BAB 5
Suara guyuran air di kamar mandi membangunkan Bram dari tidurnya, ia pun tak kalah kagetnya dengan Airin saat membuka mata ternyata hari sudah memasuki waktu Zuhur. Tadi ia berjanji akan membereskan koper Airin, tetapi ia malah tidur dan terlambat bangun."Sayang, maaf, jadi terlambat karena aku, ya?""Enggak, Pi, enggak terlambat, kok, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum ke bandara, aku mau lanjut rapikan koperku, Papi mandi sana.""Aku bantu, ya?""Enggak usah, Sayang. Mandi aja sana nanti 'kan mau antar Mami ke bandara""Beneran, nggak mau aku bantu?""Iya, nggak usah. Sedikit lagi, kok." Senyum manis Airin seolah menjadi candu bagi Bram yang selama ini sangat menyayangi Airin.Bram lalu beranjak ke kamar mandi dan tak lupa sebelumnya mencium Airin yang tengah berganti pakaian."Sudah, Sayang. Ayo mandi dulu sana."" Baik ,Tuan Puteri," candanya sebelum berlalu dari hadapan Airin."Pi ... Pi, kamu udah kek anak kecil aja, sih, kalo udah manja." Terkekeh dibuatnya Airin oleh tingkah suaminya.Tepat pukul 13:00 mereka menuju bandara yang hanya menghabiskan jarak tempuh selama lima belas menit saja dari kediaman mereka. Beruntung siang hari ini jalanan belum macet sehingga bisa tepat waktu sampai di bandara. Bram mengantar Airin sampai di pintu keberangkatan, mereka berpelukan seperti hendak berpisah lama."Hati-hati, Sayang. Kabari kalo udah sampe, ya.""Iya, Pi. Titip Kenzo, ya.""Jangan khawatir, Sayang. I love you.""Love you more."Airin masuk untuk melakukan check in, dari dalam ia sempat menoleh ke luar, Bram masih berdiri di tempat tadi seperti berat melepas kepergian istrinya walau hanya dua hari saja.***Airin melemparkan pandangan ke luar jendela, sejak masuk pesawat ia sudah mematikan ponselnya. Saat-saat sendiri seperti ini entah mengapa pikirannya selalu melayang jauh tak bertepi dan tak tentu arah apa yang sedang ia pikirkan."Permisi ...." Lamunan Airin dibuyarkan paksa oleh satu suara yang berasal dari sisi kanannya. Ia mendongak, tampak seraut wajah manis dengan kulit kecokelatan dan sorot mata yang menawan. Sesaat Airin terpaku menatap wajah manis yang juga tersenyum manis padanya.Pemilik sorot mata menawan itu menunjuk kursi kosong di sebelah Airin yang tercatat atas nama dirinya, Airin tersadar dari rasa kagumnya lalu ia mengangguk dan memberikan sedikit senyuman manis.Aroma maskulin dari parfum laki-laki di sebelahnya masuk ke dalam indra penciumannya, segar dan membangkitkan gairah. Ah, kok, gairah?Airin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan memejamkan mata, ini adalah perjalanannya yang pertama kali setelah entah berapa lama ia disibukkan oleh pekerjaan yang cukup menghabiskan waktu. Sekarang semuanya sudah terlewati dengan baik dan tinggal menunggu hasil."Ehmm ...." Terdengar suara deheman tepat dari kursi sebelah, Airin menoleh dan begitu pula dengan laki-laki di sebelahnya ikut menoleh pada Airin, pandangan mereka bertemu, lalu si laki-laki menangkupkan kedua tangannya karena merasa bersalah telah membuat Airin merasa tidak nyaman."Maaf ....""It's oke."Beberapa saat keduanya terdiam, hingga si laki-laki mengawali pembicaraan."Mau ke Surabaya?" tanyanya seraya mengubah posisi duduknya yang ternyata tak bisa berubah karena porsi tempat yang seadanya."Memangnya bisa turun di tengah jalan, ya?" Tak disangka jawaban Airin begitu menohok dan si laki-laki pun tak mau kalah ia kembali menjawab ucapan Airin."Mau nyoba?"Kini giliran Airin yang gelagapan dan tak lama keduanya tertawa bersamaan."Oh, iya, aku Dazel," lanjutnya seraya mengulurkan tangannya dan disambut Airin dengan agak sedikit canggung."Airin. Airin Sukma."Perbincangan ringan pun mengalir dari keduanya dan sesekali mereka tertawa berdua meskipun dengan tawa yang agak tertahan."Ke Surabaya untuk urusan kerja?" tanya Dazel dan dijawab Airin dengan gelengan kepala."And then?" lanjutnya."Sahabatku sedang berada di Surabaya untuk urusan kerja, dan ternyata urusannya selesai lebih cepat dari perkiraan. Jadi, dia meminta aku untuk datang, yaa ... kebetulan juga kami sudah lumayan lama tak jalan bareng dan saat ini pekerjaanku juga udah longgar. Ya sudah, aku berangkat.""Oh, berapa lama rencananya di sana nanti?""Maybe, cuma dua hari saja.""Dua hari?""Ya, why?""Aku rasa kita bisa melakukan perjalanan pulang ke Jakarta bersama, aku juga rencananya hanya dua hari.""Oh, ya?""Iya.""Bolehlah, nanti aku kenalin sama temanku juga, ya.""Hmm ...."Perjalanan udara yang mereka tempuh dengan waktu satu jam tiga puluh menit itu tak terasa karena mereka isi dengan saling bercerita dan sudah tak ada lagi rasa canggung dari keduanya.Sampai akhirnya pesawat mendarat di bandara internasional Juanda Surabaya."Kamu dijemput?" tanya Dazel sesaat setelah pesawat landing."Ya, temanku bilang begitu, tapi nanti, deh, aku telepon dulu, kamu?""Aku enggak, langsung ke hotel.""Oh, iya, aku boleh minta nomor kamu?" Kembali Dazel berbicara pada Airin dan disambut Airin dengan anggukan.Dazel memberikan ponselnya pada Airin supaya wanita cantik itu mencatat nomornya di ponselnya dan Airin pun melakukan itu."Terima kasih, nanti aku telepon kamu, ya.""Oke."Mereka turun dari pesawat beriringan dan sampai di pintu kedatangan, Airin baru menyalakan ponselnya. Beberapa pesan masuk saat ponsel diaktifkan dan tentu saja di antaranya pesan dari Bram.[Kabari kalo sudah sampai, Sayangku.][Happy holiday, istriku sayang.][Baru beberapa jam saja ditinggal kamu, aku sudah kangen setengah mati, love you my wife.]Dan masih ada lagi beberapa pesan yang membuat Airin senyum-senyum sendiri saat membacanya. Tak mau membuat suaminya khawatir, Airin membalas pesan dari Bram.[Aku baru saja landing, Sayang. Nanti sampai hotel aku telepon, ya, love you more.]Dazel yang masih berada di dekatnya menatap Airin dengan sorot mata kagum akan kecantikan yang sempurna di matanya."Di mana temanmu?" tanyanya."Sebentar aku telepon dulu."Airin lalu menelepon Ratih karena ia tak menemukannya dari sejak keluar dari pintu kedatangan sekitar sepuluh menit yang lalu. Tak lama, Airin menutup kembali ponselnya."Temanku masih di jalan, agak macet katanya. Mungkin bisa sampe sekitar dua puluh menit lagi.""Kalo begitu gimana kalo aku temani sambil minum di sana?" Dazel menawarkan seraya menunjuk satu kafetaria yang tak begitu ramai pengunjung."Baiklah, tapi kamu nggak apa-apa, ini temani aku dulu?""Enggak apa-apa, aku santai aja, kok.""Baiklah, kalo begitu. Terima kasih, ya.""Dengan senang hati." Dazel menjawab seraya meraih koper Airin. Airin menolak, tetapi tangan kekar Dazel sudah terlanjur menggeret kopernya menuju kafetaria yang akan mereka singgahi. Airin tersenyum berjalan bersisian dengan Dazel, entahlah ada satu perasaan lain saat pria itu tersenyum dan menatapnya.BAB 6Mereka memasuki sebuah kafetaria yang tak begitu padat pengunjung di siang hari. Meja paling pojok dengan view menghadap ke arah taman kecil di samping bangunan, menjadi pilihan untuk menikmati secangkir kopi dan menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit seperti yang dijanjikan Ratih ada Airin di telepon tadi."Silakan ...." Dazel menarik kursi dan mempersilahkan Airin untuk mendudukinya."Terima kasih."Seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawakan buku menu untuk mereka memilih apa yang akan dipesan."Mau minum apa?" Airin mengangkat wajahnya dan menatap Dazel yang saat itu tengah menatapnya juga. Pandangan mereka saling bertemu dan keduanya sama-sama terpaku sampai beberapa detik, kemudian keduanya pun tersipu malu. Mirip remaja yang sedang jatuh cinta. "Sepertinya aku mau minum kopi latte saja," jawab Airin di tengah rasa salah tingkahnya."Wow ... kita punya selera yang sama," ucap Dazel seraya terkekeh."Oya?""Hmm ...."Dua kopi latte dan dua potong red velvet m
Bab7Tiba di hotel, Airin langsung menuju meja resepsionis untuk melakukan check in. Namun, Ratih lebih dulu berbicara pada petugas resepsionis dan tak lama petugas itu memberikan dua buah kunci kamar."Lho, kok?" "Iya, sebelum berangkat jemput lo tadi gue sempet pesan satu kamar buat lo, dan lo tau? Kamar lo itu pas sebelahan kamar gue!""Waaahh ... thanks, Beib." Airin berucap seraya menerima kunci kamar yang diberikan Ratih padanya.Dengan menggunakan lift mereka naik ke lantai delapan di mana letak kamar mereka berada."Rin, lo istirahat dulu, ya, ini udah hampir masuk waktu Magrib juga. Nanti pukul 19:30 kita keluar makan malam dan cari angin sedikitlah," ucap Ratih saat mereka sudah sampai di depan kamar. "Oke, gue juga udah pengen mandi, nih.""Ya udah, oke."Airin dan Ratih masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Setelah menyimpan barang bawaannya, Airin lalu masuk ke kamar mandi, berendam mungkin akan membuat badan lebih segar setelah perjalanan dari Jakarta ke Surabaya sian
Ratih yang tak sengaja memperhatikan gerakan tangan Airin yang tiba-tiba berhenti menyuapkan makanan, lalu ia mengikuti arah pandang mata Airin dan seketika membulatkan matanya dengan mulut ternganga."Oh, my god! Itu—itu, 'kan? Heyy ... Airin! Itu cowok yang kemaren bareng, lo, 'kan? Dazel?"Ratih berbicara sedikit heboh sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Airin, sedangkan Airin yang masih terpukau oleh pesona Dazel seketika memerah wajahnya karena kepergok Ratih sedang menatap Dazel."I–iya, tapi gue enggak tau kalo dia juga menginap di sini," jawab Airin gugup."Gue, 'kan, enggak nanya kenapa dia ada di sini, Rin, gue cuma nanya itu Dazel? Kenapa lo salting, sih," Ratih sedikit tergelak mendengar jawaban Airin yang enggak nyambung sama pertanyaannya."Oh, eh, iya ... itu Dazel." Airin semakin salah tingkah. "Rin, kenapa, lo, salting, sih?""Gue? Salting?""Iya, elo, lah, masa gue!” Ratih terkekeh melihat Airin yang semakin jelas terlihat salah tingkahnya.Sementara itu, Dazel y
