"Bu, saya mau menagih hutang!" Terdengar suara yang lantang mengagetkanku. Tanpa basa-basi langsung saja menagih hutang
"Eh Bik Lena! Ada apa Bik?" tanyaku pada perempuan itu. Aku kaget dengan kehadirannya, karena aku merasa tidak punya hutang dengannya.Bik Lena adalah seorang rentenir di kampungku. Dia meminjamkan uang dengan bunga yang cukup tinggi, sekitar dua puluh persen. Ia tidak segan-segan mengambil barang yang ada di rumah, jika orang tersebut tidak mampu membayar hutangnya."Begini Bu, Minggu lalu Mak Amir meminjam uang sama saya. Janjinya hari ini mau dibayar. Terus tadi saya menagihnya, katanya saya disuruh minta uang sama Bu Nova" Bik Lena menjelaskan dengan suara tidak segarang ketika datang tadi.Mak Amir adalah ibu mertuaku. Bapak mertua bernama Amir, jadi ibu mertua dipanggil Mak Amir. Emak, biasa aku memanggil mertuaku, selalu bermasalah dengan uang. Beliau termasuk orang yang hobi berhutang demi terlihat kaya dan dipuji-puji orang lain."Kok Emak nggak bilang sama saya ya? Maaf Bik Lena, saya nggak tahu kalau Emak ada hutang dengan Bik Lena." Aku menjawab dengan jujur, karena memang Emak tidak bilang sama aku."Waduh gimana, ya Bu? Saya hanya disuruh minta uang kesini," jawab Bik Lena."Ayo Bik, kita ke rumah Emak!" ajakku pada Bik Lena."Baik Bu," kata Bik Lena sambil berjalan mengikutiku.Aku segera ke rumah Emak yang berada di sebelah rumahku."Assalamualaikum, Mak." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam, ada apa Nova?" jawab Bapak mertua."Emak ada, Pak?" tanyaku pada Bapak."Ada di belakang. Masuk saja!" sahut Bapak sambil tetap asyik nonton televisi.Aku mempersilahkan Bik Lena untuk duduk dulu di ruang tamu. Aku berjalan menuju ke dapur, ada Emak yang sedang makan."Mak, apa Emak ada hutang sama Bik Lena?" Aku bertanya dengan sopan."Iya, tolong dibayar, ya Nova?" jawab Emak sambil tetap makan."Hutang untuk apa Mak? Apa uang yang Nova beri tidak cukup?" aku bertanya lagi pada Emak."Untuk ulang tahun Sheila kemarin! Kasihan bapaknya jauh, ia ingin ulang tahun dirayakan. Sebagai neneknya apa salahnya kalau Emak merayakannya?" sahut Emak."Mak, kalau hanya untuk ulang tahun, kan nggak harus dirayakan. Apalagi kalau tidak punya uang. Itu namanya memaksakan diri!" Aku memberi pengertian pada Emak."Kamu itu, jadi orang jangan pelit! Nanti rezekimu sempit. Uang cuma segitu saja kok diributkan." tiba-tiba Emak jadi emosi."Memangnya Emak punya hutang berapa sama Bik Lena?" Aku masih bertanya dengan suara yang tenang, sambil tetap menahan emosi yang mulai naik."Lima juta, sama bunganya jadinya enam juta!" Emak menjawab dengan ketus."Mak, enam juta itu banyak!" jawabku dengan nada kaget."Pokoknya Emak nggak mau tahu, kamu harus membayar hutang itu!" cecar Emak."Saya dapat uang darimana, Mak?""Ada apa ini ribut-ribut!" tiba-tiba suara Bapak terdengar."Nova itu menantu paling pelit. Disuruh bayar hutang tapi tidak mau. Dasar menantu durhaka!" Emak mengadu pada bapak."Maaf Pak, saya merasa tidak berhutang! Jadi saya tidak mau membayar hutang sebanyak itu!" aku membela diri."Yang berhutang siapa?" tanya Bapak."Aku yang berhutang, untuk merayakan ulang tahun Sheila kemarin." sahut Emak."Terus kok Nova yang disuruh membayar hutangnya?" cecar Bapak."Kalau bukan Nova, aku minta uang sama siapa?" Emak membalas dengan sengit."Bapak pikir, kemarin Emak merayakan ulang tahun Sheila karena memang punya uang. Ternyata Emak berhutang ya? Mak, Emak ini nggak ada kapok-kapoknya berhutang ya?" ungkap Bapak."Sudahlah Pak? Nggak usah marah-marah. Yang penting sekarang hutangnya dibayar!" sahut Emak dengan wajah yang kesal."Yang mau bayar siapa?" tanya Bapak lagi."Nova sama Johan!" kata Emak sambil melirik ke arahku. Aku hanya terdiam sambil menghela nafas."Mak, uang segitu Nova nggak ada!" tegasku pada Emak."Dasar kamu pelit. Kamu punya usaha warung makan itu, ada di tanah Emak! Anggap saja kamu membayar sewanya!" bentak Emak."Astaghfirullahaladzim, Mak! Tanah itu kan jatahnya Johan, terserah dia mau ditempati untuk usaha atau tidak. Nggak ada istilah sewa dengan anak sendiri!" teriak Bapak.Aku kaget mendengar teriakan Bapak, karena Bapak jarang berbicara dengan nada keras. Mungkin Bapak sudah tidak tahan, mendengar ucapan Emak yang seenaknya saja. Karena itu Bapak berteriak."Bapak selalu membela mereka, jadinya mereka melawan sama Emak!" Emak berkata dengan nada merajuk."Ada apa ini?" tanya Mella, ibunya Sheila yang baru muncul dari kamarnya.Mella merupakan istri dari Deni, adiknya Bang Jo suamiku. Deni bekerja sebagai sopir di perusahaan sawit, jadi tidak setiap saat ada di rumah. Mella masih tinggal bersama mertuaku, tapi pintar sekali mencari muka dan selalu mengadu domba."Tuh, Nova nggak mau membayar hutang Emak pada Bik Lena." Emak mengadu pada Mella."Mbak, jangan terlalu pelit dengan Emak. Ingat Mbak, kita ini menantu Emak. Sebisa mungkin membahagiakan Emak, jangan selalu menang sendiri! Masih mending kita bisa tinggal bersama Emak. Kalau disuruh mengontrak, sudah habis berapa banyak uangnya. Mbak kan punya uang, kenapa nggak dibayar saja hutang Emak." Mella berkata seolah-olah menasehatiku, padahal hanya mencari muka di depan Emak dan Bapak. Kulihat Emak tersenyum bahagia, mendengar pembelaan dari menantu kesayangannya."Maaf Mella, Emak berhutang untuk merayakan ulang tahun Sheila. Jadi kamu yang harus membayar hutangnya," ucapku pada Mella."Nggak bisa dong! Yang berhutang kan bukan aku!" teriak Mella."Sama! Yang berhutang juga bukan aku!" sahutku lagi dengan tersenyum."Sudah-sudah, berapa semua hutangnya?" Bapak menengahi perdebatan kami."Enam juta sudah beserta bunganya!" jawab Emak."Apa? Enam juta? Wajar saja kalau Nova keberatan membayarnya! Emak benar-benar keterlaluan!" Bapak berkata dengan nada kesal."Mak Amir, Bu Nova? Gimana nih hutangnya." Tiba-tiba Bik Lena muncul di dapur."Berapa semua hutang Emak, Bik?" tanyaku pada Bik Lena."Enam juta!" sahut Bik Lena."Saya hanya punya uang satu juta!" kataku sambil mengeluarkan uang dari saku celana. Padahal uang ini akan aku pakai untuk belanja keperluan warung."Kurang dong, Bu." sahut Bik Lena."Mau dibayar nggak? Kalau nggak mau ya sudah!" kataku sambil pura-pura memasukkan uang ke saku."Iya deh, saya terima saja daripada tidak dibayar," kata Bik Lena dengan tangan mengambil uang yang ada di tanganku."Ini ada uang dua juta! Sisanya nanti kalau saya punya uang!" kata Bapak yang keluar dari kamar. Aku tidak tahu kapan Bapak masuk ke kamarnya kok tiba-tiba sudah keluar dari kamar."Pak, Bapak punya uang ya?" tanya Emak."Bapak mengambil di laci lemari!" sahut Bapak dengan santainya."Itu uangku, Pak!" teriak Emak dengan marah."Ya sudah untuk membayar hutang saja," kata Bapak sambil menyerahkan uang pada Bik Lena."Terimakasih Pak Amir. Masih kurang tiga juta lagi ya, Pak?" kata Bik Lena dengan wajah berseri-seri karena menerima uang."Iya, nanti sisanya biar Emak yang membayarnya!" sahut Bapak."Permisi, saya mau pulang!" Bik Lena pulang dengan senang hati karena hutangnya dibayar walaupun hanya setengah saja."Dasar menantu durhaka, pelit dengan mertua. Emak doakan usahamu bangkrut!" teriak Emak seperti orang yang kesurupan.Aku syok mendengar kata-kata Emak."Mak, nggak boleh ngomong begitu!" bentak Bapak."Biarlah! Biar jadi miskin sekalian!" sahut Emak dengan nada yang kesal "Alhamdulillah kalau Emak mendoakanku seperti itu! Jadi nanti Emak nggak minta uang sama aku lagi, karena usahaku bangkrut! Boro-boro mau ngasih uang sama Emak, untuk makan saja belum tentu cukup! Jadi nanti Emak minta uang sama Deni dan Mella ya Mak? Mereka kan anak dan menantu kesayangan Emak!" sindirku."Iri bilang, Mbak!" sahut Mella sambil tersenyum penuh kemenangan."Iri? Maaf, nggak ada dalam kamusku iri sama kamu! O ya, hutangmu yang Minggu lalu, besok dibayar ya? Mau aku pakai untuk belanja warung! Jangan lupa, bayar!" kataku sambil berjalan pergi keluar rumah Emak. Sekilas aku lihat wajah Mella merah padam. Bapak tersenyum mendengar ucapanku.Aku keluar dari rumah Emak dengan perasaan yang sangat kesal. Kesal dengan tingkah laku Emak yang tidak pernah kapok-kapoknya berhutang pada rentenir."Dari mana, Dek!" tanya Bang Jo ketika aku kembali ke rumah."Dar
"Kata siapa kalau Makwo membenci Ibu dan Nay?" tanya Bang Jo."Soalnya Makwo sering marah-marah sama Ibu dan Nay. Padahal Nay sudah jadi anak baik. Kalau Sheila selalu disayang Makwo, walaupun Sheila nakal sama Nay." Nayla menjelaskan dengan serius."Nggak boleh bilang seperti itu, Makwo juga sayang kok sama Nay." Bang Jo berusaha memberi pengertian pada Nay. Walaupun sebenarnya ia tahu kalau yang dikatakan Nayla itu benar. Emak memang membedakan perlakuan pada Sheila dan Nayla, pilih kasih. Aku juga sering jengkel dengan perlakuan Emak. Giliran butuh uang, aku dan Bang Jo yang dicari.Nayla hanya diam, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin mencoba menalar apa yang diucapkan ayahnya. Kemudian Nayla melihat ke arahku."Bu, besok beli kado untuk ulang tahunnya Irsa ya?" pinta Nayla."Nay mau pergi sama siapa?" tanyaku pada Nayla."Sama Mbak Intan. Jangan lupa Mbak Intan dibelikan kado juga. Jadi nanti Nay dan Mbak Intan bawa kado sendiri-sendiri!" Nayla bersemangat sekali
Aku tersenyum menatap Bang Jo, kemudian mengangguk. Bang Jo pasti tahu apa yang aku pikirkan.Hari ini aku tidak pergi ke kantor, karena Bang Jo ada urusan dan tidak bisa menunggu warung. Kesibukan di warung sudah dimulai. Warti dan Minah sudah datang dan menyiapkan semua perlengkapan warung. Sebenarnya capek buka usaha warung makan, tapi yang namanya bekerja itu memang capek. Kalau semua dilakukan dengan ikhlas dan senang hati, insyaAllah capek pun akan tetap senang. Inilah hidup yang harus aku syukuri."Bu, Nayla sudah bangun," kata Warti."O ya?" Aku segera masuk ke kamar, Nayla suka menangis kalau dia bangun tidak ada orang disebelahnya."Bu, Nay mau susu!" kata Nayla."Nay pipis dulu, Ibu bikin susu! Ya?" kataku membujuk Nayla untuk buang air kecil.Nayla bergegas bangkit dari tempat tidur dan segera ke kamar mandi."Nay sudah pipis Bu! Nay mau nonton televisi ya, Bu?" kata Nayla.Aku segera menghidupkan televisi dan mencari acara kesukaan Nayla. Nayla menonton film kartun sambil
"Bu Nova, mau beli daster nggak? Barangnya baru semua lho!" kata Mbak Siti, tukang kredit pakaian keliling. Ia turun dari motornya sambil membawa tas berisi barang dagangannya. Kemudian duduk di balai bambu yang terdapat di teras rumahku. Balai bambu itu sering kami pakai untuk duduk-duduk santai sambil menunggu pembeli yang datang. Bahkan Intan dan Nayla sering tidur-tiduran dan bermain di balai bambu itu."Ayo Bu, silahkan dipilih! Ini warnanya cocok untuk Bu Nova," kata Mbak Siti."Namanya orang dagang, pasti bilangnya cocok. Biar nanti dibeli," kataku sambil memilih-milih daster.Warti dan Minah juga ikut melihat-lihat daster karena kebetulan warung sedang sepi. Jualannya Mbak Siti boleh dibayar dengan sistem kredit atau tunai. Tentu saja harganya berbeda antara kredit dan tunai."Pilihkan satu untuk Bik Sarni!" kataku pada Warti."Ini cocok nggak Minah untuk Bik Sarni!" kata Warti."Terlalu ramai coraknya!" jawab Minah sambil memilih-milih."Kalau ini?" tanya Warti lagi."Nah it
"Ada apa Nay?" tanyaku pada Nayla.Nayla tidak menjawab, hanya menangis terus."Maafkan Intan Bu. Intan lalai menjaga Nayla," kata Intan pelan sambil menunduk. Sepertinya ia ketakutan, kalau aku marah."Memangnya Nayla kenapa?" tanyaku dengan suara lembut."Nayla rebutan mainan sama Sheila. Sheila kalah, dia mencubit Nay dan merebut kembali mainan Nay. Intan nggak bisa mencegah Sheila karena Intan sedang mengambil minum untuk Nay. Maafkan Intan Bu," jawab Intan sambil menunduk.Aku mendekati Intan dan memegang tangannya. "Intan nggak bersalah. Intan sudah jadi kakak yang baik untuk Nayla. Buktinya Intan sedang mengambilkan minum untuk Nayla, ya kan?" kataku pada Intan.Intan mengangguk."Ibu nggak marah sama Intan?"Aku menggelengkan kepala."Sudah, sekarang Intan dan Nayla main di balai bambu saja. Ya?" kataku pada Intan.Nayla sudah berhenti nangisnya."Lihat Bu, tangan Nay yang dicubit Sheila," kata Nayla sambil menunjukkan tangannya yang sedikit lecet karena dicubit Sheila.Seben
