( Kenangan Terakhir )*****Aku memandangi bayi mungil yang sedang tertidur di atas ambal tanpa kasur, memang tidak layak sekali untuk berbaring di sana. Rumah ini, tidak ada barang-barang berharga, selain piring-piring, gelas, dan panci-panci yang tergantung di dinding rumah."Anakmu itu, apa gak sakit tidur di situ?" tanyaku. Pandangan mata tetap tertuju pada manusia kecil itu."Sudah biasa," ucap ibunya Eka.Keterbatasan ekonomi, membuat mereka terpaksa hidup menderita. Menahan rasa malu dan cemoohan orang-orang disekitarnya, bahkan tak segan-segan Eka dan keluarganya dihina habis-habisan. Mereka selalu menyindir, tentang Eka yang memiliki anak yang banyak, suami pemalas, dan lain sebagainya. Itu yang kudengar dari cerita Eka."Kasian, loh. Apa suamimu itu, tidak pernah sekali pun membeli kasur untuk anak-anaknya?" tanyaku lagi.Eka hanya menggeleng, bagaimana nasib kakakku nanti? Bisa-bisa, Kak Okta yang bekerja dan menghidupi suaminya. Aku membuang napas dengan berat. Setelah cuku
( Menginap di Hotel )"Hidup itu seperti mengendarai sebuah sepeda. Untuk menjaga keseimbangan kamu harus terus bergerak."~ Albert Einstein ~*****"Sebaiknya kamu istirahat aja dulu, mungkin kamu itu kecapean." Aku membuatnya untuk berdiri, tetapi lagi-lagi Ambar bersikap aneh."Gak! Gak mau, kita tidur di kamarmu aja, ya!" serunya.Tiket sudah dipesan, mau tak mau aku batalkan dan membiarkannya hangus. Aku dan Ambar berjalan beriringan, langkahnya seperti orang ragu. Sebentar-sebentar ia berhenti, mengamati setiap jengkal rumahnya, lalu ketakutan lagi. Aku jadi bingung sendiri dengan tingkah lakunya malam ini.Sementara Fito masih di kamar Mbak Ina seperti biasanya, aku benar-benar semakin menjauh dari anak itu."Jul, nanti sebagian uangku, kamu simpen, ya." Ambar menyerahkan beberapa kartu ATM padaku. "PINnya dicatat biar gak lupa," sambungnya lagi.Ambar memberitahu PIN ATM miliknya, semua akses pribadinya. Bahkan, sampai tempat penyimpanan emas pun tak luput dari sebutannya. Satu
( Hotel Berhantu )****Aku terbangun pukul tujuh malam, keadaan kamar begitu gelap. Fito tertidur pulas di sampingku, entah sejak kapan. Televisi masih menyala, membuat ruangan ini begitu temaram oleh pantulan cahayanya. Aku menyalakan lampu, dan membereskan sisa-sisa makanan yang ada di atas ranjang, bekas makan Fito tadi.Tidak ada panggilan ataupun pesan dari Pak Mamat, apakah dia tidak lapar? Aku bergumam sendiri. Kakiku melangkah ke kamar mandi, bersiap diri untuk makan malam dan ke rumah almarhumah Erna nantinya.Aku menyalakan kran air, memenuhi bathtub dan menaruh beberapa tetes esensial oil aromaterapi ke dalamnya. Aku berendam selama 15 menit sambil memejamkan mata, tidak lupa memutar lagu instrumen Fur Ellise dari Beethoven, untuk merilekskan tubuh.Namun, baru saja aku menikmatinya, suara ketukan terdengar dua kali. Aku membuka mata dan menajamkan pendengaran, sayup terdengar suara rintihan dari balik tembok kamar mandi ini."Siapa yang nangis itu, ya?" ucapku tanpa sadar
( Cibiran Tetangga )*****Aku memandangi rumah Erna dari celah kecil yang ada di dapur. Ingin menangis sepuasnya, aku begitu merindukan Erna malam ini. Masa-masa sulit yang pernah aku lalui, teringat kembali. Hampir saja aku menangis, tetapi mendengar suara Fito buru-buru menghapus embun yang ada di mataku."Ma, udah." Fito mendekatiku."Iya, Nak. Ayo, kita ke kamar lagi.""Papa," ucapnya tiba-tiba. Aku mengerutkan dahi, seolah mengancam untuk tidak menyebutkan panggilan itu."Sudah malem ini, ayo, kita tidur!" sentakku.Namun, Fito malah berlarian ke ruang tamu, tempat berkumpulnya orang-orang tidak tahu malu itu. Mau tidak mau, aku pun mengikutinya."Hey, sini. Wah, sekarang gantengan, ya, anak papa!" Fito duduk di pangkuan Mas Bo'eng. Baru kali ini, Fito diperlakukan seperti itu."Fito abis dari mana aja?" Selidik mertuaku."Fito! Ayo, tidur udah malem!" bentakku."Wih, tumben sekarang bisa kasar sama anak, ya?" Mertuaku mencibir kembali."Ya, sudah! Mama mau tidur dulu," ujarku t
