Setelah dipikir-pikir oleh Sadam memang lebih baik uangnya ditabung untuk membeli keperluan bayi dan biaya lahiran istrinya nanti. Mengeluarkan uang untuk membayar jasa asisten rumah tangga cukup menguras dompet juga. Akan tetapi, ia benar-benar meyakinkan ibu dan kakaknya untuk membantu Safira mengerjakan pekerjaan rumah. “Iya, tenang saja aku pasti bantu istrimu,” ucap Nala.Akhirnya, mereka sepakat untuk tidak jadi memakai jasa asisten rumah tangga. Sadam pun meninggalkan ibu dan kakaknya. Langkahnya menuruni tangga dan terhenti di depan pintu kamarnya. Buku-buku tangan kanannya kembali mengetuk pintu kamar dan memanggil sang istri.Kali ini Safira bergerak untuk membuka pintu kamar, hatinya sudah cukup tenang. Ia harus kuat menjalani semuanya demi anak yang sedang tumbuh di dalam perut. Safira tertunduk, dalam hatinya bercampur aduk, sedih, kesal, marah jadi satu. “Hei,” ucap Sadam mengangkat dagu Safira pelan dengan kedua tangannya.Seiring helaan napas Safira mengeluarkan isi
Safira terus menatap setiap gerak-gerik sang suami yang mencurigakan karena jarang sekali Mirah minta diantar Sadam apalagi Sabtu sore seperti ini. Sadam pun mengatakan tidak tahu tujuan ibunya, ia hanya diminta mengantar saja. Akan tetapi, Safira merasa ada yang janggal. Hanya mengantar Mirah saja Sadam sampai berpakaian serapi itu. “Sebenarnya mau ngantar Ibu ke mana, sih, Mas?” selidik Safira, menautkan kedua alisnya.“Aku juga tidak tahu. Ibu cuma bilang antar saja,” jawab Sadam.Perasaan perempuan yang sedang hamil muda itu tidak enak, gundah gulana. Seperti akan ada sesuatu yang terjadi. “Ya sudah, aku pergi dulu, ya, Ibu sudah manggil terus.” Sadam mencium kening sang istri dan keluar dari kamar.Safira diam saja melepas kepergian Sadam yang tidak jelas mau mengatar ibunya ke mana. Perasaannya benar-benar tidak enak. Telinganya mendengar deru mesin mobil yang dinyalakan dan kemudian semakin hilang bersamaan dengan menjauhnya mobil Sadam.Bersamaan dengan desahan yang keluar d
Sadam dan Ayunda menikmati perbincangan mereka terkadang keduanya sesekali terlihat tertawa.Suami dari Safira yang awalnya merasa canggung lama-lama ia merasa nyaman dan menikmati obrolan dengan perempuan cantik itu.Mereka memesan minuman, lalu mengobrol kembali sambil menunggu Mirah dan Dahlia. Laki-laki yang sudah membina rumah tangga bersama Safira itu merasakan kenyamanan saat bersama Ayunda. Ia sendiri pun tak tahu mengapa bisa merasakan hal itu. Mungkin karena Sadam dan sang istri sudah jarang sekali mengobrol dan becanda seperti yang dilakukan oleh Ayunda dan dirinya sekarang.Akhir-akhir ini ia dan Safira lebih sering membicarakan masalah rumah tangga yang justru malah membuat mereka menjadi sedikit renggang. Cukup lama pria bercambang itu dan Ayunda mengobrol sambil menunggu ibu mereka. Akhirnya, Mirah dan Dahlia pun kembali dengan senyum terpancar dari wajah mereka berdua saat melihat Sadam dan Ayunda."Wah ngobrolin apa, sih? Kayaknya seru banget," ucap Dahlia menarik
"Bukan begitu, kau lebih penting dari siapa pun, Sayang," jawab Sadam ."Lalu, kenapa kau lebih mementingkan teman-teman kantormu dibanding aku?" tanya Safira kesal."Janin yang ada di dalam kandunganmu masih kecil dan waktu melahirkan pun masih lama," kata Sadam menghadapkan tubuhnya pada sang istri."Ya sudahlah, kalau kau tak mau mengantarku, aku bisa pergi sendiri," kata Safira mengerlingkan mata dan membalik tubuhnya membelakangi sang suamiSadam tak enak hati jika harus membuat Safira marah. Ia pun masih merasa bersalah karena sudah membohongi istrinya itu. Bukan bermaksud untuk membohongi Safira, tetapi ia tidak ingin ada kesalahpahaman antara dirinya dan sang istri. Cepat atau lambat ia akan menceritakan Mirah yang memintanya untuk berkenalan dengan Ayunda, tetapi bukan saat ini. Pria bertubuh tinggi itu menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan Safira. Kondisi dan keadaan sekarang tidak memungkinkan untuk membahas masalah ini karena perasaan Safira sedang sangat
"Iya Ibu tahu hanya saja Ibu ingin Sadam memiliki istri yang jelas asal-usulnya," ungkap Mirah.Safira menggeleng dan mendesah karena sangat kesal pada mertuanya. Ia tidak mengerti dengan isi kepala sang mertua. Bisa-bisanya ingin menjodohkan anaknya sendiri yang sudah memiliki istri dengan perempuan lain. "Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Sadam pada Ayunda."Sadam, Ayunda itu dari tadi menunggumu. Kalian 'kan sudah janjian untuk bertemu, tapi kau malah pergi dengan Safira," ungkap Mirah, mengerlingkan bola mata di balik kacamatanya."Apa janjian? Maksudnya gimana, sih, Mas?" tanya Safira tidak mengerti."Aduh, udah deh kau masuk saja ke kamar biar Sadam dan Ayunda mengobrol." Mirah menarik tangan Safira."Tunggu, Bu! Aku ingin penjelasan dari Ibu dan Mas Sadam," ucap Safira menggebu, tidak sabar.Akhirnya, Sadam menceritakan yang sebenarnya pada Safira kalau kemarin ia mengantar Mirah bertemu dengan Dahlia. Pertemuan itu bertujuan untuk mengenalkan Sadang dan Ayunda. Hari ini Sa
Dua pekan berlalu, hari demi hari terasa tambah berat dijalani oleh Safira. Hampir setiap hari juga ia berselisih paham dengan sang suami. Untuk sekarang hidup Safira benar-benar berantakan. Hatinya semakin hari semakin hancur, bukan hanya selalu diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya, tetapi suami tercinta pun mulai berubah. Ia merasa sendiri dan kesepian, setiap kali mengutrakan isi hatinya pada Sadam malah selalu menimbulkan keributan, bukan solusi. Mulai saat ini juga Safira jarang sekali bicara lebih banyak diam.“Safira, tolong buatin susu Kieran, ya,” ucap Nala saat adik iparnya itu menyapu lantai atas.Padahal anak sulung Mirah itu hanya sedang duduk santai di atas sofa sibuk memainkan ponselnya memilih baju-baju di toko jingga sedangkan kedua anaknya bermain di depan televisi. Ia hanya mengawasi sesekali, itu pun jika telinganya menangkap suara rengekan Kieran.Safira tak menghiraukan perintah kakak iparnya, ia terus membersihkan lantai dengan sapu. Setelah selesai lanjut men
“Cepat antarkan pada cucuku,” bentak Mirah, melotot pada sang menantu yang sudah tak dianggapnya.Mirah sengaja tidak menyuruh Sadam menceraikan Safira atas usul Nala. Mirah memanfaatkan tenaga dan uang Safira agar tak perlu repot mengurus rumah. Pada akhirnya dengan terpaksa Safira mengambil botol susu Kieran dan menaiki tangga ke lantai dua. Ia mendekat pada Nala dan menyodorkan botol susu tersebut.“Lama sekali, Safira. Kieran sudah nangis dari tadi, tahu!” Nala mendesah kencang seraya menatap adik iparnya.“Lain kali buat susu untuk anakmu sendiri, Mbak. Aku bukan pembantu!” balas Safira seraya berlalu meninggalkan kakak iparnya.“Eh, kau ini sama saudara sendiri tidak mau saling bantu, Safira, Safira,” sindir Nala membuat Safira membalik badan.“Apa? Saling bantu? Bukannya selama ini semua aku yang mengerjakan. Mbak bilang sama Mas Sadam mau membantuku, tapi nyatanya … tetap saja aku sendiri,” papar Safira kesal.“Kau ini kurang bersyukur, Safira. Selama ini aku sudah cukup memb
Sadam mengetuk pintu kamar seraya memanggil sang istri. Akhirnya, dibukakan juga oleh Safira. Mulut Sadam menganga melihat keadaan kamar yang berantakan. Selimut, bantal dan guling berhamburan di lantai. Semua skincare dan alat meke up Safira berceceran bahkan isi lemari pun ikut berserakan.“Apa yang sudah kau lakukan, Safira?” tanya Sadam kesal setelah lelah seharian mengantar Ayunda malah disuguhi pemandangan tak sedap oleh sang istri.Safira kembali berbaring di tempat tidur memiringkan tubuhnya ke samping. Matanya sembab dan wajahnya masih memerah. Ia tidak menanggapi ocehan Sadam, sudah terlalu lelah menjelaskan semuanya. Kini ia mencoba untuk tidak peduli dan akan lebih memperhatikan calon buah hatinya.“Jawab, Safira! Apa kau tidak punya mulut?” geram Sadam.Namun, Safira tetap bergeming pura-pura tak mendengar. Ia sedang tidak ingin bicara pada siapa pun.“Aku lelah baru pulang, tapi malah melihat kerusuhan di kamar ini,” ungkap Sadam menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Se