"Iya Mak, ada apa?" tanya Bapak."Dicariin dari tadi kok malah kesini, sarapan disini ya? Kayak di rumah nggak dikasih makan, Pak?" gerutu Emak sambil melirik ke arahku. "Memangnya kenapa kalau sarapan disini? Tadi sarapan sama Nayla," jawab Bapak "Nay, kok nggak mau main sama Sheila? Sheila punya mainan baru lho," ucap Emak pada Nayla, untuk mengalihkan pembicaraan."Nggak mau, Sheila pelit! Kalau punya mainan nggak mau minjemin." Nay menjawab dengan ketus."Eh, siapa bilang?" tanya Emak."Nay yang bilang. Emang Sheila pelit kok. Nay pegang mainannya saja nggak boleh.""Tuh, anak diajarin ngomong nggak benar. Adiknya sendiri dikatain pelit!" kata Emak padaku dengan tatapan sinis. Aku menghela nafas sebelum menjawab perkataan Emak."Mak, Emak juga sering bilang kalau aku pelit. Mungkin Nay ikut-ikutan ngomong pelit karena ada yang ditiru." Aku membalas ucapan Emak."Benar itu Mak, anak kecil itu akan meniru omongan orang dewasa." Bapak ikut menimpali."Huh, ngomong sama kalian meman
"Kenapa, Mbak?" Suara Rita mengagetkanku. Sepertinya Rita memperhatikan aku dari tadi."Kamu ini ngagetin aku aja. Nggak apa-apa kok!" Aku berusaha mengatur emosiku."Nggak mungkin nggak apa-apa. Dari tadi aku memperhatikan Mbak Nova. Setelah memegang ponsel, wajah Mbak Nova berubah menjadi seperti marah. Pasti ada sesuatu di ponsel Mbak. Apakah ada yang memberi tahu sesuatu?" selidik Rita, aku yakin kalau dia sangat kepo.Aku menyerahkan ponselku pada Rita, matanya langsung terbelalak menatap layar ponsel."Ini status Dewi?" tanya Rita, sepertinya ia kurang yakin.Aku mengangguk sambil mengatur nafas, yang tadi sempat naik turun karena emosi. Benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya Dewi membuat status seperti itu di Facebook."Sudah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Biarkan saja. Orang-orang sudah tahu, kalau Mbak Nova nggak seperti itu. Kalau diladeni, nanti malah ramai dan membuat masalah baru." Rita menenangkanku. Kemudian ia membuka ponselnya dan mencari akun Dewi."Iya, aku nggak mau m
"Nova, mana Johan?" tanya Emak yang tiba-tiba datang ke warung."Belum pulang, Mak," jawabku dengan sejenak menghentikan kegiatanku membungkus nasi."Kemana?" tanya Emak lagi."Tadi katanya mau ke sekolah Dewi, sesudah itu mau pergi bersama temannya. Ada apa, Mak?" Aku balik bertanya."Bilangin sama Johan, nanti ponselnya langsung kasihkan sama Dewi. Kasihan Dewi kalau nggak punya ponsel.""Iya, Mak.""Nova, ikut arisan ya? Satu juta sebulan.""Maaf, Mak, saya nggak sanggup terlalu besar. Saya sanggupnya cuma seratus atau dua ratus ribu sebulannya.""Masa kamu kalah sama Mella. Dia ikut lho. Nggak usah pelit-pelit, itu kan uangnya Johan. Emak yakin, Johan tidak akan keberatan kalau kamu ikut arisan itu." Emak semangat sekali mengompori. Aku mulai jengah dengan ucapan Emak."Maaf, Mak.""Hidup numpang saja, belagu!" gerutu Emak.Walaupun Emak berkata pelan, tapi aku masih mendengarnya. Hatiku terasa sangat panas. Warti dan Minah hanya diam saja, aku tahu mereka sebenarnya ingin berkome
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa