CINTA ABADIKini,Semua telah berlaluMelebur menjadi satuDalam kenangan masa laluDi sini,Pada suatu senjaKita pernah membagi ceritaDalam tangis juga bahagiaKau,Cinta pertama bagikuLelaki terbaik dalam hidupkuMeski takdir telah menipukuLewat goresan tintaKurangkai aksara menjadi sebuah baitHanya untuk ungkapkanBetapa aku masih memiliki rasaUntukmu pemilik rasa,Berjuanglah semampu yang kau dapat.Jika memang istirahat adalah jalan terbaiknya,Maka ... menyerahlah pada-Nya.~ AmoyShanghai ~*****Jam sembilan pagi, aku bangun tidak langsung keluar kamar. Aku dan Mas Bo'eng bercanda, sudah lama kami tidak sedekat ini. Hati tak dapat dibohongi, aku merasakan kebahagiaan tersendiri di pagi ini."Kalian mau makan apa? Biar aku yang masak," tanyanya.Aku dan Fito saling pandang, semoga saja semua ini bertahan lama. "Ayam goreng!" seru Fito sambil mengacungkan telunjuknya ke atas.Door! Door! Door!Gedoran pintu, membuat kami berhenti bersuara. Ya, siapa lagi yang melakukan itu
( Kematian Ambarwati )*****"Semua yang hidup, pasti akan mati. Mati karena takdir dari Tuhan, ataupun mati dari ulah kita sendiri."~ Amoy Shanghai ~*****Aku mengurung diri di dalam kamar, Fito tak lagi kupedulikan. Rasa benci kembali merasuki hati dan pikiranku, hingga membuat diri ini lupa akan tanggung jawab kepada anak semata wayang.Jam tiga sore, Azam datang membawa bingkisan untuk Fito. Anak itu sepertinya tahu diri, melihatku sedang bersedih ia tak menggangguku. Bahkan, saat Azam datang pun aku tetap di dalam kamar.Rasa haus membuatku mengalah, lalu berjalan keluar kamar menuju dapur. Tanpa sengaja, mataku dan Azam saling bertemu. Membuatku menunduk seketika. Fito duduk dipangkuan Azam sambil menonton YouTube. Sudah jam segini pun, Mas Bo'eng belum juga kembali. Yang aku khawatirkan bukan dirinya, tetapi mobil Ambar."Tuh, lagi galau!" ledek nyonya besar itu, saat melihatku melintas ke arah dapur.Aku meneguk segelas air dingin, membasuh kerongkongan yang sejak tadi menge
( Ungkapan Rasa )*****Perjalanan kali ini, adalah perjalanan termanis untukku. Sepanjang perjalanan, Azam tak hentinya memberikan perhatian padaku secara tidak langsung. Benar. Aku begitu menikmatinya, terkadang aku malu dengan perasaanku sendiri. Apa lagi, aku sudah mempunyai Fito. Akan tetapi, cinta masih tersimpan untuk lelaki itu.Aku, Fito, dan juga Azam duduk di bangku tengah. Sementara Pak Mamat mengemudikan kendaraan tentu saja."Kalau ngantuk, bilang aja, ya, Pak," ucap Azam."Iya, Mas." Pak Mamat menjawab sambil melihat kaca spion yang ada ditengah."Kamu tidur aja, kan, masih jauh?" ujar Azam padaku. Fito sudah terlelap sejak tadi."Aku gak bisa tidur, kepikiran Ambar terus. Aku juga belum membayar upah jaga untuk Mbak Ina," lirihku. Menyesali kenapa tidak membayar upah sebelum pulang kemarin.Ya, memang Ambar pernah bilang, gaji Mbak Ina adalah tanggung jawab dirinya. Meskipun tambahan mengasuh Fito. Akan tetapi, aku merasa terbebani saat ini. Walaupun kemarin sempat mem
(Pengorbanan)****Aku merasakan sakit yang teramat di kepalaku, entah sejak kapan aku tertidur. Aku mengedarkan pandangan ke ruangan ini. Ada Azam yang tengah tertidur di pinggir ranjang. Apakah aku di rumah sakit? Kenapa? Aku mencoba untuk bangun dan menyenderkan tubuhku, tetapi tidak bisa. Lemas. Azam terbangun dari tidurnya, lalu kaget melihatku sudah membuka mata."July, kamu sudah sadar?" tanyanya."Aku kenapa?" tanyaku dengan heran."Tadi kamu pingsan setelah menjerit-jerit," terang Azam.Pingsan? Apakah benar? Apakah aku sehancur itu?"Fito di mana?" tanyaku lagi."Ada sama Pak Mamat. Oh, iya. Tadi, suami kakakmu datang menjenguk. Sikapnya aneh, aku gak suka sama dia." Butuh waktu untuk mencerna kata-kata Azam barusan. Suami kakakku? Aku mencoba mengingat siapa yang dimaksud olehnya.Tiba-tiba saja, ingatanku berhenti pada lelaki bajingan itu. "Mau apa dia? Aku muak dengan lelaki itu! Dia membohongi kakakku dan istrinya.""Istrinya?" Azam seperti tidak percaya."Iya. Dia masih
(Bertemu dengan keluargaku)*****Kami sampai di klub malam The Angel, segel polisi masih membentang di sana. Menyisakan puing-puing dan kenangan. Polisi menyimpulkan bahwa kebakaran itu terjadi karena arus listrik, tetapi warga meyakini kejadian itu adalah ulah dari jin junjungan Ambar."Besok, aku mau ngurus semuanya. Permintaan Ambar sebelum aku pulang kemarin, ia ingin membagikan sebagian hartanya untuk Eka, istri dari Ibal yang tak lain adalah suami kakakku.""Iya. Kita makan dulu, yok." Aku mengangguk. Sudah waktunya makan siang ternyata, pantas aja perutku berbunyi."Makan apa?""Apa aja.""Azam ..., apa kamu sudah memberitahu Lisa?""Memberitahu tentang apa?""Ish! Ya, tentang kamu gak pulang nanti lah," jawabku."Oh, iya nanti. Aku kenapa, ya. Kalau dekat kamu, bebanku sedikit berkurang rasanya.""Kok, gitu? Kamu jangan buat aku baper terus lah, nanti aku makin gak bisa move on. Hahaha.""Sejujurnya, aku yang belum move on sama kamu, Jul. Kenapa sih, aku gak bisa ngelupain ka
( Kenangan Ayah )*****Langit gelap berselimut kabutPerlahan tetesan air langit membasuh permukaan bumiAda luka yang belum mengering di siniSakit meski tak mengeluarkan tetesan darahBerjalan menjauhi kenyataanBerlari sejauh mungkin agar tidak terikat masa laluNamun,Semua itu membuatku semakin terlukaJatuh hingga ke dasar kenangan~ Amoy Shanghai ~*****Malam ini, untuk pertama kalinya, aku menginap bersama lelaki lain di selain suamiku. Bahkan, Mas Bo'eng sendiri pun tidak pernah sekali pun datang ke rumah ini.Ya, aku memutuskan untuk tetap menginap di rumah peninggalan ayahku ini. Kami tidur di kamar ibuku, awalnya aku keberatan satu kamar dengan Azam, bukannya apa-apa, takut menjadi fitnah. Akan tetapi, aku kasihan padanya jika tidur di bangku ruang tamu. Kami tidur sejajar di bawah ranjang, menggunakan kasur busa tipis beralaskan karpet. Sedangkan Fito bersama ibuku di atas ranjang.Fito dan ibuku sudah terlelap, sejak tadi. Sedangkan aku dan Azam, masih terjaga menatap
( Ibal berulah )******Setelah perasaanku sedikit membaik, aku mengguyur kepalaku dengan air cucuran dari kran. Rasa dinginnya menjalar dari ubun-ubun hingga tulang. Aku sedikit bahagia, setidaknya masih ada Azam di sampingku. Apakah aku begitu egois? Kurasa tidak.Ketika keluar dari kamar mandi, Azam telah berdiri di depan pintu. Aku terkejut, mengira si Ibal yang menunggu."Eh. Kamu ini, ngagetin aja. Sudah bangun, ya?" tanyaku berbasa-basi."Kalau belum bangun, gak mungkin aku di sini. Kamu ini. Maaf, ya. Aku bangun kesiangan," cerocosnya."Gak apa-apa, Ibu sudah masak sayur. Mau makan gak?" Aku seperti orang yang sedang kasmaran, salah tingkah jika di dekatnya.Tak lama, Kak Okta mendekati kami. Perutnya yang semakin membesar, membuatnya ngos-ngosan."Bawa apa itu, Kak?" tanyaku melirik plastik yang dia pegang."Dikasih beras sama Mak Lia," jawabnya."Loh, memangnya beras di sini abis? Kenapa gak bilang?" todongku."Masih ada satu karung lagi," jawab Ibu. "Kakakmu itu, kan, abis
( Penolakan Azam )"Rinai hujan kembali menyapa senja hari ini, dinginnya menentramkan jiwa yang rapuh. Aku tak menyukai rembulan. Karena kemunculannya, membuat senja memudar termakan pekatnya malam.Aku masih berharap, mentari tak bersinar lagi selamanya. Namun, semua itu tak akan mungkin terjadi. Sama seperti halnya aku yang masih mengharap cinta dari Azam."*****Setelah kami sampai di rumah sakit, perawat langsung segera menangani Kak Okta. Aku dan Azam mendaftarkan Kak Okta untuk dirawat inap. Sementara ibuku berada bersamanya di ruang UGD, sambil menunggu pendataan selesai.Dering telepon Azam berkali-kali berbunyi, ia hanya meliriknya sekilas lalu memasukkannya kembali ke dalam saku celana. Panggilan telepon berdering kembali, akhirnya ia mengalah dan mengangkatnya."Cumi, bentar, ya. Aku terima telepon dulu," ucap Azam seraya meninggalkan aku, berjalan keluar ruangan. Hanya anggukan kepala yang kuberikan.Aku sibuk mengisi data, untung saja ibuku membawa KTP Kak Okta. Setelah
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d