"Iya Mak, ada apa?" tanya Bapak.
"Dicariin dari tadi kok malah kesini, sarapan disini ya? Kayak di rumah nggak dikasih makan, Pak?" gerutu Emak sambil melirik ke arahku."Memangnya kenapa kalau sarapan disini? Tadi sarapan sama Nayla," jawab Bapak"Nay, kok nggak mau main sama Sheila? Sheila punya mainan baru lho," ucap Emak pada Nayla, untuk mengalihkan pembicaraan."Nggak mau, Sheila pelit! Kalau punya mainan nggak mau minjemin." Nay menjawab dengan ketus."Eh, siapa bilang?" tanya Emak."Nay yang bilang. Emang Sheila pelit kok. Nay pegang mainannya saja nggak boleh.""Tuh, anak diajarin ngomong nggak benar. Adiknya sendiri dikatain pelit!" kata Emak padaku dengan tatapan sinis. Aku menghela nafas sebelum menjawab perkataan Emak."Mak, Emak juga sering bilang kalau aku pelit. Mungkin Nay ikut-ikutan ngomong pelit karena ada yang ditiru." Aku membalas ucapan Emak."Benar itu Mak, anak kecil itu akan meniru omongan orang dewasa." Bapak ikut menimpali."Huh, ngomong sama kalian memang susah," gerutu Emak."Mak, Deni pulang ya?" tanya Bang Jo mengalihkan pembicaraan."Iya, beli oleh-oleh banyak. Bawa uang banyak Deni itu." Emak bicara dengan senyum sumringah."Alhamdulillah, kalau bawa uang banyak. Berarti hutangnya Mella nanti pasti dibayar sama Deni ya Bang! Lumayan untuk tambahan belanja warung," ucapku dengan bahagia."Kamu itu sama adik sendiri perhitungan, pelit sekali. Hutang segitu saja diungkit-ungkit terus." Emak menggerutu lagi."Tuh, Emak selalu ngomongin kami pelit. Kalau memang Deni dan Mella nggak punya uang, kami ikhlas hutangnya nggak dibayar. Tapi mereka selalu foya-foya kalau Deni baru pulang," sahut Bang Jo dengan kesal."Siapa bilang mereka nggak punya uang? Kamu menghina ya?" bela Emak."Makanya Mak, kalau mereka punya uang, seharusnya mereka membayar hutangnya. Yang namanya hutang, satu rupiah pun nanti ada hitungannya di akhirat," kataku memberi penjelasan."Baru belajar mengaji saja sudah seperti ustadzah. Sok ngajarin orang tua," cibir Emak."Itulah Mak, ayo sekali-kali ikut saya ngaji. Biar banyak teman untuk saling berbagi ilmu. Emak bisa berbagi ilmu, Emak kan sudah kenyang dengan pengalaman hidup, bisa berbagi dengan kami yang masih muda-muda," sahutku lagi."Tuh benar yang dikatakan Nova, sekali-kali ikut pengajian. Jangan hanya ghibah saja kerjanya dan mudah sekali dihasut Mella." Bapak ikut menimpali. Aku tersenyum mendengar ucapan Bapak."Bapak sok tahu ah," kata Emak tidak mau kalah."Mak, kita ini sudah tua. Nggak usah ikut-ikutan urusan anak muda. Emak tuh selalu ikut campur urusan anak-anak. Mereka kan sudah dewasa, biarlah mereka mengurus urusan mereka sendiri. Emak juga jangan suka pilih kasih sama anak dan cucu. Selalu membela Mella dan Sheila padahal mereka belum tentu benar. Bapak benar-benar stress mikirin tingkah laku Emak. Semakin tua kok makin nggak karuan. Bikin malu saja!" Bapak mengeluarkan keluh kesahnya.Emak hanya diam, tidak berani membalas ucapan Bapak.***"Mbak, coba lihat. Ini status adik ipar Mbak Nova. Lebay sekali," kata Rita, teman kerjaku di kantor desa.Ia menunjukkan ponselnya padaku. Kulihat Mella membuat status di medsos berlambang F. Dengan caption "Terima kasih suamiku atas hadiahnya. Semakin love deh sama kamu".Aku tertawa melihatnya. Tampak foto Mella memakai jam tangan baru, kemudian beberapa foto mesra Mella dan Deni. Bukannya aku iri, tapi menurutku itu sangat lebay. Kemesraan kita dengan pasangan tidak perlu dipamerkan. Pencitraan saja."Kenapa tertawa, Mbak?" tanya Rita dengan raut wajah yang penasaran."Ini namanya mempromosikan suaminya!" sahutku sambil menyerahkan ponselnya Rita."Kok bisa?" cecar Rita, ia tampak penasaran dengan ucapanku."Gini ya, Mella itu memberitahukan kepada seluruh dunia, bahwa suaminya itu baik, penyayang dan suka memberinya hadiah. Pasti ada saja perempuan yang iri melihat kehidupan Mella di medsos. Akhirnya si perempuan itu akan penasaran dengan suaminya Mella. Iseng-iseng, ia akan mengirimkan permintaan pertemanan pada suami Mella." Aku berhenti sejenak, Rita masih menatapku dengan serius."Terus?" Rita sepertinya sudah tidak sabar mendengar kelanjutan ceritaku."Sabar!" Aku tertawa, Rita malah kesal. Aku pun memasang wajah yang serius lagi."Apalagi di status itu Mella men-tag suaminya. Kalau suaminya Mella iseng juga, akhirnya menerima permintaan pertemanan itu. Mereka akan saling nge-like status, saling komen, saling inbox. Itulah awal mula perselingkuhan terjadi.""Oh, iya ya." Rita manggut-manggut, "seperti teman sekolahku, suaminya berselingkuh gara-gara F******k.""Nah, itu maksudku!" sahutku, "makanya, jangan pamer kemesraan dengan pasangan di medsos. Kadang-kadang, yang tampak mesra itu sebenarnya malah tidak mesra sama sekali.""Nih, lihat Mbak ada yang komen, katanya enak punya suami seperti suami Mella," seru Rita sambil mata menatap di layar ponsel."Itu dia, sudah ada satu yang merasa iri dengan kehidupan Mella. Itu yang terang-terangan komentar. Yang nggak berkomentar, kan banyak," imbuhku."Memang benar ya Mbak, kita harus berhati-hati sekali di medsos. Ada pepatah yang mengatakan 'jarimu harimaumu'. Ih ngeri ya?" Rita bergidik."Betul itu. Kalau kita tidak pandai-pandai menahan jari kita, akan berakibat buruk bagi kita nantinya." Aku menjelaskan pada Rita."Mbak, Mella itu hutangnya banyak lho," sambung Rita."Masa sih! Tahu dari siapa kamu?" Aku heran, Rita ini kayak g****e saja. Tahu banyak informasi."Tahu dari orang-orang. Ada hutang baju, panci presto, Tupperware, karpet karakter, belum lagi arisan-arisan. Apa nggak pusing ya mikir cicilannya?" Rita bergumam sendiri."Nggak usah dipikirin, nanti malah kamu yang pusing," ledekku, melihat wajah Rita yang sangat serius."Iya ya, ngapain aku mikirin hutangnya orang. Haha." Rita tertawa menyadari kelakuannya."Wah ada yang sedang bahagia ya. Tertawanya renyah sekali." Suara Gino mengagetkan kami."Biasa Gino, Rita pagi-pagi sudah ngajak aku ghibah," selorohku."Bukan ghibah Mbak, tapi memberi informasi yang cepat dan akurat," sanggah Rita."Kayak testpack saja deh, cepat dan akurat," selorohku sambil tertawa. Rita dan Gino ikut tertawa."Memang ya perempuan itu kalau sudah ngumpul pasti ceritanya kemana-mana." Gino menimpali."Apa laki-laki nggak kayak gitu?" tanya Rita."Sama saja sih," canda Gino sambil tertawa.Akhirnya kami kembali ke meja masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan kami. Aku sedang asyik mengerjakan tugasku, tiba-tiba ponselku berdering. Ada sebuah pesan masuk. Ketika kubuka, ternyata sebuah foto screenshot. Mataku terbelalak melihat foto tersebut."Astaghfirullahaladzim," kataku dalam hati, nafasku naik-turun, emosi jadi meningkat. Aku segera menarik nafas panjang untuk meredam emosi."Kenapa, Mbak?" Suara Rita mengagetkanku. Sepertinya Rita memperhatikan aku dari tadi."Kamu ini ngagetin aku aja. Nggak apa-apa kok!" Aku berusaha mengatur emosiku."Nggak mungkin nggak apa-apa. Dari tadi aku memperhatikan Mbak Nova. Setelah memegang ponsel, wajah Mbak Nova berubah menjadi seperti marah. Pasti ada sesuatu di ponsel Mbak. Apakah ada yang memberi tahu sesuatu?" selidik Rita, aku yakin kalau dia sangat kepo.Aku menyerahkan ponselku pada Rita, matanya langsung terbelalak menatap layar ponsel."Ini status Dewi?" tanya Rita, sepertinya ia kurang yakin.Aku mengangguk sambil mengatur nafas, yang tadi sempat naik turun karena emosi. Benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya Dewi membuat status seperti itu di Facebook."Sudah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Biarkan saja. Orang-orang sudah tahu, kalau Mbak Nova nggak seperti itu. Kalau diladeni, nanti malah ramai dan membuat masalah baru." Rita menenangkanku. Kemudian ia membuka ponselnya dan mencari akun Dewi."Iya, aku nggak mau m
