Mendengar perintah ibu, Mbak Yuni buru-buru mengambil ponsel dan mengotak-otak benda pipih itu. Entah apa yang dia lakukan, tetapi sesaat kemudian, perempuan itu mengangkut ponselnya ke udara.
"Kamu nulis di sini? Apa nama akunnya? Kamu bikin cerita apa di sana?" tanya Mbak Yuni dengan ekspresi campur aduk, antara percaya dan tidak jika aku berhasil masuk jajaran penulis populer di sana.
Aku menyebut nama akun yang kugunakan untuk menulis beserta judul cerita yang alhamdulillah mulai menghasilkan pundi-pundi uang itu. Novel yang sejak pertama kali kuposting di grup kepenulisan yang terdapat pada aplikasi biru itu mendapat puluhan ribu like.
Saat kupindahkan bab selanjutnya di aplikasi berbayar ini alhamdulilah juga ramai yang mengikuti dan membeli ceritaku di sana, hingga akhirnya saat ini aku berhasil mengumpulkan rupiah lumayan besar dari sana.
Ya, mungkin ini jalan dari Allah yang hendak membukakan pintu rezeki setelah sekian lama ditindas dan dihina m
"Mas, sampai kapan aku harus menerima perlakukan buruk dari ibu dan Mbak Yuni? Aku capek, Mas kalau harus selalu dihina dan disalahkan seperti ini." ucapku pada Mas Alvin saat kami sudah berada di dalam kamar. Suamiku itu duduk di tepian ranjang dengan wajah terlihat kusut. Ah, aku bisa menduga seperti apa perasaannya, sedih pasti mendapati istri yang dicintainya ini selalu dijadikan bulan-bulanan oleh mertua yang notabene ibu kandungnya sendiri. Tapi, sebagai anak kandung mungkin tak banyak yang bisa dilakukan karena pasti sulit baginya untuk memilih, ibu atau istrinya sendiri."Sabar dulu, ya Vir. Pelan-pelan ibu pasti bisa berubah. Bukankah Allah maha membolak-balikkan hati manusia. Siapa tahu setelah melihat kamu sukses sebagai penulis, ibu tidak lagi bersikap menghina, begitu juga mbak Yuni, semoga bisa akur nantinya...." ucap Mas Alvin sembari membingkai wajahku dengan tatapan berbinar."Maksud, Mas?" aku merasa ada yang janggal pada ucapan Mas Alvin. Apa maksudnya jika ibu tah
"Jadi, kamu tak mau mengalah, gitu Vira? Baiklah, kalau begitu jangan mengeluh lagi. Terima saja sikap ibu dan Mbak Yuni. Anggap ujian hidup dan rumah tangga. Bukankah setiap manusia akan diuji dengan hal yang tidak disukainya? Jadi terima saja ini sebagai ujian yang harus kamu lewati dalam hidupmu.""Mas, bukan begitu maksudku. Maksudku....""Sudahlah, aku capek bertengkar. Aku membelamu di depan ibu dan Mbak Yuni karena rasa sayang yang kurasakan padamu. Begitu pula yang kulakukan saat ini, demi rasa sayang karena tak ingin kehilanganmu, aku meminta kamu mengalah pada ibu. Berikan ibu yang beliau mau maka semuanya beres. Ibu senang, rumah tangga kita nyaman. Itu saja maksud Mas, bukan yang lain...."Mendengar ucapan Mas Alvin itu aku terdiam. Bingung bagaimana harus bersikap ke depannya. Jika aku mengalah, aku takut hanya dimanfaatkan saja, sementara jika tetap bersikap keras maka bukan tidak mungkin, yang diucapkan Mas Alvin akan terus terjadi hingga aku lela
"Ma, aku pengen udang goreng tepungnya lagi dong...." seru Dea, si sulung pada ibunya."Aku juga mau dimsumnya lagi, enaaakk...." timpal Deo, si bungsu."Iya, iya tenang aja. Apa yang kalian suka pasti akan dibelikan. Sekarang Tante Vira 'kan kaya, duitnya banyak. Nanti jangan lupa sebelum berangkat sekolah, salim dulu ya, biar dikasih uang jajan.""Iya, ibu juga udah pengen beli baju baru soalnya dah lama nggak beli baju. Kamu Yun, mau minta apa?" ibu membuka suara dengan nada penuh percaya diri merasa yakin aku pasti akan mengabulkan semua permintaannya."Aku pengen ganti ponsel baru aja, Bu, soalnya ponsel yang ini suka rebutan sama Dea dan Deo. Kalau ada hp baru kan enak, bisa online tanpa terganggu."Apa ponsel baru? Nggak salah? Benda paling murah di atas 1,5 k itu mau minta dibelikan olehku? Ck...ck...ck....Apa ponsel baru? Nggak salah? Benda paling murah di atas 1,5 k itu mau minta dibelikan olehku? Ck...ck...ck....Hmm
