"Seberat apapun beban masalah yang kamu hadapi saat ini, percayalah bahwa semua itu tidak pernah melebihi batas kemampuanmu."***Dengan rasa percaya diri, aku melangkah masuk ke klub "The Angel" itu, para perempuan malam banyak yang lebih muda dariku. Alasan mereka memilih jalan ini pun, tak jauh berbeda denganku. Ada juga anak dari orang kaya, yang rusak karena salah bergaul, karena tidak mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.Aku tahu, banyak yang iri dan tidak suka dengan kehadiranku. Tapi, karena mereka tahu aku adalah temannya Ambar—pemilik klub malam tempatnya bekerja—perempuan-perempuan itu memilih menghindar dariku."Hey, Naya!" jerit Mona, salah satu senior di klub ini. Badannya masih terjaga meski usianya sudah berkepala empat. Wajah cantik bukan hal utama di klub ini, goyangan dan makeup tebal adalah prioritas utama kami."Iya." Aku membalas lambaian tangannya dan menuju tempatnya duduk."Mana si Mami?" tanyanya ketika aku sudah berada tepat di sampingnya.
Aku pulang membawa senyum merekah sepanjang waktu, kebetulan besok adalah tujuh harian Erna. Aku menjadi sedih kembali, dalam hati berjanji padanya akan datang berziarah ke makamnya setelah urusanku selesai di sini."Mamaaa!" teriak Fito yang lagi bermain di taman depan bersama Mbak Ina."Halo, sayangnya mama." Kedua tangannya direntangkan, tanda meminta gendong."Ambar sudah pulang, Mbak?" tanyaku pada Mbak Ina."Sudah, barusan juga.""Oke, titip Fito bentar, ya.""Iya, Mbak."Aku setengah berlari masuk ke dalam rumah dan segera memasuki kamar Ambar.Tok! Tok! Tok!"Ambar, boleh masuk gak?" ucapku."Masuk aja," jawabnya dari dalam.Pintu terbuka, hawa dingin dari AC pun menguar menusuk persendian."Cieee, cerah amat mukanya?" goda Ambar. Aku hanya tersenyum simpul."Makasih banget, Mbar. Semua berkat kamu, tadi Aldo kasih aku duit. TIGA PULUH JUTA!" jeritku dengan histeris."Hahaha. Uang segitu gak ada arti apa-apa bagi Aldo, Naya!""Tapi, uang segitu amat besar untuk siapa pun, kan?
Sayup-sayup suara rintihan terdengar begitu menyayat hati, berganti menjadi suara yang menyeramkan. Lengkingan tawa memekakkan telinga, di mana aku? Gelap menyelimuti.Apakah aku sudah mati? Kenapa begitu gelap? Di mana aku? Panik? Tentu saja aku panik dan hampir menangis, mengingat dosa yang belum terkikis. Fito! Di mana Fito? Kenapa begitu hening?"Ambaaar! Fito! Mbak Ina!" jeritku berulang kali. Tetap tak ada jawaban. Aku menelisik ke sekeliling, hanya pekat tanpa pendar cahaya sedikitpun."Juliii ...," lirih kecil terdengar samar."S-ssi-siapa?" tanyaku dengan mata awas. Aku meraba dengan langkah gemetar, menggeser tapak kaki sepelan mungkin. Takut, jika ada lubang atau semacamnya."Tolong aku, July ...." Suara itu terdengar sangat dekat, seperti suara Erna."Erna? Apakah itu kamu?" tanyaku dengan menahan tangis. Sebab, tenggorokanku sudah terasa sakit. Untuk menelan air liur pun seakan tak mampu."Tolong aku, Bang Wendra sudah membuatku seperti ini. Dia harus membayar dosanya! To
Ambar adalah dewa penolongku, sama seperti Erna yang selalu ada di saat aku butuhkan. Wanita ambisius itu tengah bersedih ketika aku baru saja sampai."Kenapa? Keliatannya, kamu lagi kurang enak badan, ya?" tanyaku buru-buru menghampiri.Sofa mewah itu, membuatku sedikit ragu untuk menghempaskan bokong. Ambar berselonjoran di sana, sofa berlapis emas menambah kesan elegan dan berkelas bagi pemiliknya."Suamiku meninggal," ucapnya hampir tak terdengar."Innalilahi. Bagus, dong? Kenapa sedih?" tanyaku. Ya, Ambar pernah bercerita jika ia menunggu suaminya itu meninggal, karena sebagian harta milik orang terkaya di Jakarta itu, akan menjadi bagian milik Ambar nantinya."Anak dan istri Om Frank mengubah surat wasiat itu, aku kalah karena mereka kuat. Sia-sia semuanya!" dengusnya."Untung aja kamu pinter, Mbar. Sebagian kecil anak perusahaan milik suamimu, sudah kamu amankan.""Iya, tapi tetap aja aku tidak rela. Cuma lima cabang yang sempat aku amankan," ucapnya kembali.Ambar banyak menga