( Membungkam mulut nyinyir )"Roda kehidupan berputar mengikuti porosnya. Semua akan merasakan pergantian status, meskipun dengan waktu yang lambat."~ Amoy Shanghai ~***Setelah selesai makan, aku dan Fito tak langsung pulang. Kami membeli beberapa buah dan sayuran untuk stok selama kami menginap, Pak Mamat sudah aku bekali uang untuk tiga hari ke depan. Merasa semua sudah cukup, aku memutuskan untuk kembali ke kontrakan.Hanya 15 menit jarak tempuh, memasuki area kontrakan, aku langsung memarkirkan kendaraan roda dua ini. Semua mata memandang kami, ketika kaki ini turun dari mobil sport milik Ambar.Sengaja aku hanya memanggil Bang Avan, lalu menitipkan padanya untuk dibagikan ke semua tukang ojek yang ada di pangkalan saat itu."Wah, terima kasih banyak, Mbak. Kok, jadi merepotkan begini? Sayang, loh, uangnya." Bang Avan membawa sepuluh bungkus sekaligus di kedua tangannya."Gak apa-apa, Bang. Sekali-kali, mumpung lagi ada rejeki. Ini semua halal, kok," sindirku untuk para lelaki
( Mengambil Jimat )"Jangan pernah mengotori hati dengan kebencian. Sebab, jika kita membenci seseorang dan orang tersebut tidak merasa, hati kita yang akan semakin sakit saat melihatnya tertawa bahagia."~ Amoy Shanghai ~***Pintu rumah Pak RT terbuka lebar, ia dan istrinya begitu terkejut saat melihatku. Ya, siapa pun tidak akan kaget saat bertemu denganku, perubahan yang begitu mencolok membuat siapa saja bertanya-tanya."Permisi, Pak, Bu." Suami istri itu langsung berdiri dari tempat duduknya. Menyalami dan menyuruhku untuk masuk."Loh, Mbak July, toh? Saya kira siapa," sapa Bu Salma. Matanya tak lepas dari pakaianku."Ada perlu apa, ya, Mbak?" tanya Pak RT Nimong padaku."Itu, saya mau nanya. Kunci rumah Erna, apa benar masih di sini?" Aku langsung mengutarakan maksud dari tujuanku datang menemui mereka."Iya. Memangnya kenapa, ya?" tanyanya lagi."Bang Wendra ke mana, Pak? Saya ada pesan dari almarhumah Erna, jenat menyuruhku untuk mengambil sesuatu di atas plafon kamarnya." Ak
CINTA ABADIKini,Semua telah berlaluMelebur menjadi satuDalam kenangan masa laluDi sini,Pada suatu senjaKita pernah membagi ceritaDalam tangis juga bahagiaKau,Cinta pertama bagikuLelaki terbaik dalam hidupkuMeski takdir telah menipukuLewat goresan tintaKurangkai aksara menjadi sebuah baitHanya untuk ungkapkanBetapa aku masih memiliki rasaUntukmu pemilik rasa,Berjuanglah semampu yang kau dapat.Jika memang istirahat adalah jalan terbaiknya,Maka ... menyerahlah pada-Nya.~ AmoyShanghai ~*****Jam sembilan pagi, aku bangun tidak langsung keluar kamar. Aku dan Mas Bo'eng bercanda, sudah lama kami tidak sedekat ini. Hati tak dapat dibohongi, aku merasakan kebahagiaan tersendiri di pagi ini."Kalian mau makan apa? Biar aku yang masak," tanyanya.Aku dan Fito saling pandang, semoga saja semua ini bertahan lama. "Ayam goreng!" seru Fito sambil mengacungkan telunjuknya ke atas.Door! Door! Door!Gedoran pintu, membuat kami berhenti bersuara. Ya, siapa lagi yang melakukan itu
( Kematian Ambarwati )*****"Semua yang hidup, pasti akan mati. Mati karena takdir dari Tuhan, ataupun mati dari ulah kita sendiri."~ Amoy Shanghai ~*****Aku mengurung diri di dalam kamar, Fito tak lagi kupedulikan. Rasa benci kembali merasuki hati dan pikiranku, hingga membuat diri ini lupa akan tanggung jawab kepada anak semata wayang.Jam tiga sore, Azam datang membawa bingkisan untuk Fito. Anak itu sepertinya tahu diri, melihatku sedang bersedih ia tak menggangguku. Bahkan, saat Azam datang pun aku tetap di dalam kamar.Rasa haus membuatku mengalah, lalu berjalan keluar kamar menuju dapur. Tanpa sengaja, mataku dan Azam saling bertemu. Membuatku menunduk seketika. Fito duduk dipangkuan Azam sambil menonton YouTube. Sudah jam segini pun, Mas Bo'eng belum juga kembali. Yang aku khawatirkan bukan dirinya, tetapi mobil Ambar."Tuh, lagi galau!" ledek nyonya besar itu, saat melihatku melintas ke arah dapur.Aku meneguk segelas air dingin, membasuh kerongkongan yang sejak tadi menge
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d