Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu dari luar kamar, membuat aku dan Fito segera keluar. Mbak Ina dan Ambar sudah siap, kami bergegas ke garasi lalu masuk ke dalam mobil. Tentu saja, tugas membuka dan menutup pintu adalah tugas satpam di rumahnya."Nanti sekalian kami beli baju," ucap Ambar ketika mobil sudah melaju."Iya, untung aja semalem dapet dari Aldo, ya.""Itu simpen aja dulu, pakai uangku dulu aja.""Belum apa-apa, hutangku sudah menumpuk nanti," keluhku."Idih, ini bukan utang. Tenang aja, aku yang beliin."Aku dan Ambar duduk di bangku depan, sedangkan Fito dan Mbak Ina duduk di bagian tengah. Mobil Ambar terdapat TV kecil di setiap jok bangku—sisi belakangnya—jadi Fito anteng menonton.***"Yeee, sudah sampai kita. Ayo, turun!" seru Ambar.Dulu, mall ini banyak menyimpan kenangan bersama ibu dan kakakku. Ah, kenyataan membuatku sulit bernapas jika mengingat semua itu. Langkahku terhenti ketika melihat bapak-bapak tua memegang mangkuk tepat di pintu masuk, tanganku mencari sesuatu
"Seberat apapun beban masalah yang kamu hadapi saat ini, percayalah bahwa semua itu tidak pernah melebihi batas kemampuanmu."***Dengan rasa percaya diri, aku melangkah masuk ke klub "The Angel" itu, para perempuan malam banyak yang lebih muda dariku. Alasan mereka memilih jalan ini pun, tak jauh berbeda denganku. Ada juga anak dari orang kaya, yang rusak karena salah bergaul, karena tidak mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.Aku tahu, banyak yang iri dan tidak suka dengan kehadiranku. Tapi, karena mereka tahu aku adalah temannya Ambar—pemilik klub malam tempatnya bekerja—perempuan-perempuan itu memilih menghindar dariku."Hey, Naya!" jerit Mona, salah satu senior di klub ini. Badannya masih terjaga meski usianya sudah berkepala empat. Wajah cantik bukan hal utama di klub ini, goyangan dan makeup tebal adalah prioritas utama kami."Iya." Aku membalas lambaian tangannya dan menuju tempatnya duduk."Mana si Mami?" tanyanya ketika aku sudah berada tepat di sampingnya.
Aku pulang membawa senyum merekah sepanjang waktu, kebetulan besok adalah tujuh harian Erna. Aku menjadi sedih kembali, dalam hati berjanji padanya akan datang berziarah ke makamnya setelah urusanku selesai di sini."Mamaaa!" teriak Fito yang lagi bermain di taman depan bersama Mbak Ina."Halo, sayangnya mama." Kedua tangannya direntangkan, tanda meminta gendong."Ambar sudah pulang, Mbak?" tanyaku pada Mbak Ina."Sudah, barusan juga.""Oke, titip Fito bentar, ya.""Iya, Mbak."Aku setengah berlari masuk ke dalam rumah dan segera memasuki kamar Ambar.Tok! Tok! Tok!"Ambar, boleh masuk gak?" ucapku."Masuk aja," jawabnya dari dalam.Pintu terbuka, hawa dingin dari AC pun menguar menusuk persendian."Cieee, cerah amat mukanya?" goda Ambar. Aku hanya tersenyum simpul."Makasih banget, Mbar. Semua berkat kamu, tadi Aldo kasih aku duit. TIGA PULUH JUTA!" jeritku dengan histeris."Hahaha. Uang segitu gak ada arti apa-apa bagi Aldo, Naya!""Tapi, uang segitu amat besar untuk siapa pun, kan?
Sayup-sayup suara rintihan terdengar begitu menyayat hati, berganti menjadi suara yang menyeramkan. Lengkingan tawa memekakkan telinga, di mana aku? Gelap menyelimuti.Apakah aku sudah mati? Kenapa begitu gelap? Di mana aku? Panik? Tentu saja aku panik dan hampir menangis, mengingat dosa yang belum terkikis. Fito! Di mana Fito? Kenapa begitu hening?"Ambaaar! Fito! Mbak Ina!" jeritku berulang kali. Tetap tak ada jawaban. Aku menelisik ke sekeliling, hanya pekat tanpa pendar cahaya sedikitpun."Juliii ...," lirih kecil terdengar samar."S-ssi-siapa?" tanyaku dengan mata awas. Aku meraba dengan langkah gemetar, menggeser tapak kaki sepelan mungkin. Takut, jika ada lubang atau semacamnya."Tolong aku, July ...." Suara itu terdengar sangat dekat, seperti suara Erna."Erna? Apakah itu kamu?" tanyaku dengan menahan tangis. Sebab, tenggorokanku sudah terasa sakit. Untuk menelan air liur pun seakan tak mampu."Tolong aku, Bang Wendra sudah membuatku seperti ini. Dia harus membayar dosanya! To
Ambar adalah dewa penolongku, sama seperti Erna yang selalu ada di saat aku butuhkan. Wanita ambisius itu tengah bersedih ketika aku baru saja sampai."Kenapa? Keliatannya, kamu lagi kurang enak badan, ya?" tanyaku buru-buru menghampiri.Sofa mewah itu, membuatku sedikit ragu untuk menghempaskan bokong. Ambar berselonjoran di sana, sofa berlapis emas menambah kesan elegan dan berkelas bagi pemiliknya."Suamiku meninggal," ucapnya hampir tak terdengar."Innalilahi. Bagus, dong? Kenapa sedih?" tanyaku. Ya, Ambar pernah bercerita jika ia menunggu suaminya itu meninggal, karena sebagian harta milik orang terkaya di Jakarta itu, akan menjadi bagian milik Ambar nantinya."Anak dan istri Om Frank mengubah surat wasiat itu, aku kalah karena mereka kuat. Sia-sia semuanya!" dengusnya."Untung aja kamu pinter, Mbar. Sebagian kecil anak perusahaan milik suamimu, sudah kamu amankan.""Iya, tapi tetap aja aku tidak rela. Cuma lima cabang yang sempat aku amankan," ucapnya kembali.Ambar banyak menga
"Ada saatnya kita harus bertindak, ada saatnya kita harus diam dan menunggu."~ Sepositif ~****"Apakah kamu tidak mau bercumbu denganku, Sayang?" tanya Andrian tepat di telingaku. Tangannya meremas bokongku, hampir menyingkap mini dress yang kupakai.Aku segera menurunkan kembali tangannya, "Maaf, aku harus kerja. Hansen sudah menungguku di room." Aku segera mengganti pakaian dengan lingerie yang ada di dalam tas.Andrian masih bergelayut manja di belakang tubuhku, "Sebentar aja, apakah aku tidak sekaya Aldo? Makanya kamu tidak mau melayaniku?" Bibirnya telah menempel di bahuku, menyapu pelan hingga aku bergidik merinding.Buru-buru aku memakai lingerie dan keluar begitu saja, aku tidak ingin Hansen menungguku. Room 302, aku membukanya dan menemukan laki-laki berpakaian jas berwarna putih, celana panjang dengan warna serupa tengah duduk dengan satu kaki menopang di kaki satunya. Kedua tangannya direntangkan ke sisi sofa. Betapa maskulin pria itu."Masuklah," ucapnya. Laki-laki itu b
Aku mengikuti Hansen, keluar dari klub. Sebelum pergi, ia menyuruhku untuk berganti pakaian. Dengan senang hati, aku menuruti kemauannya. Karena, aku tidak harus melayaninya di atas ranjang. Celana jeans berpadu dengan kaus putih, aku sempat mencari keberadaan Andrian di tempat ganti. Namun, sepertinya ia telah meninggalkan klub ini.Hansen telah menungguku di dalam mobil sport miliknya. Awalnya aku sempat bingung dan ragu, tetapi lelaki itu dengan sigap membukakan pintu untukku."Masuklah, tenang saja. Aku tak akan menculikmu. Kau terlalu istimewa untuk disakiti." Kata-katanya membuatku baper."Mau ke mana kita?""Sudah, duduk diam tanpa banyak bertanya, akan membuatmu aman," godanya."Tapi, tugasku hanya menemani bernyanyi dan memuaskan Bapak selama lima jam saja, dan ini tersisa dua jam lagi.""Panggil aku Hansen saja, dua jam lagi, ya? Emm, sepertinya waktu begitu cepat, ya, berputar? Tenang saja, aku sudah menambah jam bookingan pada Ambar," tukasnya.Hansen tersenyum simpul, ent
"Dari mana saja, sih, kalian?!" bentak perempuan cantik itu."Tadi ada sedikit kendala, yang terpenting sekarang, kan, kita sudah sampai."Perempuan cantik itu mendengus kesal, ia terus-menerus menatapku. Persis seperti ingin menerkam mangsanya."Naya, pergilah ke sana." Hansen menunjuk ke arah balkon, ada sesi pemotretan di sana."Aku?" Hansen mengangguk. Beberapa karyawannya menuntun tanganku, sebagian lagi mengangkat sedikit gaun yang menjuntai ke belakang.Sekilas, aku melirik Hansen dan perempuan itu sedang bertengkar kecil. Lagi-lagi ia menatapku dengan tatapan yang sulit dimengerti.Fotografer memberiku pengarahan seperti apa nantinya. Tunggu dulu! Apa? Pemotretan? Apakah aku sedang menjadi model? Degup jantung semakin tak terkendali, ketika beberapa kali salah dan ulang kembali.Hansen mendekati diriku, "Baiklah, modelnya biar aku saja." Lalu, ia tersenyum dan berbisik padaku. "Tenang, santai aja. Anggap tidak ada siapa pun di ruangan ini," bisiknya.Meskipun masih salah, teta
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d