"Vir, kenapa sih kamu ngasih uang ke orang tua kamu kok nggak ngomong-ngomong dulu sama kita? Alvin aja sampai nggak tahu waktu ibu tanya soal itu. Nggak boleh lho gitu, Vir. Istri itu harus patuh sama suaminya. Apa-apa harus izin suami dulu, kalau nggak izin bisa kualat, bisa jadi istri durhaka, betul nggak, Vin? Yun?" celetuk ibu sembari menoleh pada sosok Mas Alvin dan Mbak Yuni yang duduk di samping beliau saat aku baru saja masuk ke dalam rumah usai makan di cafe seberang jalan yang menjadi langganan sejak aku tak pernah lagi masak karena gaji Mas Alvin sudah diserahkan suamiku itu pada ibunya. Selain rasanya yang enak, harga makanannya juga tidak terlalu mahal. Cocok untuk kantong orang yang harus makan di luar setiap hari sepertiku.Mendengar ucapan ibu, Mbak Yuni yang duduk di samping beliau mengangguk-anggukkan kepala tanda mendukung ucapan ibunya. Sementara Mas hanya menatapku dengan pandangan tajam dari tempat ia duduk.Beberapa hari ini sejak Mas Alvin tak lagi menyerahkan
"Nggak papa, Mas aku cuma bosan aja makan di rumah. Lagi pula setiap hari ibu dan Mbak Yuni nggak pernah masak, kok. Semua makanan pesan dari luar. Jadi, nggak ada bedanya 'kan aku sama ibu? Betul nggak, Bu?" Aku melempar pandang pada ibu yang terlihat salah tingkah saat aku jujur mengatakan pada Mas Alvin mengenai kebiasaan mereka yang setiap hari memesan makanan dari luar, hingga nyaris menghabiskan gaji Mas Alvin yang tidak banyak itu."Hmm ... ya, sudah, nggak usah bertengkar lagi, nggak usah dibahas lagi, oke? Sekarang gini aja, kamu masih punya uang 'kan, Vir? Nggak habis semua dikirimkan ke bapak kamu, 'kan? Bisa tidak ibu minta tiga juta saja untuk tambahan sampai akhir bulan? Kamu kan ikut tinggal di rumah ini, tidur di rumah ini, mandi, buang air, dan pakai listrik di sini, jadi wajar bukan kalau kamu juga harusnya ikut menanggung semua biaya itu? Ingat lho, Vir nggak ada yang gratis di dunia ini. Coba bayangkan kalau kamu harus ngontrak rumah sendiri, sudah berapa coba? Yun
"Jadi kamu nyalahin ibu? Kamu tahu nggak sekarang semua kebutuhan pokok serba mahal? Nggak cukup gaji Alvin buat makan kita bertujuh selama satu bulan, tahu!" Ibu mulai terlihat marah. Mungkin emosi mendengarku yang hanya santai menanggapi perkataan dan permintaannya barusan.Apa? Makan bertujuh? Jadi, Mbak Yuni dan keluarganya statusnya juga ibu masukkan menjadi orang orang yang harus Mas Alvin tanggung jawabi kebutuhan makannya setiap bulan? Aneh! Pantas saja, beliau nggak pernah protes kalau Mbak Yuni dan keluarganya menghabiskan makanan di rumah ini. Ternyata ini alasannya.Mungkin tidak terlalu menjadi masalah buat Mas Alvin jika gajinya besar. Namun, masalahnya karena gaji Mas Alvin hanya bertengger di angka lima juta tentu saja tidak akan cukup dipergunakan untuk membiayai semua pengeluaran. Lagipula apa gunanya Mas Bowo menjadi suami jika Mbak Yuni dan anak-anaknya harus numpang makan sama Mas Alvin? Bukankah tugas suami adalah menafkahi keluarganya? Sungguh, aku tak mengerti
"Dasar menantu durhaka kamu, suami sama mertua kesulitan, kamu malah mau tutup mata begitu aja! Dasar mantu nggak punya hati! Pergi kamu dari rumah ini sekarang juga kalau kamu nggak mau ikut peduli dengan kesulitan di rumah ini! Ibu juga nggak sudi punya menantu seperti kamu lagi! Menantu nggak ada gunanya. Udah, Vin. Kamu ceraikan saja dia, dan nikah sama Ayu. Ibu 'kan udah bilang, lebih baik kamu nikah sama Ayu daripada sama dia. Ayu anak orang kaya, nggak pelit, nggak perhitungan. Kalau kamu nikah sama dia, pasti dia mau ngasih modal usaha agar hidupmu lebih sukses dari sekarang. Nggak kere seperti ini karena punya istri tidak mau peduli dengan kesulitan suaminya sendiri!""Bener, Vin. Nikah sama Ayu aja biar kita nggak kesulitan uang lagi. Daripada punya istri belagu kayak dia. Baru punya duit dikit aja udah sok-sokan. Dasar miskin, begini nih kalau punya uang, sombong!" timpal Mbak Yuni pula dengan nada sinis."Bu ... Mbak! Jangan ngomong seperti itu sama Vira? Jangan usir dia,
Melihat itu, aku kembali bergegas mengemasi pakaian, lali setelah mengambil barang-barang pribadiku, aku pun segera meninggalkan rumah diiringi tatapan bengis dari ibu dan Mbak Yuni.Meskipun Mas Alvin masih saja memohon-mohon agar aku tidak pergi meninggalkan rumah, tetapi demi menyelamatkan harga diri yang sudah diinjak-injak oleh keluarga Mas Alvin, aku pun membulatkan keputusan untuk segera pergi.Ya, masa depanku masih panjang. Tak mungkin kukorbankan waktu, umur, pikiran dan tenaga untuk menjalani biduk rumah tangga yang sudah di ujung tanduk seperti ini.Selamat tinggal Mas Alvin, semoga kamu bahagia dengan siapa pun wanita yang akan menjadi penggantiku nanti, batinku sebelum meninggalkan halaman rumah dengan roda dua milik pribadiku.***"Vira, kamu kenapa? Kamu pergi dari rumah ya?" tanya Dina kaget saat aku masuk dengan menenteng tas besar juga barang-barang pribadi yang lain.Tanpa langsung menjawab, aku masuk lalu menghempaskan tubuh di sofa ruang tamu. Melepaskan semua b
Dina mendelik kaku dan membulatkan bola matanya saat melihat kertas undangan berwarna krem yang barusan diberikan oleh Bu Hadi ke padanya.Perempuan itu seolah tak percaya hingga memandang Bu Hadi dengan tatapan tak mengerti dan sebentar sebentar berubah ubah ekspresi wajahnya."Tante nggak bohong ini? Akhirnya Tante setuju juga Anita menikah dengan Alvin? Apa Tante nggak salah? Tante sudah pikirkan masak masak semua ini, Tan?" tanya Dina pada Bu Hadi dengan nada sangsi yang datang mengunjunginya siang itu demi mengabarkan berita bahagia Anita dan Alvin pada gadis itu.Bu Hadi mengulum senyum lalu menganggukkan kepalanya."Ya, Tante berusaha untuk percaya aja, Din. Anita bilang masa lalu seseorang itu tidak akan bisa dirubah, tapi masa depan semua orang berhak merubahnya. Jadi Tante merasa Tante harus memberikan kesempatan pada Alvin untuk berubah dan membuktikan semuanya itu, Din.""Bukan Tante tidak berpikir panjang lagi, tapi justru karena Tante berpikir panjang lah makanya Tante d
[Sudah ada pengganti Mas? Maksudnya?] tanya Anita dari seberang lagi.[Hmm ... iya. Mas dengar begitu. Tapi kamu yang paling tahu bukan? Kalau memang iya, ya nggak apa apa juga, Nit. Mas ikhlas kok. Mungkin kita nggak jodoh. Mas sadar Mas ini siapa, kamu siapa. Kita beda jauh, Nit. Nggak mungkin bisa bersatu ... .] tulis Alvin merendah.Di seberang sana terlihat Anita dengan cepat mengetik balasan.[Kok Mas ngomongnya gitu? Apa Mas juga sudah ada yang lain? Dengar Mas ... aku juga bukan siapa siapa lagi sekarang ini. Mama dan Papa sudah jatuh. Sementara karir kamu di dunia maya sekarang justru sedang bersinar terang. Jadi mungkin sebaliknya. Aku yang nggak pantas mungkin bersanding sama kamu, Mas.] balas Anita lagi.[Nggak pantas bersanding sama Mas gimana? Siapa bilang? Bukan kamu yang nggak pantas buat Mas, tapi Mas yang nggak pantas buat kamu, Nit. Dan Mas harus tahu itu. Jujur saja andai Mas diberi kesempatan, ingin sekali Mas melamar kamu. Tapi Mama dan Papa kamu juga kakak kamu
[Halo? Hadi?] sapa Wibisana tanpa embel embel Pak atau Mas lagi seperti yang selama ini tak pernah lupa lelaki itu sematkan sebagai panggilan pada rekan bisnisnya itu.Meski tak enak mendengar panggilan itu, tapi Pak Hadi menjawab juga salam dari rekannya tersebut dengan nada biasa. Rekan yang seharian ini sudah coba di hubungi tapi tak bisa sebab tiba tiba semua panggilan dan pesan WhatsApp yang dia kirimkan tak dibalas oleh laki laki itu.[Ya, Bi. Ada apa?] tanya Pak Hadi dengan menekan perasaan tak enak sekuat mungkin saat Wibisana memanggilnya seperti itu.[Gini, Hadi ... masalah perjodohan anak anak kita dan lamaran Rio kemarin itu, kami sekeluarga mohon maaf ya. Kami berniat membatalkannya, karena barusan Rio bilang dia tak jadi melamar Anita sebab dia sudah ada calon yang baru yang suka sama suka dengan dia. Tidak seperti Anita yang kemarin sempat menolak tegas bukan? Jadi fix ya, Di. Lamaran keluarga kami ke putri kamu, kami batalkan sekarang juga.] Ucap Wibisana tanpa ingin m
"Gimana, Pa? Bisa dihubungi Wibi sama Henti?" tanya Bu Hadi pada suaminya. Pak Hadi Widjaya menggelengkan kepalanya lalu mendesah lirih."Nggak bisa, Ma. Padahal wa-nya aktif dari tadi tapi telepon Papa kok nggak diangkat ya? Pesan Papa juga nggak dibalas. Kenapa ya?" sahut Pak Hadi dengan wajah ditekuk gundah."Nggak tahu, Pa. Jadi gimana lagi ini, Pa? Apa kita minta bantuan Vira dan Dina aja? Nggak mungkin mereka nggak bantu kan di saat kita sedang kemalangan begini?" jawab Bu Hadi.Pak Hadi menghembuskan nafasnya."Mereka kan sudah dua kali bantu keuangan kita, Ma. Masak sih kita mau minta bantuan lagi? Pinjaman kita yang kemarin saja belum bisa kita bayar. Masa sudah mau pinjam lagi. Walau pun pasti diberi, tapi Papa rasanya kok nggak enak dan nggak tega ya, Ma, memberatkan kolega bisnis kita terus.""Ini juga Papa berani minjam ke Wibi karena dia kan calon besan kita. Tapi sejak tahu pabrik kita terbakar, Wibi seperti menghindar. Kenapa ya? Apa ... Wibi sudah nggak mau lagi besa
Malam itu di kediaman pak Hadi Widjaya, tampak Rudy, dan kedua orang tuanya tengah makan bersama di meja makan. Sementara Anita tak ikut bergabung sebab masih harus menjalani shif malam sebagai seorang dokter jaga.Di sela sela makan malam, Pak Hadi membuka suaranya."Dy, gimana? Kemarin jadi kamu menemui Alvin dan menyampaikan amanat papa dan mama sama dia?" tanya Pak Hadi pada putranya.Rudy menganggukkan kepalanya lalu menjawab."Jadi dong, Pa. Rudy ancam kalau dia berani dekati Anita lagi, Rudy mau bikin perhitungan sama dia. Kayaknya Alvin ketakutan dan sepertinya nggak berani lagi dekatin Anita 'kan, Pa? Ma? Nggak ada lagi kan laki laki itu dekat dekat Nita lagi?" tanya Rudy balik.Pak Hadi mengedikkan bahunya."Nggak tahu juga, Dy. Tapi semoga ajalah laki laki itu sadar kalau dia nggak pantas buat adik kamu," jawab Pak Hadi singkat."Iya! Apa kata orang orang nanti kalau kita punya besan keluarga aneh seperti mereka? Mau ditaruh di mana muka kita besanan dengan keluarga nggak j
"Nita, kenapa kamu ninggalin Om Wibi, Tante Henti dan Rio tadi? Apa kamu nggak suka mereka datang melamar kamu, Sayang?""Nit, Rio itu lelaki yang baik. Di usia muda dia sudah sukses menjalankan perusahaan orang tuanya. Dia lulusan universitas ternama di luar negeri. Tampan, cerdas, kaya. Apalagi yang kamu cari, Nit? Rio itu sudah paket lengkap. Nggak ada lagi tandingannya. Nyesel kamu nanti kalau nolak cowok sesempurna dia, Nit," ucap Bu Hadi pada putrinya saat tamu mereka sudah pulang.Anita yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur tak bersuara. Hanya menundukkan wajahnya tanpa ingin menatap wajah sang mama."Pokoknya kali ini kamu harus dengar omongan mama ya, Nit, kamu harus mau menerima kehadiran Rio menjadi suami kamu ya. Kalau enggak ... mama akan sangat kecewa sama kamu, Nit. Mama nggak tahu lagi gimana caranya membuat kamu mau menikah karena semua pilihan mama dan papa sudah kamu tolak semuanya. Mama nggak ngerti lagi kriteria seperti apa yang kamu inginkan untuk menjadi s
Pria itu seolah hendak menelanjanginya tanpa ampun. Tatapan yang membuat dia dari dulu merasa ilfil dan tak suka pada pria itu.Selama ini beberapa kali dia telah bertemu Rio. Tapi dia tak cukup menyukai pria itu sebab menurut nya pria itu bukanlah pria yang baik. Dia terlihat begitu liar saat melihat seorang perempuan. Dan itu membuat Anita merasa tak menyukai Rio."Ma ... maksud Om?" Anita membuka tanya dengan nada terkejut yang sangat. Seolah tak percaya kalau kedatangan Om Wibi dan Tante Henti serta putranya ke rumahnya ini adalah demi untuk melamar dirinya menjadi istri Rio.Melihat itu, Bu Hadi pun buru buru membuka suaranya."Begini, Nita. Om Wibi dan Tante Henti ini datang ke sini hendak melamar kamu untuk menjadi istrinya Rio, menjadi menantu di keluarga mereka. Kamu bersedia kan, Sayang? Rio ini sekarang sudah jadi pengusaha besar lho. Cocok dong sama kamu yang seorang dokter terkenal.""Jadi kamu jangan menolak ya, Sayang. Percayalah, Rio ini pasti bisa jadi suami yang baik
"Vin, kamu kenapa? Kok wajah kamu murung gitu?" tanya Yuni saat Alvin baru saja pulang.Dilihatnya adiknya itu berjalan gontai menuju sofa hingga membuat keningnya berkerut."Ada apa, Vin? Ada masalah ya?" tanya perempuan itu dengan nada penasaran pada adiknya itu.Alvin menghembuskan nafasnya dengan gundah."Iya, Mbak ... tapi sudahlah. Mungkin sudah nasib Alvin begini. Tadi kakaknya Anita datang menemui Alvin dan minta supaya hubungan kami nggak usah dilanjutkan dan diputuskan saja karena mereka nggak mau Alvin menikah sama Anita. Katanya kita nggak sepadan. Alvin laki laki nggak jelas. Datang dari keluarga nggak jelas juga. Nggak sepadan dengan keluarga mereka yang terhormat.""Hmm ... ya sudahlah. Alvin sudah berusaha selama ini supaya bisa mensejajarkan diri dengan dia, tapi ternyata semua itu nggak cukup juga Mbak, jadi ... mungkin Alvin harus mengubur semua ini rapat rapat. Alvin harus bisa segera melupakan Anita dan mimpi mimpi kami," tutur laki laki itu dengan nada sendu.Men
"Maksud Mas Rudy?" Alvin tergagap.Mendengar Alvin menyebut namanya, Rudy tersenyum lebar.Hmm ... jadi rupanya Alvin masih ingat kalau dia adalah kakak kandung Anita? Syukurlah kalau begitu! Batinnya."Gini ya, Vin. To the point aja kita ... Nggak usah kamu dekati Anita lagi! Karena saya sebagai kakak kandungnya, nggak sudi punya calon adik ipar seperti kamu!" Hardik Rudy untuk kedua kalinya dengan suara keras dan nada tak bersahabat. "Tapi Mas ... Saya dan Anita saling mencintai, Mas. Kenapa kami tak boleh bersama? Kalau masalah materi, mungkin saya belum bisa memberikan yang cukup buat dia, seperti yang Om dan Tante inginkan. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Anita, Mas. Saya janji akan kerja lebih keras lagi supaya bisa lebih sukses dari sekarang, Mas. Tolong ... beri saya kesempatan sekali lagi, Mas. Please .....!" Alvin memohon dengan sungguh sungguh.Namun, Rudy menggelengkan kepalanya."Tidak! Sebagai kakak kandung Anita, saya nggak bisa memberi kamu