BAB 2
Siang itu Airin masih bergelut dengan setumpuk file yang harus ia periksa. Ada beberapa desain terbaru harus ia cek sebelum lanjut ke produksi dan pameran. Ada dua cabang baru yang peresmiannya baru akan dilaksanakan bulan depan.Airin sangat ulet dalam menjalankan bisnisnya ini. Sebenarnya ia tidak mempunyai dasar ilmu berbisnis. Namun, wanita itu memiliki bakat di bidang desain.Dulu, ia sempat bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan di bidang fashion, sempat bercita-cita ingin menjadi seorang desainer ternama. Namun, keadaan ekonomi keluarga menghentikan langkah dan cita-citanya.Pendidikannya berhenti hanya sampai di bangku SMA saja, setelah itu dia mencoba melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik garmen hingga kecelakaan yang menimpa sang ayah dan akhirnya ia menerima pinangan Bram.Setelah menikah, Bram memboyong Airin untuk tinggal di Jakarta. Bram sangat memanjakan Airin yang kala itu masih sangat muda, dua puluh satu tahun. Dua orang anak Bram yang keduanya perempuan, dari pernikahan sebelumnya sudah berkeluarga dan usianya masih di atas usia Airin.Mereka tidak mempermasalahkan pernikahan ayahnya dengan perempuan yang jauh lebih muda, bahkan di bawah usia mereka, karena mereka sadar ayahnya butuh seseorang untuk menemani di hari tua. Sementara mereka masing-masing sudah memiliki keluarga dan ikut suami yang kebetulan dua-duanya mendapat jodoh orang luar.Saat kumpul keluarga pun mereka tetap bersikap hormat pada Airin dengan memanggilnya Mami dan menyaksikan sendiri bagaimana kebahagiaan ayahnya beristrikan Airin yang lembut dan penyayang. Begitu pun dengan Kenzo, mereka menyayangi anak kecil itu sebagai adik kandung satu bapak.Airin yang biasa bekerja dan tak suka berleha-leha, mengutarakan keinginannya untuk membuka toko baju kecil dan disetujui oleh Bram dengan satu syarat Airin tak boleh kecapean.Toko baju yang semula kecil dan hanya toko baju biasa di sebuah mal, berkembang pesat dan Airin mulai menambah usahanya dengan membuka sebuah butik dan bekerja sama dengan beberapa desainer. Sementara toko baju ia serahkan pada orang kepercayaannya untuk dikelola, tetapi Airin setiap satu minggu sekali datang untuk mengontrol perkembangan usaha dan para karyawannya.Tak heran kalau semua karyawan sangat dekat dan menghormatinya karena sikap Airin yang selalu memperlakukan semua karyawannya dengan baik.Tok ... tok ... tok ....Suara ketukan di pintu membuat Airin berpaling, tampak Mitha —orang kepercayaannya—di butik, berdiri di ambang pintu seraya tersenyum dan berkata, “Bu, di depan ada Bu Ratih. Mau menunggu di depan atau biar saya antar ke sini?”“Oh, sudah datang, ya? Bilang tunggu sebentar, ya, saya segera ke depan.”“Baik, Bu.”“Terima kasih, Mitha.”“Sama-sama, Bu.”Saking fokusnya Airin memeriksa beberapa file, sampai-sampai ia lupa bahwa hari ini ada janji dengan Ratih, sahabatnya. Kebetulan sudah waktunya makan siang, jadi Airin memutuskan untuk makan siang dengan sahabatnya itu.Gegas ia memisahkan file yang sudah diperiksa dan yang belum untuk dilanjutkan lagi nanti setelah pergi dengan sahabatnya itu.“Hai, Beib.” Ratih langsung menghampiri Airin begitu wanita bertubuh mungil ini tiba di tempat ia menunggu seraya melihat-lihat koleksi terbaru di butik sahabatnya ini.“Aduh, sorry, bikin lo nunggu, lama, ya?” Airin merasa tak enak membuat Ratih menunggunya.“Aishh ... kek sama siapa aja, lo.” Ratih menimpali seraya mengibaskan tangannya.