"Ada saatnya kita harus bertindak, ada saatnya kita harus diam dan menunggu."~ Sepositif ~****"Apakah kamu tidak mau bercumbu denganku, Sayang?" tanya Andrian tepat di telingaku. Tangannya meremas bokongku, hampir menyingkap mini dress yang kupakai.Aku segera menurunkan kembali tangannya, "Maaf, aku harus kerja. Hansen sudah menungguku di room." Aku segera mengganti pakaian dengan lingerie yang ada di dalam tas.Andrian masih bergelayut manja di belakang tubuhku, "Sebentar aja, apakah aku tidak sekaya Aldo? Makanya kamu tidak mau melayaniku?" Bibirnya telah menempel di bahuku, menyapu pelan hingga aku bergidik merinding.Buru-buru aku memakai lingerie dan keluar begitu saja, aku tidak ingin Hansen menungguku. Room 302, aku membukanya dan menemukan laki-laki berpakaian jas berwarna putih, celana panjang dengan warna serupa tengah duduk dengan satu kaki menopang di kaki satunya. Kedua tangannya direntangkan ke sisi sofa. Betapa maskulin pria itu."Masuklah," ucapnya. Laki-laki itu b
Aku mengikuti Hansen, keluar dari klub. Sebelum pergi, ia menyuruhku untuk berganti pakaian. Dengan senang hati, aku menuruti kemauannya. Karena, aku tidak harus melayaninya di atas ranjang. Celana jeans berpadu dengan kaus putih, aku sempat mencari keberadaan Andrian di tempat ganti. Namun, sepertinya ia telah meninggalkan klub ini.Hansen telah menungguku di dalam mobil sport miliknya. Awalnya aku sempat bingung dan ragu, tetapi lelaki itu dengan sigap membukakan pintu untukku."Masuklah, tenang saja. Aku tak akan menculikmu. Kau terlalu istimewa untuk disakiti." Kata-katanya membuatku baper."Mau ke mana kita?""Sudah, duduk diam tanpa banyak bertanya, akan membuatmu aman," godanya."Tapi, tugasku hanya menemani bernyanyi dan memuaskan Bapak selama lima jam saja, dan ini tersisa dua jam lagi.""Panggil aku Hansen saja, dua jam lagi, ya? Emm, sepertinya waktu begitu cepat, ya, berputar? Tenang saja, aku sudah menambah jam bookingan pada Ambar," tukasnya.Hansen tersenyum simpul, ent
"Dari mana saja, sih, kalian?!" bentak perempuan cantik itu."Tadi ada sedikit kendala, yang terpenting sekarang, kan, kita sudah sampai."Perempuan cantik itu mendengus kesal, ia terus-menerus menatapku. Persis seperti ingin menerkam mangsanya."Naya, pergilah ke sana." Hansen menunjuk ke arah balkon, ada sesi pemotretan di sana."Aku?" Hansen mengangguk. Beberapa karyawannya menuntun tanganku, sebagian lagi mengangkat sedikit gaun yang menjuntai ke belakang.Sekilas, aku melirik Hansen dan perempuan itu sedang bertengkar kecil. Lagi-lagi ia menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti.Fotografer memberiku pengarahan seperti apa nantinya. Tunggu dulu! Apa? Pemotretan? Apakah aku sedang menjadi model? Degup jantung semakin tak terkendali, ketika beberapa kali salah dan ulang kembali.Hansen mendekati diriku, "Baiklah, modelnya biar aku saja." Lalu, ia tersenyum dan berbisik padaku. "Tenang, santai aja. Anggap tidak ada siapa pun di ruangan ini," bisiknya.Meskipun masih salah, teta
Semua memang karena uang, aku kini terbiasa merias diri dan mulai merawat diri. Ya, aku merasakan perubahannya. Aku memuji bayangan yang ada di dalam cermin itu, cantik sekali. Hehehe. Selain diri sendiri yang memuji, siapa lagi?Fito masih di atas ranjang, memandangiku dari kejauhan. Aku bisa melihatnya dari pantulan cermin, rencananya aku memang akan mengajak Fito ke rumah ibuku, dan mengajaknya bermain di mall lagi."Fito, sini kita ganti baju," titahku padanya.Anak itu langsung beranjak turun dari ranjang dan menghampiri diriku. Aku menggantikan pakaian Fito, selesai."Ayo, kita pergi.""Asiiik!"Tak lupa membawa uang dari Hansen, menaruhnya di dalam tas berukuran besar, lalu berjalan keluar kamar. Hari ini, aku meminta Pak Mamat untuk mengantarkan kami."Hey, mau ke mana kalian?" tanya Ambar dari lantai atas."Eh, kamu ada di rumah, toh? Aku kira pergi." Aku berhenti di ambang pintu. "Aku pinjem Pak Mamat dulu, ya? Pengen ke rumah ibuku," sambungku kembali.Supir Ambar ada tiga,