggak mau aku bantu?""Iya, nggak usah. Sedikit lagi, kok." Senyum manis Airin seolah menjadi candu bagi Bram yang selama ini sangat menyayangi Airin.Bram lalu beranjak ke kamar mandi dan tak lupa sebelumnya mencium Airin yang tengah berganti pakaian."Sudah, Sayang. Ayo mandi dulu sana."" Baik ,Tuan Puteri," candanya sebelum berlalu dari hadapan Airin."Pi ... Pi, kamu udah kek anak kecil aja, sih, kalo udah manja." Terkekeh dibuat
BAB 6Mereka memasuki sebuah kafetaria yang tak begitu padat pengunjung di siang hari. Meja paling pojok dengan view menghadap ke arah taman kecil di samping bangunan, menjadi pilihan untuk menikmati secangkir kopi dan menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit seperti yang dijanjikan Ratih ada Airin di telepon tadi."Silakan ...." Dazel menarik kursi dan mempersilahkan Airin untuk mendudukinya."Terima kasih."Seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawakan buku menu untuk mereka memilih apa yang akan dipesan."Mau minum apa?" Airin mengangkat wajahnya dan menatap Dazel yang saat itu tengah menatapnya juga. Pandangan mereka saling bertemu dan keduanya sama-sama terpaku sampai beberapa detik, kemudian keduanya pun tersipu malu. Mirip remaja yang sedang jatuh cinta. "Sepertinya aku mau minum kopi latte saja," jawab Airin di tengah rasa salah tingkahnya."Wow ... kita punya selera yang sama," ucap Dazel seraya terkekeh."Oya?""Hmm ...."Dua kopi latte dan dua potong red velvet m
Bab7Tiba di hotel, Airin langsung menuju meja resepsionis untuk melakukan check in. Namun, Ratih lebih dulu berbicara pada petugas resepsionis dan tak lama petugas itu memberikan dua buah kunci kamar."Lho, kok?" "Iya, sebelum berangkat jemput lo tadi gue sempet pesan satu kamar buat lo, dan lo tau? Kamar lo itu pas sebelahan kamar gue!""Waaahh ... thanks, Beib." Airin berucap seraya menerima kunci kamar yang diberikan Ratih padanya.Dengan menggunakan lift mereka naik ke lantai delapan di mana letak kamar mereka berada."Rin, lo istirahat dulu, ya, ini udah hampir masuk waktu Magrib juga. Nanti pukul 19:30 kita keluar makan malam dan cari angin sedikitlah," ucap Ratih saat mereka sudah sampai di depan kamar. "Oke, gue juga udah pengen mandi, nih.""Ya udah, oke."Airin dan Ratih masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Setelah menyimpan barang bawaannya, Airin lalu masuk ke kamar mandi, berendam mungkin akan membuat badan lebih segar setelah perjalanan dari Jakarta ke Surabaya sian
Ratih yang tak sengaja memperhatikan gerakan tangan Airin yang tiba-tiba berhenti menyuapkan makanan, lalu ia mengikuti arah pandang mata Airin dan seketika membulatkan matanya dengan mulut ternganga."Oh, my god! Itu—itu, 'kan? Heyy ... Airin! Itu cowok yang kemaren bareng, lo, 'kan? Dazel?"Ratih berbicara sedikit heboh sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Airin, sedangkan Airin yang masih terpukau oleh pesona Dazel seketika memerah wajahnya karena kepergok Ratih sedang menatap Dazel."I–iya, tapi gue enggak tau kalo dia juga menginap di sini," jawab Airin gugup."Gue, 'kan, enggak nanya kenapa dia ada di sini, Rin, gue cuma nanya itu Dazel? Kenapa lo salting, sih," Ratih sedikit tergelak mendengar jawaban Airin yang enggak nyambung sama pertanyaannya."Oh, eh, iya ... itu Dazel." Airin semakin salah tingkah. "Rin, kenapa, lo, salting, sih?""Gue? Salting?""Iya, elo, lah, masa gue!” Ratih terkekeh melihat Airin yang semakin jelas terlihat salah tingkahnya.Sementara itu, Dazel y
