Share

BAB 7

Author: Mokaciinoo
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Mbak Tri, kita pakai mobil aja ya ke sananya? Aku nggak biasa pakai sepeda motor," pinta Tiana.

"Nggak, aku mau pakai motor!" jawabku dengan tegas.

"Tapi kasian Danis kepanasan,"

"Danis baik-baik aja kok," balasku.

"Bu~" Tiana memanggil ibu mertua yang sedang berdiri di teras rumah. Sedang melepas kepergian sang menantu kesayangannya.

"Tri, apa salahnya sih pakai mobil. Ini panas banget loh. Gimana kalau kulitnya Tiana nanti terbakar?" tegur mertuaku itu.

Aku mendecakkan lidah dengan terang-terangan. "Nggak mau!" jawabku dengan mantap. "Aku udah telat nganter makan siang buat Mas Ruslan. Kalau kamu nggak mau pakai motor, besok aja kamu perginya sama Dimas!" seruku seraya menaiki sepeda motor milikku.

Pada akhirnya, wanita ini mau mengalah dan ikut denganku menggunakan sepeda motor. Aku sama sekali tidak mau peduli dengan wajahnya yang terlihat jelas memberengut tak suka.

'Siapa suruh kamu sok-sokan mau ikut segala!' batinku dalam hati.

Peternakan milik bapak mertua berada di kampung sebelah. Letaknya paling ujung dan lumayan jauh dari pemukiman warga.

"Udah sampai. Ini dia peternakan bapak," ujarku memperkenalkan peternakan ini pada Tiana.

Aku lalu memarkir motor di depan sebuah bangunan yang biasanya dijadikan sebagai tempat istirahat oleh para pekerja. Setelah turun dari kendaraan yang telah membawa kami ke tempat ini, aku tidak luput dari memperhatikan ekspresi wajah Tiana yang terlihat keruh. Wajahnya yang seputih porselen diwarnai semburat merah setelah menahan nafas akibat dari aroma kotoran sapi yang semerbak. Hal ini membuatku ingin tertawa.

"Haahh~"

Hembusan nafas lega kemudian lolos dari hidung Tiana saat mengetahui aroma kotoran sapi tidak sampai di tempat ini.

"Sudah aku bilang 'kan kalau di sini bau. Gimana? Mau lanjut liat sapinya?" tanyaku.

Walau wajah Tiana menunjukkan kepahitan, tapi dia tetap mengangguk mantap seraya menjawab. "Iya!"

Alisku otomatis terangkat tinggi mendengar jawaban ini. Tanpa sadar, sepasang netraku pun meneliti sosok Tiana dari ujung kaki hingga ujung kepala. Begitu seterusnya berulang-ulang.

Tiana memiliki proporsi tubuh yang sedikit lebih tinggi dariku. Tubuhnya langsing dan penampilannya menawan meskipun berada dalam balutan baju kaos dan celana jeans biasa. Apalagi fitur wajahnya yang dilengkapi dengan bibir tipis, hidung mancung dan mata almond yang cantik. Belum lagi rambut kecoklatannya yang diikat kuncir kuda. Keseluruhan dirinya menguarkan aura perkotaan yang kental.

"Kamu yakin?" tanyaku memastikan sekali lagi.

"Yakin, Mbak!" timpal Tiana mulai terdengar tidak sabar. "Oh ya, Mas Ruslan dimana?" tanyanya kemudian sembari celingak-celinguk ke segala arah.

Pertanyaan ini membuat mataku seketika menyipit tidak senang. Kecurigaanku bahwa si Tiana ini memang menaruh perhatian pada Mas Ruslan semakin kental. Namun, aku tidak akan bertindak norak dengan cara melabraknya.

Begitu seorang pekerja keluar dari ruangan di depan kami, aku segera menghentikannya.

"Adam, Mas Ruslan ada di mana?" tanyaku pada seorang pria bernama Adam yang seusia denganku itu.

"Mas Ruslan lagi keluar jual sapi," jawab pria itu. "Sebentar lagi juga balik, Mbak. Ditunggu aja!" sambungnya dengan sopan.