“Gimana kalo kita makan siang di cafe biasa? Lo juga belum makan, ‘kan?” Airin menawarkan.“Yoklah.”“Eh, pake mobil gue aja, ya, mobil lo taro sini.”“Ok, nggak masalah.”Lalu kedua perempuan modern itu melangkah dengan anggun keluar butik menuju mobil Airin yang ada di pelataran parkir.“Butik, lo lumayan rame juga, ya, Rin.”“Ya, Alhamdulillah. Disyukuri.”“Lo enak, Rin. Hidup lo beruntung banget. Punya suami tajir, baik, sayang banget sama lo, pengertian, anak yang manis, pintar. Aaah ... udah paket komplit bener idup, lo. Lah, gue? Punya laki doyan main cewek doang buat apa? Bagusan juga gue tendang duluan sebelum gue kena tendang.” Ratih terkekeh di akhir kalimat yang diucapkannya.“Sabar, itu artinya dia gak baik buat lo, Tih. Lo masih muda, cantik, nikmati dulu kesendirian lo. Jan kebelet kawin lagi, lo, ya.” Airin menimpali dengan sedikit candaan.“Kalo gue kebelet anu gimana, dong.”“Anu, apaan?”“Ya, anu ... hilih ... hahaha,” Ratih yang agak sedikit nyablak meledakkan tawanya sementara Airin hanya senyum-senyum seraya fokus menyetir.Tak lama mereka tiba di sebuah kafe yang sudah sering kali mereka kunjungi. Meja dengan posisi paling pojok menjadi pilihan untuk menikmati makan siang kali ini. Tempat itu menjadi favorit mereka setiap kali bertemu atau hanya untuk sekadar melepas penat dengan pekerjaan masing-masing.“Kerjaan lo, gimana, Tih?”“Alhamdulillah, kalo urusan kerjaan gue lancar, Rin. Cuma urusan anu aja gue mentok, hahaha ....” Ratih menjawab sekenanya yang membuat Airin geleng-geleng kepala.“Eh, Rin, minggu depan gue ada tugas ke luar kota satu minggu. Kalo kerjaan gue kelarin sebelum satu minggu itu, gue ada waktu ‘kan buat jalan-jalan di sana. Susul gue, ya, please ....” Ratih berkata seraya menangkupkan kedua tangannya.“Ke mana?” tanya Airin masih dengan mode cueknya.“Surabaya.”“Hmm ... nanti, ya, gue liat jadwal dulu, kalo bisa, ya, gue mesti izin paksu juga.”“Pasti diizini, lah, laki lo ‘kan pengertian, gak kaya laki gue! Apa-apa gak boleh! Ini itu gak usah! Eh, ujungnya dia yang bedebah! Dulu sering tanya di mana, Yank? Gue pikir dia perhatian ma gue, ternyata cuma buat memastikan aja posisi gue di mana, biar dia leluasa jalan sama gundiknya!”“Hahaha ... sabar, Bu, sabar. Sepertinya Ibu butuh makan dulu, deh. Eh, sebentar ... Ibu bilang apa tadi? Laki gue? Cieee ... cieee ... ada yang belum move on, nih ....” Airin menggoda Ratih yang masih terlihat geram saat ingat akan kelakuan mantan suaminya.“Ish, najong! Amit-amit ... amit-amit.” Ratih mengentakkan kaki dan mengetuk-ngetuk kepalan tangannya pada meja yang membuat Airin terkekeh melihat tingkah sahabatnya itu.“Udah, kita makan dulu, tuh, udah datang pesanan kita.”“Makan banyak, nih, gue.”“Lapar banget?”“No, kalo inget ini, nafsu makan gue naik drastis.” Ratih berkata seraya menyendokkan nasi ke dalam piringnya.Airin senyum-senyum melihat tingkah sahabatnya, hanya dengan Ratih ia sering ketemu dan jalan bareng. Sudah hampir satu tahun ini sahabatnya menyandang gelar single parents, suaminya selingkuh dengan teman satu kantornya dan Ratih memilih untuk melepaskan ketimbang memaafkan. Mungkin karena mereka belum memiliki anak sehingga Ratih dengan keyakinan penuh memilih berpisah.Airin menarik napas panjang, ucapan Ratih tadi yang mengatakan dirinya sangat beruntung, hidupnya sempurna, paket komplit. Aamiin. Hanya itu yang bisa ia jawab, tanpa Ratih tahu keadaan batinnya yang hampa.Mereka asyik menikmati menu makan siang yang terasa sangat nikmat. Sejenak Airin melupakan apa yang bergejolak dalam hatinya belakangan ini. Ia harus mengisi dulu perutnya karena setelah ini masih banyak kerjaan yang harus segera diselesaikan.BAB 3Hari ini Airin akan meresmikan pembukaan cabang baru untuk butiknya. Pagi-pagi sekali ia sudah rapi dan cantik. Bram yang tak bisa menemani karena harus menemui klien dari luar pun meminta maaf pada istrinya.“Sayang, maaf, ya, aku gak bisa hadir temani kamu di acara hari ini,” ucapnya seraya memeluk pinggang Airin.“Gapapa, Sayang.” Airin menjawab seraya tersenyum lalu merangkul dan menggelayut manja pada suaminya.“Bener gapapa, Sayang?”“Ya gapapa, dong.”“Terima kasih, Sayang. Kamu itu bener-bener wanita hebat. Aku bangga sama kamu dan aku sangat bahagia memiliki kamu. I love you.”“I love you more,”Bram dengan lembut mencium istrinya sementara Airin semakin erat memeluk suaminya.“Aku berangkat duluan, ya, kamu hati-hati, ya, Sayang.”“Iya, Sayang, kamu juga hati-hati.”“Kenzo?”“Gapapa, biar nanti aku yang antar.”“Oke.”Setelah Bram pergi, Airin gegas merapikan semua yang akan ia bawa untuk keperluan launching hari ini. Sambil sesekali memanggil Kenzo yang
BAB 4Waktu sudah hampir lewat Magrib saat Airin tiba di rumah. Bram baru saja selesai menunaikan salat, saat Airin dengan terburu-buru masuk kamar."Hai, Mi, baru pulang, Sayang?" "Assalamualaikum," Airin menjawab dengan mengucap salam lalu mencium tangan suaminya."Wa'alaikum salam, salat dulu, Sayang.""Iya, Pi, aku bersih-bersih dulu, ya.""Oke, aku tunggu di bawah, ya."Bram berlalu keluar kamar sementara Airin gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melaksanakan salat Magrib. Hujan yang mengguyur Kota Bogor siang tadi membuat Airin tak bisa segera pulang karena kabut yang menutupi jalanan. Suara petir yang saling bersahutan membuatnya mengurungkan niat untuk segera pulang dan lebih memilih menata koleksi gaun-gaun yang baru saja ia keluarkan untuk dipajang di etalase depan butiknya.Tak henti ia mengucap syukur atas nikmat yang dirasakan, dan suami yang teramat sangat peduli akan dirinya dan juga orang tuanya di kampung. Adiknya bisa sekolah hingga ke perguruan
BAB 5Suara guyuran air di kamar mandi membangunkan Bram dari tidurnya, ia pun tak kalah kagetnya dengan Airin saat membuka mata ternyata hari sudah memasuki waktu Zuhur. Tadi ia berjanji akan membereskan koper Airin, tetapi ia malah tidur dan terlambat bangun."Sayang, maaf, jadi terlambat karena aku, ya?""Enggak, Pi, enggak terlambat, kok, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum ke bandara, aku mau lanjut rapikan koperku, Papi mandi sana.""Aku bantu, ya?" "Enggak usah, Sayang. Mandi aja sana nanti 'kan mau antar Mami ke bandara""Beneran, nggak mau aku bantu?""Iya, nggak usah. Sedikit lagi, kok." Senyum manis Airin seolah menjadi candu bagi Bram yang selama ini sangat menyayangi Airin.Bram lalu beranjak ke kamar mandi dan tak lupa sebelumnya mencium Airin yang tengah berganti pakaian."Sudah, Sayang. Ayo mandi dulu sana."" Baik ,Tuan Puteri," candanya sebelum berlalu dari hadapan Airin."Pi ... Pi, kamu udah kek anak kecil aja, sih, kalo udah manja." Terkekeh dibuat
BAB 6Mereka memasuki sebuah kafetaria yang tak begitu padat pengunjung di siang hari. Meja paling pojok dengan view menghadap ke arah taman kecil di samping bangunan, menjadi pilihan untuk menikmati secangkir kopi dan menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit seperti yang dijanjikan Ratih ada Airin di telepon tadi."Silakan ...." Dazel menarik kursi dan mempersilahkan Airin untuk mendudukinya."Terima kasih."Seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawakan buku menu untuk mereka memilih apa yang akan dipesan."Mau minum apa?" Airin mengangkat wajahnya dan menatap Dazel yang saat itu tengah menatapnya juga. Pandangan mereka saling bertemu dan keduanya sama-sama terpaku sampai beberapa detik, kemudian keduanya pun tersipu malu. Mirip remaja yang sedang jatuh cinta. "Sepertinya aku mau minum kopi latte saja," jawab Airin di tengah rasa salah tingkahnya."Wow ... kita punya selera yang sama," ucap Dazel seraya terkekeh."Oya?""Hmm ...."Dua kopi latte dan dua potong red velvet m
Bab7Tiba di hotel, Airin langsung menuju meja resepsionis untuk melakukan check in. Namun, Ratih lebih dulu berbicara pada petugas resepsionis dan tak lama petugas itu memberikan dua buah kunci kamar."Lho, kok?" "Iya, sebelum berangkat jemput lo tadi gue sempet pesan satu kamar buat lo, dan lo tau? Kamar lo itu pas sebelahan kamar gue!""Waaahh ... thanks, Beib." Airin berucap seraya menerima kunci kamar yang diberikan Ratih padanya.Dengan menggunakan lift mereka naik ke lantai delapan di mana letak kamar mereka berada."Rin, lo istirahat dulu, ya, ini udah hampir masuk waktu Magrib juga. Nanti pukul 19:30 kita keluar makan malam dan cari angin sedikitlah," ucap Ratih saat mereka sudah sampai di depan kamar. "Oke, gue juga udah pengen mandi, nih.""Ya udah, oke."Airin dan Ratih masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Setelah menyimpan barang bawaannya, Airin lalu masuk ke kamar mandi, berendam mungkin akan membuat badan lebih segar setelah perjalanan dari Jakarta ke Surabaya sian
Ratih yang tak sengaja memperhatikan gerakan tangan Airin yang tiba-tiba berhenti menyuapkan makanan, lalu ia mengikuti arah pandang mata Airin dan seketika membulatkan matanya dengan mulut ternganga."Oh, my god! Itu—itu, 'kan? Heyy ... Airin! Itu cowok yang kemaren bareng, lo, 'kan? Dazel?"Ratih berbicara sedikit heboh sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Airin, sedangkan Airin yang masih terpukau oleh pesona Dazel seketika memerah wajahnya karena kepergok Ratih sedang menatap Dazel."I–iya, tapi gue enggak tau kalo dia juga menginap di sini," jawab Airin gugup."Gue, 'kan, enggak nanya kenapa dia ada di sini, Rin, gue cuma nanya itu Dazel? Kenapa lo salting, sih," Ratih sedikit tergelak mendengar jawaban Airin yang enggak nyambung sama pertanyaannya."Oh, eh, iya ... itu Dazel." Airin semakin salah tingkah. "Rin, kenapa, lo, salting, sih?""Gue? Salting?""Iya, elo, lah, masa gue!” Ratih terkekeh melihat Airin yang semakin jelas terlihat salah tingkahnya.Sementara itu, Dazel y
Grand City Surabaya.Siang ini Airin dan Ratih memilih untuk shopping di Grand City Surabaya, keduanya memasuki mal dan menuju ke salah satu butik terkenal yang berada di lantai empat. Mal ini adalah salah satu pusat perbelanjaan terbesar di antara tujuh yang ternama di Surabaya.Mereka memasuki butik yang dituju dan langsung disambut hangat oleh seorang karyawan butik. Gadis berkulit kuning langsat dan bermata bulat dengan iris mata berwarna cokelat itu dengan telaten melayani Airin dan Ratih, mulai dari menanyakan apa yang dicari, mengambilkan dan membantu saat kedua wanita sosialita itu mencobanya.Beberapa potong pakaian akhirnya mencuri hati Airin juga Ratih, walaupun ada banyak koleksi pakaian cantik-cantik di butik miliknya, tetapi Airin selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa butik terkenal untuk melihat-lihat perkembangan fashion dan style terbaru supaya butiknya tak ketinggalan mode.Setelah puas berbelanja, keduanya lalu keluar dari butik dan menuju ke salah s
BAB 10[tidur?] Satu pesan chat masuk di ponsel Airin, tentu saja dari Dazel."Belum, kok."[Seharian aku kangen kamu, boleh ketemu?]"Kapan?" Airin membalas singkat.[Sekarang, aku enggak bisa nahan kangen sampai besok.]"Sekarang? Tapi kan ini sudah malam, Zel."[Sebentar saja, Rin. Mau, ya? Di seberang hotel ini ada kafe yang buka sampai tengah malam nanti, aku tunggu kamu di sana, ya, please Rin, aku kangen banget.] Dazel tetap kukuh, mendesak Airin untuk bertemu.Airin berpikir keras, apakah ia harus mengikuti mau Dazel atau menolaknya? Jika ia ikuti, ia takut juga ini akan menjadi bumerang bagi rumah tangganya. Jika tidak, hati kecil Airin juga merasakan getar yang tak biasanya semenjak perkenalannya dengan pria itu.[Rin, gimana? Mau, ya?] Kembali Dazel mengirimkan pesan karena Airin tak menjawab pesan sebelumnya.Airin semakin galau, ya, atau tidak? Hingga akhirnya ia membalas pesan Dazel."Ya, sepuluh menit lagi aku sampai." Airin menekan tombol enter. Pesan pun terkirim. Ai
Setelah melewati beberapa kali rangkaian pemeriksaan, akhirnya Airin dijadwalkan untuk menjalani operasi siang ini. Semua sedang dipersiapkan tinggal menunggu tim menjemput dan membawanya ke ruang operasi. “Sayang ... aku yakin kamu bisa sembuh dan aku akan selalu berdoa untuk kesembuhanmu.” “Pi, maafkan aku—” “Sstt ... sudah, jangan memikirkan yang lain dulu, sekarang kita fokus untuk kesembuhanmu. Aku yakin kamu pasti kuat, Mi.” “Tidak, Pi, aku takut aku tak bisa membuka mata lagi dan aku belum mendapatkan maaf darimu, Pi.” “Sayang—kita lupakan semuanya dan Insya Allah—aku sudah memaafkanmu.” Tutur Bram tulus, meski di dalam hatinya ada rasa sakit yang teramat menggores. Namun, setelah melewati proses merenung dan menjalankan salat istikharah, ia memutuskan untuk memaafkan Airin dan berjanji akan membimbingnya ke arah yang lebih baik lagi. Meski jujur harus diakuinya ada rada yang sangat tak nyaman saat mengingat bahwa istri yang teramat dia sayangi pernah membagi tubuh dan hat
“Semua berkas sudah siap dan saya juga sudah membuat janji dengan Dokter Victor, Pak Bram bisa segera berangkat.” Dokter Faizal berbicara dengan Bram di ruang kerjanya.Malam ini juga Airin akan segera diterbangkan ke Penang untuk menjalani pengobatan, ia akan menjalani operasi Whipple. Operasi Whipple adalah operasi yang melibatkan pengangkatan bagian kepala pankreas, bagian pertama dari usus kecil ( duodenum ), dan sebagian dari saluran empedu, kantong empedu, dan terkadang sebagian lambung. Umumnya, operasi ini digunakan untuk menangani kanker pankreas. Untuk penderita di stadium 1,2, dan 3 yang belum parah, telah banyak penderita sembuh total setelah menjalani operasi ini.“Terima kasih banyak atas bantuannya, Dokter.” Dengan tangan gemetar Bram menerima semua berkas yang harus ia bawa untuk diserahkan pada pihak rumah sakit di Penang. Hati Bram hancur menerima semua kenyataan ini. Namun, ia harus tetap tegar dan kuat demi untuk kesembuhan wanita yang sangat ia sayangi. “Oke, jik
“Jadi, istrinya Dazel berasal dari Karawang? Sama dengan aku?” Airin berkata di dalam hatinya. Sesaat ingatannya tertuju pada kampung halaman, orang tua, teman, dan saudara-saudaranya yang entah sudah berapa lama tak berjumpa. Lalu Airin teringat akan Wulan, teman semasa kecil yang sudah sekian lama tak diketahui kabarnya. Semenjak Airin menikah dan menetap di Jakarta, ia jarang sekali pulang ke kampung dan saat Wulan menikah pun Airin tak mengetahuinya.“Sayang ....”Dazel menggenggam tangan Airin dan menciuminya ingin rasanya ia memeluk tubuh mungil Airin. Namun, melihat kondisinya yang lemah Dazel takut malah akan menyakitinya.“Sayang, kamu kenapa bisa seperti ini? Sakit apa?”“Dazel, apa kamu mencintaiku?”“Tentu saja, aku sangat mencintaimu, Sayang, kenapa kamu bertanya seperti ini? Kenapa meragukan aku? Kita telah bersama selama tiga tahun, apa yang kamu ragukan, Sayang?”“Boleh aku meminta sesuatu?”“Katakanlah—““Ti—tinggalkan aku.”Dazel merasa seperti terhempas ke dalam ju
BAB 26“Tambah lagi, ya, makannya?” Bram membujuk Airin yang beberapa hari terakhir ini susah sekali untuk makan. Dalam dua minggu terakhir ini atau selama ia sakit, berat badannya menurun drastis. Tubuh mungilnya semakin kurus dan pucat.“Udah, Pi,” Airin menjawab dengan lemah.Dua pekan sudah Airin terbaring di rumah sakit, keinginannya untuk bed rest di rumah tak dikabulkan pihak rumah sakit mengingat seringnya Airin mengalami drop dan tiba-tiba mengalami rasa sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas kiri dan kemudian menyebar hingga ke bagian belakang. Rasa nyeri itu akan semakin bertambah saat ia sedang makan atau berbaring.Bram meletakkan piring yang isinya hanya beberapa sendok saja yang berhasil ia suapkan pada Airin. Ia melirik arloji yang melingkar di tangannya, jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi lebih beberapa menit saja. Ia sudah membuat janji bertemu dengan Dokter Faizal untuk membicarakan tentang pengobatan Airin yang akan diberangkatkan ke Penang at
BAB 25Dada Dazel bergemuruh hebat saat ia menerima telepon dari ART-nya yang mengabarkan kalau istrinya ditemukan tak sadarkan diri di dalam kamar.Dirinya yang saat itu sedang berbunga-bunga karena baru saja membuat janji bertemu dengan wanita lain yang tiga tahun terakhir ini mengisi hatinya, bertakhta setara dengan Regina. Dazel mencintai keduanya tanpa ada perbedaan. Dazel bukan mencintai Airin karena nafsu atau karena kemiripan wajah Airin dengan Regina, tetapi Dazel benar-benar mencintai Airin dari lubuk hati terdalam. Di tengah rasa paniknya, Dazel masih menyempatkan diri mengabari Airin dan meminta maaf harus membatalkan rencana kencan mereka. [Sayang ... maaf, untuk hari ini kita batal bertemu, aku ada urusan mendadak.] Dazel memberikan alasan batalnya pertemuan mereka. Namun, setelah beberapa saat menunggu tak juga ada balasan dari Airin. Dazel berusaha menelepon kekasih hatinya, tetapi tak juga dijawab olehnya. Rasa cemas dan takut kehilangan mendera hati. Ia sangat men
Bab 24Gundukan tanah merah itu masih basah, bunga-bunga segar pun masih bertaburan di atasnya. Orang-orang berbaju hitam yang tadi memenuhi area pemakaman untuk menghadiri acara pemakaman seorang wanita, satu per satu telah meninggalkan pemakaman. Kini, tinggallah seorang lelaki duduk termenung di samping batu nisan yang bertuliskan : REGINA PUTRI WULANDARILahir : Majalengka, 03 Januari 1989Wafat : Jakarta, 09 Februari 2022Lelaki itu adalah Dazel. Lelaki yang beberapa jam lalu masih memeluk tubuh istrinya yang semakin melemah. Ya, Dazel adalah seorang suami dengan dua orang anak. Ia sebenarnya lelaki baik yang begitu menyayangi keluarganya. Namun, sejak empat tahun yang lalu, tepatnya sejak Egi—panggilan—untuk Regina, divonis menderita leukimia stadium empat, hidupnya serasa hancur apalagi kedua anaknya masih sangat memerlukan perhatian penuh dari seorang ibu. Dazel berusaha mencari pengobatan yang terbaik untuk istrinya. Tak pernah sekalipun ia lalai mengurusi pengobatan dan
BAB 23Tiga hari sudah Airin terbaring lemah di rumah sakit dan selama itu pula Bram tak pernah beranjak dari sisinya. Ia dengan telaten menyuapi, mengelap badan, dan mengurus semua yang Airin perlukan.Hari ini kondisi Airin sudah lebih baik dari sebelumnya. Ia sudah bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi. Rasa melilit di bagian perut sudah tak lagi terasa seperti kemarin. “Pi, aku mau pulang,” ucapnya saat Bram menyuapi makan siang untuknya. “Ya, Sayang, kita tunggu visit dokter dulu, ya, setelah itu nanti kita konsultasikan apakah sudah boleh pulang atau tidak.”“Tapi aku udah enakan, Pi, perutku juga udah enggak sakit lagi.”“Sabar, ya, Sayang,” bujuk Bram penuh kasih sayang, “Habiskan dulu makanannya, ya, setelah ini ada visit dokter kita bicarakan, oke?”“Hemm ....”Airin menghabiskan sisa makan siangnya dengan sedikit malas. Sesekali matanya melirik ponsel yang ia letakkan di samping tempat tidur. Ini hari keempat tak ada kabar dari Dazel sejak batal bertemu tempo hari. Sampa
BAB 22Pagi ini Bram bangun lebih awal dari biasanya, sedangkan Airin yang terbiasa bangun lebih pagi, kali ini terlihat sangat nyenyak sekali tidurnya dan Bram tak ingin membangunkannya. Dirabanya kening Airin yang sedikit terasa lebih panas dari biasanya, sepertinya Airin agak demam dan kalau sampai setelah sarapan dan minum obat pereda demam masih juga belum membaik, Bram akan membawa Airin ke rumah sakit tanpa harus menunggu persetujuan Airin yang agak susah diajak berobat setiap kali badannya merasa kurang sehat dengan alasan takut jarum suntik. Perlahan Bram menyelimuti tubuh istrinya dan setelah itu ia turun ke dapur, ia ingin membuat sarapan untuk istrinya dengan tangannya sendiri. Selama ini Airin selalu mengurusi semua keperluannya dengan sempurna, kali ini Bram ingin merawat istri tercintanya itu dengan penuh cinta seperti yang ia terima selama ini dari Airin. “Selamat pagi, Pak,” sapa Bu Nah terheran-heran saat melihat Bram masuk ke dapur sepagi ini. “Pagi, Bu Nah. Bu
BAB 21Tok ... tok ... tok!Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya.“Masuk saja ....” Dengan menahan rasa sakit Airin menjawab.“Ibu ... loh, Bu Airin kenapa?” Mitha yang baru saja membuka pintu sembari membawakan segelas air putih hangat, terlonjak kaget melihat Airin sedang meringkuk di sofa dan meringis menahan sakit hingga wajahnya pucat.“Mitha, tolong saya, Mit.” Airin meringis kesakitan.“Apa yang harus saya lakukan, Bu?”“Perut saya sakit, Mit.”“Ibu coba minum dulu, ya, mudah-mudahan air hangat ini bisa meredakan sakitnya, Bu.” Mitha membantu Airin duduk dan memberikan segelas air putih hangat lalu Airin meminumnya.“Sakitnya seperti apa, Bu?” “Melilit, Mit, sakit banget.”“Saya coba pijit telapak kakinya, ya, Bu?” Mitha menawarkan dan dijawab Airin dengan anggukan. Lalu ia berselonjor dan Mitha mulai memijat di bagian telapak kakinya.Pijatan Mitha sedikit meredakan rasa sakit yang tadi begitu menyiksa.“Pijatanmu enak juga, Mit, kamu bisa mijit?”“Ah, sedikit, Bu.