Grand City Surabaya.Siang ini Airin dan Ratih memilih untuk shopping di Grand City Surabaya, keduanya memasuki mal dan menuju ke salah satu butik terkenal yang berada di lantai empat. Mal ini adalah salah satu pusat perbelanjaan terbesar di antara tujuh yang ternama di Surabaya.Mereka memasuki butik yang dituju dan langsung disambut hangat oleh seorang karyawan butik. Gadis berkulit kuning langsat dan bermata bulat dengan iris mata berwarna cokelat itu dengan telaten melayani Airin dan Ratih, mulai dari menanyakan apa yang dicari, mengambilkan dan membantu saat kedua wanita sosialita itu mencobanya.Beberapa potong pakaian akhirnya mencuri hati Airin juga Ratih, walaupun ada banyak koleksi pakaian cantik-cantik di butik miliknya, tetapi Airin selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa butik terkenal untuk melihat-lihat perkembangan fashion dan style terbaru supaya butiknya tak ketinggalan mode.Setelah puas berbelanja, keduanya lalu keluar dari butik dan menuju ke salah s
Setelah melewati beberapa kali rangkaian pemeriksaan, akhirnya Airin dijadwalkan untuk menjalani operasi siang ini. Semua sedang dipersiapkan tinggal menunggu tim menjemput dan membawanya ke ruang operasi. “Sayang ... aku yakin kamu bisa sembuh dan aku akan selalu berdoa untuk kesembuhanmu.” “Pi, maafkan aku—” “Sstt ... sudah, jangan memikirkan yang lain dulu, sekarang kita fokus untuk kesembuhanmu. Aku yakin kamu pasti kuat, Mi.” “Tidak, Pi, aku takut aku tak bisa membuka mata lagi dan aku belum mendapatkan maaf darimu, Pi.” “Sayang—kita lupakan semuanya dan Insya Allah—aku sudah memaafkanmu.” Tutur Bram tulus, meski di dalam hatinya ada rasa sakit yang teramat menggores. Namun, setelah melewati proses merenung dan menjalankan salat istikharah, ia memutuskan untuk memaafkan Airin dan berjanji akan membimbingnya ke arah yang lebih baik lagi. Meski jujur harus diakuinya ada rada yang sangat tak nyaman saat mengingat bahwa istri yang teramat dia sayangi pernah membagi tubuh dan hat
“Semua berkas sudah siap dan saya juga sudah membuat janji dengan Dokter Victor, Pak Bram bisa segera berangkat.” Dokter Faizal berbicara dengan Bram di ruang kerjanya.Malam ini juga Airin akan segera diterbangkan ke Penang untuk menjalani pengobatan, ia akan menjalani operasi Whipple. Operasi Whipple adalah operasi yang melibatkan pengangkatan bagian kepala pankreas, bagian pertama dari usus kecil ( duodenum ), dan sebagian dari saluran empedu, kantong empedu, dan terkadang sebagian lambung. Umumnya, operasi ini digunakan untuk menangani kanker pankreas. Untuk penderita di stadium 1,2, dan 3 yang belum parah, telah banyak penderita sembuh total setelah menjalani operasi ini.“Terima kasih banyak atas bantuannya, Dokter.” Dengan tangan gemetar Bram menerima semua berkas yang harus ia bawa untuk diserahkan pada pihak rumah sakit di Penang. Hati Bram hancur menerima semua kenyataan ini. Namun, ia harus tetap tegar dan kuat demi untuk kesembuhan wanita yang sangat ia sayangi. “Oke, jik
