Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (4)
Pagi ini usai melakukan solat subuh bergegas aku menuju dapur untuk melakukan rutinitas seperti biasanya, memasak.
Sebelum berangkat kerja, Mas Alvin memang biasanya sarapan dan minum teh panas dulu. Itu sebabnya aku bergegas ke dapur sebelum hari semakin terang dan terlambat menyiapkan hidangan.
Aku membuka kulkas dan mengeluarkan potongan ayam yang tadi malam sudah kucuci bersih. Rencananya akan kumasak menjadi ayam bumbu kesukaan suamiku itu.
Kukeluarkan tiga potong lalu merebusnya bersama bumbu ayam yang sudah diblender. Nanti kalau sudah kering airnya baru digoreng bareng bumbunya supaya gurih.
Sengaja aku masak pas-pasan, hanya untuk makan pagi ini saja. Aku tak mau lagi masak banyak-banyak karena rasanya percuma saja, hanya akan habis disikat Mbak Yuni dan anak-anaknya.
Masih enak Mbak Yuni tidak mengataiku yang tidak-tidak dan berterima kasih sudah bisa numpang makan gratis di rumah ini, ini sudah dimasakkan, malah memfitnahku yang tidak-tidak.
Mengatakan aku pemalas dan menghabiskan waktu dengan bermain ponsel saja, padahal tak ada satupun pekerjaan rumah yang tidak kukerjakan setiap harinya.
Dia menuduhku pemalas, padahal justru rumahnya yang tak pernah bersih dan rapi. Sampah sisa jajan anak-anaknya bertebaran di depan rumah. Bukan itu saja, baju-baju mereka dan suaminya juga jarang disetrika karena ia lebih suka menghabiskan waktu dengan bergosip di rumah tetangga.
Aku sudah sering mendengar ia menggosipkan dan mengolok-olokku bersama tetangga kanan kiri. Katanya aku dapat rejeki nomplok karena menjadi istri Mas Alvin, sementara Mas Alvin ketiban sial karena sudah memilihku menjadi istri.
Sakit hati kalau mendengar gosip yang ia edarkan ke sekeliling kompleks perumahan ini. Ingin rasanya membalas, tapi aku belum menemukan cara yang paling tepat untuk itu. Selain kurang suka keluar rumah dan kumpul tetangga bergosip ria, aku juga belum punya sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk menyerang balik dirinya tanpa mampu mengelak lagi.
"Vir, masak apa kamu? Kok cuma seuprit begitu? Nanti kalau Dea dan Deo mau ikut sarapan di sini mau dikasih makan apa? Disuruh ngeliatin kamu makan aja?" celetuk ibu mertua yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu dapur lengkap dengan tatapan sinis dan senyum mengejek.
Mendengar ucapan ibu yang menyakitkan telinga, aku menyahut dengan nada ringan.
"Dea dan Deo 'kan punya orang tua, Bu. Punya rumah. Kenapa giliran makan harus datang ke sini, sih? Bukan tanggungjawab aku 'kan, Bu ngurusin makan mereka? Kenapa jadi kebalik-kebalik?" ucapku tanpa tedeng aling-aling.
Ya, dibalas dengan kalimat menohok saja kadang ibu tidak mengerti, apalagi jika dibiarkan begitu saja. Bisa makan hati sendiri aku nanti.
"Vira! Kamu kalau jawab pertanyaan orang tua, jangan kurang ajar ya. Diomongin baik-baik malah nyolot! Dengar ya mantu sialan, Dea Deo itu cucuku. Wajar aja mereka makan di sini. Mau sekalian dihabisin juga nggak masalah, tinggal masak lagi. Dasar kamu aja yang malas, makanya begini aja jadi masalah!" ibu mertua berkacak pinggang dengan mata melotot padaku.
"Maaf ya Bu, yang pemalas itu siapa? Setiap hari habis solat subuh aku masak buat suami. Coba ibu tanya Mbak Yuni pagi-pagi masak dulu nggak buat Mas Bowo? Kalau masak, kenapa anak-anaknya pada sarapan kesini? Nggak papa sih, Bu kalau Mbak Yuni bisa menghargai aku, tapi yang ada tiap hari aku cuma dijelek-jelekkin ke tetangga. Sakit, Bu. Coba ibu yang jadi aku, apa ibu mau diam aja?"
"Lha kalau yang dia omongin kenyataan, ngapain kamu nggak terima? Dengar ya, kamu itu beruntung banget jadi istri Alvin, hidup kamu enak dan terjamin. Coba lihat sekeliling sini. Istri-istri para tetangga banyak yang harus nyambi kerja ini itu buat nutup kebutuhan bulanan, tapi kamu enggak. Tinggal ngabisin duit Alvin aja belagu!"
"Bu, ibu pikir gaji Mas Alvin berapa sih, Bu? Cuma lima juta, Bu. Satu juta sudah untuk bayar kredit perbulan, lima ratus buat listrik, lima ratus buat transportasi Mas Alvin ke kantor, lima ratus ribu buat ngasih ibu, sisa dua setengah juta buat kebutuhan makan dan yang lain, Bu. Jadi, jangan dikira aku senang-senang dikasih uang segitu, yang ada aku pusing ngaturnya supaya cukup untuk makan kita satu bulan, apalagi ada mbak Yuni yang hampir tiap hari makan di sini!
"Dua juta setengah sedikit? Dasar istri nggak bersyukur! Kalau kamu ngerasa itu sedikit, biar ibu saja yang pegang dan ngelola. Biar kamu tahu ibu bisa ngapain aja dengan uang segitu!"
"Ibu yakin? Baik, kalau emang soal gaji Mas Alvin yang diserahkan ke Vira yang terus jadi masalah, mulai bulan depan, ibu aja yang pegang gaji Mas Alvin. Tapi ingat ya, Bu kalau kurang, jangan salahin Vira!" usai berucap begitu aku membalikkan tubuh hendak meninggalkan ibu tetapi sodok Mas Alvin tiba-tiba muncul dari ruang tengah.
"Ada apa ini ribut-ribut? Ibu? Vira? Ada apa?" tanya Mas Alvin dengan kening berkerut dan tatapan penuh tanya.
"Ini, Vin. Istri kamu, bawaan nyolot terus kalau dikasih tahu. Ibu tanya sarapan buat Dea dan Deo aja ngomongnya bukan tugas dia. Gini ini bawaan orang kampung, nggak punya sopan-santun. Ibu sudah muak punya menantu dia, mana nggak hamil-hamil lagi, jangan-jangan mandul! Udah Vin, ceraikan aja dan nikah sama Ayu, biar hidup kamu lebih enak, nggak harus kerja keras, duit udah ngalir dari mertua!" cerocos ibu tanpa merasa malu membandingkan aku, menantunya sendiri dengan perempuan lain yang belum tentu sesuai dengan dugaannya.
"Bu, jangan ngomong gitu dong. Alvin 'kan udah memilih Vira jadi istri, tolong dong ibu hargai pilihan Alvin, jangan sebut-sebut Ayu lagi, Bu. Kalau masalah Vira belum juga hamil, mungkin memang belum saatnya dikasih Allah, Bu." ucap Mas Alvin menengahi.
Sejauh ini Mas Alvin memang selalu bisa menjadi penengah, berusaha meredam kebencian ibu padaku yang entah dari mana asalnya.
Aku juga masih mencoba bertahan karena sikap Mas Alvin yang masih menghargaiku sebagai istri, kalau tidak, mungkin aku sudah pergi dari rumah ini. Tak tahan rasanya harus menerima ejekan dan sindiran yang setiap hari selalu ibu dan Mbak Yuni alamatkan padaki. Daripada jadi gila dan depresi, lebih baik aku pulang ke rumah orang tua.
"Udahlah, Mas. Aku tahu kenapa ibu selalu marah sama aku, apalagi masalahnya kalau bukan karena gaji yang mas berikan padaku selama ini. Jadi, mulai bulan depan mas kasih aja penghasilan mas ke ibu, biar ibu nggak selalu menyalahkan aku terus. Aku capek mas, dituduh ngabisin duit kamu. Mending aku cari duit lain aja ketimbang makan hati begini," sahutku sembari berlalu dari dapur usai meletakkan ayam yang tadi sudah digoreng ke atas meja.
Ya, mulai bulan depan aku akan meminta Mas Alvin memberikan saja gajinya pada ibu biar beliau yang mengurus kebutuhan di rumah ini. Jadi aku bisa fokus menulis agar bisa mendapatkan penghasilan dan hidup dari sana.
Aku sudah tak sabar menunjukkan pada ibu dan Mbak Yuni kalau tanpa gaji dari mas Alvin aku juga bisa makan dan hidup kecukupan.
