Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (1)
"Vira, ngapain sih kamu ngendon aja di kamar? Dasar mantu pemalas! Masak sana, ibu sudah lapar!" teriak ibu mertua dari pintu kamarku yang ia hempaskan dengan paksa.
Mendengar ibu masuk sembari marah-marah, buru-buru kusimpan ponsel yang barusan kugunakan untuk menulis novel ke bawah bantal lalu melompat turun dari tempat tidur.
"Ada apa sih, Bu? Tadi kan Vira udah masak, kok bisa habis?" sahutku sembari berjalan cepat melewati tubuhnya lalu menuju dapur dan membuka tudung saji di atas meja.
Barusan sebelum istirahat dan tenggelam dengan ponsel, aku memang sudah memasak beberapa hidangan yang harusnya cukup untuk dimakan hingga malam hari.
Pagi tadi aku sengaja menambah belanja dapur menggunakan uang tabungan, demi bisa memiliki waktu untuk menulis novel yang selain menjadi hobi juga menjadi jalan menambah tabungan, tentu saja tabungan pribadi yang tak pernah diketahui suami apalagi mertua.
Bab demi bab novel yang kutulis setiap hari kuposting di sebuah platform kepenulisan yang alhamdulilah saat ini mulai menghasilkan cuan lumayan banyak.
Namun, ternyata belum juga siang hari tiba, makanan sebanyak itu sudah ludes tak bersisa. Lalu siapa sebenarnya yang sudah menghabiskannya?
Apa mungkin Mbak Yuni, kakak kandung Mas Alvin dan anak-anaknya yang barusan datang ke rumah usai menjemput anaknya pulang sekolah? Mereka memang biasa numpang makan di rumah ini bahkan setiap hari, tapi kalau sampai menghabiskan semuanya, apa iya? Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan gusar.
"Itu lihat sendiri, kan? Makanan udah habis tapi kamu malah enak-enakan main hp di kamar. Dasar mantu pemalas! Kasihan Alvin salah pilih istri! Mana sama mertua pelit lagi, duit suami diembat sendiri, nggak mau bagi-bagi!" hardik ibu mertua lagi yang mengikuti langkahku dari belakang dan menunjuk tudung saji dengan mata melebar.
Melihat reaksi ibu, sontak aku meradang tidak terima.
"Tapi barusan Vira sudah masak banyak, Bu. Harusnya bisa sampai malam! Apa Mbak Yuni yang sudah mengambil makanan dan membawanya ke rumahnya, Bu? Kemarin aku lihat Mbak Yuni bawa makanan banyak dari rumah ini, waktu aku tanya katanya sudah izin Ibu?" jawabku tak mau disalahkan.
Beberapa hari ini kulihat Mbak Yuni memang suka membawa lauk-pauk dari rumah ini. Setiap ditanya, alasannya tidak sempat masak. Padahal sama sepertiku, Mbak Yuni juga hanya seorang ibu rumah tangga yang harusnya bisa mengerjakan urusan rumah tangganya sendiri, bukan numpang makan di rumahku yang sudah ditumpangi mertua yang setiap hari inginnya makan enak terus-menerus.
Namun, bukannya membantu meringankan tugasku, Mbak Yuni malah tambah merecoki setiap hari.
"Apa? Kamu nuduh aku bawa semua makanan yang tadi kamu masak? Kamu jangan fitnah sembarangan ya, Vir! Mana buktinya aku ambil makanan dari rumah ini? Jangan macam-macam kamu ya, kulaporkan suamiku dan Alvin, selesai kamu!"
Entah darimana datangnya, tiba-tiba Mbak Yuni muncul dan menyambar ucapanku dengan nada tak terima.
Padahal apa yang kusampaikan benar adanya. Kalau bukan dia yang sudah mengangkut semua makanan di dalam tudung saji lantas siapa lagi? Cuma dia yang punya akses masuk dengan bebas ke rumah ini. Sementara ibu mertua tak mungkin mampu menghabiskan lauk-pauk sebanyak itu sendirian. Ya, siapa lagi pelakunya kalau bukan Mbak Yuni?
"Maaf ya Mbak, di rumah ini cuma Mbak yang bisa keluar masuk seenaknya! Mbak bilang bukan Mbak yang bawa makanan dari sini, lalu siapa lagi? Cuma Mbak yang tiap hari anak beranak makan di sini kok, ngapa masih ngeles?" balasku tak kalah keras.
Menghadapi ibu mertua dan Mbak Yuni yang tidak punya perasaan memang harus bersikap keras. Jangankan tunduk dan takut, aku berani melawan saja masih dicari-cari kesalahannya setiap hari, apalagi diam dan menurut saja menerima perlakuan mereka yang tak punya perasaan, bisa makan hati dan kurus kering sendiri nanti.
Lama-lama rasanya tidak betah tinggal di rumah ini, walaupun milik sendiri tapi berasa aku yang numpang hidup sama mertua. Kalau saja Mas Alvin bukan anak laki-laki yang harus bertanggung jawab pada ibunya, ingin rasanya aku menolak ibu tinggal di sini.
"Kurang ajar kamu, ya. Dasar adik ipar nggak punya sopan-santun. Berani kamu nuduh Mbak ngambil makanan, bahkan tiap hari makan di sini! Bilang aja kamu emang nggak masak tadi. Dasar pemalas, tiap hari kerjamu cuma pegang hp aja!"
"Mbak bilang aku cuma pegang hp? Tuh, lihat Mbak, semua pakaian kerja Mas Alvin rapi dan wangi aku seterika. Lha pakaian Mas Bowo malah kusut nggak pernah digosok. Harusnya Mbak mikir dulu kalau mau ngomong, biar nggak malu!" sahutku pantang mengalah.
Bagiku tunduk dan mengalah pada orang yang tidak bisa menghargai orang lain adalah hal yang sia-sia. Mengalah dan tunduk ya harus lihat-lihat dulu orangnya. Kalau ia orang yang bisa menghargai orang lain, ya tidak masalah. Tapi kalau sebaliknya, tentu cuma bikin makan hati.
Mendengar ucapanku Mbak Yuni Menghentakkan kaki dengan kesal. Mungkin keki karena kata-katanya selalu mendapat jawaban yang menohok dariku.
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (2)Usai memarkir motor di halaman rumah, aku turun sembari menenteng dua bungkus nasi rames harga sepuluh ribu rupiah yang kubeli di warung Ampera seberang jalan. Daripada capek harus belanja lagi dan mengolahnya kembali jadi masakan, lebih baik aku keluar sebentar membeli nasi bungkus murah meriah ini sesuai kebutuhan.Ketimbang masak capek-capek, tahu-tahu habis diembat Mbak Yuni yang maunya enak sendiri, lebih baik beli seperlunya saja. Mungkin begini lebih baik daripada masak banyak tapi malah nggak kebagian.Begitu masuk, langsung kuberikan satu bungkus pada ibu mertua yang sedang duduk di meja makan. Sementara satu lagi kusisihkan karena hendak kumakan sendiri."Ini, Bu, nasi rames. Makan, Bu. Katanya sudah lapar," ujarku pada beliau yang duduk sembari menekuk wajah. Sementara sosok kakak iparku yang julid sudah tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin kapok setelah kuskak-mat ucapannya."Nasi rames? Beli di man
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (3)"Vira, tadi siang kata ibu kamu ribut sama Mbak Yuni, ya?" tanya Mas Alvin setelah selesai makan malam dan kami menuju ke peraduan.Aku diam sembari meraih ponsel. Rencana hendak meneruskan menulis cerbung yang sedang kuposting di sebuah aplikasi kepenulisan.Tekadku sudah bulat ingin segera menambah deretan angka pada pencapaian royalti agar kelak bisa menunjukkan pada ibu dan Mbak Yuni bahwa aku bukanlah perempuan miskin yang hanya bisa menumpang hidup pada anaknya saja.Aku ingin membuktikan pada ibu dan kakak iparku yang iri dengki itu bahwa walaupun hanya di rumah saja tetapi aku bukanlah ibu rumah tangga biasa. Aku seorang penulis yang memiliki penghasilan lumayan besar dari menulis di platform-platform kepenulisan. Kelak, aku akan membuktikan pada mereka bahwa tanpa penghasilan dari anaknya aku juga bisa hidup lebih dan punya segalanya.Tidak ada yang tidak mungkin jika aku terus berusaha dan tak pata
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (4)Pagi ini usai melakukan solat subuh bergegas aku menuju dapur untuk melakukan rutinitas seperti biasanya, memasak.Sebelum berangkat kerja, Mas Alvin memang biasanya sarapan dan minum teh panas dulu. Itu sebabnya aku bergegas ke dapur sebelum hari semakin terang dan terlambat menyiapkan hidangan.Aku membuka kulkas dan mengeluarkan potongan ayam yang tadi malam sudah kucuci bersih. Rencananya akan kumasak menjadi ayam bumbu kesukaan suamiku itu.Kukeluarkan tiga potong lalu merebusnya bersama bumbu ayam yang sudah diblender. Nanti kalau sudah kering airnya baru digoreng bareng bumbunya supaya gurih.Sengaja aku masak pas-pasan, hanya untuk makan pagi ini saja. Aku tak mau lagi masak banyak-banyak karena rasanya percuma saja, hanya akan habis disikat Mbak Yuni dan anak-anaknya.Masih enak Mbak Yuni tidak mengataiku yang tidak-tidak dan berterima kasih sudah bisa numpang makan gratis di rumah ini, ini sudah d
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (5)"Kamu yakin biar ibu saja yang pegang gaji, Mas? Mas khawatir ibu kesulitan mengelola mengingat sekarang semua serba mahal, lho Vir?" ucap Mas Alvin sesaat setelah pulang kerja.Hari ini tepat tanggal satu, tanggal di mana Mas Alvin gajian.Biasanya amplop gaji berikut struk-nya diserahkan padaku untuk membiayai kebutuhan kami selama satu bulan, tetapi karena ibu selalu protes sebab Mas Alvin selalu menyerahkan gajinya seutuhnya padaku hingga benci dan selalu mencari perkara untuk menyusahkanku, maka aku pun meminta mulai bulan ini semua penghasilan Mas Alvin diserahkan saja pada ibunya.Biar ibu saja dibantu Mbak Yuni yang mengelola kebutuhan rumah tangga selama satu bulan. Aku mau istirahat dulu dari pusingnya menghitung pengeluaran rumah tangga yang ada-ada saja kurangnya.Lagipula aku juga penasaran, bisa bertahan berapa hari di tangan ibu uang sebesar itu mengingat beliau orang yang boros dan senang mem
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (6)"Pergi dulu ya, Vir. Baik-baik di rumah," pamit Mas Alvin sebelum menaiki sepeda motornya menuju tempat kerja.Aku tersenyum tipis, mengiringi kepergian suamiku dengan hati yang ... entah.Sepeninggal Mas Alvin, aku kembali masuk ke dalam rumah. Rencananya hendak membereskan sisa makanan bekas sarapan Mas Alvin yang tadi masih ada di meja makan.Namun, langkahku terhenti saat mendengar keriuhan di depan sana. Kulihat Mbak Yuni dan anak-anaknya juga ibu sedang mengelilingi meja makan yang dipenuhi oleh hidangan beraneka macam.Entah kapan ibu atau Mbak Yuni memasaknya. Yang jelas tiba-tiba saja semuanya sudah ada di sana.Padahal barusan Mas Alvin terpaksa membeli nasi uduk sepuluh ribu karena hingga hendak berangkat, belum ada apapun yang terhidang di meja makan."Enak ya, Bu. Makan tinggal pesan go fo*d kek gini. Semuanya enak, nggak kayak biasanya, makan nggak pernah enak karena duit dipegang Vira
Drrt...ddrt...ddrt....Ponsel di atas meja bergetar.Kuhentikan menyuap daging kepiting yang empuk itu lalu membuka notifikasi yang bergulir pada papan layar. Terlihat notifikasi pesan baru pada aplikasi WhatsApp. Sepertinya Mbak Yuni baru saja mengirim pesan.Setelan aplikasi berwarna hijau yang sudah kusetel seolah pesan belum terbaca padahal sudah dibaca itu membuat aku bisa membuka pesan itu tanpa Mbak Yuni mengira jika pesannya sudah dibaca.Aku sengaja melakukan itu karena enggan membalas pesan kakak ipar julid itu.[Vira, kamu lagi di mana???!] Pesan Mbak Yuni dengan tanda tanya panjang dibelakangnya.Aku hanya tersenyum geli dan kembali melanjutkan makan tanpa ingin diganggu dengan pesan itu. [Vira, kamu lagi makan di restoran ya??? Pakai duit tabungan Alvin, iya kan??? Awas ya kalau kamu habiskan duit tabungan adikku!!! Pokoknya aku nggak mau tahu, pulang nanti segera serahkan buku tabungan dan ATM Alvin sama mbak!!!]
Sore ini sepulang dari tempat kerja, ibu dan Mbak Yuni nampaknya sudah menghadang Mas Alvin di depan pintu masuk. Terdengar laporan kedua perempuan beda usia itu pada Mas Alvin yang baru saja datang.Aku sendiri sedari pulang tadi lebih memilih tak keluar kamar karena malas melihat wajah ibu dan Mbak Yuni yang sejak siang memang belum juga pulang, begitu pun Dea dan Deo kedua anaknya yang sibuk nonton televisi sedari tadi.Rumah sudah seperti kapal pecah karena tak ada satupun yang mau membersihkan sampah dan sisa makanan yang bertebaran di mana-mana. Ibu dan Mbak Yuni cuma asyik memesan makanan dan berpesta seperti tak memikirkan hari esok lagi.Jujur, sebenarnya aku khawatir mereka kehabisan uang sebelum akhir bulan tiba, karena aku kasihan memikirkan nasib Mas Alvin, kemana suamiku itu harus mencari tambahan uang jika gajinya yang sekarang dipegang ibu dan mbak Yuni habis sebelum waktunya.Namun, Ibu dan Mbak Yuni sendiri malah tak khawatir dan t
Keluar dari toko perhiasan, aku tak langsung pulang melainkan masuk dulu ke sebuah restoran siap saji. Kupesan ayam goreng kesukaan, jus jeruk dan kentang goreng favorit. Aku makan dengan lahap karena sedari tadi belum ada satu pun makanan yang masuk ke dalam perut meski Mbak Yuni dan ibu sudah membeli aneka lauk pauk dan pesta makan di dapur dengan kedua cucu dan menantunya, Mas Bowo. Sementara karena sudah telat, pagi ini terpaksa Mas Alvin berangkat kerja tanpa sarapan lebih dulu.Entahlah, tumben-tumbenan Mas Bowo, suami Mbak Yuni pagi ini mau sarapan di rumah. Biasanya sih hanya menunggu kiriman makanan yang dibawa Mbak Yuni dari kediaman kami saja. Tapi pagi tadi, mungkin karena merasa sudah bebas lalu lalang bahkan memegang keuangan di rumah ini, Mbak Yuni juga membawa suaminya itu makan di rumah.Aku sih tidak peduli. Mau ngapain aja mereka sebodo amat. Aku sendiri bahkan sudah berpikir hendak pergi dari rumah itu. Rumah yang baru satu tahun dibeli dan ma
Dina mendelik kaku dan membulatkan bola matanya saat melihat kertas undangan berwarna krem yang barusan diberikan oleh Bu Hadi ke padanya.Perempuan itu seolah tak percaya hingga memandang Bu Hadi dengan tatapan tak mengerti dan sebentar sebentar berubah ubah ekspresi wajahnya."Tante nggak bohong ini? Akhirnya Tante setuju juga Anita menikah dengan Alvin? Apa Tante nggak salah? Tante sudah pikirkan masak masak semua ini, Tan?" tanya Dina pada Bu Hadi dengan nada sangsi yang datang mengunjunginya siang itu demi mengabarkan berita bahagia Anita dan Alvin pada gadis itu.Bu Hadi mengulum senyum lalu menganggukkan kepalanya."Ya, Tante berusaha untuk percaya aja, Din. Anita bilang masa lalu seseorang itu tidak akan bisa dirubah, tapi masa depan semua orang berhak merubahnya. Jadi Tante merasa Tante harus memberikan kesempatan pada Alvin untuk berubah dan membuktikan semuanya itu, Din.""Bukan Tante tidak berpikir panjang lagi, tapi justru karena Tante berpikir panjang lah makanya Tante d
[Sudah ada pengganti Mas? Maksudnya?] tanya Anita dari seberang lagi.[Hmm ... iya. Mas dengar begitu. Tapi kamu yang paling tahu bukan? Kalau memang iya, ya nggak apa apa juga, Nit. Mas ikhlas kok. Mungkin kita nggak jodoh. Mas sadar Mas ini siapa, kamu siapa. Kita beda jauh, Nit. Nggak mungkin bisa bersatu ... .] tulis Alvin merendah.Di seberang sana terlihat Anita dengan cepat mengetik balasan.[Kok Mas ngomongnya gitu? Apa Mas juga sudah ada yang lain? Dengar Mas ... aku juga bukan siapa siapa lagi sekarang ini. Mama dan Papa sudah jatuh. Sementara karir kamu di dunia maya sekarang justru sedang bersinar terang. Jadi mungkin sebaliknya. Aku yang nggak pantas mungkin bersanding sama kamu, Mas.] balas Anita lagi.[Nggak pantas bersanding sama Mas gimana? Siapa bilang? Bukan kamu yang nggak pantas buat Mas, tapi Mas yang nggak pantas buat kamu, Nit. Dan Mas harus tahu itu. Jujur saja andai Mas diberi kesempatan, ingin sekali Mas melamar kamu. Tapi Mama dan Papa kamu juga kakak kamu
[Halo? Hadi?] sapa Wibisana tanpa embel embel Pak atau Mas lagi seperti yang selama ini tak pernah lupa lelaki itu sematkan sebagai panggilan pada rekan bisnisnya itu.Meski tak enak mendengar panggilan itu, tapi Pak Hadi menjawab juga salam dari rekannya tersebut dengan nada biasa. Rekan yang seharian ini sudah coba di hubungi tapi tak bisa sebab tiba tiba semua panggilan dan pesan WhatsApp yang dia kirimkan tak dibalas oleh laki laki itu.[Ya, Bi. Ada apa?] tanya Pak Hadi dengan menekan perasaan tak enak sekuat mungkin saat Wibisana memanggilnya seperti itu.[Gini, Hadi ... masalah perjodohan anak anak kita dan lamaran Rio kemarin itu, kami sekeluarga mohon maaf ya. Kami berniat membatalkannya, karena barusan Rio bilang dia tak jadi melamar Anita sebab dia sudah ada calon yang baru yang suka sama suka dengan dia. Tidak seperti Anita yang kemarin sempat menolak tegas bukan? Jadi fix ya, Di. Lamaran keluarga kami ke putri kamu, kami batalkan sekarang juga.] Ucap Wibisana tanpa ingin m
"Gimana, Pa? Bisa dihubungi Wibi sama Henti?" tanya Bu Hadi pada suaminya. Pak Hadi Widjaya menggelengkan kepalanya lalu mendesah lirih."Nggak bisa, Ma. Padahal wa-nya aktif dari tadi tapi telepon Papa kok nggak diangkat ya? Pesan Papa juga nggak dibalas. Kenapa ya?" sahut Pak Hadi dengan wajah ditekuk gundah."Nggak tahu, Pa. Jadi gimana lagi ini, Pa? Apa kita minta bantuan Vira dan Dina aja? Nggak mungkin mereka nggak bantu kan di saat kita sedang kemalangan begini?" jawab Bu Hadi.Pak Hadi menghembuskan nafasnya."Mereka kan sudah dua kali bantu keuangan kita, Ma. Masak sih kita mau minta bantuan lagi? Pinjaman kita yang kemarin saja belum bisa kita bayar. Masa sudah mau pinjam lagi. Walau pun pasti diberi, tapi Papa rasanya kok nggak enak dan nggak tega ya, Ma, memberatkan kolega bisnis kita terus.""Ini juga Papa berani minjam ke Wibi karena dia kan calon besan kita. Tapi sejak tahu pabrik kita terbakar, Wibi seperti menghindar. Kenapa ya? Apa ... Wibi sudah nggak mau lagi besa
Malam itu di kediaman pak Hadi Widjaya, tampak Rudy, dan kedua orang tuanya tengah makan bersama di meja makan. Sementara Anita tak ikut bergabung sebab masih harus menjalani shif malam sebagai seorang dokter jaga.Di sela sela makan malam, Pak Hadi membuka suaranya."Dy, gimana? Kemarin jadi kamu menemui Alvin dan menyampaikan amanat papa dan mama sama dia?" tanya Pak Hadi pada putranya.Rudy menganggukkan kepalanya lalu menjawab."Jadi dong, Pa. Rudy ancam kalau dia berani dekati Anita lagi, Rudy mau bikin perhitungan sama dia. Kayaknya Alvin ketakutan dan sepertinya nggak berani lagi dekatin Anita 'kan, Pa? Ma? Nggak ada lagi kan laki laki itu dekat dekat Nita lagi?" tanya Rudy balik.Pak Hadi mengedikkan bahunya."Nggak tahu juga, Dy. Tapi semoga ajalah laki laki itu sadar kalau dia nggak pantas buat adik kamu," jawab Pak Hadi singkat."Iya! Apa kata orang orang nanti kalau kita punya besan keluarga aneh seperti mereka? Mau ditaruh di mana muka kita besanan dengan keluarga nggak j
"Nita, kenapa kamu ninggalin Om Wibi, Tante Henti dan Rio tadi? Apa kamu nggak suka mereka datang melamar kamu, Sayang?""Nit, Rio itu lelaki yang baik. Di usia muda dia sudah sukses menjalankan perusahaan orang tuanya. Dia lulusan universitas ternama di luar negeri. Tampan, cerdas, kaya. Apalagi yang kamu cari, Nit? Rio itu sudah paket lengkap. Nggak ada lagi tandingannya. Nyesel kamu nanti kalau nolak cowok sesempurna dia, Nit," ucap Bu Hadi pada putrinya saat tamu mereka sudah pulang.Anita yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur tak bersuara. Hanya menundukkan wajahnya tanpa ingin menatap wajah sang mama."Pokoknya kali ini kamu harus dengar omongan mama ya, Nit, kamu harus mau menerima kehadiran Rio menjadi suami kamu ya. Kalau enggak ... mama akan sangat kecewa sama kamu, Nit. Mama nggak tahu lagi gimana caranya membuat kamu mau menikah karena semua pilihan mama dan papa sudah kamu tolak semuanya. Mama nggak ngerti lagi kriteria seperti apa yang kamu inginkan untuk menjadi s
Pria itu seolah hendak menelanjanginya tanpa ampun. Tatapan yang membuat dia dari dulu merasa ilfil dan tak suka pada pria itu.Selama ini beberapa kali dia telah bertemu Rio. Tapi dia tak cukup menyukai pria itu sebab menurut nya pria itu bukanlah pria yang baik. Dia terlihat begitu liar saat melihat seorang perempuan. Dan itu membuat Anita merasa tak menyukai Rio."Ma ... maksud Om?" Anita membuka tanya dengan nada terkejut yang sangat. Seolah tak percaya kalau kedatangan Om Wibi dan Tante Henti serta putranya ke rumahnya ini adalah demi untuk melamar dirinya menjadi istri Rio.Melihat itu, Bu Hadi pun buru buru membuka suaranya."Begini, Nita. Om Wibi dan Tante Henti ini datang ke sini hendak melamar kamu untuk menjadi istrinya Rio, menjadi menantu di keluarga mereka. Kamu bersedia kan, Sayang? Rio ini sekarang sudah jadi pengusaha besar lho. Cocok dong sama kamu yang seorang dokter terkenal.""Jadi kamu jangan menolak ya, Sayang. Percayalah, Rio ini pasti bisa jadi suami yang baik
"Vin, kamu kenapa? Kok wajah kamu murung gitu?" tanya Yuni saat Alvin baru saja pulang.Dilihatnya adiknya itu berjalan gontai menuju sofa hingga membuat keningnya berkerut."Ada apa, Vin? Ada masalah ya?" tanya perempuan itu dengan nada penasaran pada adiknya itu.Alvin menghembuskan nafasnya dengan gundah."Iya, Mbak ... tapi sudahlah. Mungkin sudah nasib Alvin begini. Tadi kakaknya Anita datang menemui Alvin dan minta supaya hubungan kami nggak usah dilanjutkan dan diputuskan saja karena mereka nggak mau Alvin menikah sama Anita. Katanya kita nggak sepadan. Alvin laki laki nggak jelas. Datang dari keluarga nggak jelas juga. Nggak sepadan dengan keluarga mereka yang terhormat.""Hmm ... ya sudahlah. Alvin sudah berusaha selama ini supaya bisa mensejajarkan diri dengan dia, tapi ternyata semua itu nggak cukup juga Mbak, jadi ... mungkin Alvin harus mengubur semua ini rapat rapat. Alvin harus bisa segera melupakan Anita dan mimpi mimpi kami," tutur laki laki itu dengan nada sendu.Men
"Maksud Mas Rudy?" Alvin tergagap.Mendengar Alvin menyebut namanya, Rudy tersenyum lebar.Hmm ... jadi rupanya Alvin masih ingat kalau dia adalah kakak kandung Anita? Syukurlah kalau begitu! Batinnya."Gini ya, Vin. To the point aja kita ... Nggak usah kamu dekati Anita lagi! Karena saya sebagai kakak kandungnya, nggak sudi punya calon adik ipar seperti kamu!" Hardik Rudy untuk kedua kalinya dengan suara keras dan nada tak bersahabat. "Tapi Mas ... Saya dan Anita saling mencintai, Mas. Kenapa kami tak boleh bersama? Kalau masalah materi, mungkin saya belum bisa memberikan yang cukup buat dia, seperti yang Om dan Tante inginkan. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Anita, Mas. Saya janji akan kerja lebih keras lagi supaya bisa lebih sukses dari sekarang, Mas. Tolong ... beri saya kesempatan sekali lagi, Mas. Please .....!" Alvin memohon dengan sungguh sungguh.Namun, Rudy menggelengkan kepalanya."Tidak! Sebagai kakak kandung Anita, saya nggak bisa memberi kamu