Surti menyipitkan matanya saat mendapati Alvin berjalan terhuyung-huyung keluar dari kamarnya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi putranya itu baru saja bangun dari tidur. Kebiasaan baru yang menurut Surti sangat aneh.Dulu semasa masih tinggal bersama tak pernah anak lelakinya itu berperilaku aneh seperti ini. Tapi sejak menikah dengan Meisya, kebiasaan Alvin tampaknya mulai berubah.Sejak pertama kali memutuskan pindah ke rumah ini, Surti sendiri sudah dihinggapi perasaan bingung dan gundah. Semua kenyataan yang terjadi nyatanya tak sesuai impiannya selama ini.Surti kecewa. Namun, demi tetap terlihat sukses dan kaya, lebih-lebih ia sudah kadung pamer di hadapan mantan menantunya, Vira, maka Surti pun mencoba bertahan dalam penderitaannya karena perlakuan Meisya.Ia pura-pura senang karena hidupnya sekarang makmur dan sukses setelah bermenantukan Meisya yang kaya raya, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Ia tak mendapatkan apa-apa kecuali hanya makan dan min
Mobil Alphard yang ditumpangi Vira dan Ferdy kembali melaju saat lampu merah telah berganti menjadi hijau kembali.Dari balik kaca mobil yang gelap, Vira masih terus memandangi dua sosok perempuan yang makin lama makin jauh dari pandangannya dan makin tak terlihat saat mobil melaju dalam kecepatan lumayan meninggalkan persimpangan lampu merah di mana mereka terpaksa berhenti sejenak sesaat tadi.Sembari mengelus perutnya yang buncit, Vira beberapa kali menghela nafas."Kenapa, Vir? Kamu kok ngeliatin ke belakang terus? Lihatin siapa sih? Pengemis tadi?" tanya Ferdy sembari ikut memandang ke belakang lewat pantulan kaca spion.Vira diam sejenak lalu membuka mulutnya perlahan."Kamu benar, Mas. Mereka sepertinya memang Bu Surti dan Mbak Yuni. Apa yang sudah terjadi sama mereka ya? Kenapa mereka seperti ini sekarang?"Mendengar ucapannya, Ferdy ikut menghela nafas sejenak. Lelaki itu kemudian menimpali ucapan istrinya."Balasan dari Allah, Vir. Mereka dulu sering menghina kamu, kan? Seka
"Yun, coba lihat jumlah uang yang berhasil kita kumpulkan selama dua tahun ini kita jadi pengemis? Sudah berapa puluh juta yang kita dapat, Yun?" tanya Bu Surti pada Yuni saat mereka sedang sarapan bersama.Meja bulat terbuat dari kayu yang sudah lapuk itu tak mampu menampung lima sosok manusia yang sedang mengerumuni sarapan pagi hari ini hingga Alvin akhirnya mengalah, pindah ke kursi plastik di sudut ruangan."Tumben, ibu nanyain? Kenapa?" sahut Yuni sembari memandang ibunya dengan pandangan ingin tahu."Ingin tahu aja, Yun. Ibu pengen kita berhenti mengemis kalau sudah bisa mengumpulkan banyak uang. Ibu ingin kita bangun usaha, biar Alvin yang mengelola. Vin, kira-kira bisnis apa yang bisa kita bangun dengan dana seratus juta ya?" tanya Bu Surti sembari mengalihkan pandangan pada sosok Alvin. "Seratus juta? Ibu punya duit sebanyak itu? Duit darimana?" tanya Alvin diikuti Yuni yang berbarengan terkejut. Ibu mereka mendapat uang sebanyak itu? Darimana?"Lho, gimana sih kamu, Yun. B
Bu Surti mendekap bungkusan berisi sesuatu yang sebenarnya tidak ia ketahui isinya itu di dadanya. Sengaja ia gunakan penutup kepala berukuran lebar agar bisa menutup bungkusan itu dari pandangan orang. Termasuk Yuni dan Bowo serta anak-anaknya yang sedang asyik nonton televisi.Ia takut Yuni curiga dan bertanya-tanya karena tempo hari saat Anton untuk pertama kali memintanya mengantarkan paket, anaknya itu juga sudah memperingatkan dirinya, meski akhirnya ikut senang juga saat melihat jumlah uang yang diberikan Anton sebagai bayaran.Hari ini Bu Surti berencana untuk libur saja mengemis. Ia sekarang sudah punya pekerjaan lain yang sepertinya hasilnya lebih besar dari hanya meminta-minta. Itu sebabnya ia malah sudah punya rencana ingin pensiun saja dari meminta-minta. Selain hasilnya tidak sebesar dibandingkan menjadi kurir Anton, ia juga malu jika sewaktu-waktu kepergok Vira lagi sedang mengemis di jalanan.Dengan menjadi kurir untuk mengantarkan barang Anton ke pelanggannya, ia mend
Bowo mengetuk pintu bercat warna putih di depannya dengan nada tak sabar. Tak lama berselang, dari dalam terdengar langkah memburu cepat untuk membuka pintu. Begitu dibuka, sesosok wanita berpakaian daster tipis pun muncul dari baliknya."Mas Bowo, masuk, Mas ... aku pikir belum mau ke sini, soalnya ini kan masih pagi," sapa perempuan itu dengan nada terkejut tapi sekaligus juga gembira melihat kemunculan lelaki itu di sana."Iya, kebetulan mas tadi ada urusan jadi selesai urusan mas langsung aja ke sini. Kamu sudah masak? Mas laper?" Bowo masuk ke dalam rumah lalu tanpa merasa canggung lagi langsung menuju ke ruang belakang.Ia memang sudah biasa ke sini. Bahkan tidak jarang tidur di rumah ini, karena rumah ini adalah rumah istri keduanya. Liana."Kenapa? Mbak Yuni nggak masak lagi? Suami pagi-pagi udah kelaparan. Apa aja sih kerjanya jadi istri?" sahut Liana dengan gemas sembari membulatkan matanya."Eh, perempuan itu mana pernah masak ... tiap hari jajan terus. Ngabisin duit aja ke
Bowo menghentikan langkahnya sesaat sebelum langkahnya memasuki halaman sempit rumah kecil yang mereka huni. Lelaki itu menyeringai lebar lalu tiba-tiba dengan keras merobek baju yang dikenakannya hingga robek di beberapa tempat.Bowo mengambil tanah basah bekas hujan di dekat kakinya lalu melumuri tanah itu ke sekujur badannya. Tak lupa ia melayangkan tinju ke wajahnya dan ke beberapa bagian tubuhnya sendiri hingga luka dan berdarah. Demi seratus juta rupiah, tentu saja dengan senang hati ia melakukan hal kecil ini.Tok tok tok....!Bowo mengetuk pintu, membuat Yuni yang tengah berdiri mondar-mandir di dalam rumah tersentak kaget dan langsung memburu pintu serta membukanya dengan cepat.Begitu terbuka, perempuan itu pun langsung berteriak kaget."Mas, kamu kenapa?" Yuni terkejut dan langsung menyongsong tubuh suaminya yang tampak terhuyung-huyung dan hampir jatuh saat berjalan masuk rumah. Jika tak buru-buru dipegangnya tubuh suaminya itu pasti Bowo sudah tersungkur jatuh ke lantai
"Buku tabungan? Buku tabungan apa? Terus uang apa yang kalian bicarakan Yuni? Bowo? Bilang sama ibu sekarang?" seru Bu Surti dengan keras saat didengarnya Yuni terisak sedih sementara Bowo hanya tertunduk diam.Entah buku tabungan apa yang sedang anak dan menantunya itu bicarakan, tapi Bu Surti merasa penasaran. Uang siapa yang ada dalam buku tabungan itu? Jangan-jangan ...."Mmmm ... Ibu salah dengar, Bu. Kita nggak ngomongin buku tabungan kok. Ibu salah dengar aja ...." sahut Yuni gelagapan di tengah rasa gundahnya. Mukanya pias."Terus kalau gitu kalian ngomongin apa? Sudah jelas-jelas ibu dengar kalian kehilangan buku tabungan, kok. Masih nyangkal!" seru Bu Surti tak senang."Bukan kehilangan buku tabungan, Bu. Tapi kehilangan uang Mas Bowo yang mau ditabung. Sedangkan uang itu untuk masa depan Dea dan Deo, makanya aku sedih banget, Bu ...." sahut Yuni sembari kembali terisak. Habis sudah impiannya punya rumah dan usaha sendiri itu sebabnya ia merasa sangat kecewa dengan peristiwa
"Bu, hari ini kita operasi lagi ya, Bu. Ini kan bulan puasa. Pasti banyak orang mau ngasih sedekah sama orang seperti kita-kita. Oh ya, Bu, kita pura-pura sakit aja ya. Nanti ibu aku dandanin kayak orang sakit biar banyak yang kasihan dan ngasih duit banyak," ujar Yuni pada ibunya keesokan harinya.Bu Surti yang sedang sarapan pagi sontak melihat pada anak perempuannya lalu mengernyitkan dahi."Pura-pura sakit gimana? Nggak ah! Lagian ibu udah malas ngemis lagi, Yun. Kan ibu udah bilang, ibu males kalau nanti ketemu Vira lagi, gengsi! Masa sudah sekian tahun hidup kita nggak ada perubahan apa-apa malah makin ngenes aja dan susah hari ke hari?" elak Bu Surti sembari menekuni kembali sarapan paginya, mengacuhkan ucapan anaknya.Mendengar ucapan ibunya, Yuni menghela nafas berat. Gawat kalau sampai orang yang sudah melahirkannya ke dunia itu mogok tak mau mengemis lagi gara-gara kecewa hasil mereka meminta-minta ia sembunyikan yang sekarang malah hilang tak berbekas diambil orang.Kalau
Dina mendelik kaku dan membulatkan bola matanya saat melihat kertas undangan berwarna krem yang barusan diberikan oleh Bu Hadi ke padanya.Perempuan itu seolah tak percaya hingga memandang Bu Hadi dengan tatapan tak mengerti dan sebentar sebentar berubah ubah ekspresi wajahnya."Tante nggak bohong ini? Akhirnya Tante setuju juga Anita menikah dengan Alvin? Apa Tante nggak salah? Tante sudah pikirkan masak masak semua ini, Tan?" tanya Dina pada Bu Hadi dengan nada sangsi yang datang mengunjunginya siang itu demi mengabarkan berita bahagia Anita dan Alvin pada gadis itu.Bu Hadi mengulum senyum lalu menganggukkan kepalanya."Ya, Tante berusaha untuk percaya aja, Din. Anita bilang masa lalu seseorang itu tidak akan bisa dirubah, tapi masa depan semua orang berhak merubahnya. Jadi Tante merasa Tante harus memberikan kesempatan pada Alvin untuk berubah dan membuktikan semuanya itu, Din.""Bukan Tante tidak berpikir panjang lagi, tapi justru karena Tante berpikir panjang lah makanya Tante d
[Sudah ada pengganti Mas? Maksudnya?] tanya Anita dari seberang lagi.[Hmm ... iya. Mas dengar begitu. Tapi kamu yang paling tahu bukan? Kalau memang iya, ya nggak apa apa juga, Nit. Mas ikhlas kok. Mungkin kita nggak jodoh. Mas sadar Mas ini siapa, kamu siapa. Kita beda jauh, Nit. Nggak mungkin bisa bersatu ... .] tulis Alvin merendah.Di seberang sana terlihat Anita dengan cepat mengetik balasan.[Kok Mas ngomongnya gitu? Apa Mas juga sudah ada yang lain? Dengar Mas ... aku juga bukan siapa siapa lagi sekarang ini. Mama dan Papa sudah jatuh. Sementara karir kamu di dunia maya sekarang justru sedang bersinar terang. Jadi mungkin sebaliknya. Aku yang nggak pantas mungkin bersanding sama kamu, Mas.] balas Anita lagi.[Nggak pantas bersanding sama Mas gimana? Siapa bilang? Bukan kamu yang nggak pantas buat Mas, tapi Mas yang nggak pantas buat kamu, Nit. Dan Mas harus tahu itu. Jujur saja andai Mas diberi kesempatan, ingin sekali Mas melamar kamu. Tapi Mama dan Papa kamu juga kakak kamu
[Halo? Hadi?] sapa Wibisana tanpa embel embel Pak atau Mas lagi seperti yang selama ini tak pernah lupa lelaki itu sematkan sebagai panggilan pada rekan bisnisnya itu.Meski tak enak mendengar panggilan itu, tapi Pak Hadi menjawab juga salam dari rekannya tersebut dengan nada biasa. Rekan yang seharian ini sudah coba di hubungi tapi tak bisa sebab tiba tiba semua panggilan dan pesan WhatsApp yang dia kirimkan tak dibalas oleh laki laki itu.[Ya, Bi. Ada apa?] tanya Pak Hadi dengan menekan perasaan tak enak sekuat mungkin saat Wibisana memanggilnya seperti itu.[Gini, Hadi ... masalah perjodohan anak anak kita dan lamaran Rio kemarin itu, kami sekeluarga mohon maaf ya. Kami berniat membatalkannya, karena barusan Rio bilang dia tak jadi melamar Anita sebab dia sudah ada calon yang baru yang suka sama suka dengan dia. Tidak seperti Anita yang kemarin sempat menolak tegas bukan? Jadi fix ya, Di. Lamaran keluarga kami ke putri kamu, kami batalkan sekarang juga.] Ucap Wibisana tanpa ingin m
"Gimana, Pa? Bisa dihubungi Wibi sama Henti?" tanya Bu Hadi pada suaminya. Pak Hadi Widjaya menggelengkan kepalanya lalu mendesah lirih."Nggak bisa, Ma. Padahal wa-nya aktif dari tadi tapi telepon Papa kok nggak diangkat ya? Pesan Papa juga nggak dibalas. Kenapa ya?" sahut Pak Hadi dengan wajah ditekuk gundah."Nggak tahu, Pa. Jadi gimana lagi ini, Pa? Apa kita minta bantuan Vira dan Dina aja? Nggak mungkin mereka nggak bantu kan di saat kita sedang kemalangan begini?" jawab Bu Hadi.Pak Hadi menghembuskan nafasnya."Mereka kan sudah dua kali bantu keuangan kita, Ma. Masak sih kita mau minta bantuan lagi? Pinjaman kita yang kemarin saja belum bisa kita bayar. Masa sudah mau pinjam lagi. Walau pun pasti diberi, tapi Papa rasanya kok nggak enak dan nggak tega ya, Ma, memberatkan kolega bisnis kita terus.""Ini juga Papa berani minjam ke Wibi karena dia kan calon besan kita. Tapi sejak tahu pabrik kita terbakar, Wibi seperti menghindar. Kenapa ya? Apa ... Wibi sudah nggak mau lagi besa
Malam itu di kediaman pak Hadi Widjaya, tampak Rudy, dan kedua orang tuanya tengah makan bersama di meja makan. Sementara Anita tak ikut bergabung sebab masih harus menjalani shif malam sebagai seorang dokter jaga.Di sela sela makan malam, Pak Hadi membuka suaranya."Dy, gimana? Kemarin jadi kamu menemui Alvin dan menyampaikan amanat papa dan mama sama dia?" tanya Pak Hadi pada putranya.Rudy menganggukkan kepalanya lalu menjawab."Jadi dong, Pa. Rudy ancam kalau dia berani dekati Anita lagi, Rudy mau bikin perhitungan sama dia. Kayaknya Alvin ketakutan dan sepertinya nggak berani lagi dekatin Anita 'kan, Pa? Ma? Nggak ada lagi kan laki laki itu dekat dekat Nita lagi?" tanya Rudy balik.Pak Hadi mengedikkan bahunya."Nggak tahu juga, Dy. Tapi semoga ajalah laki laki itu sadar kalau dia nggak pantas buat adik kamu," jawab Pak Hadi singkat."Iya! Apa kata orang orang nanti kalau kita punya besan keluarga aneh seperti mereka? Mau ditaruh di mana muka kita besanan dengan keluarga nggak j
"Nita, kenapa kamu ninggalin Om Wibi, Tante Henti dan Rio tadi? Apa kamu nggak suka mereka datang melamar kamu, Sayang?""Nit, Rio itu lelaki yang baik. Di usia muda dia sudah sukses menjalankan perusahaan orang tuanya. Dia lulusan universitas ternama di luar negeri. Tampan, cerdas, kaya. Apalagi yang kamu cari, Nit? Rio itu sudah paket lengkap. Nggak ada lagi tandingannya. Nyesel kamu nanti kalau nolak cowok sesempurna dia, Nit," ucap Bu Hadi pada putrinya saat tamu mereka sudah pulang.Anita yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur tak bersuara. Hanya menundukkan wajahnya tanpa ingin menatap wajah sang mama."Pokoknya kali ini kamu harus dengar omongan mama ya, Nit, kamu harus mau menerima kehadiran Rio menjadi suami kamu ya. Kalau enggak ... mama akan sangat kecewa sama kamu, Nit. Mama nggak tahu lagi gimana caranya membuat kamu mau menikah karena semua pilihan mama dan papa sudah kamu tolak semuanya. Mama nggak ngerti lagi kriteria seperti apa yang kamu inginkan untuk menjadi s
Pria itu seolah hendak menelanjanginya tanpa ampun. Tatapan yang membuat dia dari dulu merasa ilfil dan tak suka pada pria itu.Selama ini beberapa kali dia telah bertemu Rio. Tapi dia tak cukup menyukai pria itu sebab menurut nya pria itu bukanlah pria yang baik. Dia terlihat begitu liar saat melihat seorang perempuan. Dan itu membuat Anita merasa tak menyukai Rio."Ma ... maksud Om?" Anita membuka tanya dengan nada terkejut yang sangat. Seolah tak percaya kalau kedatangan Om Wibi dan Tante Henti serta putranya ke rumahnya ini adalah demi untuk melamar dirinya menjadi istri Rio.Melihat itu, Bu Hadi pun buru buru membuka suaranya."Begini, Nita. Om Wibi dan Tante Henti ini datang ke sini hendak melamar kamu untuk menjadi istrinya Rio, menjadi menantu di keluarga mereka. Kamu bersedia kan, Sayang? Rio ini sekarang sudah jadi pengusaha besar lho. Cocok dong sama kamu yang seorang dokter terkenal.""Jadi kamu jangan menolak ya, Sayang. Percayalah, Rio ini pasti bisa jadi suami yang baik
"Vin, kamu kenapa? Kok wajah kamu murung gitu?" tanya Yuni saat Alvin baru saja pulang.Dilihatnya adiknya itu berjalan gontai menuju sofa hingga membuat keningnya berkerut."Ada apa, Vin? Ada masalah ya?" tanya perempuan itu dengan nada penasaran pada adiknya itu.Alvin menghembuskan nafasnya dengan gundah."Iya, Mbak ... tapi sudahlah. Mungkin sudah nasib Alvin begini. Tadi kakaknya Anita datang menemui Alvin dan minta supaya hubungan kami nggak usah dilanjutkan dan diputuskan saja karena mereka nggak mau Alvin menikah sama Anita. Katanya kita nggak sepadan. Alvin laki laki nggak jelas. Datang dari keluarga nggak jelas juga. Nggak sepadan dengan keluarga mereka yang terhormat.""Hmm ... ya sudahlah. Alvin sudah berusaha selama ini supaya bisa mensejajarkan diri dengan dia, tapi ternyata semua itu nggak cukup juga Mbak, jadi ... mungkin Alvin harus mengubur semua ini rapat rapat. Alvin harus bisa segera melupakan Anita dan mimpi mimpi kami," tutur laki laki itu dengan nada sendu.Men
"Maksud Mas Rudy?" Alvin tergagap.Mendengar Alvin menyebut namanya, Rudy tersenyum lebar.Hmm ... jadi rupanya Alvin masih ingat kalau dia adalah kakak kandung Anita? Syukurlah kalau begitu! Batinnya."Gini ya, Vin. To the point aja kita ... Nggak usah kamu dekati Anita lagi! Karena saya sebagai kakak kandungnya, nggak sudi punya calon adik ipar seperti kamu!" Hardik Rudy untuk kedua kalinya dengan suara keras dan nada tak bersahabat. "Tapi Mas ... Saya dan Anita saling mencintai, Mas. Kenapa kami tak boleh bersama? Kalau masalah materi, mungkin saya belum bisa memberikan yang cukup buat dia, seperti yang Om dan Tante inginkan. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Anita, Mas. Saya janji akan kerja lebih keras lagi supaya bisa lebih sukses dari sekarang, Mas. Tolong ... beri saya kesempatan sekali lagi, Mas. Please .....!" Alvin memohon dengan sungguh sungguh.Namun, Rudy menggelengkan kepalanya."Tidak! Sebagai kakak kandung Anita, saya nggak bisa memberi kamu