***
Aku menatap deretan angka yang tertera pada jumalah royalti yang akan aku terima beberapa hari lagi. Sejumlah angka yang nominalnya hampir dua kali lipat dari jumlah gaji Mas Alvin setiap bulannya.
Aku mengulum senyum di bibir. Tunggu saja, Bu saatnya menantu miskinmu ini beraksi, apa ibu masih bisa menghinaku kalau sekarang aku juga punya uang bahkan nominalnya lebih besar daripada gaji Mas Alvin tiap bulan.
Aku mau tahu apa ibu dan Mbak Yuni masih bisa menghinaku jika aku bisa membeli apa saja yang kuinginkan tanpa uang dari Mas Alvin????
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (5)"Kamu yakin biar ibu saja yang pegang gaji, Mas? Mas khawatir ibu kesulitan mengelola mengingat sekarang semua serba mahal, lho Vir?" ucap Mas Alvin sesaat setelah pulang kerja.Hari ini tepat tanggal satu, tanggal di mana Mas Alvin gajian.Biasanya amplop gaji berikut struk-nya diserahkan padaku untuk membiayai kebutuhan kami selama satu bulan, tetapi karena ibu selalu protes sebab Mas Alvin selalu menyerahkan gajinya seutuhnya padaku hingga benci dan selalu mencari perkara untuk menyusahkanku, maka aku pun meminta mulai bulan ini semua penghasilan Mas Alvin diserahkan saja pada ibunya.Biar ibu saja dibantu Mbak Yuni yang mengelola kebutuhan rumah tangga selama satu bulan. Aku mau istirahat dulu dari pusingnya menghitung pengeluaran rumah tangga yang ada-ada saja kurangnya.Lagipula aku juga penasaran, bisa bertahan berapa hari di tangan ibu uang sebesar itu mengingat beliau orang yang boros dan senang mem
Mertua Jahat Tak Tahu Aku Kaya (6)"Pergi dulu ya, Vir. Baik-baik di rumah," pamit Mas Alvin sebelum menaiki sepeda motornya menuju tempat kerja.Aku tersenyum tipis, mengiringi kepergian suamiku dengan hati yang ... entah.Sepeninggal Mas Alvin, aku kembali masuk ke dalam rumah. Rencananya hendak membereskan sisa makanan bekas sarapan Mas Alvin yang tadi masih ada di meja makan.Namun, langkahku terhenti saat mendengar keriuhan di depan sana. Kulihat Mbak Yuni dan anak-anaknya juga ibu sedang mengelilingi meja makan yang dipenuhi oleh hidangan beraneka macam.Entah kapan ibu atau Mbak Yuni memasaknya. Yang jelas tiba-tiba saja semuanya sudah ada di sana.Padahal barusan Mas Alvin terpaksa membeli nasi uduk sepuluh ribu karena hingga hendak berangkat, belum ada apapun yang terhidang di meja makan."Enak ya, Bu. Makan tinggal pesan go fo*d kek gini. Semuanya enak, nggak kayak biasanya, makan nggak pernah enak karena duit dipegang Vira
Drrt...ddrt...ddrt....Ponsel di atas meja bergetar.Kuhentikan menyuap daging kepiting yang empuk itu lalu membuka notifikasi yang bergulir pada papan layar. Terlihat notifikasi pesan baru pada aplikasi WhatsApp. Sepertinya Mbak Yuni baru saja mengirim pesan.Setelan aplikasi berwarna hijau yang sudah kusetel seolah pesan belum terbaca padahal sudah dibaca itu membuat aku bisa membuka pesan itu tanpa Mbak Yuni mengira jika pesannya sudah dibaca.Aku sengaja melakukan itu karena enggan membalas pesan kakak ipar julid itu.[Vira, kamu lagi di mana???!] Pesan Mbak Yuni dengan tanda tanya panjang dibelakangnya.Aku hanya tersenyum geli dan kembali melanjutkan makan tanpa ingin diganggu dengan pesan itu. [Vira, kamu lagi makan di restoran ya??? Pakai duit tabungan Alvin, iya kan??? Awas ya kalau kamu habiskan duit tabungan adikku!!! Pokoknya aku nggak mau tahu, pulang nanti segera serahkan buku tabungan dan ATM Alvin sama mbak!!!]
Sore ini sepulang dari tempat kerja, ibu dan Mbak Yuni nampaknya sudah menghadang Mas Alvin di depan pintu masuk. Terdengar laporan kedua perempuan beda usia itu pada Mas Alvin yang baru saja datang.Aku sendiri sedari pulang tadi lebih memilih tak keluar kamar karena malas melihat wajah ibu dan Mbak Yuni yang sejak siang memang belum juga pulang, begitu pun Dea dan Deo kedua anaknya yang sibuk nonton televisi sedari tadi.Rumah sudah seperti kapal pecah karena tak ada satupun yang mau membersihkan sampah dan sisa makanan yang bertebaran di mana-mana. Ibu dan Mbak Yuni cuma asyik memesan makanan dan berpesta seperti tak memikirkan hari esok lagi.Jujur, sebenarnya aku khawatir mereka kehabisan uang sebelum akhir bulan tiba, karena aku kasihan memikirkan nasib Mas Alvin, kemana suamiku itu harus mencari tambahan uang jika gajinya yang sekarang dipegang ibu dan mbak Yuni habis sebelum waktunya.Namun, Ibu dan Mbak Yuni sendiri malah tak khawatir dan t
Keluar dari toko perhiasan, aku tak langsung pulang melainkan masuk dulu ke sebuah restoran siap saji. Kupesan ayam goreng kesukaan, jus jeruk dan kentang goreng favorit. Aku makan dengan lahap karena sedari tadi belum ada satu pun makanan yang masuk ke dalam perut meski Mbak Yuni dan ibu sudah membeli aneka lauk pauk dan pesta makan di dapur dengan kedua cucu dan menantunya, Mas Bowo. Sementara karena sudah telat, pagi ini terpaksa Mas Alvin berangkat kerja tanpa sarapan lebih dulu.Entahlah, tumben-tumbenan Mas Bowo, suami Mbak Yuni pagi ini mau sarapan di rumah. Biasanya sih hanya menunggu kiriman makanan yang dibawa Mbak Yuni dari kediaman kami saja. Tapi pagi tadi, mungkin karena merasa sudah bebas lalu lalang bahkan memegang keuangan di rumah ini, Mbak Yuni juga membawa suaminya itu makan di rumah.Aku sih tidak peduli. Mau ngapain aja mereka sebodo amat. Aku sendiri bahkan sudah berpikir hendak pergi dari rumah itu. Rumah yang baru satu tahun dibeli dan ma
Namun, demikian kami tak pernah lepas berkomunikasi. Padanya aku berani bercerita dan mengadukan semua masalahku. Terutama masalah dengan ibu mertua dan Mbak Yuni sejak mereka pindah ke rumah. Jika tak ada tempat berbagi cerita seperti ini barangkali aku tak bisa setenang ini menghadapi masalah yang saat ini menimpaku."Eh, Say... gimana kabar mertua dan kakak ipar kamu? Masih rese juga? Lawan atuh, Vir...eh tapi aku yakin kamu pasti nggak akan diam aja. Vira gitu lho, cewek jagoan yang pernah bikin cowok yang berani macem-macem pingsan di tempat." ucap Dina mengenang masa lalu saat belum menikah. Kami kemudian tertawa bareng mengingat momen itu.Pada Dina kuceritakan tentang keisengan-keisengan yang sengaja kulakukan untuk mengerjai ibu dan Mbak Yuni sebagai balasan setimpal atas perbuatan mereka. Mendengar cerita dariku, Dina pun tertawa cekikikan hingga keluar air mata."Sumpah, aku nggak ngebayangin betapa kesalnya mertua kamu, Vir. Apalagi tahu kamu baru sa
Di depan televisi kulihat sosok Mas Bowo, suami Mbak Yuni sedang menemani kedua anaknya menonton film kartun.Ah, ada apa ya sampai semua orang itu seolah sengaja berkumpul di rumah ini sekarang? Ingin menyambut kepulangankukah? Ingin cari masalah baru lagikah denganku? Ya, Tuhan. Kapan permusuhan dengan ibu mertua dan kakak ipar ini bisa segera berakhir? Aku mulai jenuh dan bosan rasanya, meski jujur ada keseruan saat bisa membalasnya.Sembari menghela nafas, aku mengetuk pintu pelan. Tak lama menunggu, pintu pun terbuka dan sosok mbak Yuni muncul dengan api kemarahan di wajahnya."Hei, ipar sia*an! Pulang juga akhirnya kamu? Dari tadi mbak telpon nggak kamu angkat kenapa? Budek ya?" sentaknya kasar sembari menghempaskan daun pintu saat aku sudah berada di dalam rumah.Mendengar bentakannya, aku menyahut pelan, 'Oh, aku lagi di jalan. Kenapa emangnya, Mbak?" tanyaku dengan tenang. Kuedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan ibu sedang berkacak pinggang dengan mata melotot tajam p
Melihat mas Alvin datang, bukannya cemas ibu justru bersikap biasa-biasa saja. Dengan tenang ia berusaha menenangkan Mas Alvin."Tenang, Vin. Ibu bukan mau berbuat jahat sama istri kamu tapi mau melihat kejujurannya saja. Barusan ibu lihat dia beli perhiasan seharga sepuluh juta rupiah. Duit dari mana coba kalau katanya gaji kamu saja sudah habis? Apa kamu nggak curiga istri kamu ini sudah berbuat yang tidak-tidak di luar? Ingat, Vin zaman sekarang banyak wanita murahan yang rela menjual dirinya demi kemewahan, tak terkecuali istri kamu! Apa kamu mau punya istri model begitu? Ibu yang nggak rela, Vin kalau kamu punya istri seorang pelac*r! Ibu yang nggak rela punya mantu wanita nggak punya harga diri!" teriak ibu sok merasa paling benar, padahal tidak."Bu, sebelum ibu mencurigai Vira, ibu sudah coba tanya baik-baik belum? Tolong, Bu jangan suudzon sama menantu ibu sendiri. Vira bukan wanita seperti itu, Bu. Alvin percaya sama Vira," ujar Mas Alvin membelaku, tetapi nampaknya ibu dan
Dina mendelik kaku dan membulatkan bola matanya saat melihat kertas undangan berwarna krem yang barusan diberikan oleh Bu Hadi ke padanya.Perempuan itu seolah tak percaya hingga memandang Bu Hadi dengan tatapan tak mengerti dan sebentar sebentar berubah ubah ekspresi wajahnya."Tante nggak bohong ini? Akhirnya Tante setuju juga Anita menikah dengan Alvin? Apa Tante nggak salah? Tante sudah pikirkan masak masak semua ini, Tan?" tanya Dina pada Bu Hadi dengan nada sangsi yang datang mengunjunginya siang itu demi mengabarkan berita bahagia Anita dan Alvin pada gadis itu.Bu Hadi mengulum senyum lalu menganggukkan kepalanya."Ya, Tante berusaha untuk percaya aja, Din. Anita bilang masa lalu seseorang itu tidak akan bisa dirubah, tapi masa depan semua orang berhak merubahnya. Jadi Tante merasa Tante harus memberikan kesempatan pada Alvin untuk berubah dan membuktikan semuanya itu, Din.""Bukan Tante tidak berpikir panjang lagi, tapi justru karena Tante berpikir panjang lah makanya Tante d
[Sudah ada pengganti Mas? Maksudnya?] tanya Anita dari seberang lagi.[Hmm ... iya. Mas dengar begitu. Tapi kamu yang paling tahu bukan? Kalau memang iya, ya nggak apa apa juga, Nit. Mas ikhlas kok. Mungkin kita nggak jodoh. Mas sadar Mas ini siapa, kamu siapa. Kita beda jauh, Nit. Nggak mungkin bisa bersatu ... .] tulis Alvin merendah.Di seberang sana terlihat Anita dengan cepat mengetik balasan.[Kok Mas ngomongnya gitu? Apa Mas juga sudah ada yang lain? Dengar Mas ... aku juga bukan siapa siapa lagi sekarang ini. Mama dan Papa sudah jatuh. Sementara karir kamu di dunia maya sekarang justru sedang bersinar terang. Jadi mungkin sebaliknya. Aku yang nggak pantas mungkin bersanding sama kamu, Mas.] balas Anita lagi.[Nggak pantas bersanding sama Mas gimana? Siapa bilang? Bukan kamu yang nggak pantas buat Mas, tapi Mas yang nggak pantas buat kamu, Nit. Dan Mas harus tahu itu. Jujur saja andai Mas diberi kesempatan, ingin sekali Mas melamar kamu. Tapi Mama dan Papa kamu juga kakak kamu
[Halo? Hadi?] sapa Wibisana tanpa embel embel Pak atau Mas lagi seperti yang selama ini tak pernah lupa lelaki itu sematkan sebagai panggilan pada rekan bisnisnya itu.Meski tak enak mendengar panggilan itu, tapi Pak Hadi menjawab juga salam dari rekannya tersebut dengan nada biasa. Rekan yang seharian ini sudah coba di hubungi tapi tak bisa sebab tiba tiba semua panggilan dan pesan WhatsApp yang dia kirimkan tak dibalas oleh laki laki itu.[Ya, Bi. Ada apa?] tanya Pak Hadi dengan menekan perasaan tak enak sekuat mungkin saat Wibisana memanggilnya seperti itu.[Gini, Hadi ... masalah perjodohan anak anak kita dan lamaran Rio kemarin itu, kami sekeluarga mohon maaf ya. Kami berniat membatalkannya, karena barusan Rio bilang dia tak jadi melamar Anita sebab dia sudah ada calon yang baru yang suka sama suka dengan dia. Tidak seperti Anita yang kemarin sempat menolak tegas bukan? Jadi fix ya, Di. Lamaran keluarga kami ke putri kamu, kami batalkan sekarang juga.] Ucap Wibisana tanpa ingin m
"Gimana, Pa? Bisa dihubungi Wibi sama Henti?" tanya Bu Hadi pada suaminya. Pak Hadi Widjaya menggelengkan kepalanya lalu mendesah lirih."Nggak bisa, Ma. Padahal wa-nya aktif dari tadi tapi telepon Papa kok nggak diangkat ya? Pesan Papa juga nggak dibalas. Kenapa ya?" sahut Pak Hadi dengan wajah ditekuk gundah."Nggak tahu, Pa. Jadi gimana lagi ini, Pa? Apa kita minta bantuan Vira dan Dina aja? Nggak mungkin mereka nggak bantu kan di saat kita sedang kemalangan begini?" jawab Bu Hadi.Pak Hadi menghembuskan nafasnya."Mereka kan sudah dua kali bantu keuangan kita, Ma. Masak sih kita mau minta bantuan lagi? Pinjaman kita yang kemarin saja belum bisa kita bayar. Masa sudah mau pinjam lagi. Walau pun pasti diberi, tapi Papa rasanya kok nggak enak dan nggak tega ya, Ma, memberatkan kolega bisnis kita terus.""Ini juga Papa berani minjam ke Wibi karena dia kan calon besan kita. Tapi sejak tahu pabrik kita terbakar, Wibi seperti menghindar. Kenapa ya? Apa ... Wibi sudah nggak mau lagi besa
Malam itu di kediaman pak Hadi Widjaya, tampak Rudy, dan kedua orang tuanya tengah makan bersama di meja makan. Sementara Anita tak ikut bergabung sebab masih harus menjalani shif malam sebagai seorang dokter jaga.Di sela sela makan malam, Pak Hadi membuka suaranya."Dy, gimana? Kemarin jadi kamu menemui Alvin dan menyampaikan amanat papa dan mama sama dia?" tanya Pak Hadi pada putranya.Rudy menganggukkan kepalanya lalu menjawab."Jadi dong, Pa. Rudy ancam kalau dia berani dekati Anita lagi, Rudy mau bikin perhitungan sama dia. Kayaknya Alvin ketakutan dan sepertinya nggak berani lagi dekatin Anita 'kan, Pa? Ma? Nggak ada lagi kan laki laki itu dekat dekat Nita lagi?" tanya Rudy balik.Pak Hadi mengedikkan bahunya."Nggak tahu juga, Dy. Tapi semoga ajalah laki laki itu sadar kalau dia nggak pantas buat adik kamu," jawab Pak Hadi singkat."Iya! Apa kata orang orang nanti kalau kita punya besan keluarga aneh seperti mereka? Mau ditaruh di mana muka kita besanan dengan keluarga nggak j
"Nita, kenapa kamu ninggalin Om Wibi, Tante Henti dan Rio tadi? Apa kamu nggak suka mereka datang melamar kamu, Sayang?""Nit, Rio itu lelaki yang baik. Di usia muda dia sudah sukses menjalankan perusahaan orang tuanya. Dia lulusan universitas ternama di luar negeri. Tampan, cerdas, kaya. Apalagi yang kamu cari, Nit? Rio itu sudah paket lengkap. Nggak ada lagi tandingannya. Nyesel kamu nanti kalau nolak cowok sesempurna dia, Nit," ucap Bu Hadi pada putrinya saat tamu mereka sudah pulang.Anita yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur tak bersuara. Hanya menundukkan wajahnya tanpa ingin menatap wajah sang mama."Pokoknya kali ini kamu harus dengar omongan mama ya, Nit, kamu harus mau menerima kehadiran Rio menjadi suami kamu ya. Kalau enggak ... mama akan sangat kecewa sama kamu, Nit. Mama nggak tahu lagi gimana caranya membuat kamu mau menikah karena semua pilihan mama dan papa sudah kamu tolak semuanya. Mama nggak ngerti lagi kriteria seperti apa yang kamu inginkan untuk menjadi s
Pria itu seolah hendak menelanjanginya tanpa ampun. Tatapan yang membuat dia dari dulu merasa ilfil dan tak suka pada pria itu.Selama ini beberapa kali dia telah bertemu Rio. Tapi dia tak cukup menyukai pria itu sebab menurut nya pria itu bukanlah pria yang baik. Dia terlihat begitu liar saat melihat seorang perempuan. Dan itu membuat Anita merasa tak menyukai Rio."Ma ... maksud Om?" Anita membuka tanya dengan nada terkejut yang sangat. Seolah tak percaya kalau kedatangan Om Wibi dan Tante Henti serta putranya ke rumahnya ini adalah demi untuk melamar dirinya menjadi istri Rio.Melihat itu, Bu Hadi pun buru buru membuka suaranya."Begini, Nita. Om Wibi dan Tante Henti ini datang ke sini hendak melamar kamu untuk menjadi istrinya Rio, menjadi menantu di keluarga mereka. Kamu bersedia kan, Sayang? Rio ini sekarang sudah jadi pengusaha besar lho. Cocok dong sama kamu yang seorang dokter terkenal.""Jadi kamu jangan menolak ya, Sayang. Percayalah, Rio ini pasti bisa jadi suami yang baik
"Vin, kamu kenapa? Kok wajah kamu murung gitu?" tanya Yuni saat Alvin baru saja pulang.Dilihatnya adiknya itu berjalan gontai menuju sofa hingga membuat keningnya berkerut."Ada apa, Vin? Ada masalah ya?" tanya perempuan itu dengan nada penasaran pada adiknya itu.Alvin menghembuskan nafasnya dengan gundah."Iya, Mbak ... tapi sudahlah. Mungkin sudah nasib Alvin begini. Tadi kakaknya Anita datang menemui Alvin dan minta supaya hubungan kami nggak usah dilanjutkan dan diputuskan saja karena mereka nggak mau Alvin menikah sama Anita. Katanya kita nggak sepadan. Alvin laki laki nggak jelas. Datang dari keluarga nggak jelas juga. Nggak sepadan dengan keluarga mereka yang terhormat.""Hmm ... ya sudahlah. Alvin sudah berusaha selama ini supaya bisa mensejajarkan diri dengan dia, tapi ternyata semua itu nggak cukup juga Mbak, jadi ... mungkin Alvin harus mengubur semua ini rapat rapat. Alvin harus bisa segera melupakan Anita dan mimpi mimpi kami," tutur laki laki itu dengan nada sendu.Men
"Maksud Mas Rudy?" Alvin tergagap.Mendengar Alvin menyebut namanya, Rudy tersenyum lebar.Hmm ... jadi rupanya Alvin masih ingat kalau dia adalah kakak kandung Anita? Syukurlah kalau begitu! Batinnya."Gini ya, Vin. To the point aja kita ... Nggak usah kamu dekati Anita lagi! Karena saya sebagai kakak kandungnya, nggak sudi punya calon adik ipar seperti kamu!" Hardik Rudy untuk kedua kalinya dengan suara keras dan nada tak bersahabat. "Tapi Mas ... Saya dan Anita saling mencintai, Mas. Kenapa kami tak boleh bersama? Kalau masalah materi, mungkin saya belum bisa memberikan yang cukup buat dia, seperti yang Om dan Tante inginkan. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Anita, Mas. Saya janji akan kerja lebih keras lagi supaya bisa lebih sukses dari sekarang, Mas. Tolong ... beri saya kesempatan sekali lagi, Mas. Please .....!" Alvin memohon dengan sungguh sungguh.Namun, Rudy menggelengkan kepalanya."Tidak! Sebagai kakak kandung Anita, saya nggak bisa memberi kamu