“Jadi, istrinya Dazel berasal dari Karawang? Sama dengan aku?” Airin berkata di dalam hatinya. Sesaat ingatannya tertuju pada kampung halaman, orang tua, teman, dan saudara-saudaranya yang entah sudah berapa lama tak berjumpa. Lalu Airin teringat akan Wulan, teman semasa kecil yang sudah sekian lama tak diketahui kabarnya. Semenjak Airin menikah dan menetap di Jakarta, ia jarang sekali pulang ke kampung dan saat Wulan menikah pun Airin tak mengetahuinya.“Sayang ....”Dazel menggenggam tangan Airin dan menciuminya ingin rasanya ia memeluk tubuh mungil Airin. Namun, melihat kondisinya yang lemah Dazel takut malah akan menyakitinya.“Sayang, kamu kenapa bisa seperti ini? Sakit apa?”“Dazel, apa kamu mencintaiku?”“Tentu saja, aku sangat mencintaimu, Sayang, kenapa kamu bertanya seperti ini? Kenapa meragukan aku? Kita telah bersama selama tiga tahun, apa yang kamu ragukan, Sayang?”“Boleh aku meminta sesuatu?”“Katakanlah—““Ti—tinggalkan aku.”Dazel merasa seperti terhempas ke dalam ju
BAB 26“Tambah lagi, ya, makannya?” Bram membujuk Airin yang beberapa hari terakhir ini susah sekali untuk makan. Dalam dua minggu terakhir ini atau selama ia sakit, berat badannya menurun drastis. Tubuh mungilnya semakin kurus dan pucat.“Udah, Pi,” Airin menjawab dengan lemah.Dua pekan sudah Airin terbaring di rumah sakit, keinginannya untuk bed rest di rumah tak dikabulkan pihak rumah sakit mengingat seringnya Airin mengalami drop dan tiba-tiba mengalami rasa sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas kiri dan kemudian menyebar hingga ke bagian belakang. Rasa nyeri itu akan semakin bertambah saat ia sedang makan atau berbaring.Bram meletakkan piring yang isinya hanya beberapa sendok saja yang berhasil ia suapkan pada Airin. Ia melirik arloji yang melingkar di tangannya, jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi lebih beberapa menit saja. Ia sudah membuat janji bertemu dengan Dokter Faizal untuk membicarakan tentang pengobatan Airin yang akan diberangkatkan ke Penang at
BAB 25Dada Dazel bergemuruh hebat saat ia menerima telepon dari ART-nya yang mengabarkan kalau istrinya ditemukan tak sadarkan diri di dalam kamar.Dirinya yang saat itu sedang berbunga-bunga karena baru saja membuat janji bertemu dengan wanita lain yang tiga tahun terakhir ini mengisi hatinya, bertakhta setara dengan Regina. Dazel mencintai keduanya tanpa ada perbedaan. Dazel bukan mencintai Airin karena nafsu atau karena kemiripan wajah Airin dengan Regina, tetapi Dazel benar-benar mencintai Airin dari lubuk hati terdalam. Di tengah rasa paniknya, Dazel masih menyempatkan diri mengabari Airin dan meminta maaf harus membatalkan rencana kencan mereka. [Sayang ... maaf, untuk hari ini kita batal bertemu, aku ada urusan mendadak.] Dazel memberikan alasan batalnya pertemuan mereka. Namun, setelah beberapa saat menunggu tak juga ada balasan dari Airin. Dazel berusaha menelepon kekasih hatinya, tetapi tak juga dijawab olehnya. Rasa cemas dan takut kehilangan mendera hati. Ia sangat men
Bab 24Gundukan tanah merah itu masih basah, bunga-bunga segar pun masih bertaburan di atasnya. Orang-orang berbaju hitam yang tadi memenuhi area pemakaman untuk menghadiri acara pemakaman seorang wanita, satu per satu telah meninggalkan pemakaman. Kini, tinggallah seorang lelaki duduk termenung di samping batu nisan yang bertuliskan : REGINA PUTRI WULANDARILahir : Majalengka, 03 Januari 1989Wafat : Jakarta, 09 Februari 2022Lelaki itu adalah Dazel. Lelaki yang beberapa jam lalu masih memeluk tubuh istrinya yang semakin melemah. Ya, Dazel adalah seorang suami dengan dua orang anak. Ia sebenarnya lelaki baik yang begitu menyayangi keluarganya. Namun, sejak empat tahun yang lalu, tepatnya sejak Egi—panggilan—untuk Regina, divonis menderita leukimia stadium empat, hidupnya serasa hancur apalagi kedua anaknya masih sangat memerlukan perhatian penuh dari seorang ibu. Dazel berusaha mencari pengobatan yang terbaik untuk istrinya. Tak pernah sekalipun ia lalai mengurusi pengobatan dan
