Safira tidak menghiraukan ibu mertuanya, ia berjalan terus ke kamar meskipun Mirah berteriak memanggilnya. Safira seolah menutup kupingnya sendiri, mulai saat ini ia hanya akan peduli pada diri sendiri.“Kenapa Ibu teriak-teriak?” tanya Sadam.“Entahlah, coba kau lihat sendiri.” Safira duduk di depan meja rias memandangi wajahnya yang masih sedikit pucat.Ia sama sekali tidak mengabari apa pun pada kedua orang tuanya. Mulai dari kehamilannya hingga keguguran beberapa hari lalu. Ia tak ingin membuat Aini dan Arif khawatir. Biarlah nanti saja kalau berkunjung ke rumah mereka, baru ia akan bercerita. Sadam pun keluar dari kamar menghampiri sang ibu yang masih mengoceh merutuki istrinya. Ia langsung menanyakan apa yang terjadi.“Istrimu itu benar-benar kurang ajar, Sadam! Ibu suruh nyuci baju malah ngeloyor aja,” ketus Mirah mengadu pada anaknya.“Untuk sementara Safira harus istirahat dulu, Bu,” bela Sadam.“Alah, cuci baju itu pakai mesin, tidak akan terlalu lelah,” cetus Mirah.Akhirn
Dada Safira masih naik turun menahan amarah yang sangat membara dalam dadanya. Ia memandang ke luar jendela mobil. Rintik hujan mulai turun malam itu seiring dengan air mata Safira yang akhirnya keluar juga dengan perlahan. Perempuan berkaki jenjang itu sangat kecewa pada sang suami yang masih saja tidak bisa tegas pada ibu mertuanya. Ia rasa Sadam memang tidak mau tegas. Kali ini Safira mendapat jawaban yang sebenarnya. Mulai saat ini Sadam bukanlah suami yang baik untuknya. Terasa sangat berat untuk dihadapi karena rasa cinta dan sayang Safira pada Sadam begitu besar. Namun, hatinya sudah hancur berkeping-keping karena balasan Sadam yang malah lebih memilih bersama perempuan lain. Untuk apa ia mempertahankan rumah tangga yang tidak bisa membuatnya bahagia lagi. Pengorbanannya selama ini ternyata hanya sia-sia, menahan rasa sakit akibat diperlakukan buruk oleh Mirah, diperas tenaga dan uang hasil keringatnya sendiri. Semua itu bentuk pengorbanannnya untuk tetap bersama Sadam. Ia pu
Safira menahan bapaknya yang mau pergi ke rumah Mirah malam ini juga. Bukan ia tak setuju dengan Arif, justru sangat bangga dengan bapaknya itu selalu membela dan melindungi anaknya, tetapi ini sudah malam, tidak enak kalau harus memancing keributan di sana. “Betul, Pak, besok saja. Sekarang sudah malam, kasihan Safira juga baru sampai di sini,” cegah Aini, melirik pada putrinya seraya mengusap bahu sang suami.“Tapi, Bu. Aku tidak terima anak kita diperlakukan buruk seperti itu. Mereka sudah sangat keterlaluan pada anak kita, Bu!” geram Arif yang masih marah dan kesal dengan kelakuan keluarga Sadam.“Ibu paham, tapi sebaiknya malam ini kita istirahat dulu. Besok pagi baru kita ke sana,” usul Aini. Setelah terdiam sejenak akhirnya Arif sedikit lebih tenang dan menuruti saran Aini juga Safira. Ia pun kasihan melihat putrinya yang terlihat sangat lelah dan membiarkannya untuk istirahat malam ini. Terpaksa pria itu menahan amarah yang berkobar dalam dadanya.Malam itu langit sangat ge