Aku menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. "Oh ya, Dam. Perkenalkan ini Tatiana, istrinya Dimas. Katanya dia mau melihat-lihat peternakan. Kamu temani dia, gih!" suruhku pada Dimas.

"Loh, kamu nggak ikut, Tri?" tanya Tiana dengan nada kaget. Aku bisa melihat bola matanya membulat lebar ketika aku mengucapkan kalimat tadi.

"Nggak ah. Aku ke sini hampir setiap hari. Bosan kali liat sapi sama nyium bau kotorannya terus," jawabku dengan santai.

"Tapi... "

"Nggak apa-apa kok. Di sini aman. Kamu keliling-keliling aja sama Adam. Kan katanya kamu belum pernah lihat sapi," ujarku memotong nada keraguan istrinya Dimas ini. Lebih tepatnya, aku malas jika harus terlibat obrolan berbelit-belit dengannya.

"Dam, kamu jaga istrinya Dimas baik-baik ya!" pesanku pada Adam.

"Sip, Mbak!" jawabnya dengan antusias.

Tanpa menunggu setuju atau tidaknya wanita ini, aku bergegas menyeret langkah ke dalam ruangan yang khusus untuk Mas Ruslan. Di tempat inilah, aku menunggu kembalinya Mas Ruslan.

"Danis makan duluan ya," ujarku pada Danis. Kasian putraku ini pasti sudah kelaparan sejak tadi. Untungnya, anak baik ini dengan patuh mengangguk.

Baru beberapa suap makanan pindah ke dalam perut Danis, pintu yang ada di belakang kami perlahan terbuka. Memunculkan sosok Mas Ruslan yang bertubuh tegap.

"Kalian sudah lama?" tanya Mas Ruslan sambil menghampiriku.

Aku tidak langsung menjawab karena sibuk terpana pada ketampanan suamiku ini. Mas Ruslan tingginya mencapai 185 sentimeter. Tubuhnya lurus dan tegap. Kulitnya kecoklatan karena terlalu sering terbakar sinar mentari. Alisnya tebal dan sorot matanya tajam, yang bisa membuat jiwaku senantiasa bergetar. Belum lagi dengan otot-otot lengan yang terbentuk setelah melakukan pekerjaan keras itu.

Suara kekehan ringan yang bersumber dari depanku itu membuat wajahku otomatis memerah.

"Apakah Mas tampan?" tanya Mas Ruslan seraya menjawil daguku agar tetap terangkat mengarah padanya.

Dengan malu-malu, aku lantas menganggukkan kepala. Bahkan setelah 5 tahun menikah, hati ini masih berdebar-debar rikuh dibuat olehnya.

"Iler kamu hampir menetes," ujar Mas Ruslan sambil menyapukan ibu jarinya pada sudut bibirku.

Aku tahu suamiku ini hanya bercanda. Tapi entah kenapa, aku otomatis menyesap ludah dengan tidak tahu malu di depannya. Hal ini membuat Mas Ruslan terkekeh semakin menjadi-jadi. Diapun lalu mengecup puncak kepalaku bergantian dengan Danis.

"Jadi, apa kalian udah lama di sini? Kenapa tidak telepon?" tanya Mas Ruslan sembari mengambil tempat duduk di sampingku

"Belum terlalu," jawabku. "Kamu tahu nggak Mas, kalau aku ke sini sama siapa?" lanjutku memancing topik obrolan.

"Emang sama siapa?" tanya Mas Ruslan acuh tak acuh. Tangannya sibuk membuka kotak bekal.

"Sama Tiana!" beritahuku.

"Oh," timpal Mas Ruslan datar.

Nada suara yang digunakan Mas Ruslan tidak menunjukkan ketertarikan yang membuatku girang setengah mati.

"Kayaknya dia naksir kamu deh, Mas!" pungkasku.

"Kamu jangan nyari penyakit deh," tegur Mas Ruslan.

Dia kemudian mengambil suapan pertama. Akupun mengikuti jejak suamiku ini dengan turut mengambil suapan pertama. Sementara Danis, dia sama sekali tidak menghiraukan kedua orang tuanya ini, dan terus fokus pada makanan yang ada di hadapannya.

