Aku mengikuti Hansen, keluar dari klub. Sebelum pergi, ia menyuruhku untuk berganti pakaian. Dengan senang hati, aku menuruti kemauannya. Karena, aku tidak harus melayaninya di atas ranjang. Celana jeans berpadu dengan kaus putih, aku sempat mencari keberadaan Andrian di tempat ganti. Namun, sepertinya ia telah meninggalkan klub ini.Hansen telah menungguku di dalam mobil sport miliknya. Awalnya aku sempat bingung dan ragu, tetapi lelaki itu dengan sigap membukakan pintu untukku."Masuklah, tenang saja. Aku tak akan menculikmu. Kau terlalu istimewa untuk disakiti." Kata-katanya membuatku baper."Mau ke mana kita?""Sudah, duduk diam tanpa banyak bertanya, akan membuatmu aman," godanya."Tapi, tugasku hanya menemani bernyanyi dan memuaskan Bapak selama lima jam saja, dan ini tersisa dua jam lagi.""Panggil aku Hansen saja, dua jam lagi, ya? Emm, sepertinya waktu begitu cepat, ya, berputar? Tenang saja, aku sudah menambah jam bookingan pada Ambar," tukasnya.Hansen tersenyum simpul, ent
"Dari mana saja, sih, kalian?!" bentak perempuan cantik itu."Tadi ada sedikit kendala, yang terpenting sekarang, kan, kita sudah sampai."Perempuan cantik itu mendengus kesal, ia terus-menerus menatapku. Persis seperti ingin menerkam mangsanya."Naya, pergilah ke sana." Hansen menunjuk ke arah balkon, ada sesi pemotretan di sana."Aku?" Hansen mengangguk. Beberapa karyawannya menuntun tanganku, sebagian lagi mengangkat sedikit gaun yang menjuntai ke belakang.Sekilas, aku melirik Hansen dan perempuan itu sedang bertengkar kecil. Lagi-lagi ia menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti.Fotografer memberiku pengarahan seperti apa nantinya. Tunggu dulu! Apa? Pemotretan? Apakah aku sedang menjadi model? Degup jantung semakin tak terkendali, ketika beberapa kali salah dan ulang kembali.Hansen mendekati diriku, "Baiklah, modelnya biar aku saja." Lalu, ia tersenyum dan berbisik padaku. "Tenang, santai aja. Anggap tidak ada siapa pun di ruangan ini," bisiknya.Meskipun masih salah, teta
Semua memang karena uang, aku kini terbiasa merias diri dan mulai merawat diri. Ya, aku merasakan perubahannya. Aku memuji bayangan yang ada di dalam cermin itu, cantik sekali. Hehehe. Selain diri sendiri yang memuji, siapa lagi?Fito masih di atas ranjang, memandangiku dari kejauhan. Aku bisa melihatnya dari pantulan cermin, rencananya aku memang akan mengajak Fito ke rumah ibuku, dan mengajaknya bermain di mall lagi."Fito, sini kita ganti baju," titahku padanya.Anak itu langsung beranjak turun dari ranjang dan menghampiri diriku. Aku menggantikan pakaian Fito, selesai."Ayo, kita pergi.""Asiiik!"Tak lupa membawa uang dari Hansen, menaruhnya di dalam tas berukuran besar, lalu berjalan keluar kamar. Hari ini, aku meminta Pak Mamat untuk mengantarkan kami."Hey, mau ke mana kalian?" tanya Ambar dari lantai atas."Eh, kamu ada di rumah, toh? Aku kira pergi." Aku berhenti di ambang pintu. "Aku pinjem Pak Mamat dulu, ya? Pengen ke rumah ibuku," sambungku kembali.Supir Ambar ada tiga,
"Apapun yang terjadi, nikmati hidup ini. Hapus air mata, berikan senyummu. Kadang, senyum terindah datang setelah air mata penuh luka."***"Memangnya, abis ini kalian mau ke mana?" tanya Kak Okta sambil mengunyah makanannya."Ke mall aja, ajak Fito main.""Kita ikut, dong. Sudah lama, nih, aku sama Ibu gak ke mall.""Iya, kita siap-siap aja," timpal Ibal tak tahu malu."Yuk, ibu juga sekalian mau lihat-lihat."Akhirnya, aku tidak bisa melarang keinginan mereka. Mana mungkin aku tega, sedangkan ini adalah kesempatan kami untuk dekat kembali. Menjalin silaturahmi yang sempat menjauh, bahkan hampir terputus oleh keadaan."Baiklah, aku menunggu di dalam mobil aja, ya." Tanpa menunggu jawaban dari mereka, aku segera menggendong Fito.Lagi-lagi tangan Ibal seperti disengaja, menyentuh jemariku. Aku segera menepisnya, dan berjalan keluar rumah. Dasar laki-laki tidak tahu malu, baru juga menjadi suami kakakku, tetapi tingkahnya sudah genit!Sepuluh menit kemudian, terlihat bayangan mereka ke