Mendadak Mirah sangat kesal dan tidak terima dengan ucapan Aini. Ia menurunkan kedua tangannya. Raut wajahnya yang sejak tadi meremehkan pasangan suami istri itu berubah masam.“Dengar baik-baik! Kami, terutama saya selalu memperlakukan anak kalian yang tidak jelas itu dengan baik. Seharusnya ia bersyukur tinggal di rumah ini bukannya menuduhku memperlakukannya dengan buruk,” geram Mirah membulatkan bola matanya.“Safira sudah menceritakan semuanya pada kami. Anda benar-benar tega pada menantu sendiri, istri dari anakmu sendiri. Safira diperas tenaganya untuk mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini sampai-sampai harus kehilangan calon bayinya. Belum lagi Anda selalu mempermalukannya di depan orang lain. Satu hal lagi yang membuat saya tidak habis pikir, Anda malah mengenalkan perempuan lain pada suaminya dan itu sangat menyakiti hati anak kami,” tegas Aini menggebu seraya menahan air mata yang terus mendesak keluar membayangkan perih dan menderitanya hidup Safira selama tinggal bersa
Sadam menghela napas panjang seraya mengusap wajah dengan telapak tangan kanannya. Tak pernah dibayangkan sebelumnya kalau ia harus berpisah dengan istri yang sangat dicintainya itu. Ia bertekad untuk memperbaiki semuanya dengan Safira. Pria itu berencana mengunjungi rumah orang tua sang istri.“Orang tua sama anak sama saja, kurang ajar! Tidak tahu terima kasih!” gerutu Mirah setelah besannya berlalu dari kediamannya itu.Bayang-bayang Safira masih terus menghantui kepala Sadam. Ia merasa tak akan sanggup kehilangan perempuan yang selama ini sudah menemaninya itu. Kepala Sadam terasa sangat pusing memikirkan semua masalahnya. Ia pun menyesali perasaannya pada Ayunda, hati kecilnya tak bisa dibohongi bahwa ia menginginkan perempuan cantik anak teman ibunya juga. Sadam merasa telah menjadi orang yang serakah. “Segera urus perceraianmu dengan perempuan sialan itu, sesuai dengan permintaan orang tuanya, Sadam!” geram Mirah.Kehilangan Safira bukanlah masalah untuk Mirah, justru ia sanga
Dua minggu berlalu Sadam sama sekali tidak mengunjungi keluarga Safira. Dalam hati kecilnya ia sangat ingin memperbaiki rumah tangganya dengan sang istri. Namun, sang ibu melarang dengan tegas kalau ia tidak boleh berhubungan lagi dengan Safira. Kehadiran Ayunda pun menambah Sadam lupa akan masalah dengan keluarga sang istri. Setiap malam tiba saat ia sedang sendirian di kamar, berkali-kali terbayang kenangan bersama Safira, tetapi ingatan itu menguap begitu saja terganti oleh bayangan Ayunda. Hati Sadam kini telah berubah haluan. Ia lebih memilih Ayunda dibanding memperbaiki semuanya dengan Safira.“Bawa kembali Safira ke rumah ini, Sadam! Aku lelah melakukan semua pekerjaan rumah yang tak ada habisnya ini,” cetus Nala dengan wajah cemberut seraya menata baju-baju Sadam yang baru selesai disetrika ke dalam lemari.Semenjak tak ada Safira ibunya meminta Nala menggantikannya untuk melakukan semua pekerjaan di rumah. Ia merasa sangat kesal dan lelah. Nala hrus bangun lebih pagi untuk m
Setiap hari Safira selalu terdiam dalam tatapan kosong. Kedua orang tuanya sangat khawatir karena sudah berhari-hari Safira tidak bernafsu untuk makan. Ia juga tak banyak bicara, setelah pulang kerja dan membantu ibunya selalu kembali ke kamar mengurung diri. Ia menunggu kedatangan Sadam selama dua minggu ini, tetapi sang suami tak kunjung datang. Padahal ia sangat berharap kalau Sadam mau mengunjunginya di rumah Arif dan Aini untuk memperbaiki semuanya.“Ibu khawatir dengan keadaan Safira, Pak,” ucap Aini pada sang suami seraya memerhatikan anaknya yang memandang keluar lewat jendela.“Sadam benar-benar kurang ajar! Ia sama sekali tidak ada niatan untuk datang ke sini memperbaiki semuanya. Padahal kita sudah memberinya kesempatan,” cetus Arif, geram dengan kelakuan sang menantu.Anak yang sangat mereka sayangi selama ini malah disakiti oleh seorang laki-laki pengecut seperti Sadam. Safira masih sangat mengharapkan sang suami akan datang ke rumah kedua orang tuanya. Ia masih setia men
Safira yang mendengar kabar tentang pernikahan suaminya dengan Ayunda tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa mematung berdiri antara percaya dan tidak. Beberapa teman Mirah mencibirnya dan membandingkan dirinya dengan Ayunda, apalagi Ayunda adalah anak dari teman mereka juga. Perempuan berkaki jenjang itu segera meninggalkan kantor meskipun masih jam makan siang. Ia tidak kuat dengan ocehan orang-orang di sana karena bukan hanya teman-teman sang mertua yang membicarakannya, tetapi teman-teman satu gedung juga. Ia juga selalu menghindari bertemu dengan Mirah karena tidak ingin terus menjadi bahan ejekan. Namun, ternyata telinganya malah mendapat kabar yang menyesakkan dada.Pikiran Safira sangatlah kalut. Ia sudah bertahan untuk setia menunggu Sadam sejauh ini, tetapi ternyata orang yang ditunggunya sama sekali tidak peduli bahkan malah akan menikahi perempuan lain tanpa memutuskan hubungan dengannya terlebih dulu.Kini rasa benci dan dendam tumbuh dalam hati perempuan cantik itu.
Zafar menyelinap pergi dari rumah malam-malam. Sebenarnya ia pergi siang pun, yakin tak ada yang akan melarangnya. Semua orang di rumah sudah menganggapnya tak ada. Mereka tidak peduli lagi pada Zafar. Laki-laki itu tersenyum getir menoleh ke rumah yang akan ditinggalkannya. Ia tak akan pernah menyesal angkat kaki dari rumah bagai neraka baginya itu. Percuma tinggal di rumah yang sama sekali tidak menganggapnya ada. Percuma ada di tengah-tengah keluarga yang sama sekali tidak pernah peduli tentangnya. Teringat pada mendiang ayahnya, Zafar yakin ayahnya sedih melihat keluarga mereka yang berantakan seperti ini. Laki-laki itu berpikir semua karena keegoisan sang ibu. Zafar bertekad tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah Mirah. Ia tidak ingin kembali ke rumah itu apa pun alasannya. Muak sudah Zafar bertahan selama ini. Awalnya ada Safira dan Sadam yang peduli padanya meskipun ia kesal pada kakaknya itu. Namun, setidaknya kehadiran Zafar masih ada yang menganggap. Setelah rum
Hati Zafar memang sangat kecewa dan marah pada Safira meskipun ia tahu keputusan Safira itu adalah yang terbaik. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia senang bisa bertemu dengan mantan kakak iparnya itu. Selama ini ia merasa yang peduli padanya hanyalah Safira dan Sadam. Namun, dengan semua hal yang terjadi waktu itu menyebabkan Safira harus angkat kaki dari rumah Mirah dan membuat Zafar merasa tidak ada lagi yang mempedulikannya. Apalagi setelah Sadam menikah dengan Ayunda dan ternyata semua jadi kacau. Sadam seolah lupa kalau ia memiliki seorang adik. Kakaknya itu sibuk dengan tingkah sang istri dan keadaan rumah yang sudah tidak seperti dulu lagi."Keadaan rumah kacau. Aku tak tahan lagi tinggal di rumah yang setiap hari selalu saja dipenuhi keributan sampai-sampai ibu dan kakak-kakakku lupa akan kehadiranku di rumah itu," tutur Zafar. Tatapan matanya fokus ke depan seolah sedang kembali ke rumah yang menurutnya sudah sangat tidak layak disebut rumah. Zafar menginginkan rum
"Zafar," ucap Safira setengah berbisik.Ia tidak menyangka akan bertemu adik dari mantan suaminya setelah dua tahun berlalu. Yang membuat Safira sangat kaget adalah keadaan anak itu seperti tidak terurus dan sedang mengamen. Ia pun segera mendekati Zafar untuk memastikan kalau matanya tidak salah lihat.Tidak sengaja anak bungsu Mirah itu menoleh dan langsung terkejut saat seorang wanita yang dikenalnya sedang melangkah mendekat dan jarak keduanya bahkan kini sudah sangat dekat.Dengan tergesa Zafar pun segera melangkah pergi, menghindar dari mantan istri kakaknya itu. Tentu saja teman yang sedang bersama Zafar ikut terkejut karena orang yang sedang mengiringinya bernyanyi berhenti tiba-tiba dan pergi begitu saja."Loh, Zafar," panggil temannya seraya mengejar."Zafar, Zafar, tunggu!" panggil Safira yang juga ikut mengejar bersamaan dengan teman Zafar.Safira berjalan agak cepat bahkan hampir berlari kecil. Awalnya ia hanya ingin memastikan kalau orang yang dilihatnya memang adik dari
Sungguh sangat sakit menerima kenyatan pahit ini. Pernikahannya dengan laki-laki yang sangat dicintainya kini harus berakhir. Kapal rumah tangganya yang dijaga sepenuh hati ternyata harus karam di tengah laut kehidupan sebelum mencapai tujuan terakhirnya.Tak bisa dipungkiri dan dibohongi, hati perempuan berparas cantik itu sangat bersedih dan hancur. Ia benar-benar tidak menyangka kalau rumah tangga yang dianggapnya harmonis dan baik-baik saja, harus hancur seketika. Air matanya mengalir cukup deras sesaat setelah menerima akta cerai dari pengdilan agama. Statusnya kini sudah jelas dan sah menjadi seorang janda. Tidak pernah terbayang dan terpikir kalau pada akhirnya ia akan menyandang status janda. Tidak pernah sekali pun terbesit di dalam kepalanya untuk berpisah dengan Sadam apapun ujian rumah tangga yang akan mereka hadapi selama Sadam masih membela dan terus berada di sampingnya. Namun, takdir berkata lain. Tuhan mengatakan kalau ia dan Sadam memang sudah harus berakhir.Safira
Tak ada satu pun yang mengetahui kalau Arif sudah menemui Sadam. Ia sengaja tidak memberitahu Aini apalagi Safira. Arif hanya ingin meluapkan amarahnya pada sang menantu yang sudah berani melanggar janji saat menikahi anaknya. Sebenarnya ia sama sekali tidak puas, tetapi Arif menahan emosi karena Safira memintanya agar tidak lagi berurusan dengan keluarga Sadam. Arif pun menyetujui itu, tetapi dengan syarat Safira harus bangkit, melupakan laki-laki pengecut seperti Sadam. Ia tidak bisa melihat anaknya terus terpuruk dalam kesedihan. Pagi yang sangat cerah Safira sudah mengenakan pakaian dengan rapi. Ia merias wajahnya agar terlihat lebih fresh. Jujur saja, wajah Safira terlihat seperti orang yang sedang sakit. Bagai bunga yang sudah layu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan.Setelah beberapa hari mengurung diri, Safira memutuskan untuk ke kantor. Bukan lagi untuk bekerja seperti biasanya, tetapi ia sudah menyiapkan berkas pengunduran dirinya. Ia harus melepaskan
"Bagaimana, Bu?" tanya Arif.Safira yang baru saja tiba di rumah lekas masuk ke kamar tanpa berkata apa pun lagi. Wajahnya sudah dibasahi dengan air mata sejak perjalanan menuju rumah tadi bersama Aini. "Mirah dan Sadam benar-benar keterlaluan, Pak! Tidak punya hati mereka itu!" geram Aini.Aini menahan sang suami yang mau menemui anaknya di kamar. Ia meminta Arif untuk memberik waktu pada Safira. Ibu dari Safira itu menceritakan semua yang terjadi di pernikahan Sadam. Cukup puas karena Safira berhasil mempermalukan Sadam dan juga Mirah. Ia tak banyak membantu karena memang sudah diwanti-wanti anaknya untuk mendampingi saja. "Laki-laki pengecut!" umpat Arif kesal pada sang menantu.Setidaknya kini semua sudah jelas hubungan antara Safira dan Sadam. Perempuan yang merasa sudah dikhianati itu tidak akan mau bersama Sadam lagi meskipun hati kecilnya berat untuk berpisah, tetapi Sadam sudah membuat luka yang teramat besar. Dan itu tidak bisa dimaafkan begitu saja.Tiga hari berlalu Saf
Setelah pesta pernikahan selesai Dahlia memanggil Mirah. Ia ingin bicara dengan besan barunya itu tentang sikap Mirah tadi yang sangat memalukan. Dahlia pun mengajak Mirah duduk bersama di halaman belakang sambil menikmati secangkir teh hangat."Aku sangat keberatan dengan sikapmu tadi, Jeng! Sangat memalukan!" Kedua tangan Dahlia memegang cangkir teh yang ada di atas meja.Mirah menghela napas panjang, kepalanya yang tertunduk diangkatnya dan melirik teman sekaligus ibu dari menantu barunya. Setelah dipikir-pikir memang sikap merah sangat keterlaluan dan memalukan, tetapi ia tidak bisa menahannya lagi. Semua dilakukan karena dendam dan marahnya pada Safira. Ia tidak terima diperlakukan seperti tadi oleh perempuan yang dianggapnya sampai itu."Aku minta maaf, Jeng, atas apa yang terjadi tadi, tapi semua itu karena aku sangat marah pada perempuan sampai itu," ungkap Mirah, memicingkan matanya saat teringat lagi pada Safira. Ia juga tidak akan marah dan lepas kontrol kalau Safira tida
Mirah merasa sangat dipermalukan oleh Safira dan Aini di acara pesta pernikahan anaknya sendiri. Wajahnya benar-benar berubah merah padam, Mirah merasa risih mendapatkan tatapan aneh dari beberapa tamu undangan. "Pergi kalian dari sini!" usir Mirah sekali lagi seraya membulatkan matanya. "Sudah, Bu, sudah! Biar Sadam bicara dulu dengan Safira." Pria bertubuh atletis itu melerai sang ibu yang dibakar api kemarahan.Namun, tentu saja Mirah melarang keras putranya berhubungan lagi dengan Safira. Kini tempat Safira sudah digantikan oleh Ayunda, sang menantu kesayangan. "Sadam hanya ingin menyelesaikan semuanya secara baik, Bu."Ada rasa bersalah dan tidak enak dalam hati kecil Sadam. Saat matanya menatap wajah Safira, ia merasa sangat bersalah telah menyakiti istrinya dengan cara seperti ini. Ingin sekali Sadam meminta maaf pada Safira, tetapi memang Mirah sama sekali tidak mengizinkannya."Diam! Perempuan ini tidak penting lagi bagi kita, Sadam!" bentak Mirah. Sadam pun menurut saja
“Safira!” Sadam sangat terkejut dengan kedatangan sang istri dan juga ibu mertuanya. Ia juga tercengang dengan permintaan Safira yang ingin bercerai dengannya. Bagaimana bisa ia berpisah dengan Safira, perempuan yang sangat dicintainya. Namun, ia juga mulai mencintai Ayunda dan baru saja sah menjadi suami istri. Tak mungkin ia menceraikan Ayunda. Sungguh sangat bimbang hati Sadam yang menginginkan kedua perempuan yang sekarang berada bersamanya. Sadam berubah menjadi sangat egois dan serakah!“Selama ini aku menunggumu! Tapi ternyata kau memang tak punya itikad baik untuk memperbaiki rumah tangga kita dan malah terlena dengan perempuan hina ini,” teriak Safira kesal.Tak ada air mata yang keluar hari ini. Hati Safira dipenuhi dendam dan amarah yang berkobar. Ia tidak ingin menjadi perempuan lemah di depan Sadam dan keluarganya, apalagi di hadapan sang mertua yang selama ini sudah memanfaatkan apa pun dari dirinya.Tiba-tiba Ayunda maju mendekati Safira dan melayangkan tangannya untuk