"Tapi beneran loh, Mas. Aku udah perhatiin dia dari pas acara syukuran kemarin. Terus tahu juga, nggak? Kalau dia mulai hari ini akan tinggal di rumah bareng sama kita?" beritahuku dengan menggebu-gebu.

Gerakan tangan Mas Ruslan yang hendak menyuap makanan spontan berhenti di udara. "Kamu yakin?" tanya Mas Ruslan dengan kening berkerut.

Aku mengangguk cepat. "Iya. Menurut kamu kenapa dia tiba-tiba mau tinggal di rumah bareng sama kita? Dia sampai belain ikut ke sini pasti karena mau melihat kamu. Tapi aku arahin dia sama Adam. Enak aja mau modus sama kamu!" seruku sambil mendengus sinis.

"Hush. Kamu jangan ngomong gitu. Dia istrinya Dimas!" tegur Mas Ruslan.

Aku kembali mendengus. "Pokoknya awas ya kalau kamu sampai tergoda sama dia. Aku potong titit kamu!" Aku berujar memberi ancaman.

"Waduh, jangan dong!" timpal Mas Ruslan dengan nada jenaka.

"Huh!" Aku mendengus untuk yang kesekian kali sembari melengos dan mulai berfokus pada makanan yang ada di depanku.

Setelah itu, kami mulai menikmati makan siang ini dalam keheningan yang harmonis. Hingga masing-masing kotak bekal kami tandas, aku mulai bertanya pada Mas Ruslan.

"Kamu tadi beneran habis jual sapi atau pergi ke toko?" tanyaku.

"Dua-duanya benar!" jawab Mas Ruslan.

Aku menganggukkan kepala pelan. Setiap kali mengingat perihal toko kami yang tidak diketahui oleh mertua itu, selalu bisa membangkitkan senyum di wajahku.

"Bagaimana keadaannya? Semua lancar?" tanyaku.

"Alhamdulillah, lancar!" jawab Mas Ruslan.

Ketika aku hendak membuka mulut untuk menanggapi informasi menyenangkan ini, suara mendayu yang terdengar mengerikan berhembus dari arah pintu ruangan yang terbuka setengah.

"Mas Ruslan~"

* * *

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Martina Holmes
lanjut bgs ceritanya
goodnovel comment avatar
Erna Wati
Ceritanya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 8

    "Mas Ruslan~"Aku dan Mas Ruslan spontan saling lirik. Kami tidak perlu menoleh ke arah sumber suara untuk mengetahui siapa gerangan pemilik suara tersebut. Dengan mata sedikit membola, aku menatap lekat ke arah Mas Ruslan. Bibirku berkomat-kamit tanpa suara, membentuk seuntai kalimat tanya. 'Dia tidak mendengar apa-apa 'kan?' Namun, Mas Ruslan mengendikkan bahu pelan sebagai tanda bahwa dia juga tidak tahu. Gelombang kekesalan yang datangnya entah darimana, tiba-tiba menelusup ke dalam hatiku. Apalagi saat di detik berikutnya, Tiana mendorong pintu ruangan Mas Ruslan hingga menjeblak terbuka. Kami bahkan belum sempat mempersilakan wanita ini untuk masuk! "Ih, Mbak Astri. Kenapa nggak bilang kalau Mas Ruslan udah datang sih~" ujar Tiana dengan nada merajuknya. Mungkin di mata suaminya, nada suara merajuk centil seperti ini akan terdengar lucu. Tetapi bagiku, nada suara ini terdengar menyebalkan. Terutama sekali setelah Tiana datang di waktu yang tidak tepat. "Kamu 'kan ke sini ma

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 9

    Dikarenakan desahan lega dan ucapan penuh syukur Tiana itu, aku tidak lagi memiliki niat untuk menguping lebih lanjut pembicaraan mereka. Cukup tahu saja alasan kenapa Tiana sampai ingin tinggal di rumah ini segala. "Selama tidak mendekati Mas Ruslan, bodo amatlah kalau dia mau menguasai rumah ini dan juga peternakan itu," gumamku pada diri sendiri. Aku lalu menutup pintu kamar tidur kami dan menggiring Danis untuk mencuci tangan dan kaki sebelum tidur siang. Sambil berbaring di atas ranjang, aku menyempatkan diri untuk menekuri pekerjaanku. Sejak empat tahun lalu, saat usia Danis masih beberapa bulan, aku memulai profesi sebagai penulis. Awalnya aku hanya iseng untuk mengisi waktu luang sekaligus ingin mengeluarkan unek-unek. Siapa yang menyangka bahwa profesi ini bisa mendatangkan rezeki yang melimpah untukku pribadi. Kemudian dari hasil menulis itu, aku sudah bisa membeli sawah yang luasnya sekitar 5 are. Sawah itu letaknya di kampung halamanku dan dikelola oleh orang tuaku. Ti

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 10

    "ASTRI!"Raungan marah ibu mertua bergema bersaing dengan suara azan di masjid yang tak jauh. Gelegar teriakan itu menarik semua penghuni rumah untuk berdatangan. "Ada apa ini?" tanya bapak mertua yang muncul tergesa dari dalam rumah dengan diikuti oleh Tiana. Bahkan Dimas yang baru saja tiba bergegas menghampiri ibunya. "Bu, ada apa? Kok teriak-teriak?" tanya Dimas. "Ini loh Dim, kakak ipar kamu!" seru ibu mertua seraya menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya yang sudah berkerut. "Ada apa lagi dengan Mbak Astri, Bu?" tanya Dimas dengan lembut. Ibu mertua menggelengkan kepala tampak tidak berdaya. Beliau juga meremat kain daster yang ada di bagian dadanya dengan dramatis. "Ibu nggak sanggup lagi, Dim!" ujar ibu mertua. Suaranya terdengar serak dan amat lesu. "Kenapa?" tanya Dimas lagi. Setitik air mata tak terduga perlahan jatuh menitik dari sudut mata tua wanita paruh baya ini. Aku dan Mas Ruslan yang menjadi tersangka otomatis saling melempar lirikan. "Apa salah jika ibu

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 11

    "Kamu sungguh berhati dengki, Mbak!" Di sepanjang acara makan malam tadi, kata-kata Tiana itu terus bergema di dalam kepalaku. Hal itu sampai membuatku kehilangan nafsu makan. Bukannya aku tidak tahu bahwa apa yang aku lakukan ini memang sesuai dengan apa yang dituduhkan Tiana padaku. Akan tetapi, menyadari sendiri dan ditegur oleh orang lain itu rasanya sungguh berbeda. Kata-kata Tiana itu berhasil menohok jantungku! "Kalau terus begini, aku bukan hanya akan menambah penyakit hati. Tapi juga menambah dosa!" gumamku. Saat ini, aku dan Mas Ruslan sedang bergelung di atas ranjang kami dan hendak bersiap untuk tidur. Kusandarkan kepala pada bahu suamiku, dengan lengan kananku menggurita di atas perutnya yang keras. Sementara tangan kanan Mas Ruslan tersampir di bahuku, sambil jemarinya bermain-main dengan ujung rambutku. "Kamu memikirkan kata-kata Tiana tadi?" tanya Mas Ruslan yang paling bisa mengerti aku. Akupun tidak ragu untuk menganggukkan kepala membenarkan. "Mas, capek bange

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 12

    "Tri, kamu... ""Kenapa bisa anak sekecil Aldi bisa menyebut sepupunya sendiri sebagai pengemis? Ini pasti karena Mbak Dina nggak bisa mendidik anak dengan baik 'kan?!" Aku meraung dengan marah hingga menyela perkataan ibu mertua yang hendak menegurku karena telah membuat cucu kesayangannya menangis. "Jangan sembarangan kamu ya!" balas Mbak Dina tidak kalah marahnya. "Terus kenapa Aldi bisa menyebut Danis sebagai pengemis? Dan ini bukan yang pertama kalinya loh. Apa selama ini Danis pernah minta-minta sama Aldi? Ini pasti ajaran kamu nih, Mbak!" seruku terus menyudutkan Mbak Dina. "Astri, diam kamu!" jerit ibu mertua dengan suaranya yang melengking tinggi. "Kenapa aku disuruh diam?!" Aku semakin mengamuk tidak terima."Karena kamu sudah membuat Aldi menangis!" balas ibu mertua tidak mau kalah. Perdebatan ini menyebabkan suasana di ruang tamu seketika menjadi seperti minyak panas yang dipercikkan air. Aku lantas melirik garang ke arah Aldi yang masih sesenggukan sambil bersembunyi