( Fakta Tentang Suami Kak Okta )*******Sudah dua jam kami mengitari mall ini, perlengkapan bayi pun sudah dibeli semua. Aku sengaja membelikan semua kebutuhan calon keponakan baruku.Dari pakaian, tempat tidur yang bisa bergoyang, peralatan mandi, hingga stroller bayi. Tidak ada yang kurang satu pun, aku tak ingin keterbatasan ekonomi membuat calon bayi itu menderita secara perlahan seperti Fito, anakku.Tanpa basa-basi, Ibal mengambil tas bayi dan gendongannya."Cih! Dasar tak tahu malu!" desisku."Fito mau beli apa?" tanyaku pada Fito yang dari tadi memandangi tumpukan mainan."Itu." Tunjuknya ke salah satu mainan.Aku mengambilnya dan langsung menaruhnya ke meja kasir, lagi-lagi Ibal menjajarkan barang yang ia pilih tadi di samping mainan Fito."Plastiknya dipisah aja, Mbak." Ibal bersuara kembali setelah aku membayar tagihan semuanya. Aku memutar bola mata dengan malas, ia malah menyunggingkan sebuah senyuman.Tidak ada rasa terima kasih, atau sekedar berbasa-basi untukku. Bukan
( Korban rumah tangga )*****Tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu. Sudah satu bulan aku berkerja di tempat Ambar, selama itu juga aku tidak tahu tentang kabar Azam maupun suamiku dan keluarganya. Sejak hari itu, aku tidak lagi berkunjung ke rumah ibuku. Malas rasanya melihat suami Kak Okta, beberapa kali kakakku menelepon menyuruhku datang. Namun, aku menolaknya dengan alasan sibuk bekerja.Pundi-pundi rupiah telah aku kumpulkan, sudah lebih dari cukup rasanya jika ingin membuka usaha. Tetapi, kata Ambar nanti saja kalau modal benar-benar matang. Sebenarnya aku berniat untuk mencari rumah, tetapi Ambar menahanku lagi. Katanya, lebih baik aku menumpang tinggal dengannya saja, tunggu aku sudah memiliki rumah baru pindah. Lucu memang, kenapa bukan adik-adiknya saja yang ia suruh tinggal di sini. Hahaha. Aku tertawa tanpa sebab.***"Jul, Okta kapan lahiran?" tanya Ambar saat kami sedang duduk di kursi taman."Katanya, sih, kalau gak salah denger bulan depan. Gak tau juga, memangnya
( Kenangan Terakhir )*****Aku memandangi bayi mungil yang sedang tertidur di atas ambal tanpa kasur, memang tidak layak sekali untuk berbaring di sana. Rumah ini, tidak ada barang-barang berharga, selain piring-piring, gelas, dan panci-panci yang tergantung di dinding rumah."Anakmu itu, apa gak sakit tidur di situ?" tanyaku. Pandangan mata tetap tertuju pada manusia kecil itu."Sudah biasa," ucap ibunya Eka.Keterbatasan ekonomi, membuat mereka terpaksa hidup menderita. Menahan rasa malu dan cemoohan orang-orang disekitarnya, bahkan tak segan-segan Eka dan keluarganya dihina habis-habisan. Mereka selalu menyindir, tentang Eka yang memiliki anak yang banyak, suami pemalas, dan lain sebagainya. Itu yang kudengar dari cerita Eka."Kasian, loh. Apa suamimu itu, tidak pernah sekali pun membeli kasur untuk anak-anaknya?" tanyaku lagi.Eka hanya menggeleng, bagaimana nasib kakakku nanti? Bisa-bisa, Kak Okta yang bekerja dan menghidupi suaminya. Aku membuang napas dengan berat. Setelah cuku
( Menginap di Hotel )"Hidup itu seperti mengendarai sebuah sepeda. Untuk menjaga keseimbangan kamu harus terus bergerak."~ Albert Einstein ~*****"Sebaiknya kamu istirahat aja dulu, mungkin kamu itu kecapean." Aku membuatnya untuk berdiri, tetapi lagi-lagi Ambar bersikap aneh."Gak! Gak mau, kita tidur di kamarmu aja, ya!" serunya.Tiket sudah dipesan, mau tak mau aku batalkan dan membiarkannya hangus. Aku dan Ambar berjalan beriringan, langkahnya seperti orang ragu. Sebentar-sebentar ia berhenti, mengamati setiap jengkal rumahnya, lalu ketakutan lagi. Aku jadi bingung sendiri dengan tingkah lakunya malam ini.Sementara Fito masih di kamar Mbak Ina seperti biasanya, aku benar-benar semakin menjauh dari anak itu."Jul, nanti sebagian uangku, kamu simpen, ya." Ambar menyerahkan beberapa kartu ATM padaku. "PINnya dicatat biar gak lupa," sambungnya lagi.Ambar memberitahu PIN ATM miliknya, semua akses pribadinya. Bahkan, sampai tempat penyimpanan emas pun tak luput dari sebutannya. Satu
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d