"Maaf, Mbak. Aku tidak mampu menolak!" ucap Wisnu dengan wajah cengengesannya ketika melihatku memasang wajah garang.
"Sebentar lagi waktunya makan malam. Kenapa kamu malah beliin dia es krim sama snack?" tanyaku dengan nada frustrasi."Maaf, Mbak~" ucap Wisnu sekali lagi.Dengan postur badannya yang tinggi dan tegap, nada mendayu-dayu penuh permohonan maaf itu kedengarannya tidak cocok sama sekali. Sementara Wisnu sedang aku sidang, putra cilikku itu justru sedang kegirangan menunjukkan es krim dan jajanan yang penuh di tangannya pada ibuku."Danis, sayang. Jajan sama es krimnya di makan besok ya, Nak. Habis solat maghrib kita mau makan malam loh," tegur ibuku pada cucu kecilnya."Em~" tolak Danis sembari menyembunyikan makanannya di belakang punggung."Kamu lihatkan? Harusnya kalau dia nangis, kamu biarin aja!" dumelku sambil menjewer telinga Wisnu."Aku nggak tega, Mbak!" ujar Wisnu berkilah di sela-sela suaraAku dan Mas Ruslan segera melipir meninggalkan ruang keluarga untuk mengangkat telepon dari ibu mertua ini. Kami bersembunyi di dalam kamar agar orang tuaku tidak tahu obrolan seperti apa yang sebentar lagi akan terjadi."Halo, Bu!" jawab Mas Ruslan. Nada suaranya tetap dipertahankan seramah mungkin. "Kamu di mana?" tanya ibu mertua dengan ketus dari seberang sana. Aku bisa mendengar suara ibu mertua karena Mas Ruslan sengaja menggunakan mode speaker. "Lagi di rumah orang tua Astri, Bu!" jawab Mas Ruslan dengan terus terang. "Apa yang kamu lakukan di sana? Apa si Astri pulang untuk mengadu pada orang tuanya?" seloroh ibu mertua dengan nada yang semakin jelas terdengar tidak suka. "Tidak seperti itu, Bu!" bantah Mas Ruslan dengan sabar. "Kamu itu ya, sejak menikah dengan Astri, kamu jadi lebih sering membantah, Ruslan. Kamu selalu membela dia dan menyalahkan kami, keluarga kamu. Karena dia membawa pengaruh buruk buat kamu, ib
"Nggak bahaya tah?" tanyaku ketika melihat aksi tumben-tumbenan Mas Ruslan ini. Biasanya suamiku itu akan selalu menunggu ibu mertua memutus sambungan telepon terlebih dulu. "Nanti ibu marah-marah sama kamu gimana?" tanyaku lagi. Mas Ruslan hanya mengendikkan bahu masa bodoh seraya berkata. "Kalau ibu marah-marah, itu bukan jadi kemarahan pertamanya sama kita," "Kamu benar juga!" timpalku dengan nada datar. "Sudahlah, masalah ibu biarkan seperti ini dulu. Ayo, istirahat!" pungkas Mas Ruslan sembari merebahkan tubuhnya di atas ranjang. "Kamu istirahat duluan aja, Mas. Aku mau ambil Danis sebentar. Jam tidur anak itu udah lewat," ujarku sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. "Hm," gumam Mas Ruslan. Aku kemudian beranjak keluar dari kamar. Di ruang keluarga, aku melihat bapak, sedang menggendong Danis. "Aduh, Pak. Danis jangan digendong. Nanti pinggang bapak sakit," tegu
"Tri, bukannya itu suaminya kakak ipar kamu?" celetuk Eva. Jemari lentiknya menunjuk ke arah sebuah toko perhiasan yang ada di seberang cafe yang baru saja kami kunjungi. Di dalam toko perhiasan yang tidak terlalu ramai itu, aku bisa melihat dengan jelas suami dari Mbak Dina sedang bersama wanita lain. Sesekali mereka saling kecup pipi tampak mesra sekali. "Kamu nggak mau ngambil bukti untuk ditunjukkan sama kakak ipar kamu?" tanya Eva. " ... "Saking fokusnya aku menatap dua sejoli yang tampak bahagia itu, sampai-sampai aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Eva baru saja. "Woy, kenapa kamu malah bengong aja?" tegur Eva sembari menyeret lenganku agar bergeser sedikit menjauh dari ambang pintu cafe. "Hah? Apa kamu bilang?" tanyaku pada Eva. Terlalu fokus memergoki insiden perselingkuhan di depan mata membuatku melamun cukup lama. "Kamu nggak mau ngambil bukti untuk ditunjukkan sama kakak ipar kamu?
Kesibukanku berbelanja dan memilih barang-barang yang bagus untuk ulang tahun Danis nanti telah membuatku terlupa sejenak dari masalah mengenai Mbak Dina dan perselingkuhan suaminya. Dan hal ini terus bertahan sampai aku tiba di rumah. Sekembalinya ke rumah, aku menemukan rumah dalam kondisi sepi. Bapak dan ibu jelas sedang berada di sawah. Sementara Wisnu, dia sudah meminta izin padaku untuk membawa Danis bermain di sawah. Alhasil sekarang aku sendirian. Namun, hal ini tidak membuatku berpangku tangan. Aku bergegas ke dapur untuk membuat makan siang untuk semua orang. Rencananya aku akan menyusul mereka semua ke sawah setelah ini. Sudah lama aku tidak melihat kondisi sawah yang aku beli dan sedang dikelola oleh bapak dan ibu. Mungkin ada di antara kalian yang bertanya-tanya, kenapa aku membiarkan bapak dan ibuku yang mengerjakan sawah itu? Apa tidak kasihan pada mereka yang sudah tua? Aku tidak bermaksud untuk membuat-buat alasan. Tapi aku ti
Sisa hari itu tetap berlangsung seperti biasa. Bapak dan ibu akan kembali dari sawah ketika waktu menunjukkan beberapa jam lagi menjelang maghrib. Sementara Wisnu yang saat ini sedang menganggur mulai rutin berlari sore di taman yang tak jauh dari rumah. Tentu saja diikuti oleh keponakannya yang tidak ingin lepas dari sang paman. Adapun aku, ketika sore menjelang, aku sibuk memasak untuk makan malam semua orang. Selesai dengan rutinitas itu, aku masih memanfaatkan waktu untuk memikirkan alur cerita yang sedang aku garap. Masalah mengenai Mbak Dina dan suaminya telah lama terlempar jauh ke belakang kepala. Aku tidak lagi dibuat risau oleh masalah itu. Sampai malam menjelang dan waktunya bagi kami untuk tidur. Aku memiliki kebiasaan untuk mengobrolkan perihal hari ini dengan Mas Ruslan. Dalam kondisi kamar yang gelap gulita dan kepalaku bersandar di bahunya. Untuk malam ini, kebetulan Danis lagi-lagi tidak ada di antara kami. Putra kecilku itu l
[Bukan urusan kamu!][Lagipula, apa maksud kamu dengan mengirimkan foto dan video itu saat ini?][Sebenci itukah kamu padaku sampai menggunakan momen bahagia keluargaku untuk mengirimkan hal-hal tidak berguna ini?!][Hapus sekarang juga!]Itu adalah pesan balasan yang aku terima dari Mbak Dina. Saat itu juga aku menyimpulkan bahwa Mbak Dina adalah tipe kedua dari yang disebutkan oleh Eva kemarin. "Aduuh, Astri. Ini akibat dari kamu nggak nurut sama suami sih!" rutukku pada diri sendiri. Ponsel pipih itu lalu aku ketuk-ketukkan pada dahi. "Gimana nih?" tanyaku untuk diri sendiri. Jantungku tiba-tiba mulai berdebar dan aku menjambak rambut yang terselubung di balik jilbab yang membalut kepalaku dengan frustrasi."Ibu! Ibu kenapa?" Suara sapaan Danis yang entah sejak kapan telah kembali dari lari-lari sore bersama dengan pamannya menyadarkan aku dari tindakan yang baru saja aku lakukan. "Eh,
'Bagaimana? Apa kamu sudah siap menerima hukuman?'Pertanyaan Mas Ruslan yang satu ini terus berputar di dalam benakku untuk waktu yang lama. Kakiku pun sudah lemas dan tak sanggup lagi menyangga tubuh. Jika tidak ada Mas Ruslan, barangkali aku sudah jatuh meluruh di atas lantai yang dingin. "Tadinya aku cuma bercanda, tapi suasananya terlalu mendukung," bisik Mas Ruslan. Aku mendecakkan lidah dengan keras di dalam hati karena bisikan bertele-tele Mas Ruslan ini. Ingin aku mengambil kendali, tapi gengsi. Mas Ruslan akan menjadikanku bulan-bulanan keesokan harinya jika aku sampai mengambil tindakan pertama malam ini. Di tengah lamunanku, Mas Ruslan akhirnya memagut bibirku. Dan akupun tidak sungkan untuk membalas. Lenganku refleks melingkar pada lehernya. Mataku pun terpejam rapat untuk mulai menikmati cumbuan ini. Tok tok tok! Suara ketukan pintu yang bergema dari samping membuat mataku langsung membelalak lebar. Debaran jan
Sejak hari itu, Mbak Dina terus menghubungiku. Dan akupun terus menghindarinya. Antara sengaja dan tidak. Karena acara ulang tahun Danis juga sudah memasuki hari-H. Aku disibukkan oleh segala persiapan acara yang membuatku tidak memiliki waktu untuk memikirkan benda pipih itu. "Ibu, Danis ulang tahun?" tanya Danis dengan senyum ceria di wajahnya. "Iya!" balasku sambil menebarkan senyuman yang sama. "Yaayy!!" sahut Danis kegirangan sambil melompat-lompat kecil. Ini adalah pengalaman pertama Danis merayakan ulang tahunnya. Di wajahnya yang 80 persen mirip Mas Ruslan itu, ada kegirangan yang jarang terlihat. Jika berada di rumah mertua, Danis akan bersikap dengan begitu hati-hati. Bahkan secara tidak sadar, dia juga akan meminimalisir aura keberadaannya. Terlalu sering mendengarku dimarahi dan dibentak oleh mertua membuat Danis menjadi seperti pria dewasa kecil. Tidak seperti kanak-kanak pada umumnya. "Sayang, ibu mau bikin k
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman