Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (6)
"Pergi dulu ya, Vir. Baik-baik di rumah," pamit Mas Alvin sebelum menaiki sepeda motornya menuju tempat kerja.
Aku tersenyum tipis, mengiringi kepergian suamiku dengan hati yang ... entah.
Sepeninggal Mas Alvin, aku kembali masuk ke dalam rumah. Rencananya hendak membereskan sisa makanan bekas sarapan Mas Alvin yang tadi masih ada di meja makan.
Namun, langkahku terhenti saat mendengar keriuhan di depan sana. Kulihat Mbak Yuni dan anak-anaknya juga ibu sedang mengelilingi meja makan yang dipenuhi oleh hidangan beraneka macam.
Entah kapan ibu atau Mbak Yuni memasaknya. Yang jelas tiba-tiba saja semuanya sudah ada di sana.
Padahal barusan Mas Alvin terpaksa membeli nasi uduk sepuluh ribu karena hingga hendak berangkat, belum ada apapun yang terhidang di meja makan.
"Enak ya, Bu. Makan tinggal pesan go fo*d kek gini. Semuanya enak, nggak kayak biasanya, makan nggak pernah enak karena duit dipegang Vira sialan itu terus." ucap Mbak Yuni sembari dengan lahap memakan hidangan yang tersedia.
Mendengar ucapan Mbak Yuni, ibu tampak menganggukkan kepala. "Iya, tahu gini dari dulu kita paksa Alvin ngasih gajinya ke kita ya daripada buat nyenangin anak orang!' timpal beliau sembari tertawa lebar.
"Iya, Bu. Nanti selesai makan kita simpen aja sisanya di lemari. Biar si Vira sialan itu nggak bisa makan, biar kelaparan, biar nggak bisa lagi ngelawan-ngelawan mertua dan ipar, ya nggak, Bu." Mbak Yuni cekikikan.
"Iya, bener biar kapok. Eh, tapi kalau dia ngadu ke Alvin gimana?" Ibu bertanya dengan nada khawatir.
"Tenang aja, Bu. Kita buat Alvin lebih percaya sama kita daripada sama istrinya sendiri. Kita foto makanan ini dan kirim ke Alvin sebagai bukti kalau di rumah selalu ada makanan. Kalau Vira ngadu nggak dikasih, suruh dia kirim buktinya. Gampang kan, Bu?" sahut Mbak Yuni dengan enteng.
"Pinter kamu. Kita bikin dia kelaparan dulu biar nggak betah tinggal di sini lagi. Biar dia minta cerai dari Alvin dan kita bisa hidup bebas di rumah ini...."
"... dan kita bisa menikahkan Alvin sama Ayu, Bu. Ngomong-ngomong aku kemarin ketemu sama dia di pasar. Kayaknya dia masih berharap jadi istri Alvin, lho, Bu. Ini kesempatan bagus buat kita. Kalau Ayu jadi menantu di rumah ini, hidup kita bakalan enak, Bu karena dia orang kaya." Mbak Yuni berucap kembali. Kali ini sembari menyebut kembali nama seorang perempuan yang akhir-akhir ini membuat hatiku tidak tenang.
Ya, ada hubungan apa sebenarnya Mas Alvin dan Ayu hingga ibu dan Mbak Yuni ngebet sekali ingin menjadikan gadis itu sebegai istri Mal Alvin?
"Betul. Sudah kaya, baik hati pula. Nggak rugi kalau kita menikahkan dia sama Alvin daripada seperti sekarang. Heran, apa sih yang dicari Alvin dari Vira? Sudah miskin, nggak punya-punya anak lagi," ibu mendengkus kesal.
"Iya, Bu. Jangan-jangan mandul. Eh, gimana kalau ibu pura-pura udah nggak sabar pengen nimang cucu dari dia, terus ibu kasih waktu berapa bulan gitu supaya dia bisa hamil, kalau nggak hamil juga, terpaksa harus mau diceraikan. Gimana, Bu?"
Ibu tampak berpikir-pikir sejenak mendengar usul Mbak Yuni. "Tapi kayaknya yang cinta berat Alvin-nya sih, Yun. Makanya ibu sangsi kalau dia mau cerai dari Vira. Udah sering ibu minta tapi Alvin yang nolak terus. Apa jangan-jangan Alvin udah dipelet sama Vira ya, Yun? Gawat kalau begitu...." suara ibu terdengar penuh kekhawatiran. Membuatku rasanya ingin tertawa sekaligus jengkel melihat sikap konyol yang mereka perlihatkan.
"Bisa jadi, Bu...." gumam Mbak Yuni membenarkan dugaaan konyol ibu.
Mendengar percakapan mereka aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan perasaan geram dan tidak habis mengerti.
Sebegitu buruk akhlak ibu mertua dan kakak iparku itu ternyata. Selalu berpikiran buruk pada orang lain. Ah, andai dari awal aku tahu sifat buruk keluarga ini, mungkin aku yang duluan menolak menjadi menantu di sini.
Aku juga merasa heran melihat pola makan yang mereka lakukan setelah gaji Mas Alvin diserahkan pada mereka. Seperti katak dalam tempurung. Orang yang tadinya tidak pernah punya uang dan makan enak lalu tiba-tiba disediakan makanan enak-enak. Terheran-heran.
Jika hal seperti ini diterus-teruskan tak menutup kemungkinan tidak sampai setengah bulan, uang gaji Mas Alvin yang dipegang ibu dan Mbak Yuni akan habis tak bersisa. Ah, kasihan Mas Alvin.
Tapi, sudahlah. Itu bukan urusanku lagi. Mau habis atau tidak, biar saja mereka yang memikirkan sendiri. Toh, mereka yang bernafsu ingin mengelola keuangan di rumah ini, bukan aku.
Aku membalikkan tubuh, kembali menuju kamar. Enggan rasanya meneruskan niat masuk ke dapur dan berurusan dengan dua orang tidak punya perasaan itu. Bikin bad mood dan darah tinggi naik. Nanti kalau mereka sudah tidak kelihatan lagi, baru akan kubereskan bekas makan Mas Alvin tadi. Sekarang aku mau ke pasar dulu, mengambil uang di tabungan hasil royalti menulis dan mulai memanjakan diri.
Ya, bodoh rasanya selama ini capek-capek menabung dan hidup hemat jika ujung-ujungnya hanya dinikmati dua orang tak punya perasaan itu. Apalagi setelah tahu bahwa mereka punya rencana hendak menyingkirkan aku dari hidup Mas Alvin.
Lebih baik aku senang-senang daripada ujungnya makan hati sendiri. Ini hasil kerja kerasku, jadi hakku mau berbuat apa saja.
***
Keluar dari ATM dan menarik semua uang hasil royalti menjadi penulis, tempat pertama yang kumasuki adalah sebuah restoran terkenal di kota ini yang harga menunya cukup fantastis sebenarnya, tetapi karena rasanya yang enak, tak sedikit orang sengaja menyisihkan uang untuk bisa makan di sini.
Dulu sebelum menikah, aku dan Mas Alvin beberapa kali makan di sini, maklumlah masih belum punya tanggungan apa-apa.
Namun, setelah menikah aku sendiri yang enggan diajak Mas Alvin makan di sini. Alasanku daripada menghabiskan uang untuk foya-foya, lebih baik disimpan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat.
Mas Alvin pun setuju jika kemudian kami hidup berhemat demi cita-cita yang lebih tinggi. Sayang, kehadiran ibu mertua dan kakak ipar memporak-porandakan semuanya. Jujur, saat ini aku sendiri bahkan dilanda keraguan, dapatkah perkawinan kami dipertahankan jika ingat sikap ibu dan Mbak Yuni yang selalu memusuhiku.
Aku menatap hidangan yang tersaji di depanku. Sepiring besar kepiting saos padang yang dari tampilannya sungguh menggugah selera.
Kuambil piring berisi kepiting itu dan mulai membuka kaki dan capitnya kemudian membuka bagian punggungnya, yang memperlihatkan daging kepiting yang menggiurkan selera. Tak lupa sebelum makan, aku berfoto selfi dulu dengan gaya secantik mungkin bersama menu mahal itu dan mengunggahnya pada status w* yang kusetel hanya bisa dilihat orang tertentu saja yakni ibu dan Mbak Yuni.
Aku ingin tahu bagaimana reaksi kedua orang itu kalau tahu menu makan siangku setelah tak lagi menerima gaji bulanan Mas Alvin adalah kepiting besar super enak andalan restoran mahal ini.
Sekadar iri kah atau makin menjadi memusuhiku?
***
Drrt...ddrt...ddrt....Ponsel di atas meja bergetar.Kuhentikan menyuap daging kepiting yang empuk itu lalu membuka notifikasi yang bergulir pada papan layar. Terlihat notifikasi pesan baru pada aplikasi WhatsApp. Sepertinya Mbak Yuni baru saja mengirim pesan.Setelan aplikasi berwarna hijau yang sudah kusetel seolah pesan belum terbaca padahal sudah dibaca itu membuat aku bisa membuka pesan itu tanpa Mbak Yuni mengira jika pesannya sudah dibaca.Aku sengaja melakukan itu karena enggan membalas pesan kakak ipar julid itu.[Vira, kamu lagi di mana???!] Pesan Mbak Yuni dengan tanda tanya panjang dibelakangnya.Aku hanya tersenyum geli dan kembali melanjutkan makan tanpa ingin diganggu dengan pesan itu. [Vira, kamu lagi makan di restoran ya??? Pakai duit tabungan Alvin, iya kan??? Awas ya kalau kamu habiskan duit tabungan adikku!!! Pokoknya aku nggak mau tahu, pulang nanti segera serahkan buku tabungan dan ATM Alvin sama mbak!!!]
Sore ini sepulang dari tempat kerja, ibu dan Mbak Yuni nampaknya sudah menghadang Mas Alvin di depan pintu masuk. Terdengar laporan kedua perempuan beda usia itu pada Mas Alvin yang baru saja datang.Aku sendiri sedari pulang tadi lebih memilih tak keluar kamar karena malas melihat wajah ibu dan Mbak Yuni yang sejak siang memang belum juga pulang, begitu pun Dea dan Deo kedua anaknya yang sibuk nonton televisi sedari tadi.Rumah sudah seperti kapal pecah karena tak ada satupun yang mau membersihkan sampah dan sisa makanan yang bertebaran di mana-mana. Ibu dan Mbak Yuni cuma asyik memesan makanan dan berpesta seperti tak memikirkan hari esok lagi.Jujur, sebenarnya aku khawatir mereka kehabisan uang sebelum akhir bulan tiba, karena aku kasihan memikirkan nasib Mas Alvin, kemana suamiku itu harus mencari tambahan uang jika gajinya yang sekarang dipegang ibu dan mbak Yuni habis sebelum waktunya.Namun, Ibu dan Mbak Yuni sendiri malah tak khawatir dan t
Keluar dari toko perhiasan, aku tak langsung pulang melainkan masuk dulu ke sebuah restoran siap saji. Kupesan ayam goreng kesukaan, jus jeruk dan kentang goreng favorit. Aku makan dengan lahap karena sedari tadi belum ada satu pun makanan yang masuk ke dalam perut meski Mbak Yuni dan ibu sudah membeli aneka lauk pauk dan pesta makan di dapur dengan kedua cucu dan menantunya, Mas Bowo. Sementara karena sudah telat, pagi ini terpaksa Mas Alvin berangkat kerja tanpa sarapan lebih dulu.Entahlah, tumben-tumbenan Mas Bowo, suami Mbak Yuni pagi ini mau sarapan di rumah. Biasanya sih hanya menunggu kiriman makanan yang dibawa Mbak Yuni dari kediaman kami saja. Tapi pagi tadi, mungkin karena merasa sudah bebas lalu lalang bahkan memegang keuangan di rumah ini, Mbak Yuni juga membawa suaminya itu makan di rumah.Aku sih tidak peduli. Mau ngapain aja mereka sebodo amat. Aku sendiri bahkan sudah berpikir hendak pergi dari rumah itu. Rumah yang baru satu tahun dibeli dan ma
Namun, demikian kami tak pernah lepas berkomunikasi. Padanya aku berani bercerita dan mengadukan semua masalahku. Terutama masalah dengan ibu mertua dan Mbak Yuni sejak mereka pindah ke rumah. Jika tak ada tempat berbagi cerita seperti ini barangkali aku tak bisa setenang ini menghadapi masalah yang saat ini menimpaku."Eh, Say... gimana kabar mertua dan kakak ipar kamu? Masih rese juga? Lawan atuh, Vir...eh tapi aku yakin kamu pasti nggak akan diam aja. Vira gitu lho, cewek jagoan yang pernah bikin cowok yang berani macem-macem pingsan di tempat." ucap Dina mengenang masa lalu saat belum menikah. Kami kemudian tertawa bareng mengingat momen itu.Pada Dina kuceritakan tentang keisengan-keisengan yang sengaja kulakukan untuk mengerjai ibu dan Mbak Yuni sebagai balasan setimpal atas perbuatan mereka. Mendengar cerita dariku, Dina pun tertawa cekikikan hingga keluar air mata."Sumpah, aku nggak ngebayangin betapa kesalnya mertua kamu, Vir. Apalagi tahu kamu baru sa
Di depan televisi kulihat sosok Mas Bowo, suami Mbak Yuni sedang menemani kedua anaknya menonton film kartun.Ah, ada apa ya sampai semua orang itu seolah sengaja berkumpul di rumah ini sekarang? Ingin menyambut kepulangankukah? Ingin cari masalah baru lagikah denganku? Ya, Tuhan. Kapan permusuhan dengan ibu mertua dan kakak ipar ini bisa segera berakhir? Aku mulai jenuh dan bosan rasanya, meski jujur ada keseruan saat bisa membalasnya.Sembari menghela nafas, aku mengetuk pintu pelan. Tak lama menunggu, pintu pun terbuka dan sosok mbak Yuni muncul dengan api kemarahan di wajahnya."Hei, ipar sia*an! Pulang juga akhirnya kamu? Dari tadi mbak telpon nggak kamu angkat kenapa? Budek ya?" sentaknya kasar sembari menghempaskan daun pintu saat aku sudah berada di dalam rumah.Mendengar bentakannya, aku menyahut pelan, 'Oh, aku lagi di jalan. Kenapa emangnya, Mbak?" tanyaku dengan tenang. Kuedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan ibu sedang berkacak pinggang dengan mata melotot tajam p
Melihat mas Alvin datang, bukannya cemas ibu justru bersikap biasa-biasa saja. Dengan tenang ia berusaha menenangkan Mas Alvin."Tenang, Vin. Ibu bukan mau berbuat jahat sama istri kamu tapi mau melihat kejujurannya saja. Barusan ibu lihat dia beli perhiasan seharga sepuluh juta rupiah. Duit dari mana coba kalau katanya gaji kamu saja sudah habis? Apa kamu nggak curiga istri kamu ini sudah berbuat yang tidak-tidak di luar? Ingat, Vin zaman sekarang banyak wanita murahan yang rela menjual dirinya demi kemewahan, tak terkecuali istri kamu! Apa kamu mau punya istri model begitu? Ibu yang nggak rela, Vin kalau kamu punya istri seorang pelac*r! Ibu yang nggak rela punya mantu wanita nggak punya harga diri!" teriak ibu sok merasa paling benar, padahal tidak."Bu, sebelum ibu mencurigai Vira, ibu sudah coba tanya baik-baik belum? Tolong, Bu jangan suudzon sama menantu ibu sendiri. Vira bukan wanita seperti itu, Bu. Alvin percaya sama Vira," ujar Mas Alvin membelaku, tetapi nampaknya ibu dan
Mendengar perintah ibu, Mbak Yuni buru-buru mengambil ponsel dan mengotak-otak benda pipih itu. Entah apa yang dia lakukan, tetapi sesaat kemudian, perempuan itu mengangkut ponselnya ke udara."Kamu nulis di sini? Apa nama akunnya? Kamu bikin cerita apa di sana?" tanya Mbak Yuni dengan ekspresi campur aduk, antara percaya dan tidak jika aku berhasil masuk jajaran penulis populer di sana.Aku menyebut nama akun yang kugunakan untuk menulis beserta judul cerita yang alhamdulillah mulai menghasilkan pundi-pundi uang itu. Novel yang sejak pertama kali kuposting di grup kepenulisan yang terdapat pada aplikasi biru itu mendapat puluhan ribu like.Saat kupindahkan bab selanjutnya di aplikasi berbayar ini alhamdulilah juga ramai yang mengikuti dan membeli ceritaku di sana, hingga akhirnya saat ini aku berhasil mengumpulkan rupiah lumayan besar dari sana.Ya, mungkin ini jalan dari Allah yang hendak membukakan pintu rezeki setelah sekian lama ditindas dan dihina m
"Mas, sampai kapan aku harus menerima perlakukan buruk dari ibu dan Mbak Yuni? Aku capek, Mas kalau harus selalu dihina dan disalahkan seperti ini." ucapku pada Mas Alvin saat kami sudah berada di dalam kamar. Suamiku itu duduk di tepian ranjang dengan wajah terlihat kusut. Ah, aku bisa menduga seperti apa perasaannya, sedih pasti mendapati istri yang dicintainya ini selalu dijadikan bulan-bulanan oleh mertua yang notabene ibu kandungnya sendiri. Tapi, sebagai anak kandung mungkin tak banyak yang bisa dilakukan karena pasti sulit baginya untuk memilih, ibu atau istrinya sendiri."Sabar dulu, ya Vir. Pelan-pelan ibu pasti bisa berubah. Bukankah Allah maha membolak-balikkan hati manusia. Siapa tahu setelah melihat kamu sukses sebagai penulis, ibu tidak lagi bersikap menghina, begitu juga mbak Yuni, semoga bisa akur nantinya...." ucap Mas Alvin sembari membingkai wajahku dengan tatapan berbinar."Maksud, Mas?" aku merasa ada yang janggal pada ucapan Mas Alvin. Apa maksudnya jika ibu tah
Dina mendelik kaku dan membulatkan bola matanya saat melihat kertas undangan berwarna krem yang barusan diberikan oleh Bu Hadi ke padanya.Perempuan itu seolah tak percaya hingga memandang Bu Hadi dengan tatapan tak mengerti dan sebentar sebentar berubah ubah ekspresi wajahnya."Tante nggak bohong ini? Akhirnya Tante setuju juga Anita menikah dengan Alvin? Apa Tante nggak salah? Tante sudah pikirkan masak masak semua ini, Tan?" tanya Dina pada Bu Hadi dengan nada sangsi yang datang mengunjunginya siang itu demi mengabarkan berita bahagia Anita dan Alvin pada gadis itu.Bu Hadi mengulum senyum lalu menganggukkan kepalanya."Ya, Tante berusaha untuk percaya aja, Din. Anita bilang masa lalu seseorang itu tidak akan bisa dirubah, tapi masa depan semua orang berhak merubahnya. Jadi Tante merasa Tante harus memberikan kesempatan pada Alvin untuk berubah dan membuktikan semuanya itu, Din.""Bukan Tante tidak berpikir panjang lagi, tapi justru karena Tante berpikir panjang lah makanya Tante d
[Sudah ada pengganti Mas? Maksudnya?] tanya Anita dari seberang lagi.[Hmm ... iya. Mas dengar begitu. Tapi kamu yang paling tahu bukan? Kalau memang iya, ya nggak apa apa juga, Nit. Mas ikhlas kok. Mungkin kita nggak jodoh. Mas sadar Mas ini siapa, kamu siapa. Kita beda jauh, Nit. Nggak mungkin bisa bersatu ... .] tulis Alvin merendah.Di seberang sana terlihat Anita dengan cepat mengetik balasan.[Kok Mas ngomongnya gitu? Apa Mas juga sudah ada yang lain? Dengar Mas ... aku juga bukan siapa siapa lagi sekarang ini. Mama dan Papa sudah jatuh. Sementara karir kamu di dunia maya sekarang justru sedang bersinar terang. Jadi mungkin sebaliknya. Aku yang nggak pantas mungkin bersanding sama kamu, Mas.] balas Anita lagi.[Nggak pantas bersanding sama Mas gimana? Siapa bilang? Bukan kamu yang nggak pantas buat Mas, tapi Mas yang nggak pantas buat kamu, Nit. Dan Mas harus tahu itu. Jujur saja andai Mas diberi kesempatan, ingin sekali Mas melamar kamu. Tapi Mama dan Papa kamu juga kakak kamu
[Halo? Hadi?] sapa Wibisana tanpa embel embel Pak atau Mas lagi seperti yang selama ini tak pernah lupa lelaki itu sematkan sebagai panggilan pada rekan bisnisnya itu.Meski tak enak mendengar panggilan itu, tapi Pak Hadi menjawab juga salam dari rekannya tersebut dengan nada biasa. Rekan yang seharian ini sudah coba di hubungi tapi tak bisa sebab tiba tiba semua panggilan dan pesan WhatsApp yang dia kirimkan tak dibalas oleh laki laki itu.[Ya, Bi. Ada apa?] tanya Pak Hadi dengan menekan perasaan tak enak sekuat mungkin saat Wibisana memanggilnya seperti itu.[Gini, Hadi ... masalah perjodohan anak anak kita dan lamaran Rio kemarin itu, kami sekeluarga mohon maaf ya. Kami berniat membatalkannya, karena barusan Rio bilang dia tak jadi melamar Anita sebab dia sudah ada calon yang baru yang suka sama suka dengan dia. Tidak seperti Anita yang kemarin sempat menolak tegas bukan? Jadi fix ya, Di. Lamaran keluarga kami ke putri kamu, kami batalkan sekarang juga.] Ucap Wibisana tanpa ingin m
"Gimana, Pa? Bisa dihubungi Wibi sama Henti?" tanya Bu Hadi pada suaminya. Pak Hadi Widjaya menggelengkan kepalanya lalu mendesah lirih."Nggak bisa, Ma. Padahal wa-nya aktif dari tadi tapi telepon Papa kok nggak diangkat ya? Pesan Papa juga nggak dibalas. Kenapa ya?" sahut Pak Hadi dengan wajah ditekuk gundah."Nggak tahu, Pa. Jadi gimana lagi ini, Pa? Apa kita minta bantuan Vira dan Dina aja? Nggak mungkin mereka nggak bantu kan di saat kita sedang kemalangan begini?" jawab Bu Hadi.Pak Hadi menghembuskan nafasnya."Mereka kan sudah dua kali bantu keuangan kita, Ma. Masak sih kita mau minta bantuan lagi? Pinjaman kita yang kemarin saja belum bisa kita bayar. Masa sudah mau pinjam lagi. Walau pun pasti diberi, tapi Papa rasanya kok nggak enak dan nggak tega ya, Ma, memberatkan kolega bisnis kita terus.""Ini juga Papa berani minjam ke Wibi karena dia kan calon besan kita. Tapi sejak tahu pabrik kita terbakar, Wibi seperti menghindar. Kenapa ya? Apa ... Wibi sudah nggak mau lagi besa
Malam itu di kediaman pak Hadi Widjaya, tampak Rudy, dan kedua orang tuanya tengah makan bersama di meja makan. Sementara Anita tak ikut bergabung sebab masih harus menjalani shif malam sebagai seorang dokter jaga.Di sela sela makan malam, Pak Hadi membuka suaranya."Dy, gimana? Kemarin jadi kamu menemui Alvin dan menyampaikan amanat papa dan mama sama dia?" tanya Pak Hadi pada putranya.Rudy menganggukkan kepalanya lalu menjawab."Jadi dong, Pa. Rudy ancam kalau dia berani dekati Anita lagi, Rudy mau bikin perhitungan sama dia. Kayaknya Alvin ketakutan dan sepertinya nggak berani lagi dekatin Anita 'kan, Pa? Ma? Nggak ada lagi kan laki laki itu dekat dekat Nita lagi?" tanya Rudy balik.Pak Hadi mengedikkan bahunya."Nggak tahu juga, Dy. Tapi semoga ajalah laki laki itu sadar kalau dia nggak pantas buat adik kamu," jawab Pak Hadi singkat."Iya! Apa kata orang orang nanti kalau kita punya besan keluarga aneh seperti mereka? Mau ditaruh di mana muka kita besanan dengan keluarga nggak j
"Nita, kenapa kamu ninggalin Om Wibi, Tante Henti dan Rio tadi? Apa kamu nggak suka mereka datang melamar kamu, Sayang?""Nit, Rio itu lelaki yang baik. Di usia muda dia sudah sukses menjalankan perusahaan orang tuanya. Dia lulusan universitas ternama di luar negeri. Tampan, cerdas, kaya. Apalagi yang kamu cari, Nit? Rio itu sudah paket lengkap. Nggak ada lagi tandingannya. Nyesel kamu nanti kalau nolak cowok sesempurna dia, Nit," ucap Bu Hadi pada putrinya saat tamu mereka sudah pulang.Anita yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur tak bersuara. Hanya menundukkan wajahnya tanpa ingin menatap wajah sang mama."Pokoknya kali ini kamu harus dengar omongan mama ya, Nit, kamu harus mau menerima kehadiran Rio menjadi suami kamu ya. Kalau enggak ... mama akan sangat kecewa sama kamu, Nit. Mama nggak tahu lagi gimana caranya membuat kamu mau menikah karena semua pilihan mama dan papa sudah kamu tolak semuanya. Mama nggak ngerti lagi kriteria seperti apa yang kamu inginkan untuk menjadi s
Pria itu seolah hendak menelanjanginya tanpa ampun. Tatapan yang membuat dia dari dulu merasa ilfil dan tak suka pada pria itu.Selama ini beberapa kali dia telah bertemu Rio. Tapi dia tak cukup menyukai pria itu sebab menurut nya pria itu bukanlah pria yang baik. Dia terlihat begitu liar saat melihat seorang perempuan. Dan itu membuat Anita merasa tak menyukai Rio."Ma ... maksud Om?" Anita membuka tanya dengan nada terkejut yang sangat. Seolah tak percaya kalau kedatangan Om Wibi dan Tante Henti serta putranya ke rumahnya ini adalah demi untuk melamar dirinya menjadi istri Rio.Melihat itu, Bu Hadi pun buru buru membuka suaranya."Begini, Nita. Om Wibi dan Tante Henti ini datang ke sini hendak melamar kamu untuk menjadi istrinya Rio, menjadi menantu di keluarga mereka. Kamu bersedia kan, Sayang? Rio ini sekarang sudah jadi pengusaha besar lho. Cocok dong sama kamu yang seorang dokter terkenal.""Jadi kamu jangan menolak ya, Sayang. Percayalah, Rio ini pasti bisa jadi suami yang baik
"Vin, kamu kenapa? Kok wajah kamu murung gitu?" tanya Yuni saat Alvin baru saja pulang.Dilihatnya adiknya itu berjalan gontai menuju sofa hingga membuat keningnya berkerut."Ada apa, Vin? Ada masalah ya?" tanya perempuan itu dengan nada penasaran pada adiknya itu.Alvin menghembuskan nafasnya dengan gundah."Iya, Mbak ... tapi sudahlah. Mungkin sudah nasib Alvin begini. Tadi kakaknya Anita datang menemui Alvin dan minta supaya hubungan kami nggak usah dilanjutkan dan diputuskan saja karena mereka nggak mau Alvin menikah sama Anita. Katanya kita nggak sepadan. Alvin laki laki nggak jelas. Datang dari keluarga nggak jelas juga. Nggak sepadan dengan keluarga mereka yang terhormat.""Hmm ... ya sudahlah. Alvin sudah berusaha selama ini supaya bisa mensejajarkan diri dengan dia, tapi ternyata semua itu nggak cukup juga Mbak, jadi ... mungkin Alvin harus mengubur semua ini rapat rapat. Alvin harus bisa segera melupakan Anita dan mimpi mimpi kami," tutur laki laki itu dengan nada sendu.Men
"Maksud Mas Rudy?" Alvin tergagap.Mendengar Alvin menyebut namanya, Rudy tersenyum lebar.Hmm ... jadi rupanya Alvin masih ingat kalau dia adalah kakak kandung Anita? Syukurlah kalau begitu! Batinnya."Gini ya, Vin. To the point aja kita ... Nggak usah kamu dekati Anita lagi! Karena saya sebagai kakak kandungnya, nggak sudi punya calon adik ipar seperti kamu!" Hardik Rudy untuk kedua kalinya dengan suara keras dan nada tak bersahabat. "Tapi Mas ... Saya dan Anita saling mencintai, Mas. Kenapa kami tak boleh bersama? Kalau masalah materi, mungkin saya belum bisa memberikan yang cukup buat dia, seperti yang Om dan Tante inginkan. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Anita, Mas. Saya janji akan kerja lebih keras lagi supaya bisa lebih sukses dari sekarang, Mas. Tolong ... beri saya kesempatan sekali lagi, Mas. Please .....!" Alvin memohon dengan sungguh sungguh.Namun, Rudy menggelengkan kepalanya."Tidak! Sebagai kakak kandung Anita, saya nggak bisa memberi kamu