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 13

    [Mas, aku bertengkar lagi dengan ibu dan Mbak Dina. Hari ini aku mau mengungsi aja dulu ke rumah orang tuaku,]Sebelum bertolak menuju rumah orang tuaku, aku terlebih dulu mengirim pesan meminta izin pada Mas Ruslan. Untungnya aku tidak perlu menunggu waktu lama sampai pesan balasan dari Mas Ruslan tiba. [Oke. Hati-hati di jalan. Nanti Mas nyusul,]Setelah mendapat persetujuan singkat dari suamiku itu, barulah aku memacu sepeda motorku meninggalkan rumah mertua. Jarak antara rumah mertua dan rumah orang tuaku itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit lamanya. "Assalamu'alaikum!" ucapku setibanya di sana. "Waalaikumsalam!" jawab orang dari dalam rumah. "Loh, Mbak Astri?!" seru Wisnu dengan nada terkejut ketika melihat kehadiranku di depan pintu rumah. Bukan apa-apa, tapi hari ini memang bukan jadwalnya aku datang berkunjung ke rumah ini. Biasanya aku dan Mas Ruslan kebagian jatah menginap di sini pada hari sabtu dan minggu. Tapi sekarang m

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 14

    Aku yang sudah selesai memasak kemudian melanjutkan kegiatan dengan menyapu halaman rumah dan menyiram bunga-bunga. Seluruh kegiatan rumah tangga ini aku lakukan dengan perasaan gembira. Hingga satu jam lagi mendekati waktunya azan maghrib, barulah sosok bapak dan ibu terlihat pulang dari sawah. Aku yang sedang duduk di teras rumah sambil mengetik alur cerita untuk aku posting nanti malam segera meninggalkan pekerjaan itu untuk menyambut mereka berdua. "Assalamu'alaikum!" ucap ibu dan bapak secara serentak. "Waalaikumsalam!" jawabku dengan antusias. "Loh, Astri? Kamu kok di sini?" tanya ibu dengan nadanya yang terdengar sedikit heran. Aku spontan memanyunkan bibirku. "Iihh, ibu nggak suka ya lihat Astri di sini?" tanyaku dengan nada merajuk yang dibuat-buat. "Ya tumben aja gitu," jawab ibuku. "Jangan bilang kamu lagi berantem sama ibu mertua kamu ya?" tebak ibu sambil menatapku dengan wajah meringis geli. Aku lantas mendengus pelan tanpa bantahan. Wanita paruh baya yang telah m

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 15

    "Maaf, Mbak. Aku tidak mampu menolak!" ucap Wisnu dengan wajah cengengesannya ketika melihatku memasang wajah garang. "Sebentar lagi waktunya makan malam. Kenapa kamu malah beliin dia es krim sama snack?" tanyaku dengan nada frustrasi. "Maaf, Mbak~" ucap Wisnu sekali lagi. Dengan postur badannya yang tinggi dan tegap, nada mendayu-dayu penuh permohonan maaf itu kedengarannya tidak cocok sama sekali. Sementara Wisnu sedang aku sidang, putra cilikku itu justru sedang kegirangan menunjukkan es krim dan jajanan yang penuh di tangannya pada ibuku. "Danis, sayang. Jajan sama es krimnya di makan besok ya, Nak. Habis solat maghrib kita mau makan malam loh," tegur ibuku pada cucu kecilnya. "Em~" tolak Danis sembari menyembunyikan makanannya di belakang punggung. "Kamu lihatkan? Harusnya kalau dia nangis, kamu biarin aja!" dumelku sambil menjewer telinga Wisnu. "Aku nggak tega, Mbak!" ujar Wisnu berkilah di sela-sela suara

Latest chapter

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 131

    Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 130 | Dina POV

    Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 129

    Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 128

    Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 127 | DINA POV

    Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 126

    "Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 125 | Dina POV

    Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 124 | Dimas POV

    Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i

  • Mertua Pilih Kasih Tidak Tahu Kami Banyak Uang   BAB 123

    "Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman

DMCA.com Protection Status