Grand City Surabaya.Siang ini Airin dan Ratih memilih untuk shopping di Grand City Surabaya, keduanya memasuki mal dan menuju ke salah satu butik terkenal yang berada di lantai empat. Mal ini adalah salah satu pusat perbelanjaan terbesar di antara tujuh yang ternama di Surabaya.Mereka memasuki butik yang dituju dan langsung disambut hangat oleh seorang karyawan butik. Gadis berkulit kuning langsat dan bermata bulat dengan iris mata berwarna cokelat itu dengan telaten melayani Airin dan Ratih, mulai dari menanyakan apa yang dicari, mengambilkan dan membantu saat kedua wanita sosialita itu mencobanya.Beberapa potong pakaian akhirnya mencuri hati Airin juga Ratih, walaupun ada banyak koleksi pakaian cantik-cantik di butik miliknya, tetapi Airin selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa butik terkenal untuk melihat-lihat perkembangan fashion dan style terbaru supaya butiknya tak ketinggalan mode.Setelah puas berbelanja, keduanya lalu keluar dari butik dan menuju ke salah s
BAB 10[tidur?] Satu pesan chat masuk di ponsel Airin, tentu saja dari Dazel."Belum, kok."[Seharian aku kangen kamu, boleh ketemu?]"Kapan?" Airin membalas singkat.[Sekarang, aku enggak bisa nahan kangen sampai besok.]"Sekarang? Tapi kan ini sudah malam, Zel."[Sebentar saja, Rin. Mau, ya? Di seberang hotel ini ada kafe yang buka sampai tengah malam nanti, aku tunggu kamu di sana, ya, please Rin, aku kangen banget.] Dazel tetap kukuh, mendesak Airin untuk bertemu.Airin berpikir keras, apakah ia harus mengikuti mau Dazel atau menolaknya? Jika ia ikuti, ia takut juga ini akan menjadi bumerang bagi rumah tangganya. Jika tidak, hati kecil Airin juga merasakan getar yang tak biasanya semenjak perkenalannya dengan pria itu.[Rin, gimana? Mau, ya?] Kembali Dazel mengirimkan pesan karena Airin tak menjawab pesan sebelumnya.Airin semakin galau, ya, atau tidak? Hingga akhirnya ia membalas pesan Dazel."Ya, sepuluh menit lagi aku sampai." Airin menekan tombol enter. Pesan pun terkirim. Ai
BAB 11Airin yang masih berdiri di balik pintu pasrah saja saat Dazel merengkuh tubuhnya dan membawanya ke dalam pelukan. Tangan kekar Dazel erat memeluk tubuh mungil Airin, napasnya terasa sesak oleh impitan yang ia rasakan di dadanya. Perlahan Dazel mengusap lembut pipi Airin dan bodohnya, ia pun menikmatinya, ia pejamkan mata untuk meredam gejolak di dada. Hingga ia merasakan sesuatu menyentuh bibirnya. Ingin berontak, tetapi serangan yang dilancarkan Dazel membuatnya tak berkutik bahkan balik membalasnya. Lagi, pertahanan Airin jebol karena pesona dan buaian Dazel.Dering ponsel menghentikan aktivitas mereka. Airin segera melepaskan diri dari pelukan dan tangan Dazel yang mulai menjelajah area lainnya. Mata Airin membulat saat melihat layar ponsel dan tertera nama si penelepon. Papi. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sementara, ia panik. Rasa bersalah dan takut mendera hatinya.“Siapa yang telepon, Yank, udah malam, loh, ini?”“Ratih, di kamar depan. Mungkin dia enggak b
BAB 12[Sayang, ayolah ....] Kembali Dazel mendesak Airin. “A—aku, Zel ....”[Sayang, aku tau kamu juga menginginkannya, ‘kan? Ya? Aku ke kamarmu sekarang, ya? Tunggu aku.]“Jangan, Zel ... biar aku yang ke kamarmu.”[What? Seriously? Kamu mau ke sini?]“Ya, aku turun sekarang.[Ok, Sayang, aku tunggu di kamar 603, ya.]“Oke.”Airin segera menutup teleponnya, dadanya bergemuruh hebat. Ia tak percaya dengan apa yang diucapkannya barusan. Wanita itu masih ragu dengan keputusan yang baru saja diambilnya. Haruskan ia menepati ucapannya dan menemui Dazel di kamarnya? Dalam rasa bimbangnya ia berjalan mondar-mandir sampai sekitar sepuluh menit kemudian ponselnya kembali berdering, rupanya Dazel sudah tak sabar menanti kedatangannya.Airin menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Wanita rupawan itu kembali mengganti baju tidur yang ia kenakan dengan pakaian yang dipakai tadi saat menemui Dazel di kafe. Dengan sangat berhati-hati dan debaran dada yang semakin tak menentu, ia lal
BAB 13Waktu sudah hampir Magrib saat pesawat yang membawa Airin dan Ratih tiba di Jakarta. Langit sore ini sangat cerah, tetapi tidak dengan hati Airin yang dilanda perasaan tak menentu.“Rin, lo, balik dijemput ?” Ratih bertanya saat mereka baru saja turun dari pesawat.“Bram bilang, sih, begitu tadi waktu menelepon.”“Kapanlah gue bisa seperti kalian, saling sayang, perhatian ....”“Makanya kawin! Kerja mulu, sih.” Airin terkekeh menggoda Ratih.“Apa iya, gue kerja mulu.” Terdengar suara Ratih lirih.Setelah melewati proses baggage reclaim, keduanya berjalan menuju pintu kedatangan. Dari jarak beberapa meter Airin sudah melihat Bram menunggunya di pintu kedatangan.“Lo dah ditunggu Bram, tuh, Rin,” ucap Ratih seraya menunjuk Bram dengan cara memonyongkan sedikit bibirnya.“Iya, eh, lo gue anter, ya?” Airin menawarkan pada Ratih untuk mengantarnya pulang.“Enggak apa-apa, lah, gue bisa naik taksi, kok.” Ratih menolak karena merasa tak enak pada Bram meski sebenarnya ia tahu, Bram p
Setelah melewati beberapa kali rangkaian pemeriksaan, akhirnya Airin dijadwalkan untuk menjalani operasi siang ini. Semua sedang dipersiapkan tinggal menunggu tim menjemput dan membawanya ke ruang operasi. “Sayang ... aku yakin kamu bisa sembuh dan aku akan selalu berdoa untuk kesembuhanmu.” “Pi, maafkan aku—” “Sstt ... sudah, jangan memikirkan yang lain dulu, sekarang kita fokus untuk kesembuhanmu. Aku yakin kamu pasti kuat, Mi.” “Tidak, Pi, aku takut aku tak bisa membuka mata lagi dan aku belum mendapatkan maaf darimu, Pi.” “Sayang—kita lupakan semuanya dan Insya Allah—aku sudah memaafkanmu.” Tutur Bram tulus, meski di dalam hatinya ada rasa sakit yang teramat menggores. Namun, setelah melewati proses merenung dan menjalankan salat istikharah, ia memutuskan untuk memaafkan Airin dan berjanji akan membimbingnya ke arah yang lebih baik lagi. Meski jujur harus diakuinya ada rada yang sangat tak nyaman saat mengingat bahwa istri yang teramat dia sayangi pernah membagi tubuh dan hat
“Semua berkas sudah siap dan saya juga sudah membuat janji dengan Dokter Victor, Pak Bram bisa segera berangkat.” Dokter Faizal berbicara dengan Bram di ruang kerjanya.Malam ini juga Airin akan segera diterbangkan ke Penang untuk menjalani pengobatan, ia akan menjalani operasi Whipple. Operasi Whipple adalah operasi yang melibatkan pengangkatan bagian kepala pankreas, bagian pertama dari usus kecil ( duodenum ), dan sebagian dari saluran empedu, kantong empedu, dan terkadang sebagian lambung. Umumnya, operasi ini digunakan untuk menangani kanker pankreas. Untuk penderita di stadium 1,2, dan 3 yang belum parah, telah banyak penderita sembuh total setelah menjalani operasi ini.“Terima kasih banyak atas bantuannya, Dokter.” Dengan tangan gemetar Bram menerima semua berkas yang harus ia bawa untuk diserahkan pada pihak rumah sakit di Penang. Hati Bram hancur menerima semua kenyataan ini. Namun, ia harus tetap tegar dan kuat demi untuk kesembuhan wanita yang sangat ia sayangi. “Oke, jik
“Jadi, istrinya Dazel berasal dari Karawang? Sama dengan aku?” Airin berkata di dalam hatinya. Sesaat ingatannya tertuju pada kampung halaman, orang tua, teman, dan saudara-saudaranya yang entah sudah berapa lama tak berjumpa. Lalu Airin teringat akan Wulan, teman semasa kecil yang sudah sekian lama tak diketahui kabarnya. Semenjak Airin menikah dan menetap di Jakarta, ia jarang sekali pulang ke kampung dan saat Wulan menikah pun Airin tak mengetahuinya.“Sayang ....”Dazel menggenggam tangan Airin dan menciuminya ingin rasanya ia memeluk tubuh mungil Airin. Namun, melihat kondisinya yang lemah Dazel takut malah akan menyakitinya.“Sayang, kamu kenapa bisa seperti ini? Sakit apa?”“Dazel, apa kamu mencintaiku?”“Tentu saja, aku sangat mencintaimu, Sayang, kenapa kamu bertanya seperti ini? Kenapa meragukan aku? Kita telah bersama selama tiga tahun, apa yang kamu ragukan, Sayang?”“Boleh aku meminta sesuatu?”“Katakanlah—““Ti—tinggalkan aku.”Dazel merasa seperti terhempas ke dalam ju
BAB 26“Tambah lagi, ya, makannya?” Bram membujuk Airin yang beberapa hari terakhir ini susah sekali untuk makan. Dalam dua minggu terakhir ini atau selama ia sakit, berat badannya menurun drastis. Tubuh mungilnya semakin kurus dan pucat.“Udah, Pi,” Airin menjawab dengan lemah.Dua pekan sudah Airin terbaring di rumah sakit, keinginannya untuk bed rest di rumah tak dikabulkan pihak rumah sakit mengingat seringnya Airin mengalami drop dan tiba-tiba mengalami rasa sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas kiri dan kemudian menyebar hingga ke bagian belakang. Rasa nyeri itu akan semakin bertambah saat ia sedang makan atau berbaring.Bram meletakkan piring yang isinya hanya beberapa sendok saja yang berhasil ia suapkan pada Airin. Ia melirik arloji yang melingkar di tangannya, jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi lebih beberapa menit saja. Ia sudah membuat janji bertemu dengan Dokter Faizal untuk membicarakan tentang pengobatan Airin yang akan diberangkatkan ke Penang at
BAB 25Dada Dazel bergemuruh hebat saat ia menerima telepon dari ART-nya yang mengabarkan kalau istrinya ditemukan tak sadarkan diri di dalam kamar.Dirinya yang saat itu sedang berbunga-bunga karena baru saja membuat janji bertemu dengan wanita lain yang tiga tahun terakhir ini mengisi hatinya, bertakhta setara dengan Regina. Dazel mencintai keduanya tanpa ada perbedaan. Dazel bukan mencintai Airin karena nafsu atau karena kemiripan wajah Airin dengan Regina, tetapi Dazel benar-benar mencintai Airin dari lubuk hati terdalam. Di tengah rasa paniknya, Dazel masih menyempatkan diri mengabari Airin dan meminta maaf harus membatalkan rencana kencan mereka. [Sayang ... maaf, untuk hari ini kita batal bertemu, aku ada urusan mendadak.] Dazel memberikan alasan batalnya pertemuan mereka. Namun, setelah beberapa saat menunggu tak juga ada balasan dari Airin. Dazel berusaha menelepon kekasih hatinya, tetapi tak juga dijawab olehnya. Rasa cemas dan takut kehilangan mendera hati. Ia sangat men
Bab 24Gundukan tanah merah itu masih basah, bunga-bunga segar pun masih bertaburan di atasnya. Orang-orang berbaju hitam yang tadi memenuhi area pemakaman untuk menghadiri acara pemakaman seorang wanita, satu per satu telah meninggalkan pemakaman. Kini, tinggallah seorang lelaki duduk termenung di samping batu nisan yang bertuliskan : REGINA PUTRI WULANDARILahir : Majalengka, 03 Januari 1989Wafat : Jakarta, 09 Februari 2022Lelaki itu adalah Dazel. Lelaki yang beberapa jam lalu masih memeluk tubuh istrinya yang semakin melemah. Ya, Dazel adalah seorang suami dengan dua orang anak. Ia sebenarnya lelaki baik yang begitu menyayangi keluarganya. Namun, sejak empat tahun yang lalu, tepatnya sejak Egi—panggilan—untuk Regina, divonis menderita leukimia stadium empat, hidupnya serasa hancur apalagi kedua anaknya masih sangat memerlukan perhatian penuh dari seorang ibu. Dazel berusaha mencari pengobatan yang terbaik untuk istrinya. Tak pernah sekalipun ia lalai mengurusi pengobatan dan
BAB 23Tiga hari sudah Airin terbaring lemah di rumah sakit dan selama itu pula Bram tak pernah beranjak dari sisinya. Ia dengan telaten menyuapi, mengelap badan, dan mengurus semua yang Airin perlukan.Hari ini kondisi Airin sudah lebih baik dari sebelumnya. Ia sudah bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi. Rasa melilit di bagian perut sudah tak lagi terasa seperti kemarin. “Pi, aku mau pulang,” ucapnya saat Bram menyuapi makan siang untuknya. “Ya, Sayang, kita tunggu visit dokter dulu, ya, setelah itu nanti kita konsultasikan apakah sudah boleh pulang atau tidak.”“Tapi aku udah enakan, Pi, perutku juga udah enggak sakit lagi.”“Sabar, ya, Sayang,” bujuk Bram penuh kasih sayang, “Habiskan dulu makanannya, ya, setelah ini ada visit dokter kita bicarakan, oke?”“Hemm ....”Airin menghabiskan sisa makan siangnya dengan sedikit malas. Sesekali matanya melirik ponsel yang ia letakkan di samping tempat tidur. Ini hari keempat tak ada kabar dari Dazel sejak batal bertemu tempo hari. Sampa
BAB 22Pagi ini Bram bangun lebih awal dari biasanya, sedangkan Airin yang terbiasa bangun lebih pagi, kali ini terlihat sangat nyenyak sekali tidurnya dan Bram tak ingin membangunkannya. Dirabanya kening Airin yang sedikit terasa lebih panas dari biasanya, sepertinya Airin agak demam dan kalau sampai setelah sarapan dan minum obat pereda demam masih juga belum membaik, Bram akan membawa Airin ke rumah sakit tanpa harus menunggu persetujuan Airin yang agak susah diajak berobat setiap kali badannya merasa kurang sehat dengan alasan takut jarum suntik. Perlahan Bram menyelimuti tubuh istrinya dan setelah itu ia turun ke dapur, ia ingin membuat sarapan untuk istrinya dengan tangannya sendiri. Selama ini Airin selalu mengurusi semua keperluannya dengan sempurna, kali ini Bram ingin merawat istri tercintanya itu dengan penuh cinta seperti yang ia terima selama ini dari Airin. “Selamat pagi, Pak,” sapa Bu Nah terheran-heran saat melihat Bram masuk ke dapur sepagi ini. “Pagi, Bu Nah. Bu
BAB 21Tok ... tok ... tok!Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya.“Masuk saja ....” Dengan menahan rasa sakit Airin menjawab.“Ibu ... loh, Bu Airin kenapa?” Mitha yang baru saja membuka pintu sembari membawakan segelas air putih hangat, terlonjak kaget melihat Airin sedang meringkuk di sofa dan meringis menahan sakit hingga wajahnya pucat.“Mitha, tolong saya, Mit.” Airin meringis kesakitan.“Apa yang harus saya lakukan, Bu?”“Perut saya sakit, Mit.”“Ibu coba minum dulu, ya, mudah-mudahan air hangat ini bisa meredakan sakitnya, Bu.” Mitha membantu Airin duduk dan memberikan segelas air putih hangat lalu Airin meminumnya.“Sakitnya seperti apa, Bu?” “Melilit, Mit, sakit banget.”“Saya coba pijit telapak kakinya, ya, Bu?” Mitha menawarkan dan dijawab Airin dengan anggukan. Lalu ia berselonjor dan Mitha mulai memijat di bagian telapak kakinya.Pijatan Mitha sedikit meredakan rasa sakit yang tadi begitu menyiksa.“Pijatanmu enak juga, Mit, kamu bisa mijit?”“Ah, sedikit, Bu.