BAB 23Tiga hari sudah Airin terbaring lemah di rumah sakit dan selama itu pula Bram tak pernah beranjak dari sisinya. Ia dengan telaten menyuapi, mengelap badan, dan mengurus semua yang Airin perlukan.Hari ini kondisi Airin sudah lebih baik dari sebelumnya. Ia sudah bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi. Rasa melilit di bagian perut sudah tak lagi terasa seperti kemarin. “Pi, aku mau pulang,” ucapnya saat Bram menyuapi makan siang untuknya. “Ya, Sayang, kita tunggu visit dokter dulu, ya, setelah itu nanti kita konsultasikan apakah sudah boleh pulang atau tidak.”“Tapi aku udah enakan, Pi, perutku juga udah enggak sakit lagi.”“Sabar, ya, Sayang,” bujuk Bram penuh kasih sayang, “Habiskan dulu makanannya, ya, setelah ini ada visit dokter kita bicarakan, oke?”“Hemm ....”Airin menghabiskan sisa makan siangnya dengan sedikit malas. Sesekali matanya melirik ponsel yang ia letakkan di samping tempat tidur. Ini hari keempat tak ada kabar dari Dazel sejak batal bertemu tempo hari. Sampa
BAB 22Pagi ini Bram bangun lebih awal dari biasanya, sedangkan Airin yang terbiasa bangun lebih pagi, kali ini terlihat sangat nyenyak sekali tidurnya dan Bram tak ingin membangunkannya. Dirabanya kening Airin yang sedikit terasa lebih panas dari biasanya, sepertinya Airin agak demam dan kalau sampai setelah sarapan dan minum obat pereda demam masih juga belum membaik, Bram akan membawa Airin ke rumah sakit tanpa harus menunggu persetujuan Airin yang agak susah diajak berobat setiap kali badannya merasa kurang sehat dengan alasan takut jarum suntik. Perlahan Bram menyelimuti tubuh istrinya dan setelah itu ia turun ke dapur, ia ingin membuat sarapan untuk istrinya dengan tangannya sendiri. Selama ini Airin selalu mengurusi semua keperluannya dengan sempurna, kali ini Bram ingin merawat istri tercintanya itu dengan penuh cinta seperti yang ia terima selama ini dari Airin. “Selamat pagi, Pak,” sapa Bu Nah terheran-heran saat melihat Bram masuk ke dapur sepagi ini. “Pagi, Bu Nah. Bu
BAB 21Tok ... tok ... tok!Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya.“Masuk saja ....” Dengan menahan rasa sakit Airin menjawab.“Ibu ... loh, Bu Airin kenapa?” Mitha yang baru saja membuka pintu sembari membawakan segelas air putih hangat, terlonjak kaget melihat Airin sedang meringkuk di sofa dan meringis menahan sakit hingga wajahnya pucat.“Mitha, tolong saya, Mit.” Airin meringis kesakitan.“Apa yang harus saya lakukan, Bu?”“Perut saya sakit, Mit.”“Ibu coba minum dulu, ya, mudah-mudahan air hangat ini bisa meredakan sakitnya, Bu.” Mitha membantu Airin duduk dan memberikan segelas air putih hangat lalu Airin meminumnya.“Sakitnya seperti apa, Bu?” “Melilit, Mit, sakit banget.”“Saya coba pijit telapak kakinya, ya, Bu?” Mitha menawarkan dan dijawab Airin dengan anggukan. Lalu ia berselonjor dan Mitha mulai memijat di bagian telapak kakinya.Pijatan Mitha sedikit meredakan rasa sakit yang tadi begitu menyiksa.“Pijatanmu enak juga, Mit, kamu bisa mijit?”“Ah, sedikit, Bu.