"Nova, mana Johan?" tanya Emak yang tiba-tiba datang ke warung."Belum pulang, Mak," jawabku dengan sejenak menghentikan kegiatanku membungkus nasi."Kemana?" tanya Emak lagi."Tadi katanya mau ke sekolah Dewi, sesudah itu mau pergi bersama temannya. Ada apa, Mak?" Aku balik bertanya."Bilangin sama Johan, nanti ponselnya langsung kasihkan sama Dewi. Kasihan Dewi kalau nggak punya ponsel.""Iya, Mak.""Nova, ikut arisan ya? Satu juta sebulan.""Maaf, Mak, saya nggak sanggup terlalu besar. Saya sanggupnya cuma seratus atau dua ratus ribu sebulannya.""Masa kamu kalah sama Mella. Dia ikut lho. Nggak usah pelit-pelit, itu kan uangnya Johan. Emak yakin, Johan tidak akan keberatan kalau kamu ikut arisan itu." Emak semangat sekali mengompori. Aku mulai jengah dengan ucapan Emak."Maaf, Mak.""Hidup numpang saja, belagu!" gerutu Emak.Walaupun Emak berkata pelan, tapi aku masih mendengarnya. Hatiku terasa sangat panas. Warti dan Minah hanya diam saja, aku tahu mereka sebenarnya ingin berkome
"Tuh, menantu kesayangan Emak. Gayanya sok kaya, tapi hutang dimana-mana." Bang Jo berkata sambil tersenyum."Bu, ada yang nyariin Tante Mella," teriak Nayla dari luar."Suruh masuk kesini orangnya, Nay." jawabku spontan. Emak langsung melotot padaku."Assalamualaikum, Bu Nova," sapa orang yang dimaksud Nayla."Waalaikumsalam, eh Bu Lasmi. Mari masuk Bu!" jawabku sambil menoleh ke arah datangnya suara."Terimakasih Bu.""Ada apa ya Bu?" tanyaku."Saya mencari Mbak Mella, barangkali dia ada disini." Bu Lasmi menjelaskan."Ngapain kamu mencari Mella." Emak menimpali ucapan Bu Lasmi."Begini Mak Amir, Mbak Mella ada hutang sama saya, janjinya Minggu lalu mau dibayar. Setiap saya cari selalu tidak ada." Bu Lasmi menjelaskan."Hutang apa, Bu?" tanyaku penasaran."Jam tangan, Bu Nova," jelas Bu Lasmi."Hanya jam tangan saja kok, nanti juga dibayar sama Mella." Emak masih membela Mella."Memangnya berapa harga jam tangannya?" tanya Bapak."Lima ratus ribu." Bu Lasmi menjawab dengan semangat.
"Ada apa, Den?" tanyaku pada Deni."Mella ada disini nggak Mbak?" tanya Deni, terlihat kalau ia sangat emosi.Belum sempat aku menjawab pertanyaan Deni, Mbak Siti langsung berbicara."Kayaknya tadi lari ke dapur lho, Pak," jawab Mbak Siti.Deni langsung berlari ke dapur yang dimaksud."Bu, saya permisi pulang. Kayaknya sebentar lagi ada perang dunia ketiga, haha!" kata Mbak Siti sambil menunjuk ke arah dapur. Aku langsung menepuk jidat. Benar saja apa yang dikatakan Mbak Siti. Terdengar perdebatan antara Deni dan Mella."Kamu ambil uang di dompetku ya Mel!" Suara Deni terdengar membentak Mella."Iya, Kak." "Untuk apa uang itu? Memangnya uang yang aku kasih kurang ya?" "Masa istri ambil uang suami kok nggak boleh?""Bukannya nggak boleh, tapi kamu harus izin dulu sama aku. Berapa yang kamu ambil?""Lima ratus ribu." "Jangan bohong kamu, berapa yang kamu ambil?""Delapan ratus ribu.""Untuk apa uang itu?" seru Deni."Bayar hutang.""Hutang apa!" bentak Deni."Hutang baju.""Astaghfi
"Assalamualaikum, Nova." Suara seorang laki-laki yang sangat kukenal. Aku langsung menoleh ke arah suara itu berasal."Bapak!" Aku kaget dan segera beranjak dari duduk, mendekati Bapak. Ya, Bapak kandungku datang. Aku mencium tangan Bapak, Bapak mengelus kepalaku. Bapak datang berdua dengan Manto, anak buah bapak. Aku duduk menemani bapak dan Manto. Bapak tinggal di kecamatan yang berbeda denganku. Dengan jarak sekitar dua jam perjalanan.Bapak dan ibuku bercerai ketika aku masih kelas satu SMA. Karena dulu bapak berselingkuh dengan mantannya. Aku benar-benar kacau saat itu, tapi beruntung aku tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif. Aku ikut nenek dari pihak bapak, ibu dan adikku satu-satunya ikut nenek dari pihak ibu. Bapak sudah menikah lagi, tapi tidak dengan selingkuhannya. Ternyata selingkuhannya itu hanya ingin memanfaatkan Bapak saja. Ibu Sis, begitu aku memanggil istri bapak yang bernama Siska. Dari pernikahan itu, lahirlah Anissa.Ibuku juga sudah menikah lagi, dan memi
Tiba-tiba Bang Jo memelukku dari belakang."Maafkan, Abang. Abang tidak bermaksud menyudutkanmu. Abang tetap mendukung setiap tindakanmu. Abang percaya padamu, Dek." Bang Jo semakin erat mendekapku, aku merasa sangat bahagia.Aku menghapus air mataku."Terima kasih atas kepercayaan Abang padaku," kataku dengan tersenyum. Semoga Bang Jo selalu mendukungku dalam susah ataupun sedih. "Abang nggak tahu kalau Emak berkata begitu. Tadi Emak bercerita dengan sedih tentang Deni dan Mella. Makanya Abang jadi ikut bersedih. Jangan khawatir, ada Abang disampingmu." Bang Jo menenangkan ku."Mella benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya ia punya hutang dimana-mana. Pantas saja kalau Deni sangat marah. Aku jadi kasihan sama Deni.""Mereka sudah sama-sama dewasa. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita nggak perlu ikut campur," kataku pada Bang Jo. Bang Jo hanya mengangguk.***Aku baru pulang dari kantor, masuk ke warung. Minah membisikan sesuatu padaku. Aku kaget mendengar ucapan Mina
"Oh, mau menginap sama anak-anak, ya? Betul kata Nova tadi, bawa sekalian tasnya!" perintah Bapak.Mbak Narsih menatapku dengan wajah tidak suka. Aku tersenyum penuh kemenangan. Bapak memang selalu berada dipihakku.Dewi dan ibunya berjalan mengikuti Bapak. Tinggallah aku dan Bang Jo. Nayla dan Intan sudah pergi entah kemana. Bang Jo melihatku dengan tatapan aneh, mungkin dia marah. Aku pura-pura tidak mengerti kalau dia marah."Sudah makan, Bang?" tanyaku.Tidak ada jawaban darinya."Sudah ngopi?" tanyaku lagi.Masih tidak ada jawaban."Oh, ternyata sudah ngopi dengan ibunya Dewi, ya? Ya sudah kalau tidak mau menjawab. Nanti tidak bisa bicara sungguhan baru tahu rasa," ucapku sambil berjalan pergi meninggalkannya dan menuju ke warung.Minah sedang melayani pembeli. Warti masih mencuci piring di belakang."Bu, tidak Ibu rekam ya kejadian tadi?" tanya Minah ketika selesai melayani pembeli."Kejadian apa?" tanyaku pura-pura tidak paham."Tadi tuh, ada Pakwo di depan, terus saya panggil.
Aku diam saja, malas menanggapi. Kulihat Minah agak kesal mendengar ucapan Mbak Narsih."Diajak ngomong tuh jawab," seru Mbak Narsih."Memangnya Mbak tadi ngomong sama aku ya?" jawabku."Ya iyalah," sahut Mbak Narsih."Mbak kan nggak menyebut nama, jadi nggak tahu siapa yang diajak bicara," lanjutku dengan kesal.Muncul Bang Jo bersama dengan Nayla yang sudah kelihatan wangi."Anak Ibu sudah mandi ya?" tanyaku pada Nayla."Iya Bu, wangi nggak?" jawab Nayla."Wangi sekali, sudah minum susu?""Sudah, tadi Ayah yang buat."Bang Jo kelihatan gugup, mungkin mau menyapa Mbak Narsih tapi tidak berani. Mbak Narsih memandang Bang Jo tanpa berkedip. "Mas, sudah sarapan?" tanya Mbak Narsih."Sudah," jawab Bang Jo."Ayah, katanya tadi mau jemput Mbak Intan. Ayo!" ajak Nayla sambil mendekati Bang Jo."Iya, sebentar lagi," sahut Bang Jo."Ayo, Yah!" rengek Nayla sambil menarik tangan Bang Jo. "Mau jemput Mbak Intan ya? Tante boleh ikut?" tanya Mbak Narsih pada Nayla."Motornya nggak muat, Tante.
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa